Arsip Blog

Selasa, 25 Maret 2008

TENTANG PUISI

Posisi Puisi Bali Dalam Sastra Indonesia---
Antara Keseragaman, Estetika, dan Tradisi Besar

Pada hitungan dua dasawarsa belakangan ini Bali memiliki posisi istimewa dalam perkembangan seni sastra Indonesia modern. Di tengah gebyar seni tradisi yang tak pernah mati, ternyata para penulis puisi (penyair) Indonesia yang lahir atau bermukim dan berproses kreatif di Bali terus berjuang untuk tumbuh dan hidup. Kini, terdapat lebih dari seratus penulis puisi di Bali dan sebagian besar telah mencatatkan diri dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia mutakhir. Lalu, di tengah puja-puji yang diberikan oleh sejumlah kritikus sastra nasional terhadap perkembangan sastra Indonesia di Bali, muncul kemudian sejumlah tanya. Misalnya, apakah puisi-puisi yang dibuat penyair Bali punya keistimewaan dibandingkan puisi yang ditulis penyair luar Bali. Apakah tradisi besar Bali memberi pengaruh terhadap puisi yang ditulis penyair Bali. Atau, apakah puisi-puisi Bali memiliki estetika yang khas, yang beraroma Bali, yang berbeda dengan puisi yang ditulis penyair lain yang berproses di luar Bali?

============================================================

Semua pertanyaan itu muncul dalam sebuah diskusi yang dihadiri sembilan penyair Bali dalam acara Temu Penyair Bali di Wantilan Art Centre Denpasar, akhir November lalu. Kesembilan penyair itu adalah Surya Kencana, Muda Wijaya, Pranita Dewi, Putu Vivi Lestari, Ni Luh Suwita Utami, Wayan Sunarta, Made Adnyana Ole, Riki Dhamparan Putra dan Wayan Arthawa. Penyair yang berasal dari berbagai generasi itu seakan-akan memperbincangkan kebanggaan sekaligus kegelisahan sebagai penyair Bali. Munculnya kebanggaan karena puisi-puisi yang ditulis penyair Bali sudah diangap jadi bagian dari perkembangan besar sastra Indonesia. Dan kegelisahan tumbuh karena puisi-puisi penyair Bali masih kerap mendapat kritik penting dari sastrawan-sastrawan nasional. Salah satunya, puisi yang ditulis oleh penyair Bali yang satu dengan penyair Bali yang lain masih dinilai memiliki keseragaman.

Penyair Wayan Sunarta mengatakan perkembangan perpuisian di Bali tidak bisa dipisahkan dengan dua penyair senior, Frans Nadjira dan Umbu Landu Paranggi, yang menetap di Bali sejak lebih dari dua puluh tahun lalu. Dua penyair itu mengembangkan dua gaya puisi yang berlawanan yang kemudian ditularkan kepada generasi penyair berikutnya. Yakni gaya introvert yang ditularkan Umbu Landu Paranggi dan gaya ekstrovert yang dikembangkan penyair Frans Nadjira. Introvert adalah puisi-puisi kamar yang ditulis penuh dengan renungan diri, sedangkan ekstrovert merupakan puisi-puisi yang memberi daya ledak, penuh letupan dan percaya diri. Menurut Sunarta, hampir semua penyair di Bali terjebak dalam dua gaya itu.

Warih Wisatsana, penyair Bali yang kerap mengajar sastra secara ektrakulikuler di sekolah-sekolah di Denpasar, mengakui peran Umbu dan Frans tak bisa dipisahkan dari perkembangan sastra Indonesia di Bali selama lebih dari dua puluh tahun belakangan ini. Soal pengaruh-mempengaruhi dalam dunia sastra adalah hal lumrah. Namun yang patut dipertanyakan adakah puisi-puisi Bali memiliki estetika yang khas Bali, yang sesuai dengan budaya, alam, dan tradisi di Bali? Karena, menurut Warih, dalam tradisi yang besar tentu bisa lahir penyair besar. Sebab, seorang penyair yang tumbuh dalam tradisi besar akan mendapat pengaruh dari iklim kreativitas yang bagus dan sekaligus akan memiliki tantangan untuk tidak terjebak atau tergerus dalam tradisi besar tersebut. Iklim dan tantangan akan membuat seorang penyair menjadi lebih matang.

Wayan Arthawa, penyair dari Karangasem, menilai estetika puisi Bali itu tentu saja ada dan memberi pengaruh besar dalam bentuk pengucapan, metafora dan lain-lainnya. Penyair yang sangat berpengalaman ini meyakinkan bahwa estetika puisi Bali itu ada sekalipun untuk mendefinisikannya secara tepat masih harus memerlukan pengkajian yang mendalam. Misalnya, puisi-puisi Bali tak bisa dilepaskan dari unsur-unsur estetika yang berkembang dalam alam dan budaya Bali. Makanya, puisi Bali lebih banyak bicara tentang pohon, daun, laut, tari-tarian, ngaben, Nyepi, dan lain-lain.

Apakah karena unsur-unsur alam dan budaya yang cenderung serupa itu maka sejumlah kritikus menilai puisi-puisi yang ditulis penyair Bali juga cenderung seragam? Baik Arthawa maupun Sunarta dengan tegas membantahnya. Menurut Arthawa, puisi modern Bali itu sungguh beragam dari bentuk pengucapan. Meski diakui landasan yang digunakan dalam penulisan itu sama. Misalnya, dalam puisi-puisi Bali terdapat atmosfir kesunyian yang akan menuntun orang untuk melihat puisi modern Bali sebagai wilayah yang khas.

Bagaimana dari landasan yang sama bisa melahirkan puisi-puisi dengan berbagai bentuk pengucapan yang berbeda? Ini terjadi karena pada dasarnya pengalaman estetika adalah sebuah evolusi. Satu orang tidak akan memiliki pengalaman estetika yang sama terhadap satu peristiwa yang sama. Misalnya, banyak penyair Bali menulis tentang tajen. Namun penyair-penyair itu tidak akan menuliskan pengalaman estetika tajen dalam bentuk yang sama. Warih Wisatsana, misalnya, tak akan menuliskan estetika tajen dengan sudut dan cara yang sama dengan penyair GM Sukawidana.

Di sisi lain, dramawan Putu Satria Kusuma mempertanyakan sejauh mana respons para penyair Bali terhadap peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di Bali atau di Indonesia dan dunia, seperti bencana alam dan lain-lain. Sebab, dalam pandangannya, puisi-puisi yang ditulis penyair Bali kebanyakan berorientasi pada puisi-puisi sunyi yang individual. ''Apakah tidak ada minat para penyair Bali untuk menjadikan peristiwa-peristiwa seperti bom Bali sebagai inspirasi sajak?'' kata Putu Satria.

Menurut penyair sekaligus dosen, Vivi Lestari, menulis puisi itu tergantung panggilan jiwa. Jika seorang penyair tak memiliki panggilan untuk menulis sesuatu yang terjadi meskipun kejadian itu berada di dekat, penyair itu tak akan bisa menuliskannya. Sementara Wayan Sunarta mengatakan bahwa penulisan tema puisi tak bisa dilepaskan dari proses perkembangan kreatif penyair itu sendiri. Tradisi menulis puisi yang ia terima sejak dari Sanggar Minum Kopi memang menuju pada puisi yang berkonsentrasi untuk mendapatkan kualitas bahasa, ketimbang mementingkan isi sosial seperti bom Bali. Lagi pula, Sunarta menilai wilayah individual lebih menarik dan inspiratif daripada wilayah yang lebih luas. Namun, di sisi lain, harus diakui memang seharusnya penyair Bali mulai memiliki respons terhadap segala hal yang berkembang di Bali, misalnya tentang bencana alam, bencana yang dibuat manusia dan bencana budaya, sehingga penyair Bali mendapat perhitungan lebih besar ketimbang jika hanya menulis puisi-puisi tentang kesunyian dan renungan diri sendiri. (ole)