Arsip Blog

Jumat, 18 April 2008

SUKA DUKA JIWA

Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka.
Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa kembali melupa di saat Suka telah kembali. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?”
Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha pun murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.
“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?” “Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi Tanya.

Selasa, 15 April 2008

PENYAIR INDONESIA

kawan, bagimu mungkin aku sekadar sekrup
untuk mesin ambisi yang setiap saat
dapat kau putar arahnya sesuka hati

tidak kawan, aku manusia berjiwa
yang bersetia dengan beragam cuaca
tak pantas kau tujukan
kata-kata itu padaku: pengkhianat!

Medan, Pertengahan September 2005

Hidayat Banjar

Rumah Impian

rumah impian, rumah ketenangan
disusun dari tetes keringat dan air mata
satu-satu tetes keringat berubah jadi bata,
semen, dan atap
satu-satu tetes air mata berubah jadi fondasi,
tiang, pagar, dan jendela

rumah impian, rumah ketenangan
sendiri saja dirangkai
dengan tali kasih memayungi anak-anak
suami terkapar di jalanan
ditinggal begitu saja
dalam peristiwa tabrak lari

malam-malam ditampungnya air mata
dimasukkan ke dalam botol dot
paginya disedot sebagai susu
oleh keenam anak sibiran tulang

kini anak-anak sudah dewasa
dan membangun rumah impiannya masing-masing
jadilah wanita itu sebatang pohon di tengah gurun
dalam kemesraan sepi yang panjang

Medan, Akhir November 2006





Hidayat Banjar

Demo Negeri Alpabet

suatu hari di negeri alpabet
berhimpun para huruf dari a sampai z
dengan aneka jenis: times new roman, arial,
palatino, book antique, dan lain sebagainya

“mari mogok! manusia sudah sangat keterlaluan
memanfaatkan kita dengan beban makna
sesuka hati serta semau mereka,” tandas a
“apakah tidak akan terjadi chaos?” tanya s yang santun
“bukan urusan negeri alpabet,” sergah b

akhirnya diputuskanlah
penduduk negeri alpabet harus melakukan demo
agar manusia tidak sembarangan
memanfaatkan mereka dengan beban makna
sesuka hati dan semaunya saja

negeri alpabet harus terbebas dari beban makna
yang tersusun dalam rangkaian kata

manusia, bukanlah manusia
kalau tak mampu menghadapi demo
negeri kerdil yang bernama alpabet

negeri itu ada di jemari, lidah,
otak dan hati manusia
sehigga dengan sangat mudah
dipermainkan begitu saja

maka adalah sangat wajar
pada titik tertentu
kata kehilangan makna

Medan, Awal Desember 2005







Hidayat Banjar

Rekanku dan Dunia Maya

ada rekanku yang sepanjang usianya
nyaris habis di depan kotak kaca
berselancar di dunia maya
dalam kesendirian meretas ruang dan waktu
hanya dengan jari telunjuk
diselusuri labirin-labirin
dari gedung putih hinga bursa seks
dari ulama hingga penjahat
dari ibu suci sampai pelacur
kadang terkekeh-kekeh sendiri
waktu yang lain mengerutkan kening
sesekali orgasme dan tertidur pulas
adakalanya menangis tersedu-sedu

antara realitas dan semu
bersimpangasiuran di batok kepalanya
higga sukar membedakan celana atau pantat
tercampak ke dunia nyata
gemetar kakinya menjejak bumi
silau mata menangkap cahaya sebenarnya


Awal Desember 2005


Hidayat Banjar

Kisah dari Negeri Semut

seekor nyamuk terkapar di sudut rumah
kekenyangan usai menghisap darah manusia
dalam sekejab beramai-ramai semut mengerubungi
nyamuk tak dapat melawan
dibawa ke gudang penyimpanan makanan
yang tak terlihat dari jendela dunia

di tengah perjalanan melelahkan
cicak mengendap-endap menyaksikan
sedapnya santapan dihedangkan para semut baik hati
dengan satu juluran lindah, nyamuk dan beberapa semut
yang coba mempertahankan makanan mereka
berpindah ke rongga mulut cicak
selanjutnya masuk ke dalam lambung
ribuan semut lainnya tak dapat berbuat apa-apa
menyaksikan perampokan
yang tak terlihat dari jendela dunia itu

beberapa lama kemudian
saat cicak menunggu mangsa
di kosen pintu rumah manusia
seorang bocah menutupkan daun pintu
terjepitlah cicak dan mati seketika
bangkainya lengket di kosen
namun tak terlihat dari jendela dunia
seketika ramai-ramai semut mengerubungi

“ayo seret makanan lezat ini!
dulu perampok makanan
sekarang sudah jadi makanan kita!”

bangkai reptil raksasa, menurut ukuran semut
dengan mudah diseret beramai-ramai.

Akhir Desember 2005

Hidayat Banjar

Sungai Waktu

sungai waktu yang mengalir
lembut maupun keras
mengantar kita ke kinian
sedetik kemudian semua jadi kenangan
sekuat apa pun keinginan kembali ke hulu
adalah sekadar menapak sejarah
dulu, di sini pernah terjadi ini dan itu

sungai waktu yang di dalamnya kita berenang
semula bening, hening
kitalah yang berkecipak tak tentu
membuat air keruh dan keheningan pecah
jadi hiruk pikuk
kita meraba-raba
mencari kesejatian sejarah

sungai waktu mengalir
mengikuti arus penciptaan
dengan kepongahan kita rombak alurnya
sesuai selera atas nama kuasa
pertikaian kabil dan habil
terus berlanjut memercik noda merah

sungai waktu terus mengalir
beraneka cabang
dan ke kinian adalah benang kusut
akankah kita dan anak cucu
mampu mengurainya?

Medan, akhir November 2006


Hidayat Banjar

Lelaki, Rembulan dan Proyek
(untuk Tuan YZ dan lelaki pemburu daging)

lelaki terhormat menatap rembulan
semua sudah ia pasrahkan

rembulan menari-nari
anak negeri tak mengerti
nafsu, rembulan dan proyek
di antaranya adalah kebinatangan

terbuka katup
bebayang terus mengikuti
dan membawanya bercakap-cakap
semula di dalam goa
lalu hadir di pentas kehidupan

sudah terlanjur membias
lelaki, rembulan dan proyek
kenaifan di antaranya

cinta dan rindu yang sebatas daging
memamah lelaki terhormat tanpa sisa
ampasnya membusuk di septic tank

andai saja bukan lelaki terhormat
sudah kulumat kejahanaman ini
dengan kejahanaman yang lebih besar lagi

rembulan ngakak di atas proyek
selangkangnya berbau nanah.

Medan, Medio Desember 2006


Hidayat Banjar

I b u

mengenang ibu
tataplah bumi yang tak pernah lelah
menyapih pepohonan dari fajar merekah
hingga ke peraduan malam

mengenang ibu
tataplah matahari yang tak pernah lelah
menghangatkan seluruh isi bumi
sampai malam memeluk
dan mengirimnya mimpi-mimpi indah

apakah ibumu seperti itu?

kawan, jika kehilangan kasih ibu
sesungguhnya kau telah kehilangan
separuh jiwamu

22 Desember 2006


Hidayat Banjar

Pantai-pantai Itu

demikianlah pantai-pantai itu
memanggil para pejalan untuk singgah
bersidekap akrab asinnya laut
dan garangnya ombak

putih-putih kwarsa
putih-putih buih
hati yang tulus menerima kehadiran
wahai nakhoda merapatlah
lemparkan jangkar
ikatkan temali pada tiang-tiang
di pelabuuan

pantai jombalng lhokseumawe
16 september 2006


Hidayat Banjar

Jomblang

jomblang kembali dikenangnya
sosok serupa pantai yang putih-putih airnya
sosok serupa kwarsa yang putih-putih berkilau

duhai dara
kenapa demikian menggoda
membuat nakhoda oleng
dan dalam ragu bertanya:
benarkah kau pelabuhan itu?

Januari 2007

PENYAIR INDONESIA

Hidayat Banjar

Negeri Alpabet Porak-poranda

kitalah penyayang sekaligus pemerkosa
warga negeri alpabet
mempermainkannya di perut
dan melompat ke mulut

kitalah sang penguasa negeri alpabet
yang demi menegakkan panji keakuan
menjungkirbalikkan seluruh makna
dan Tuhan terheran-heran
makhluk ciptaan mengaku pencipta

negeri alpabet porak-poranda
oleh tangan dan mulut-mulut yang merasa tuhan

Akhir Januari 2007

Hidayat Banjar

Rumah Pura-pura

rumah yang dibangun
dengan pondasi pura-pura
hanya melahirkan cerita duka
cinta-cinta yang hambar
anak-anak yang samar

bagai pelaut terkutuk
nakhoda lupa daratan
kapal tak dapat sandar
terus berputar
dari samudra satu ke samudra lain

sekali waktu aku bertanya:
apa yang kau cari kawan
berlayar dengan tubuh dibalut topeng
nakhoda menjawab
hanya dengan kepala menggeleng

Medan Awal Mei 2006


Hidayat Banjar

Rindu Memayungi Hari-hari

dibiarkannya rindu memayungi hari-hari
dalam nestapa daun-daun berharap
sentuhan embun
setelah malam larut sekali

tak tersisa sedikit pun mata air
semua menguap ke angkasa
meninggalkan parau
dari dahaga teramat panjang

entah kenapa kenangan di pantai itu
jadi titik kian mengabur

burung-burung pantai pun bernyanyi sendiri

Akhir Januari 2007


Hidayat Banjar

Bebayang dari Negeri Entah

sipongang hewan malam sesayup
sampaikan kabar sesuatu yang mengabur
dari negeri entah berkelebat bebayang
membawa rasa yang sudah berabad tak dikenalinya
berkeloneng jualah sang hati

di jomblang
pantai itu memanggilnya kuat
untuk berpaut memeluk harap
sampai di medan, ia seperti edan
bebayang terus berkelebat memanggil
ketika disahut, wujud menghablur-hablur
duh

Awal Februari 2007


Hidayat Banjar

Menanti Waktu

berlapis-lapis rindu tumpah di dermaga
kapal tak berlayar
laut dirundung badai
dan kita terbang mengambang
hening memeluk peluh sendiri

angin mengirimkan kabar
dari syair-syair lapuk
tak laku dijual
meski di pasar loak
lumpuh lah lumpuh sandaran jiwa

di mana tempat berteduh
rumah-rumah rubuh
lalu ikhlas di tepian malam

perindu, syair dan buku-buku
memang sahabat sejati

ada bisikan dari sekumpulan sajak abadi
mengisahkan tentang jalan berliku
ranjang maha luas
berpegang pada arus nasib
dedaun dan pohon-pohon
menanti waktu

Awal Februari 2007


Hidayat Banjar

Fatamorgana

pernahkan kau menatap tanah menghitam
itulah hati dendam rindu
bumi yang berharap siraman hujan
dermaga tak lagi disinggahi, bernyanyi sendiri

pasir terombang-ambing dihempas ombak
riwayatkan gelora mengambang pasang

sebermula di jomblang
hanyut dalam debar jantung

dalam pertemuan sekejab
cahaya jauh mengembara
ke tengah samudra hindia

badai menghantam segala rasa, beku
menggamit tangan sedekap
hanya fatamorgana

Awal Februari 2007


Hidayat Banjar

Valentino Tak Kan Menangis

valentino tak kan menangis
air matanya habis
terbawa banjir dan tanah longsor
seketika manusia jadi bangkai
yang hidup tinggal papa

mata air dari air mata para papa
mengalir ke bak-bak penampungan sang cukong
kemudian berubah jadi istana, permata dan betina
pemuas syahwat kaum hedon

valentino tak kan menangis
kasih sayang adam pada hawa
bukannya diwarisi hingga ke anak cucu
kabil si pejantan merenggut
dan mengubahnya jadi nafsu hewani
yang mengalirkan darah dan nanah
ngakaklah setan-setan di cakrawala

jakarta, medan dan kota-kota besar tergenang
membawa kabar tentang pohon terluka
darah... darah... darah amis dan kecut
sejarah terus berulang
sejak kabil membaui daging
dan melupakan habil sebagai saudara

valentino tak kan menangis
tak kan berteriak
air mata dan suaranya diredam
gemuruh bah dan balok-balok kematian
duka apalagi saudara
yang akan diwariskan para kabil
di negeri yang penuh bencana ini

Medan, Awal Maret 2007


Hidayat Banjar

Ke Mana Saja

entah di mana muaranya
akankah sampai ke pelabuhan
aku tak kan bertanya lagi
kedangkalan manusiaku menjelajah
makna kasih-Nya Maha Luas dan dalam
adalah utopia

ya, yang terbaik bagiku
bersandar pada arus yang membawa
perahu kecil dan oleng ini
ke mana saja

Medan Akhir Mei 2007


Hidayat Banjar

Kesasar

pertemuan ini cukuplah membasuh
dahaga teramat panjang
meski tak tuntas
biarkan jadi riwayat burung-burung malam
yang kesasar mencari sangkar
gelap memang kerap
membuat pekat segala harap


Akhir Mei 2007


Hidayat Banjar

Kenagan

telah kubiarkan kenangan memosil
tapi kau buka katup kebekuan
akhirnya meleleh
menggenangi jalan-jalanku
dan kau terkekeh menontonnya

berkali-kali kumohon sudilah membantu
menutup rapat semua pori
agar kenangan yang menggiring kita
pada cinta anak sekolahan
tak menjadikan kau dan aku pendosa
tapi tak kau hiraukan

sepi jualah yang mengantarkan
hari-harimu ke pelabuhan waktu
gosong jualah jiwaku
terpanggang api rindu

Akhir Mei 2007

PENYAIR URBAN

Hidayat Banjar

Kata-katamu Lepas

entah kenapa
ketika cerita dari negeri angin
bersimpangsiuran di ruang kerja
kau tak dapat memilah
antara kabar burung
dan cahaya tanpa bias
dengan kegarangan laut
kata-katamu lepas jadi tsunami
menampar nuraniku
hingga tercampak ke sudut-sudut gelap

kawan, bagimu mungkin aku sekadar sekrup
untuk mesin ambisi yang setiap saat
dapat kau putar arahnya sesuka hati

tidak kawan, aku manusia berjiwa
yang bersetia dengan beragam cuaca
tak pantas kau tujukan
kata-kata itu padaku: pengkhianat!

Medan, Pertengahan September 2005































Hidayat Banjar

Rumah Impian

rumah impian, rumah ketenangan
disusun dari tetes keringat dan air mata
satu-satu tetes keringat berubah jadi bata,
semen, dan atap
satu-satu tetes air mata berubah jadi fondasi,
tiang, pagar, dan jendela

rumah impian, rumah ketenangan
sendiri saja dirangkai
dengan tali kasih memayungi anak-anak
suami terkapar di jalanan
ditinggal begitu saja
dalam peristiwa tabrak lari

malam-malam ditampungnya air mata
dimasukkan ke dalam botol dot
paginya disedot sebagai susu
oleh keenam anak sibiran tulang

kini anak-anak sudah dewasa
dan membangun rumah impiannya masing-masing
jadilah wanita itu sebatang pohon di tengah gurun
dalam kemesraan sepi yang panjang

Medan, Akhir November 2006

























Hidayat Banjar

Demo Negeri Alpabet

suatu hari di negeri alpabet
berhimpun para huruf dari a sampai z
dengan aneka jenis: times new roman, arial,
palatino, book antique, dan lain sebagainya

“mari mogok! manusia sudah sangat keterlaluan
memanfaatkan kita dengan beban makna
sesuka hati serta semau mereka,” tandas a
“apakah tidak akan terjadi chaos?” tanya s yang santun
“bukan urusan negeri alpabet,” sergah b

akhirnya diputuskanlah
penduduk negeri alpabet harus melakukan demo
agar manusia tidak sembarangan
memanfaatkan mereka dengan beban makna
sesuka hati dan semaunya saja

negeri alpabet harus terbebas dari beban makna
yang tersusun dalam rangkaian kata

manusia, bukanlah manusia
kalau tak mampu menghadapi demo
negeri kerdil yang bernama alpabet

negeri itu ada di jemari, lidah,
otak dan hati manusia
sehigga dengan sangat mudah
dipermainkan begitu saja

maka adalah sangat wajar
pada titik tertentu
kata kehilangan makna

Medan, Awal Desember 2005
















Hidayat Banjar

Rekanku dan Dunia Maya

ada rekanku yang sepanjang usianya
nyaris habis di depan kotak kaca
berselancar di dunia maya
dalam kesendirian meretas ruang dan waktu
hanya dengan jari telunjuk
diselusuri labirin-labirin
dari gedung putih hinga bursa seks
dari ulama hingga penjahat
dari ibu suci sampai pelacur
kadang terkekeh-kekeh sendiri
waktu yang lain mengerutkan kening
sesekali orgasme dan tertidur pulas
adakalanya menangis tersedu-sedu

antara realitas dan semu
bersimpangasiuran di batok kepalanya
higga sukar membedakan celana atau pantat
tercampak ke dunia nyata
gemetar kakinya menjejak bumi
silau mata menangkap cahaya sebenarnya


Awal Desember 2005


























Hidayat Banjar

Kisah dari Negeri Semut

seekor nyamuk terkapar di sudut rumah
kekenyangan usai menghisap darah manusia
dalam sekejab beramai-ramai semut mengerubungi
nyamuk tak dapat melawan
dibawa ke gudang penyimpanan makanan
yang tak terlihat dari jendela dunia

di tengah perjalanan melelahkan
cicak mengendap-endap menyaksikan
sedapnya santapan dihedangkan para semut baik hati
dengan satu juluran lindah, nyamuk dan beberapa semut
yang coba mempertahankan makanan mereka
berpindah ke rongga mulut cicak
selanjutnya masuk ke dalam lambung
ribuan semut lainnya tak dapat berbuat apa-apa
menyaksikan perampokan
yang tak terlihat dari jendela dunia itu

beberapa lama kemudian
saat cicak menunggu mangsa
di kosen pintu rumah manusia
seorang bocah menutupkan daun pintu
terjepitlah cicak dan mati seketika
bangkainya lengket di kosen
namun tak terlihat dari jendela dunia
seketika ramai-ramai semut mengerubungi

“ayo seret makanan lezat ini!
dulu perampok makanan
sekarang sudah jadi makanan kita!”

bangkai reptil raksasa, menurut ukuran semut
dengan mudah diseret beramai-ramai.

Akhir Desember 2005















Hidayat Banjar

Sungai Waktu

sungai waktu yang mengalir
lembut maupun keras
mengantar kita ke kinian
sedetik kemudian semua jadi kenangan
sekuat apa pun keinginan kembali ke hulu
adalah sekadar menapak sejarah
dulu, di sini pernah terjadi ini dan itu

sungai waktu yang di dalamnya kita berenang
semula bening, hening
kitalah yang berkecipak tak tentu
membuat air keruh dan keheningan pecah
jadi hiruk pikuk
kita meraba-raba
mencari kesejatian sejarah

sungai waktu mengalir
mengikuti arus penciptaan
dengan kepongahan kita rombak alurnya
sesuai selera atas nama kuasa
pertikaian kabil dan habil
terus berlanjut memercik noda merah

sungai waktu terus mengalir
beraneka cabang
dan ke kinian adalah benang kusut
akankah kita dan anak cucu
mampu mengurainya?

Medan, akhir November 2006




















Hidayat Banjar

Lelaki, Rembulan dan Proyek
(untuk Tuan YZ dan lelaki pemburu daging)

lelaki terhormat menatap rembulan
semua sudah ia pasrahkan

rembulan menari-nari
anak negeri tak mengerti
nafsu, rembulan dan proyek
di antaranya adalah kebinatangan

terbuka katup
bebayang terus mengikuti
dan membawanya bercakap-cakap
semula di dalam goa
lalu hadir di pentas kehidupan

sudah terlanjur membias
lelaki, rembulan dan proyek
kenaifan di antaranya

cinta dan rindu yang sebatas daging
memamah lelaki terhormat tanpa sisa
ampasnya membusuk di septic tank

andai saja bukan lelaki terhormat
sudah kulumat kejahanaman ini
dengan kejahanaman yang lebih besar lagi

rembulan ngakak di atas proyek
selangkangnya berbau nanah.

Medan, Medio Desember 2006



















Hidayat Banjar

I b u

mengenang ibu
tataplah bumi yang tak pernah lelah
menyapih pepohonan dari fajar merekah
hingga ke peraduan malam

mengenang ibu
tataplah matahari yang tak pernah lelah
menghangatkan seluruh isi bumi
sampai malam memeluk
dan mengirimnya mimpi-mimpi indah

apakah ibumu seperti itu?

kawan, jika kehilangan kasih ibu
sesungguhnya kau telah kehilangan
separuh jiwamu

22 Desember 2006

































Hidayat Banjar

Pantai-pantai Itu

demikianlah pantai-pantai itu
memanggil para pejalan untuk singgah
bersidekap akrab asinnya laut
dan garangnya ombak

putih-putih kwarsa
putih-putih buih
hati yang tulus menerima kehadiran
wahai nakhoda merapatlah
lemparkan jangkar
ikatkan temali pada tiang-tiang
di pelabuuan

pantai jombalng lhokseumawe
16 september 2006


































Hidayat Banjar

Jomblang

jomblang kembali dikenangnya
sosok serupa pantai yang putih-putih airnya
sosok serupa kwarsa yang putih-putih berkilau

duhai dara
kenapa demikian menggoda
membuat nakhoda oleng
dan dalam ragu bertanya:
benarkah kau pelabuhan itu?

Januari 2007

GENERASI BARU

NIRWANA SUGUHKAN DUNIA BARU

ku temukan kawah berbalut embun
nirwana menyuguhkan dunia baru
disini dalam waktu
sisa-sisa pergelutan dengan ambisi
wajah-wajah sendu
mengisaratkan keteguhan hati

dalam detik tak seberapa
kutemukan mata air
membasuh dahaku akan ilmu
senyum penuh semangat

bapak?
abang?
kakak?
guru?
kadang kebimbangan menghampiriku
apa yang pantas menyapa wajah2 sendu

tapi untuk apa mencari kata yg tepat
yg pasti
ku temukan dunia baru
dunia penuh warna


komintasHp,2008
dijah

Senin, 14 April 2008

yunus

Tidada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati.
Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan.
Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya.
Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.”
Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana. “Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah.
Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu. Saat berdiri, seseorang tiba-tiba saja telah berada di hadapannya. “Yuri!” seru Tia kaget.
Yuri tersenyum tipis. Mengulurkan tangan dan berkata, “Abang sebegitu merindukanmu.” Dingin angin berkelebat seketika. Tia merasakan kedinginan itu pada genggaman Yuri. Betapa Tia ingin menyahut mengungkap kerinduan yang juga ia rasakan. Entah mengapa bibirnya justru terkatup.
Yuri tau dan menyadari apa yang Tia rasakan. “Tak perlu menjawab, dik. Abang mengerti, waktu telah tiba. Satu permintaan abang, jangan sesekali adik berpaling. Melangkahlah.”
Bel berbunyi, ketika Tia berada di depan gerbang lembaga pendidikan tempatnya mengajar. Hatinya tertanya akan ucapan Yuri. Apa yang dimaksud Yuri, jangan sesekali berpaling? Tia menoleh, tapi Yuri tak lagi ada dilihatnya. Secepat itukah Yuri pergi? Seperti sekelebat angin. Tia seakan merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa?
Hampir sepenjang jam mengajar gelisah menderanya. Tia kehilangan konsentrasi. Selalu saja ia teringat Yuri. Yuri seperti hadir di hadapannya. Tia meraih hp coba menghubungi telepon rumah Yuri. Dua kali yang terdengar hanya nada sibuk. Tia menunggu beberapa saat, lalu mencoba kembali. Lagi-lagi nada sibuk terdengar.
Tia memutuskan menghubungi Sujadi, sahabat Yuri sesama penulis. Menceritakan sekilas pertemuannya dan kegelisahan yang tengah dirasakannya.
“Kemarin kami masih bertemu. Selepas magrib Yuri beranjak pergi tanpa mengatakan hendak ke mana. Hanya ‘Ada janji yang mesti kutepati,’ sahutnya. Hanya itu, dik.”
“Coba abang upayakan menghubunginya. Jika ada khabar, sampaikan pada Tia ya.”
Dalam ruangan terjadi keriuhan. Murid-murid berteriak bukan lantaran mendengar bel usai jam pelajaran. Mereka heboh mengerumuni Bu Tia yang tiba-tiba terkulai tak sadarkan diri. Sebelum bunyi bel mereka mendengar bunyi hp dan melihat Bu Tia mengeluarkan hp dari tas. Seorang staf pengajar yang meraih hp itu dan membaca pesan singkat yang tertera.
****
Tia berupaya tegar melangkah memasuki rumah duka yang disesaki pentakziah. Ia terisak dan matanya sedemikian sembab. Jenazah Yuri berlapis kain kafan terbujur di hadapannya. Tangis sanak keluarga pecah tak tertahan saat diberi kesempatan terakhir melihat wajah Yuri. Tia merasa tubuhnya sedemikian ringan. Bagai mengambang. Nyaris tak dirasakannya jemari mungil gadis kecil menggamit lengannya.
“Ibu Tia, ya? Papa pernah memperlihatkan photo ibu. Papa berjanji akan mempertemukan ibu pada Yuni. Kata papa….”
Tia sontak merangkul gadis itu. Membelainya dalam tangisan. Keharuan kian menjalari ruangan. Prosesi pelepasan dan keberangkatan jenazah Yuri kini tiba pada penyampaian kata-kata takziah. Penawar duka bagi sanak keluarga yang yang ditinggal. Namun duka adalah sebentuk perasaan yang sebegitu cepat menjalari hati, lalu mengendap di dasar paling dalam. Itu yang dirasakan segenap pentakziah. Apalagi di saat Sujadi yang mewakili sahabat Almarhum, membacakan puisi: “terhenyak di duka menyentak/ kita baru saja bersama/ bercerita hingga lelangit malam memuram/ kita beranjak/ pagi tiba bersama sepenggal berita:/ kau telah tiada/ tiada pertanda, meski berkali/ puisimu menuang rindu abadi// sehelai kain merah terpacak/ perkabungan pun merebak// sahabat,/ menatapmu dalam diam/ duka ini kian mendalam/ kini kau pergi penuhi janji abadi/ selamat jalan sahabat/ di hati kami,/ kau tetap dekat/ karyamu selalu melekat/

cer yun

Tidada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati.
Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan.
Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya.
Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.”
Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana. “Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah.
Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu.

Rabu, 09 April 2008

Legam Berserakan

Puisi Djamal

Di Bibir Rindu


Sampai kapan kita duduk di bibir rindu
kian lama memendam sunyi

seonggok senyum telah kita rajut
bersama mimpi tak pernah terwujud

Medan, 2008

Masih Ada Keindahan Indonesia
Terinspirasi dari foto Herman Tobing

Dalam ruang ini aku selalu bersimpuh
tanpa setitik cahaya
hanya kegelapan menyelimuti hari-hariku
amisnya kotoran kelelawar
tak pernah kurasakan
pesing kencing membius hidung

Indah kurasakan ruang ini
sebab masih teraba olehku
ornamen-ornamen kotoran
yang membentuk mestika

aku terkesima
metitiskan air mata
hingga muntah darah

Ah, masih ada, alamku yang indah,
tanpa pernah dijamah?
hingga ia sempat
membangbangun pilar mestika

Oh, indah masih kurasa
“Indonesia tanah air kita”

Medan, 2008




Legam Berserakan

Masih terlihat aura wajahku di cermin
Pecah

Rindu aku,
pada suci air mengalir
tak singgah di muara wajah

Rindu padaMu

Medan, 2008

Jumat, 04 April 2008

Demonstrasi Warga Piring

Demonstrasi Warga Piring



sebutir nasi dalam makan siangku

memakiku ganas

aku tak terkejut

ini yang kelima dalam selasa ini

:menanyakan nasibnya

aku jadi sebal dibuatnya

bukan lantaran makiannya,

tapi provokasinya terhadap penghuni piring

tongkol, tahu, dan labusiam ikut-ikutan memaki

bahkan kuah kari berlagak pandai di depan hidungku



“makilah aku, dan kalian mati”,

aku tak mau kalah

“kukunyah dan kuhancurkan kalian

dengan gigigigiku yang terkenal bengis

kulelap ke dalam kerongkongan

dan kupenjara dalam perutku yang rakus berhari-hari”,

sambungku mengumpat

“gelaplah kalian, matilah tarian!”



sebutir nasi tetap memaki

dibarengi orkestra lauk pauk dengan tatapan sinis

mereka makin keras teriak

setelah garpu di tangan kiriku jatuh ke kolong meja

dan tak bisa diambil

sendok menjadi pengecut setelah sendiri

ia tersenyum menatap makian

aku dipojokkan

aku diadili



sebutir nasi yang terpulen berhardik keras

kali ini,

“keluarkan pernyataan terhadap nasib kami!”

susul tahu tak mau ketinggalan:

“ya! setelah kami hilang ditelan waktu,

kehidupan yang baru harus bernyanyi dengan merdeka!”

seisi penghuni piring makin riuh

mereka membikin tarian ombak di lautan ricuh

mengacung-acungkan kepal ke mukaku



jurus diplomatis kuperaga,

“kita lihat besok apa yang kukeluarkan,

di jamban”



seisi piring senyap

sebutir nasi bersembunyi di bawah labusiam

dimakan angin mereka





4 april’07 yang baru

kos raflesia, karawaci