Arsip Blog

Rabu, 18 November 2009

Biografi Chairil Anwar (1922 – 1949)

Biografi Chairil Anwar (1922 – 1949)

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”


PUISI HARTA PINEM

NANDE GODA

Aku, Nande Goda
lahir dari rahim Gunung Sinabung
ibuku, petani kampung
ayahku, bekas pejuang revolusi berpangkat kopral
waktu Agresi Militer II aku dibawa ibu mengungsi ke hutan
tidur berselimutkan daun-daun
makananku keladi rebus dan singkong hutan
begitulah, aku dibesarkan ayah dan ibuku dengan sederhana
bermenukan cinta dan kasih sayang
di tengah saudara-saudaraku aku disebut perempuan binal
dan gampang memberontak
setelah remaja aku dijodohkan kedua orangtuaku
dengan seorang pria sesuku yang lugu dan baik hati
keluarganya masih punya hubungan darah dengan keluargaku
kata ibu beliau masih ipar dekatku dari garis keturunan ayah
aku tidak tahu inikah namanya cinta
namun satu persatu anakku berlahiran
mereka semua butuh belanja
aku tak punya keahlian
sedang ke ladang bukanlah kesukaanku
pening kepalaku berhadapan dengan cangkul dan matahari
akhirnya aku jadi berjualan sayur ke pekan-pekan
sedang suamiku jadi petani jeruk di kebun
pergi subuh pulang malam kini jadi jadwal rutin keseharianku
mula-mula biasa saja dan rezeki mengalir ke rumah tangga kami
lama-lama karena setiap hari bertemu
aku jatuh hati pada sopir langgananku
dia sudah beranak lima dan aku pun beranak banyak
tapi dalam bercinta kami merasa jadi muda kembali
seperti buah durian masak di pohon
bau aib itu akhirnya tercium juga oleh keluarga
balik ke rumah seperti pulang ke neraka
suami kurasa jadi musuh besar
sang pacar gelap menghasutku bertindak nekat habisi nyawa suami
biar bebas perjalanan berbuat jinah
aduh cintaku!
17 liang di dadanya cukuplah
kata orang aku bejat moral
tapi bagaimana, tindakanku sudah terlanjur basah

Aku Nande Goda !
suamiku kubunuh dengan keji
begitu aku disuruh petugas berteriak


Aku Nande Goda !
suamiku kubunuh dengan tega
begitu aku digelandang berkeliling kota
orang-orang menyambutku dengan wajah murka
sambil meludahi wajahku
mereka sebut aku perempuan binal tak beradat
tapi bagaimana, perbuatanku sudah telanjur basah
kini penjaralah tempatku mengadu paling baik
rumahtanggaku hancur karena permainan gila!

Aku Nande Goda !
kata orang masa depanku sehitam malam
aib akan berbuahkan aib
tapi jangan hakimi aku dengan pedang murka seumur hidup

medan, 2006









PUISI HIDAYAT BANJAR

KARBALA

Karbala, empat belas abad silam
hari ini terulang
beratus-ratus Hussein dibantai
padang yang kini jadi wilayah Irak itu
hadir di pelupuk mata kita

Kepala Hussein-hussein yang menjadi bola
memang tak ditendang ke Damaskus
tetapi menggelinding sendiri
ke dalam rumah kita

Karbala, empat belas abad silam
menjadi mimpi buruk anak-anak kita
yang setiap jam pelajaran di sekolah
mendapat ajaran Pancasila

Karbala, empat belas abad yang silam
jadi sejarah yang aneh bagi Islam
kita hanya terbengong-bengong
menyaksikan para Ali yang tak dapat menangis
karena kehabisan air mata
Sampit......Sampit........Sampit
Aceh.........Aceh...........Aceh...
adalah Islam yang terkoyak

Karbala, empat belas abad silam
kita seperti tak bersudara dengan para Ali
terpesona kemilau pedang Yazid
yang haus kekuasaan
yang haus syahwat
yang haus segala-galanya
berlindung AlQur’an dan Hadist
yang telah diputarbalikkan

Karbala, empat belas abad silam
kemilau pedang Yazid masih menari-nari
di depan mata kita
di negeri yang penuh pesona
negeri yang subur dan kaya
dengan jutaan hektar hutan, perkebunan dan laut
dengan jutaan ton tambang emas, minyak dan gas
yang dapat dikeruk sepanjang tahun
namun tak didistribusikan dengan adil

Karbala, empat belas abad silam
hadir kembali di sini
negeri nyiur melambai
negeri yang sepanjang tahun disiram cahaya matahari
namun masyarakatnya kekurangan energi

Karbala hadir di sini
dengan panji Muawiyah
dan kitapun terbengong-bengong
diam seribu bahasa

10 Muharram 1422 H
4 April 2001


PUISI S. RATMAN SURAS

BALADA MARNI GADIS TEMBUNG

Matanya redup adalah sayap burung yang lelah
setelah terbang melintasi tanah jaluran kuburan yang resah
berhari-hari menyulam kain lusuh
disengat matahari terpercik gerimis tipis
yang menderas menjadi badai tipis

Ia lahir dari jaman serba bingung
bapak ibunya jawa generasi terkini
kakek buyutnya korban kuli kontrak kompeni
diperas keringatnya menanam tembakau deli
sampai bercucu-cicit di tanah ini

Sepetak kolam kangkung di tepi desa Tembung
harapan keluarga agar asap dapur terus membubung
walau hasilnya cekak ditilep harga yang terus melambung
sedang bapaknya cuma kenek kuli bangunan
bersepeda pancal kota yang tak nyaman

Selepas SMP Marni memberontak, saat ia ingin membeli bedak
ingin berpatut-patut di depan cermin yang telah retak
merias diri, merawat raga, sebab si Sarmin anak tetangga
perjaka muda sering mencuri wajahnya, dari balik rimbunan pisang
di suatu siang, ketika angin mulai semilir mengalir

Jika berladang tak lagi memberi harapan
tanah-tanah kebun jadi rebutan dan hunian
kebutuhan hidup makin merenggut
Marni bingung tentukan tujuan

Bersama Jirah teman kecilnya
yang telah gemilang meraih bintang
ia terpikat langsung berangkat, jadi TKW ke negeri seberang
gadis lugu nan ayu yang masih segar

Ketika tiba-tiba di negeri singa, Marni terjebak hitamnya lumpur
ia tertipu sindikat gelap dipaksa jadi gadis penghibur
hatinya pedih tersayat-sayat, impiannya seketika hancur
pada saat yang mendebarkan, ketika tangan-tangan kuat dan kekar
mulai gerayangan di sekujur molek tubuhnya yang terkapar

Marni berontak mulut terkatup batin gemeretak
ia jadi gelap mata untuk mempertahankan mahkota sucinya
dipecahkannya sebuah botol minuman beralkohol
ditikamnya perut buncit toke asing berduit
darah segar muncrat menggenang di lantai kamar

Kini ia hidup heboh dalam cerita berita duka-lara
namanya menghias menyita media massa dua negara bertetangga
orang-orang saling lempar tentang kebenarannya
kerabat dan bapak-ibunya di Tembung berpayung langit murung
anak gadisnya terancam hukuman gantung

medan, 2005-2006

PUISI HASAN AL BANNA

BELAWAN, KISAH SEBINGKAH KOTA

/1/
laut keriput, terasa aroma garam masam
dan kecut
saksikan bahu laut lebam menanggungkan
riuh-lalang perjalanan
lalu udara yang bersiut
seperti serbuk-serbuk besi tua
berat dan berkarat

ke mana camar-camar terbang
sambil menyandang sebuntal luka?

aroma tuak
menjalar dari riuk-derak lapak
kerumun laki-laki bersuara teriak
bernyanyi sambil meletuskan gelak
lantas tergeletak
dan selalu, bait-bait lagu
terperangkap di lingkar gitar tua

mmh, para gelandangan dan orang gila
senantiasa gagal mendirikan rumah

ruko-ruko renta
hasil senggama cina dan belanda
berjejer berhadap-hadap di kerut kota
aha, remuk-muram itu rupa
seperti para perempuan yang sejak lampau
kehilangan meja rias
dan yang tak pernah mengenal lelaki

/2/
dermaga adalah tubuh yang geletar
tapi tetap setia pada janji: “hai, turunkan saja
debar jangkar ke dangkal darahku
sekali waktu, tanpa aba-aba
laut akan mengokang badai
o, kapal-kapal yang kuyup
kemari, kalian akan kurangkul!”

masih adakah dada-dada yang berdebar
mendengar terompet kapal yang parau?

tapi dari ringkih kapal
cuma satu dua turis yang turun melancong
menelusur jalanan usang
atau sekadar menyodorkan cibiran
“buah tangan apa yang pantas
ditukar dengan dolar? Dan kekaguman
macam apa yang musti kami decakkan?”

amboi, adakah laut umpama kekasih
yang enggan mengirim kado?

ah, samar suara mesin sampan pencari ikan
adalah hasrat yang sekarat
berkisah tentang birahi laut
yang senantiasa luput terpagut
atau seperti igau para nelayan:”Tuhan, hanya
tengkorak ikan
yang terjebak di cemas jala!”

/3/
ai, apa yang merayap meniru seok kelabang
adalah kereta api barang, menggendong
gerbong panjang
menafsir jarak antara datang dan pulang
roda dan rel bak dua kelamin besi
yang memintal rindu
tapi tak pernah memercikkan api cemburu

anak-anak teramat lihai menanggal seragam sekolah
bereklebat menjelma bajing

demi menaklukkan terik yang berkelok dan terjal
truk-truk bermesin raung, batuk-batuk
berpundak lapuk, bernapas engah
memanggul peti kemas demi peti kemas
menyeret beban tak berkesudahan
merontokkan pitam asap
dan merentang beribu kelambu debu

entahlah, hilir-mudik orang-orang
semacam bayangan kelam yang menyedihkan

nun, kuli-kuli bertubuh hangus
bersaku tandus
masih terlatih mengintai sekeping harapan
tapi, bah, para tukang pungli
seperti berpinak dari rahim tikus
rakus
kapan mereka mampus?

Belawan-Medan,2006-2008


PUISI MIHAR HARAHAP

OHAMI

Ohami Ohami
Ohami Ohami

Siapa anakku, siapa
Anakku permata bundamu jelita

Puah. Atas kuasamu purnama raya melata di akar rimba
tepian jurang perkampungan baru bukit tajam dan jembatan
layang di bawah kali curam terbentang, sementara para
satwa mengangkasa ke awan-awan ke bintang-bintang langit
yang paling jauh. Atas kuasamu segala apa di antaranya
menjadi sempurna. Puah. Puah

Di mana anakku, di mana
Anakku melayang bundamu kepayang

Puah. Gemuruh ombak pulang ke ombak gemuruh rasa pulang
ke rasa, gerimis hujan terik mentari adalah denyut
jantung anak kembara juga pulang ke asalnya. Duhai duli
sembah harap, terimalah wewangian zikir dan asap dupa
yang menggumpal-gumpal melingkar-lingkar menujumu,
menujumu. Puah. Puah.

Kembali anakku, kembali
Anakku sembunyi bundamu mencari

Puah. Antara langit putih berjenjang naik bumi hitam
bertangga turun payung biru kuncup kembang mengapung,
di mana kau singgahkan makna peradaban penghujung?
Antara gelisah burung kehilangan dahan akar pucuk bilah
hendak tinggi menyapu buih laut ke tepi ke tengah,
di mana kau beri ini hati pasrah? Di mana? Di mana?
Puah. Puah.

Ohami. Ohami
Ohami Ohami

Inilah malapetaka. Dalam kamar gelap pengap tanpa
pintu dan jendela, tiba-tiba waktu bagai hantu yang
tiada menjadi ada. Ada anjing mengejar mangsa jerit
melengking. Ada wanita diperkosa jerit
melengking. Ada hamba dibentak ditembak jerit melengking.
Dan pada suatu saat, mereka menghajarnya, menyeretnya
Dengan ganas ke tiang gantungan. Duh, betapa perihnya,
ketika mereka menutup matanya, menjerat lehernya dan
bersiap-siap menarik urat nafasnya, “Ohami, adalah serdadu
kuda diburu, ekornya benalu melilit tali teraju. Tarik !”

Anak langitku belahan bumi
Yang muaranya hitam putih
Dalam gelombang gelembung buih

Puah. Wahai angin laut angin gunung semesta yang agung
Atas segala kuasamu segala apa diantaranyamenjadi sempurna
Dimana kau singgahkan makna peradaban penghujung? Di mana
kau beri ini hati pasrah? Wahai, duli sembah harap,
terimalah wewangian zikir dan asap dupa yang menggumpal-
gumpal melingkar-lingkar menujumu, menujumu. Puah. Puah.

Anak langitku titisan matahari
Yang cahayanya kunang-kunang
Dalam pandang sebatas bayang

Inilah kesaksian anak negeri yang mati abadi dalam hidup
tak berpri. Sebab mereka kemudi adili keadilan bukan
dengan kebenaran di atas kebenaran. Sebab mereka kendali
bijaki kebijakan bukan dengan kebenaran di atas kebenaran
inilah kesaksian anak negeri yang tanpa batas perkara
berani menatap bahaya menantang segala nista

Sebab kami bangsa merdeka merdekakan bangsa dengan
kebenaran di atas kebenaran. Sebab kami bangsa budaya
budayakan bangsa dengan kebenaran di atas kebenaran
“Tuhan, Ohami adalah serumpun bunga matahari menghiasi
halaman rumah yang hari ini mati karena musim kemarau.”

Subhanallah Wabihamdihi
Subhanalllah Wabihamdihi



SAJAK M. RAUDAH JAMBAK

SUNGAI PENGEMIS
1.
Seorang pengemis duduk di pusat kota
menggenggam terompet yang dibuang
oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi.
Seorang pengemis duduk di simpang kota
meniup terompet yang basah terimbas
air hujan. Suaranya tersekat.
Seorang pengemis duduk di tiang
lampu jalan raya yang mati arusnya,
pengendara satu-satu. Bibirnya membiru.
2.
Pada malam tahun baru ini, para pengemis
mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan
para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan
segala sisa.
sepanjang malam pengemis itu menahan
gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan.
Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi
yang terburai.
Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib
yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan,
lampu merah tak jua padam di antara langkah
yang tertahan
3.
dan perlahan suara malam senyap
meninabobokkan bulan di peraduan.
Suara terompet dan jerit petasan sedari
tadi telah dibungkam.
Menjelang pagi seorang pengemis
membangun kepingan mimpi. Bersama
tumpukan sisa hujan yang perlahan
meninggalkannya di sepanjang selokan
4.
Di antara pagi
Pengemis kecil duduk sendiri
Mendekap sisa hujan
Di dadanya
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu per satu
Pengemis kecil duduk sendiri
menumpukkan sisa nasib
mengumpulkan kepingan mimpi
dalam nyenyak tidurnya
5.
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
6.
Pengemis kecil bertubuh dekil
menyanyikan senandung sunyi
lagu dari segala kepedihan
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Pengemis kecil bertubuh dekil
Menghalau masa lampau
Tentang bulan dan matahari
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Sepanjang jalan raya
7.
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu rindu
Sisa mati lampu dan deru segala hujan
Entah tanggal yang ke berapa
Zikir mengalir
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
8.
Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiran
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun melayu
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Pada jejak-jejak perjalanan
9.
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah
Yang ditinggalkan peradaban kata-kata
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI
1.
Menyusuri sungai, ketekketek bersin
Menggeram pada isak gemuruh mesin
riakriaknya menari pada perih segala sedih
rindu muara penawar tubuh segala ringkih
di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita
di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca
tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari
melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri
bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur
yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur
di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian
ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian
selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci
di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi
Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan
yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan.
Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota
yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala
Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan
dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan
sepanjang hari awan merangkak pelan
mengabarkan permulaan salam perjumpaan
2.
Menyusuri sungai, terbayang segala kenang
tongkang menerjang. Berlari kencang garang
Permukaannya membelah memberi jalan Musa
dari kejaran raja Fir'aun yang memendam luka
Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata
Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota
Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga
rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta
laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam
terjebak monopoli minyak Fir'aun sepenuh dendam
yang usianya melampaui batas keserakahan
tentang sebuah keimanan dan keyakinan
anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman
kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan
saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang
begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang
sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri
yang bergoyang kita seolah diajak menari
3.
Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir
Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair
permukaanya menggelombang sesekali
di tepiannya bocahbocah telanjang menari
Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri
Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi
SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI
1.
pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu
tak kuharap kau senandungkan debu-debu
pun mungkin ceracau bajaj yang berlari
hiruplah aroma kesumat birahi ini
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
2.
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa kenang
hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang
aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah
yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah
3.
dan rauplah cuka
lalulalang aroma
segala pembusukkan
segala pembusukkan
2008
UJUNG PENA SUNGAI TINTA
1.
Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta.
Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota,
menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam
yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam
peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi.
Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi,
berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan
perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan.
Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta,
menggali sumur kata-kata pengab rahasia.
dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-
musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.
2.
Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis
sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis
Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena.
sebuah pesta dari segala napas peristiwa
cahaya matahari menghadirkan madu makna
menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta
terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana,
menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena
Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara,
bertopengkan segala wawancara para dasamuka
Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak
yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak
3.
langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa
membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara.
Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali,
meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi,
lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala
rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara
Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya,
memburu di setiap perhentian kata menggumulinya
untuk kemudian dilahirkan pada cerita
gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.
Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata.
Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa.
4.
Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna.
Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta
Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita,
mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata
Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap
pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap
di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa
membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca.
Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan
yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan
Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta
Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata,
Mewarta segala peristiwa.
Mewarta segala cuaca
2008
DOA SUNGAI KESEPIAN
1.
Di dalam ruang dadaku ada irama degup
yang menarikan jantung dengan irama tertahan.
Mendesah seperti tangkai ranting patah.
Irama itu kadang naik-kadang turun
menembus lorong-lorong di ujung telinga
mengiringi larik terakhir sebelum senandung
yang lesap terbawa angin.
Irama itu berhamburan pada sesak irama
pada degup dada yang menembus lorong
di ujung telinga yang berseberangan. Ada
isak yang mendesak butir embun jatuh
pada lembar waktu dan cucaca.
Lalu suhu udara yang berbeda membawa
irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang
akan mengantarkanmu pada alam, alam
yang sulit kau baca.
Dan akhirnya seperti yang telah kau duga
sebelumnya irama itu adalah lagu
dengan irama tembang kenangan
sebagai sebuah salam perpisahan.
2.
Aku tersedak dadaku menafsirkan detak
seluruh irama dari degup yang berbeda
menyatukan irama debar pada tembang
yang hampir tak terbaca
Aku tersedak merindukan lagu sukacita
memenuhi segala rasa bahagia yang pernah
dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan
aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama
kelumu menghardik harapku,
aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi
mulutku begitu kaku.
Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.
3.
Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau
kabarkan seperti sekawanan daun
yang gugur ke bumi.
udara dingin itu melahirkan beribu gunung es
di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku
yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil
tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap
ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.
Lalu bongkahan es itu perlahan mencair
Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur
Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.
Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan
sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan
suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya
yang lain ke negeri yang lain.
Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang
lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai
penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku
yang menghantarkannya pada degup isak
dari irama kebadian.
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED

PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK

PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK

SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN


entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi
dari pohon setua hembusan sedingin angin
warna buramnya sesunyi kalender yang
kelelahan disetubuhi beribu rayap
pengab !

waktu melesat begitu cepat
berkeliling merengsek masuk di celah-celah
reranting dan cabang. Begitu gagap

entah daun yang ke berapa gugur di diri
memilah warna matahari yang menembus
ke segala ruang dan lorong sesunyi titik
air yang menitis di atas lantai lunglai
sansai !

tanjung karang, 09

PADA WAJAH TANJUNG KARANG

Pada wajah tanjung karang bias senja menyambut rindu
Yang sempat terhanyut di gulungan ombak-ombak awan

Raden inten seperti dermaga kapal-kapal yang menghantar tetamu
Membagi cerita tentang sebuah kisah pengharapan yang mengharukan

Entah angin mana yang mengisahkan ceruk teluk merak belantung merindu
Seperti keinginan laut yang menggantungkan harap pantai berpasir putih kenangan

Bagus dan sapenan tak kalah gairahnya sebagai rumah kedua dituju
Dari kenangan sebuah kelahiran yang juga kembali kepada kenangan

Tangkil terlahir dari rahim mutun dengan sejuta gairah yang ranum
Ah, rindu itu bergumul memompa beribu gairah padang savana

tanjung karang, 09

KETIKA PERISTIWA

Seekor kucing mengendus rimah-rimah sampah di kepalaku
menjilati setiap sisa yang terbuang. Aroma busuk yang merasuk
adalah aroma surga mengundang musafir-musafir kelana
untuk sekadar singgah. Sekadar istirah

entah kali yang ke berapa kucing itu kembali memuntahkan
sisa sampah yang terkunyah. Entah kali yang ke berapa ia
tak lelah menjilatinya. Lalu, entah kali yang ke berapa
para musafir sekadar datang kemudian pergi

tanjung karang, 09

SELAMAT DATANG PADA YANG BERKUNJUNG

dengan segala hormat sepenuh hikmat kami bentangkan
pada tetamu yang berkunjung dan selamat datang
sebab, di ruang tamu hati kami kalian adalah sahaja
segala keagungan, maka nikmatilah

usah resah dengan segala sambutan yang sangat sederhana ini
bagi kalian yang berkenan singgah walau sekadar melepas istirah
sekadar melepas lelah

dari sepuluh jari dan sebelas dengan kepala kami tundukkan
pada tetamu dari segala penjuru berabad waktu memburu
sebab, dengan segala kesedrhanaan ini kalian kami jamu
semoga tak lekang ditelan zaman, tak hilang di telan waktu

tanjung karang, 09


SYUHADA YANG BERKENDARA GEMPA

Hari ini dan kemarin adalah hari esok
jalan kita menuju pintupintu surga
masuklah segera

gempa adalah sampan sajadahmu
yang paling gempita para syuhada
naiklah segera

maka, pada hari ini aku hanya bisa menabur
doadoa pada nisanmu yang entah tertanam
di bumi yang mana

TUJUH KOMA ENAM


Tujuh koma enam dinding itupun luluh lantak
selantak dadaku yang perih, seperih jeritan anak-anak
di bangsi

takpun bisa kuehentikan debar dadaku ini
meski sekejap gelap mata yang merembeskan
butiran kecemasan

kepadamu aku katakan, akan kubangun dinding baru
di dadamu dari padat batu yang masih tersimpan
di bara dadaku

maka, terimalah

DARI SEBUAH WASIAT SINGKAT

Aku kehilangan kata-kata ketika kau wasiatkan
berjuta kata yang tak sempat kusimpan
yang kau kirimkan dari sebuah pesan

pilu hatiku menyimpan lemari kata-katamu
yang terbenam batu-batu sepenuh gunung debu
memadat, memekat

dan dari sebuah wasiat singkat yang kau amanatkan
akan kukirimkan tanda beribu bunga doa
di atas sajadah pada makammu yang tak bertanda

KEPADA PARA PENGUSUNG DOA

Tahlilku tahlil sederhana mengiringi doadoa
yang menebar memenuhi semesta raya
mengetuk dadadada berlumur duka

tahmidku tahmid sederhana membunga doadoa
pada sekujur tubuh yang pasrah tak berdaya
dalam banjir air mata

tasbihku tasbih sederhana mengusung doadoa
yang tak pernah berhenti mengharap
demi sampai kepada bingkai cerita


BAYI KARDUS

Takkan kulepaskan kehangatan semacam ini
sebab, waktuku memang untuk untuk itu
berpeluk pada kenistaan dan keniscayaan
tak usah kalian menjaring air mataku
dan menampungnya dalam kolam
kepura-puraan

tak kurasakan kepedihan apalagi duka
sebab, aku hanya hampa dari kedukaan
yang tercipta dan diciptakan secepat
peluru dari sudut mata kalian yang hina
dibungkus yang menahun setua
kepengecutan

medan, 2009

ANAK MAMBANG

Katakanlah ibu dan bapakku mambang
yang berbagi peluh dengan suara gaduh
menanggalkan hiasan doa’-doa’ yang
sengaja digantungkan oleh ibunya ibuku
dan bapaknya bapakku

tapi, sadarkah kau kalau aku anak surga
yang dititiskan mambang-mambang
dari air hina mereka yang paling hina
dan beberapa tetes air mulia dari ibunya ibuku
dan bapaknya bapakku

medan, 2009


REMAJA SIMPANG

Dengarkan alunan musik yang kudendangkan
untuk kalian sengaja kuciptakan untuk mengukir
secuil permata yang tersembunyi digelapnya
ruang hati tak bercahya, ruang yang hampir mati

bukan kepedihan yang ingin kusampaikan
lewat lirik-lirik dari gitar dan gendang usang
tapi semacam pernyataaan keberadaan
bahwa kami adalah manusia juga

medan, 2009



LELAKI PETUALANG

Apalagi yang salah di dunia ini kalau kita sudah
saling mengerti seberapa banyak harga diri
yang sudah dijual beli

aku hanya berharap kita sama-sama faham
bermandi peluh dipelukmu adalah satu
dari sekian banyak goresan

dan yang paling penting
kau pun harus mengerti perjalanan masih jauh
masih banyak lembah yang harus dituruni
masih banyak bukit yang harus didaki

medan, 2009-09-30

SEEKOR KUCING DI PINTU
Seekor kucing mengendus di balik pintu
menatap gerak seekor tikus menuju pintu
aku terpaku menatap ke arah daun pintu
menembus masa lalu dari pintu ke pintu
seekor kucing menerkam tikus di balik pintu
yang tidak leluasa bergerak sebab terjepit pintu
aku terpaku menatap darah muncrat di pintu
mengenang luka menembus pintu ke pintu
seekor kucing puas meninggalkan pintu
meninggalkan sisa tikus membangkai di pintu
aku terpaku menghunus luka menuju pintu
membersihkan darah menutup masa lalu
sebilah pintu
SEEKOR KUCING MENGENDUS RIMAH SAMPAH
Seekor kucing mengendus rimah-rimah sampah di kepalaku
menjilati setiap sisa yang terbuang. Aroma busuk yang merasuk
adalah aroma surga mengundang musafir-musafir kelana
untuk sekadar singgah. Sekadar istirah
entah kali yang ke berapa kucing itu kembali memuntahkan
sisa sampah yang terkunyah. Entah kali yang ke berapa ia
tak lelah menjilatinya. Lalu, entah kali yang ke berapa
para musafir sekadar datang kemudian pergi
LUKISAN RAMBUTMU PADA KIBAR SENJA ITU
lukisan rambutmu merebak rindu di antara lulur debu
meretas gairah di antara bilurbilur biru di bawah remang
cahaya yang memburu waktu, ah aku seolah menemu
lakumu dalam dekapan diam tetapi nganga itu seolah
mencair di antara mimpimimpi semu
kemarilah !
biar kita kejar bias matahari di antara rintik gerimis senja
yang mengucur di kaca jendela menggelitik rasa kita
kau tentu mengerti betapa hasrat memiliki tak pernah
berhenti
dan tembang malam perlahan melintas dari jembatan senja
yang berkibar di antara kibar lukisan rambutmu mewarta
segala cinta, maka cuaca bukanlah penghalang segala cinta
dari segala tariantarian yang meliuk di antara lukisan rambutmu
pada tatap mataku yang menunggu
KAKIMU YANG MELANGKAH ADALAH
kakimu yang melangkah adalah tapaktapak yang membekaskan
segala sejarah di atas kering rumputrumput itu menyibak segala
rahasia yang tersembunyi di tepian trotoar berdebu dan irama
knalpot jalan raya yang menembus telinga para musafir jalanan
menembus segala tuju yang masih semu
kakimu yang melangkah adalah retakretak dadaku yang rerak
di antara tanahtanah membatu mencuri serpihan cinta yang
melayang seolah debu menembus dindingdinding angin
yang dingin menggigilkan segala hasrat yang sempat membara
dan lunglai bersama gugurgugur daun yang jatuh ke bumi
kakimu yang melangkah adalah getar segala debar yang terkapar
dari resah segala gelisah meliukkan hati yang gundah tentang
sebuah hasrat yang terpendam menembus dindingdinding diam
yang mewarta segala cerita menembus loronglorong hatimu
menembus kisikisi hatiku yang penuh kesumat berdebu
SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN
entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi
dari pohon setua hembusan sedingin angin
warna buramnya sesunyi kalender yang
kelelahan disetubuhi beribu rayap
pengab !
waktu melesat begitu cepat
berkeliling merengsek masuk di celah-celah
reranting dan cabang. Begitu gagap
entah daun yang ke berapa gugur di diri
memilah warna matahari yang menembus
ke segala ruang dan lorong sesunyi titik
air yang menitis di atas lantai lunglai
sansai !

1

Dalam Muktamar Tarjih telah ditetapkan bahwa untuk menentukan awal bulan Qamariyah dapat ditempuh melalui empat metode: ru’yaú al-hilâl; kesaksian orang yang adil, menggenapkan (istikmal) bilangan sya’ban 30 hari, dan hisab.
Ru’yau al-hilal dipergunakan oleh Muhammadiyah, manakala posisi hilal berdasarkan perhitungan sudah berada pada ketinggian yang memungkinkan untuk diobservasi. Jika posisi hilal sudah berada pada ketinggian tersebut, Muhammadiyah menetap kan awal bulan Qamariyah (akan memulai ibadah puasa Ramadan) berdasarkan rukyat.
Persaksian pada hakikatnya sama dengan cara yang pertama yaitu terlihatnya hilal, perbedaannya terletak pada langsung atau tidaknya bulan Ramadan (baru) itu dapat diketahui. Sedangkan cara yang ketiga dapat dikatakan sebagai pengganti cara pertama, sehingga dari segi ini dapat dikatakan sama dengan yang pertama (rukyat). Namun dari segi substansinya adalah hisab sekalipun masih sangat sederhana, dengan menggenapkan (istikmal) umur bulan yang sedang berlangsung selama 30 hari.
Jika posisi hilal tidak mungkin dirukyat karena berdasarkan hasil perhitungan posisinya masih berada di bawah ufuk, Muhammadiyah menggunakan istikmal sebagai jalan keluar ketika menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi, jika hilal itu tidak mungkin dirukyat karena tertutup awan atau posisinya masih berada pada ketinggian yang belum memungkinkan dapat dilihat, maka jalan yang ditempuh adalah hisab.
Dengan demikian, penetapan awal bulan Qamariyah menurut Muhammadiyah, pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yakni dengan melihat hilal (ru’yau al-hilal) dan hisab yang masing-masing dapat berdiri sendiri. Secara astronomis, hilal (crescent) itu adalah penampakan bulan yang paling kecil (tampak seperti garis lengkung) meng-hadap ke bumi yang terjadi beberapa saat setelah ijtima’.
Ru’yau al-hilal artinya melihat hilal pada saat terbenam matahari pada tanggal 29 bulan Qamariyah. Adapun yang dimaksud dengan hisab di sini, adalah perhitungan mengenai posisi hilal, apakah sudah berada di atas ufuk (wujud) atau masih dibawah ufuk (belum wujud). Hilal dapat dinyatakan sudah wujud jika matahari telah terbenam lebih dahulu daripada bulan.( Dadang Syaripudin, 2008)
Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Ramadhan jatuh pada Rabu 11 Agustus. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memastikan, permulaan pelaksanaan ibadah puasa atau 1 Ramadhan 1431 Hijriyah jatuh pada Rabu, 11 Agustus mendatang. Kepastian ini berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Penetapan tersebut juga sudah tertuang dalam maklumat PP Muhammadiyah nomor 05/MLM/I.0/E/2010 tanggal 16 Juli 2010 yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin dan Sekretaris Umum Agung Danarta.
Hasil perhitungan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Mumahhamdiyah menemukan bahwa ijtimak menjelang Ramadan 1431 H terjadi pada hari Selasa 10 Agustus 2010 pukul 10:09:17 WIB, sementara tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta berada pada posisi (f = -07 48¢dan l = 110 21¢ BT) = +02 30¢ 03², artinya hilal sudah wujud dan diseluruh Indonesia pada saat matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk.
Sehingga dapat ditetapkan 1 Ramadan jatuh pada tanggal 11 Agustus 2010. Sebelumnya, PWNU Jawa Timur juga sudah melansir perkiraan 1 Ramadan yang jatuh pada 11 Agustus atau bersamaan dengan penetapan oleh Muhammadiyah.
Disamping penetapan awal puasa, PP Muhammadiyah juga telah menetapkan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H jatuh pada hari Jumat tanggal 10 September 2010. Sedangkan untuk pelaksanaan hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 H jatuh pada hari Selasa 16 November 2010. Jika tidak ada perubahan yang signifikan, pelaksanaan awal puasa dan hari raya Idul Fitri akan bersamaan dengan jadwal yang ada dalam kalender umum.
Sedangkan hari raya Idul Adha, kemungkinan akan berbeda, karena dipenanggalan umum tertulis tanggal 17 November 2010. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghitung bahwa ijtimak menjelang Dzulhijjah 1431 H terjadi pada hari Sabtu, 6 November 2010 pukul 11.53.04 WIB. Sementara tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta pada posisi (f = -07 48¢ dan l = 110 21¢ BT) = +01 34¢ 23², yang berarti hilal sudah wujud dan di seluruh Indonesia pada saat matahari terbenam hilal sudah berada di atas ufuk.
Dengan demikian, tanggal 01 Dzulhijjah 1431 H jatuh pada hari Ahad tanggal 7 November 2010, sementara hari Arafah 9 Dzulhijjah 1431 H jatuh hari Senin, 15 November dan esok harinya hari raya Iduladha 10 Dzulhijjah 1431 H jatuh pada hari Selasa 16 November 2010.
Imbauan berkaitan dengan pelaksanaan ibadah puasa ini, PP Muhammadiyah juga mengeluarkan imbauan kepada seluruh umat Islam di Indonesia agar menjaga niat dan kemurnian ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya sesuai dengan ajaran Islam yang menjadi pegangan umat Islam dengan semangat menjadikan Ramadan 1431 H ini sebagai metamorfosis kehidupan dan proses transformasi diri dari keadaan yang serba negatif kepada keadaan yang serba positif.
Kepada warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya dihimbau dapat mengambil keberkahan Ramadan dari semua aktivitas positif dan dapat memajukan Islam dan umat Islam, termasuk dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan pemberdayaan umat.
Pada bulan Ramadan umat Islam hendaknya benar-benar berinteraksi dengan Al Quran untuk meraih keberkahan hidup dan meniti jenjang menuju umat yang terbaik dengan petunjuk Al- Quran. Berinteraksi dalam arti hidup dalam naungan Al Quran baik secara tilawah (membaca), tadabbur (memahami), hifzh (menghafalkan), tanfiidzh (mengamalkan), ta'liim (mengajarkan), dan tahkiim (menjadikannya sebagai pedoman).
Semoga Ramadan 1431 H akan mengantarkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melintasi abad ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis kemajuan informasi. Sedangkan Ramadan adalah bulan diturunkannya super-informasi, sumber dari segala sumber informasi yaitu Al-Qur’an, yang diturnkan kepada Rasusulullah saw untuk seluruh umat manusia. Marilah kita manfaatkan bulan Ramadan bulan yang penuh barokah untuk memperbanyak ibadah ritual dan ibadah social. Wallohu a’lam bishawab. ***

2

Sebagaimana ditegaskan Rasulullah menang dari dalam perang besar belum merupakan hasil perjuangan berat. Perjuangan yang paling berat adalah melawan hawa nafsu. Yang benar-benar disebut meraih kemerdekaan apabila kita mampu memenangi dalam melawan hawa nafsu. Kalau disadari, melawan hawa nafsu memang sangat berat. Dari segi bentuknya, hawa nafsu tidak pernah menjauhi kita, tetapi berada dalam diri kita sendiri.
Dari segi waktu, perjuangan melawan hawa nafsu tidak pernah reda atau berlangsung seumur hidup. Siapapun sulit menaklukkan hawa nafsu, kecuali mampu mendekatkan diri dan memohon perlindungan Allah. Menyadari hal ini, sangat penting memohon perlindungan kepada Allah siang dan malam agar senantiasa mampu melawan hawa nafsu. Perlu selalu merasa adanya pengawasan Allah kapanpun dan dimanapun berada.
Kalau kita memaknai dengan kehadiran bulan Ramadan tentu merupakan suatu momen yang paling tepat untuk memperbaiki makna kehidupan. Di bulan ini seorang muslim diharapkan dapat mengintropeksi dan merekonstruksi perjalanan hidupnya. Sasaran ataupun targetnya adalah agar fitrah yang sebenarnya dapat tercapai. Untuk meningkatkan semangat beribadah di bulan Ramadan, seorang muslim perlu mengetahui keutamaan, perjuangan dan harapan dalam menyambutnya.
Keutamaan
Di antara kelebihan Ramadan adalah, pada bulan ini orang-orang beriman dididik untuk berlaku disiplin dengan aturan-aturan Allah swt dan Rasul-Nya. Secara fisik, Allah mendidik untuk disiplin dalam mengatur pola makan. Secara psikis, Allah mendidik untuk berlaku sabar, jujur, menahan amarah, empati dan berbagi kepada orang lain, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Secara fikri, Allah mendidik agar orang-orang beriman senantiasa bertafakkur dan mengambil pelajaran-pelajaran yang bermakna bagi kehidupannya. Disamping itu, Ramadan adalah bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.
Ramadan merupakan bulan persaudaraan, dimana pada bulan ini Allah mendidik kaum muslimin untuk lebih mencintai dan peduli terhadap saudara-saudaranya. Rasulullah saw, mengajarkan agar kita ringan bersedekah di bulan ini, memberi makanan bagi orang yang berpuasa, menunaikan zakat, dan membuang dengki dan sifat-sifat buruk terhadap saudara kita.
Ramadan juga merupakan suatu momentum yang sangat tepat bagi kita kaum muslimin untuk menyamakan persepsi bahwa kita ini sebenarnya adalah satu tubuh. Apabila salah satu organ tubuh terserang sakit maka seluruh tubuh akan merasakan sakit yang sama. Diharapkan sifat peduli kepada antar sesama kembali bersemi setelah setahun pascaramadan tahun lalu yang mungkin sudah mulai pudar.
Diharapkan pascaramadan aneka amalan yang digalakkan selama Ramadan bisa terus berkelanjutan. Di samping itu, beberapa diantaranya kelebihan Ramadan adalah pada bulan ini orang-orang beriman dididik untuk berlaku disiplin dengan aturan-aturan Allah swt dan Rasul-Nya. Secara fisik, Allah mendidik untuk disiplin dalam mengatur pola makan.
Secara psikis, Allah mendidik untuk berlaku sabar, jujur, menahan amarah, empati dan berbagi kepada orang lain, dan sifat-sifat luhur lainnya. Dan secara fikri, Allah mendidik agar orang-orang beriman senantiasa bertafakkur dan mengambil pelajaran-pelajaran yang bermakna bagi kehidupannya. Disamping itu, Ramadan adalah bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.
Perjuangan
Untuk sukses menjalani Ramadan, dibutuhkan perjuangan-perjuangan yang tidak ringan. Dalam hal ini Allah hendak mengajarkan kita bahwa untuk sukses dalam kehidupan dunia dan akhirat dibutuhkan perjuangan, yaitu bagaimana mengendalikan hawa nafsu kita agar tunduk dan patuh dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, untuk memaksimalkan potensi Ramadan ini, sebagai seorang Muslim selayaknya kita melakukan beberapa hal.
Pertama, laksanakanlah ibadah Ramadan dengan cita-cita dan azzam (tekad) yang tinggi untuk memperbanyak ibadah pada siang atau malam harinya. Dalam bulan ini, disamping perintah berpuasa diharapkan menjadi momentum memperbanyak amal ibadah bagi umat Islam, dengan lebih giat lagi menambah amal kebaikan yang bersifat sunnatiyah (sunat), disamping yang bersifat wujubiyah (wajib).
Ini diperlukan untuk melatih diri dan mensucikan jiwa. Karena dalam bulan ini Allah membuka peluang bagi hamba-hamba-Nya untuk beribadah sebanyak-banyaknya dan pahala ibadah akan dibalas dengan berlipat ganda. Allah swt, mendidik kaum muslimin untuk merealisasikan misi hidup dengan senantiasa beribadah kepada Allah swt, sebagaimana firman Allah, katakanlah: “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Al An’aam:162-163).
Begitu juga interaksi kaum muslimin dengan Alquran dalam bulan ini harus lebih intens sebagaimana dicontohkan oleh generasi terdahulu yang mencurahkan waktu demikian banyak pada bulan Ramadan untuk berinteraksi dengan Alquran, baik dengan membaca, mentadabburi, dan mengamalkan kandungan-kandungan isinya.
Kedua, mengulangi kembali pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan puasa. Agar kita memasuki dan menjalani puasa dengan pengetahuan, pedoman-pedoman yang baik, serta pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Pelajaran itu bisa seputar rukun, syarat sah, syarat membatalkan, perkara-perkara sunat dan makruh, dan hikmah yang terkandung didalamnya. Kita perlu menguatkan ruhiyah, yaitu menenangkan jiwa kita dalam menghadapi bulan puasa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Ketiga, memperbanyak doa, semoga Allah swt memberi kesehatan, tenaga, kelapangan, dan kesempatan mengerjakan puasa sampai tuntas. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah supaya kita dapat berpuasa dengan hati yang jujur, tulus dan jauh dari riya’, ujub, dan segala penyakit yang menghilangkan pahala puasa.
Keempat, ucapkan tahniah (ucapan selamat) kepada saudara-saudara kita. Diriwayatkan oleh dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah senantiasa menggembirakan para sahabat saat kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah menggembirakan para sahabat dengan sabdanya, “Sesungguhnya akan datang kepada kamu bulan Ramadan, bulan yang diberkati, Allah mewajibkan kamu berpuasa di dalamnya. Pada bulan Ramadan dibuka pintu-pintu surga, dikunci semua pintu neraka, dibelenggu semua setan. Di malamnya ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak memperoleh kebajikan pada malam itu, berartilah diharamkan baginya segala kebaikan untuk dirinya.” (H.R. Ahmad dan Nasa’i)
Semoga kita bisa mengoptimalkan bulan Ramadan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), membersihkan hati, dan memperkuat simpul-simpul persaudaraan agar predikat taqwa dan orientasi kebahagiaan yang kita kejar bisa kita dapatkan.
Seorang muslim yang beriman akan menyediakan ruang yang seluas-luasnya kepada “tamu kehormatan” ini. Seorang muslim yang beriman tentunya akan menyadari akan keistimewaan bulan suci ini dibanding bulan-bulan yang lain. Bulan dimana segala kebaikan dikumpulkan, ketaatan dimakbulkan, segala doa dimustajabahkan, segala dosa diampuni, dan surga juga merindukan orang yang berpuasa Ramadan.
Tidak banyak di antara kita yang tahu persis tentang keistimewaan bulan ini. Rasul bersabda, “Jikalau umatku mengetahui akan kelebihan bulan Ramadan, sungguh mereka akan memintanya sepanjang tahun untuk puasa Ramadan.” Kita mesti menjadikan bulan ini sebagai bulan untuk merenungi dosa dan kesalahan yang pernah kita perbuat, menangisi diri di hadapan Allah, untuk meminta ampunan-Nya. Hal ini akan terhambat bila hati setiap muslim masih diselumuti kemunafikan dan kekufuran serta hati yang tidak istiqomah (tak berpendirian teguh).
Ramadan distigma sebagai bulan penyucian, bulan pengampunan, kita menjadi manusia baru sepanjang kita mampu melaksanakan puasa dengan iman dan ihtisab. Orang yang berpuasa yang berpauasa menjadi orang yang bersyukur menjadi manusia taqwa dan manusia yang cerdas. Luar biasa hikmah Ramadan.
Sebagai langkah awal adalah penting bagi kita untuk memahami bagaimana ”Ramadan bekerja” untuk menjadikan kita sebagai manusia Taqwa. Kita harus jujur bahwa kita bahwa bukanlah manuisa yang bersih. Ada banyak dosa yang telah kita lakukan. Bisa jadi dosa individu tetapi lebih banyak lagi dosa sosial. Ramadan adalah bulan yang paling tepat untuk memohon ampunan Allah .
Kondisi hati manusia memang tak pernah stabil, selalu berbolak-balik, menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan, maka hatinya akan merasa gembira, tapi ketika dilanda musibah, tidak sedikit orang yang berputus asa, lalu berpaling dari kebenaran. Kemantapan jiwa seseorang berbanding lurus dengan kualitas imannya.
Semakin menipis keimanan dalam jiwanya, maka semakin sering hatinya terguncang. Apabila keimanan dalam jiwanya begitu dalam (kuat), maka hatinya akan lebih stabil dan akan tabah dalam menghadapi berbagai kondisi yang dialaminya. Ketika seseorang mengalami kesedihan akibat dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat, maka bisa jadi orang yang beriman akan menangis karenanya.
Khusus dosa sosial mekanisme pembersihannya tentu berbeda. Sebelum kita memohon ampun kepada Allah Swt, kita harus menyelesaikan dulu dengan orang-orang yang telah kita jadikan korban. Caranya bisa dengan dengan cara minta maaf jika kesalahan kita non material. Seperti fitnah, hasut, pembunuhan karakter, dan lainnya.
Bisa pula dengan pengembalian materi jika kita pernah memakan harta orang lain. Syukur-syukur orang itu mengijinkannya Sehingga peran Ramadan jelas pada gilirannya mendidik kita untuk tidak lagi melakukan dosa sosial.
Menurut Rasulullah, kalau difahami manfaatnya, bulan ini akan sangat diharapkan kehadirannya oleh setiap manusia. Di antara harapan besar adalah mendapat ampunan dosa. Namun disebutkan dalam Alquran, hanya orang berfirman yang dipanggil khusus.
Orang beriman memiliki tingkat kemauan, kemampuan, dan keikhlasan yang tinggi sehingga mampu merawat puasanya hingga meraih derajat taqwa. Karena itu, perlu menjaga iman termasuk juga mempersiapkan diri, ilmu, fisik, harta, dan kesiapan anggota-anggota keluarga.
Oleh karena demikian, bulan Ramadan seperti yang telah dijelaskan diawal tulisan ini, adalah bulan terkumpulnya segala kebaikan, dimustajabahkan segala doa, dan di bulan ini Allah akan mengampuni segala dosa bagi yang bertobat kepada-Nya. Mari kita semua menangis di bulan ini, menyesali dosa dan kesalahan yang pernah kita perbuat.
Tingkatkan amal ibadah, semoga ibadah Ramadan tahun ini lebih baik dari Ramadan sebelumnya. Bertobatlah dengan penuh penyesalan karena hakikatnya kata Nabi, ”Tobat itu adalah penyesalan.” Semoga Allah mendengar tangisan penyesalan kita dan Allah ampuni dosa serta berikan kemuliaan dan kebaikan kepada semua kita yang berpuasa Ramadan dengan dasar tersebut.
Ramadan yang akan kita lalui pada tahun ini jangan sampai kita lewatkan begitu saja, tanpa peningkatan kualitas diri. Maka menjadi kewajiban kita bersama untuk memanfaatkan Ramdan tahun ini.
Akhirnya semoga Ramadan tahun ini benar-benar dapat kita jadikan sebagai momentum untuk lebih mendekatkan diri kepada Alquran. Agar kita dapat menjadi manusia yang termasuk orang beriman, menjadi hamba Allah yang berhasil dalam ibadah Ramadan dengan memperlihatkan ketaqwaan yang semakin kukuh kepada Allah Swt.
Maka semakin gemarlah kita melaksanakan perintah- Nya dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Bukan hanya pengakuan di hati dan mulut, namun juga dari perilaku yang sesuai dengan kriteria orang beriman menurut Allah dan RasulNya. ***
Puasa: Antara Kewajiban dan Rutinitas


3

Tahun ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, umat Islam kembali bertemu dengan bulan puasa Bulan dimana diwajibkan untuk puasa. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah;183).
Melaksanakan puasa terkait erat dengan eksistensi keimanan seorang hamba Allah. Makanya, diawal ayat ditegaskan; ”hai orang-orang yang beriman”. Dan tidak kalimat ”hai manusia”, sebagaimana juga ditemukan dalam ayat-ayat lainnya dalam al-Qur’an. Ayat ini jelas menunjukkan, bahwa puasa hanya bagi orang-orang yang betul-betul memiliki keimanan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah kewajiban, ibadah puasa itu memiliki toleransi-toleransi tersendiri, seperti juga ibadah salat. Jadi tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak melaksanakan salah satu rukun Islam ini.
Ada yang mengatakan, puasa tidak diwajibkan bagi orang yang sakit dan sebagainya. Pada hakekatnya bukan pada pelaksanaan puasanya, tetapi pada tata caranya. Bukankah masih diwajibkan kepada orang yang tidak mampu itu membayar fidiyah atau sebagainya. Itu menunjukkan bahwa puasa itu wajib dilaksanakan. Lain halnya dengan Haji yang hanya dilaksanakan bagi orang-orang yang mampu. Dan tidak ada kewajiban bagi orang yang tidak mampu untuk membayar fidyah atau lain sebagainya.
Pada hakekatnya puasa memiliki tujuan yang sangat unik, yakni mengendalikan hawa nafsu. Allah SWT sendiri telah menurunkan kenikmatan ke dunia ini tidak terhingga, sehingga dalam salah satu ayat Allah menyebutkan, bahwa jika kamu menghitung nikmat yang aku turunkan, seumpama digunakan seluruh ranting didunia sebagai pena dan seluruh laut dijadikan tintanya, niscaya tidak akan cukup menghitung nikmat itu.
Kecintaan Allah SWT kepada hambanya memang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Nikmat yang telah diberikan Allah, merupakan refresentasi dari kecintaan itu. Coba bayangkan kalau Allah mencabut satu nikmat saja dalam kehidupan kita. Hilang satu anggota tubuh, umpamanya, akan sangat terasa tersiksa bagi orang yang selama ini memiliki anggota tubuh yang lengkap. Atau contoh terkecil, nikmat makan. Kalau Allah mencabut kenikmatan itu dengan membuat sakit gigi, maka nikmat makan itu akan hilang seketika. Masya Allah.
Dalam surat al-Baqarah ayat 183, sebagaimana yang dikutip di atas, termaktub tiga hal yang penting untuk diperhatikan yakni terkait dengan; himbauan, kewajiban beserta alasannya, dan tujuan. Himbauan dan kewajiban itu satu hal yang biasa terjadi. Namun, tujuan adalah sesuatu yang menjadi penentu dari setiap jalan yang dilalui. Untuk puasa, maka tujuan itu bisa tercapai dengan menghayati arti puasa sehingga menjadi ”orang-orang yang bertakwa”.
Ahli tafsir Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyebutkan, ada dua hal untuk menghayati arti puasa. Pertama, manusia diciptakan Allah dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya, dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya, sehingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya wajar untuk menjadi khalifah dalam memakmurkan negeri ini. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi, Adam melewati (transit) di surga, ini dimaksudkan agar pengalaman yang diperolehnya di sana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokoknya di bumi. Pengalaman tersebut antara lain dalah persentuhannya dengan keadaan di surga itu sendiri.
Ada lima kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yakni kebutuhan fa’ali (makan, minum, dan hubungan seksual), kebutuhan akan ketentraman, kebutuhan akan keterikatan pada kelompok, kebutuhan akan rasa penghormatan dan kebutuhan akan pencapain cita-cita. Puasa yang kita laksanakan setiap tahun adalah untuk mengekang nafsu-nafsu atas keinginan duniawi.
Puasa itu pada intinya pengendalian diri. Mengendalikan atas kebutuhan fa’ali tersebut dengan waktu-waktu tertentu. Sukses dalam mengendalikannya maka itu adalah jalan keberhasilan dalam mengendalikan kebutuhan yang lainnya. Ketamakan, ria, iri dan dengki, sesungguhkan adalah sifat-sifat yang menjerumuskan manusia dalam kekufuran kepada Allah.
Tapi kita perlu mengoreksi diri, bahwa ada kesan, momen puasa yang datang setiap tahun, seperti terserap dalam makna lahiriah dan cendrung bermakna rutinitas. Sehingga puasa tidak dianggap lagi sebagai sebuah tempat untuk mengoreksi dan intropeksi diri. Puasa tidak dijadikan cermin untuk berkaca.
Sebaliknya, puasa sudah menjadi gaya hidup, bahwa puasa hanya untuk menahan lapar dan haus dan melarang menjalani hubungan suami istri pada waktu-waktu yang ditentukan. Dan puasa dijadikan hanya sebagai sebuah proses untuk menumpahkan perhatian pada kegembiraaan duniawi pada akhir masa puasa itu.
Kegembiraan dalam menyambut puasa dengan berbagai persiapan –bahkan ad dengan perayaan—dan kegembiraan menjalankan puasa tidak terletak pada seberapa besar kita menghabiskan uang untuk membeli kebutuhan keluarga. Kegembiraan puasa terpancar dari wajah-wajah orang-orang yang melaksanakan perintah puasa dengan khusuk, dan menghayati makna puasa sepenuh hati. Bukankah interaksi si kaya dengan si mikin tercermin dalam puasa?
Coba kita merenung, orang-orang yang selama ini tidak mampu dan baru bisa makan kalau ada yang memberi, bahkan sampai berhari-hari hanya makan seadanya. Dengan puasa, kita semua merasakan itu. Kita merasakan lapar, haus dan sebagainya. Rasa yang selama ini hanya ditanggung oleh fakir miskin. Pada bulan ini, Allah mengingatkan kita bahwa manusia pada hakekatnya merupakan sebuah umat yang satu, yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.
Janji Allah SWT diakhir surat al-Baqarah ayat 183 hanya bisa tercapai dengan seberapa jauh kita bisa mengekang hawa nafsu. Dan Syaitan –sebagai mahluk yang diciptakan untuk menggoda manusia bermain di wilayah hawa nafsu itu tadi. Dari sanalah puncak seseorang itu lari dan kufur dari nikmat Allah.
Dalam sebuah kisah, usai jihad dalam perang Badar, Rasulullah SAW berseru kepada kaum muslimin, bahwa usai perang ini, masih ada jihad yang lebih besar yang akan dihadapi umat muslim.”Jihad apa itu ya Rasulullah?” Tanya para sahabat. “Jihad melawan hawa nafsu, itulah yang disebut jihad akbar.”
Puasa yang datang setiap tahun ini adalah momentum yang tepat bagi kita umat Islam untuk mengoreksi dan intropeksi diri, yang merupakan bagian dari presentation of self (penyajian diri) terhadap sang Khalik. Inilah saya, yang mempersembahkan diri untuk-Mu.
Sebagai bulan yang penuh rahmat, Allah membukan pintu tobat sebesar-besarnya, dan memberikan berbagai bonus pahala bagi yang beramal sholeh. Kita perlu bersyukur, ada satu bulan dalam setahun yang disediakan kepada ummat muslim untuk berbuat amal yang balasanya yang diberikan Allah berlipat ganda. Inilah bulan ramadan, dimana nilainya lebih baik dari pada seribu bulan.
Namun, kita juga harus mengarifi apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW: ”Betapa sedikitnya orang yang shaum, dan berapa banyaknya yang kelaparan.” Dalam hadist lain disebutkan, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”
Menutup tulisan ini saya mengutip firman Allah; “Kamu tidak tinggal (di bumi), melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui. Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan yang mempunyai ’Arsy yang mulia. (QS Al Mu’minuun: 114-116). Marhaban ya Ramadan. ***

M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II).

Senin, 09 November 2009

puisi andi mukly

Sudahlah Nak !

Sampai larut malam begini
kalian belum juga berhenti
meneriaki cakrawala dengan suara keras dan lantang
main umpet-umpetan dan perang-perangan
di padang-padang yang lengang
tak hirau cuaca buruk menusuk-nusuk tulang rusuk
bahkan bisa merengguk nyawa sejumlah mata
sudahlah nak !
jangan lagi muntahkan peluru-peluru itu ke tubuh saudaramu
usah lagi ledakkan mercon-mercon beraroma kematian
yang menyesakkan dada-dada dan memekakkan telinga-telinga
akan lebih baik kalian istirah
menghirup udara kedamaian
lipat dendam yang lama berdiam di balik seragam
serta redam segala amarah yang kian menyala-menyala
dan menjelaga dalam darah
sebab hanya akan membuat kalian terluka jiwa.

Medan, Februari 2009


Kepada Nyi Yang Sunyi

Masih selalu kau rindukan anak-anakmu itu, Nyi?
anak-anak yang lahir dari rahim sorga
anak-anak yang kau jaga dan besarkan
dengan gelimangan kasih sayang dan cinta
sedang mereka telah jauh pergi meninggalkanmu sendiri
menenggelamkan setitik cahaya di wajah
seakan lupa sejarah moyangnya
si sulung yang kau bilang nasibnya paling beruntung
telah mengurung rindumumu di penjara luka yang purba
sedang si bungsu yang anggap begitu tangguh
juga telah membunuh mimpi-mimpimu di sepanjang waktu
biar ! biar airmata doamu itu tumpah membasahi sejarah
agar kami dapat membaca makna dari setiap tetesnya.

Medan, Februari 2009






Sampah

Wah-wah-wah !
sampah semakin merajalela
di mana-mana sampah
di kota
di desa
di tanah-tanah
di rumah-rumah
di sekolah-sekolah
di mobil-mobil mewah
di gedung-gedung megah
bahkan merambah bangunan-bangunan bersejarah dan bertuah
wah-wah-wah !
sampah beraroma busuk menusuk
sampah berasa kelat menyengat
sampah berwarna buram mencekam
sampah berirama sumbang meradang
sampah
sampah
woi, ini sampah siapa ?

Medan, Februari 2009

Goyang

Di seberang, anak-anak wayang paling doyan goyang
goyang asyik goyang enak
lupa binik lupa anak
goyang kiri goyang kanan
rusak hati hancur iman
goyang atas goyang bawah
yang ganas mangsa yang lemah
goyang maju goyang mundur
yang kumuh kena gusur
yang kaya makin makmur
ada juga goyang patah-patah
yang bisa bikin lupa ibadah
ada goyang gergaji
yang bisa bikin malas mengaji
tinggal pilih mau yang mana ?
tapi diantara goyang kaki, tangan dan kepala
anak-anak wayang paling suka yang namanya goyang lidah
enak tenan kata wong blingsetan.

Medan, Februari 2009
Bumi Gonjang-Ganjing

Bumi gonjang-ganjing
di lorong-lorong orang-orang pada bengong
sebab dilihatnya kucing kok menggong-gong
anjing kok mengeong
sedang di kandang-kandang
bebek-bebek masih mengembek.

Medan, Februari 2009

M. YUNUS RANGKUTI

M. YUNUS RANGKUTI

INI MEDAN, KAWAN

ini medan, kawan
kota menyimpan sejuta impian, selaksa harapan
kota di mana orang-orang memburu segala tuju
bagai beribu laron menyerbu lelampu neon
dan merkuri usai hujan senja hari

ini medan, kawan
tanah deli. tanah pernah tumpah keringat, air mata
dan darah para kuli, pekerja paksa dibawa belanda
dari jawa

sendu pilu membatu di perkebunan tebu dan tembakau
manis gula tebu harum aroma tembakau adalah
isak tangis rindu yang terbelenggu

ini medan, kawan
orang-orang saling gegas jalani rutinitas tak tuntas
ruang-ruang kota dipadati bebangunan
badan jalan disesaki kendaraan dan
kemacetan adalah suguhan paling membosankan
malam hari situasi bagai tak selesai
orang-orang tak henti menari mimpi gapai pelangi
di atas sungai deli bulan menyabit pucat pasi
tebing-tebing sungai menyempit dihimpit
dinding-dinding beton

pohon-pohon mati meranggas, karena akarnya ditebas
dedahan dipangkas biar pandangan bebas lepas
ditebang, agar tak menghalang tiang pancang
gedung-gedung menjulang

sungai deli kian merana, karena segala limbah
segala sampah muntah ke sana

inilah medan, kawan
guru patimpus kini jadi situs batu, bisu
istana maimoon jadi tempat melamun
titi gantung jadi saksi murung
rumah chong afie hanya menyisa mimpi

medan, 2009

Puisi Ahmad Badren Siregar

Puisi Ahmad Badren Siregar

Malam

Seperti cerita:
lengang simpang, bongkok tiang lampu,
dengan menjulur cahaya, yang entah sejak kapan
buram. Serta seorang pengembara,
bimbang pulang, atau menantang malam.

Tapi malam menitiskan rimbun sunyi, yang waktu itu
meminjam kisah rambut ibu, harum
seperti dulu, seusai keramas,
(seperti ada kilap pelangi ataukah lindap kilat berlari diantara awan?)
kau selalu menunggu kibasan rambut itu sebelum disanggul

Ya, malam memang seperti sebuah sekat dalam kitabmu:
bagian tanpa abjad yang diterjemahkan dengan kegelapan
namun namamu hanyalah sebaris kata yang lupa dicatat malaikat

Puisi-puisi Ilham Wahyudi

Puisi-puisi Ilham Wahyudi



Ilustrasi
/
Minggu, 19 Juli 2009 | 03:54 WIB
KORAN ESOK
aku masih diam. ia kesepian di ruang sempit seperti kotak lemari es yang sangsi. ada lelaki berkumis lele melotot di televisi layar datar. dia tertawa mulutnya penuh popcorn asin. anakku menangis minta sebotol bir bintang. aku kian diam. ia menuangkan rindu ke dalam mangkuk merah yang sejak tadi kedinginan di lantai. “hari inikan ada siaran langsung pelantikan presiden kulit hitam?” dia memencet-mencet remote hitam itu. “ah, tau apa kau tentang rindu!” ia berteriak. tapi anakku bukan setan minum susu siluman.
di luar. suara-suara serak berserak. juga kaca-kaca ruko retak. ia menggigil padahal hari panas terik. seseorang mendekatinya – dengan senyum paling manis; di punggungnya ular-ular mendengus kelaparan – memberinya selimut dari kain spanduk yang sering tergantung di jalan-jalan. gambar-gambar orang-orang di pokok-pokok kayu dan tembok-tembok kusam itu tersenyum. “jangan lupa pilih saya lagi!”
di dalam. anakku tegang menggenggam belati…
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
PEMABUK
Oia, akukan pemabuk
Hantu malam dari lubang jahanam
Anjing liar dari kebunkebun pembantaian
Tolong tuangkan lagi luka itu, kawan!
Gelasku sudah kosong, lagi pula lambungku masih lapang
Memendamnya.
Cengeng!
Jangan kau habiskan air mata itu, tolol!
Besokkan film horornya masih diputar
Apa?
Kau bilang film komedi yang membuat kau menagis?
Hahahaha…puji tuhan!
Lantas mengapa kau menangis?
Kau menangisi mereka – orangorang suci itu?
Hahahaha…ternyata kita sama rupanya, kawan
Hantu malam dari lubang jahanam.
Taik kucing!
Aku melihat taik mata di bulan
Kau mengajakku begadang?
Dendang lagu dendang rindu
Akh…pilu!
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
PREDIKSI
“Ayo kocok lagi batu dadu itu!” ia berteriak.
Ia merogoh saku celananya; meraba keberuntungan yang mungkin masih tersisa.
Di seberang jalan seorang pengemis berlari menggendong ketakutan;
segerombolan polisi pamong praja menggenggam pentungan.
“ Cepatlah. Kau masih mau main apa tidak?” ia mendidih.
Lelaki itu mengocok batu dadu tapi mulutnya menyemburkan mantra-mantra.
Dia mengirim doa ke langit sebab anak-istrinya kelaparan di rumah.
“ Satu. Tiga. Dua. Kecil. Hahaha …” suara lelaki itu membuncah ke langit.
Lagit gelap. Hujan turun tak beraturan.
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
GADIS LEMBAH SEBERANG
kalau langit mengijinkan
bulan purnama ini aku akan menyuntingmu
gadisku
gadis terang dari lembah seberang
pikat sukma jiwaku melayang
katakan pada seluruh tetua di sana
tak usah menyembelih binatang ternak
aku telah memotong sembilanpuluhsembilan
kerbau putih
tigapuluhtiga jenis rempah-rempah dari tanahku
sembilan daun sirih macam rasa
serta tiga kilo emas putih
sebagai maharku
gadisku,
kelak masaklah apa yang kita tanam dari kebun-kebun pengharapan
suapi si bungsu dengan senyum yang kau pamerkan saat pandanganku terbentur matamu
pegang juga pundakku sebab aku akan menggosok rasa letih yang menempel di kaki jenjangmu dengan seluruh keringat yang kutampung dari sekujur tubuhku
mengendongmu ke ranjang yang dipenuhi bunga-bunga mawar
gadisku,
gadis terang dari lembah seberang
bersiap-siaplah aku akan segera datang
mencurimu dari kedua orang tuamu
orang-orang yang memperdulikanmu
tanah yang selalu merindukanmu – sepertiku –
selalu
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
SAMPAI BATAS SENJA
Kekasihku ingin aku menggendongnya sampai batas senja
sehingga ia dapat melihat matahari berendam di perut bumi
burungburung pulang dengan perut kenyang
bulan cemas sebab awan sedang bersedih
mendengar rintih katak yang kesepian di pinggir kolam
dan mana tahu gerimis kali ini sudikiranya turun membasahi
pipi merahnya seperti purnama
kekasihku juga memintaku menyayikan lagulagu rindu
agar suasana hatinya yang kacau berangsur normal
sejak pertemuannya tempo hari dengan seekor ular
semuanya tibatiba jadi berubah
seolah ular itu adalah isyarat tentang usianya
tapi kekasihku, ia tidak percaya pada katakataku
bahwa semua itu tak ada hubungannya samasekali
pada usia yang telah tuhan tetapkan batas ujungnya
kekasihku semakin erat memelukku, sangat erat sehingga
aku sulit sekali bernafas dan berbicara kalau aku sepenuhnya
setia bersumpah takkan meninggalkannya, walau sedetik
tapi kekasihku makin kuat memelukku dengan kedua lengannya yang beku
lalu kurasakan pundakku hangat menampung gerimis yang pelanpelan turun
aku mencoba menoleh ke pundakku; apakah ia menyaksikan gerimis ini turun?
sebab sudah sejak lama ia ingin sekali menyaksikan gerimis turun di batas senja
tapi apa yang kusaksikan bukanlah wajah bahagianya
melainkan mata kekasihku terpejam lekat
di batas senja yang pekat
dan gerimis, benarbenar gerimis
Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi
CINTA KIAN MEMBENTANG
– untuk kawan kawan di pabrik kopi
mereka tak menemukanku lagi di sana:
kebahagian adalah senyuman
cinta yang menyembur dari mata
menyelinap di katakata kami;
kini dulu
aku ini batu kata karung goni
sahabat luka kata kopi
tawa canda kami memekik
pada mesinmesin penimbang berat
dan diamdiam telah kami curi kebahagian
dari celah celah butir keringat
(satu awan gelap memandang sinis
teh manis kami tumpah – kadang juga kopi
baju kami basah
akh, lupakan saja, kita gulung lagi tawa
hahahaha)
roda waktu mengejar nafas
senyum anak kami; ingin disuap
lonceng berdentang:
sayur dari dagingku; ikan dari darahku
makanlah, nak
rinduku makin gila:
pun tak kusangka
acap kali aku tergoda
menjual lambungku
kau pisau tumpul tapi tajam
ada logam tikamlah
sampailah pada ujung perjumpaan:
seluruhnya menjadi kenang
kunangkunang malam yang terang;
cintaku kian membentang – samudera
Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi
KAPAL BUAT IBU
Ibu, kelak aku besar nanti
aku akan membuat sebuah kapal, untukmu
kapal yang lebih besar dari yang pernah dibuat nuh
untuk istrinya, anakanaknya, umatnya
dan seluruh binatangbinatang hidup di dunia saat itu
kapal yang akan membawa kita mengelilingi
pulaupulau selatselat samuderasamudera
bahkan benuabenua yang belum pernah kau bayangkan
atau kau dengar namanya selama hidupmu
kapal yang akan menampung segala keluhkesah kita yang abad
sehingga wajah kita yang pucat tak lagi mengenal kemurungan
aku tahu ibu, engkau ingin sekali pergi ke ujung dunia
kau percaya kalau di sana tuhan menyembunyikan tulangtulang
ayah yang tenggelam saat bertarung melawan gelombang
yang sinis pada ketangguhannya menakluki laut membelokkan angin
percayalah ibu, aku anakmu lakilaki yang kau besarkan dengan kepal tinju
dengan keringat yang mengucur dari dindingdinding dahimu bagai hujan lebat
akan mewujudkan seluruh mimpimimpimu yang selama ini mengantung
di langitlangit kamar kita yang bocor dilumat usia
sekalipun aku harus menghabiskan seluruh sisa hidupku membuat kapal itu
ibu, tak ada di dunia ini yang lebih membahagiakan bagi seorang anak lakilaki
selain ia dapat melihat senyuman mengembang bangga di wajah ibunya
senyuman yang nyata surga di dalamnya
senyuman yang menumbuhkan bungabunga harum
sungaisungai yang jernih dari kedalaman cinta
senyuman abadi yang tak luntur usianya di hati, selamanya

Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi

LEMARI
setiap kali,
aku memandangi lekuklekukmu
selalu kutemukan masa kecil
memanggilmanggil seperti azan subuh
syahdu berbisik di telingaku yang tenggelam
dalam mimpi
pinggang lurusmu berwarna cokelat
dengan dua pintu besar dan satu pintu kecil
ada juga lubang besar di lambungmu
tempat biasa aku meletakkan buku buku
kadang juga sepatu
seolah sedang menyambut kedatanganku
yang kadang buru buru
tapi kau,
kau tak sekalipun pernah buru buru
mengabarkan lukamu
luka dari waktu
rayap lapar
tangan tangan jahil
juga kecerobohan
di kaki pincangmu itu,
dulu sering kusembunyikan uang logam
setiap akhir pekan
uang itu kubelikan permen karet
sisanya selalu kutempelkan, di sana
di perutmu
ada sebuah cermin retak;
buram, kusam
seperti sebagian kisahku
kini,
ibu ingin membuangmu di jalan;
agar orang orang mengutipmu
tapi aku tak ingin membuang kenang..
Ibu: ini sudah usang, nanti biar pak kumis letakkan di pojok jalan
Aku: jangan dibuang, bu…
Ibu: kalau begitu jangan pergi lagi, tinggallah di sini
Kupandangi lagi kau tak jemu
tak jemu
tak
jemu.. tak
Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi
BIODATA PENULIS
Nama : Ilham Wahyudi
Lahir : Medan, 22 November 1983
Alamat : Jalan Puri Gg. Repelita No:18b Medan, Sumatera Utara
Pendidikan : Alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Sosial & Politik, Jurusan Komunikasi
No Kontak : 085297480535
Saat ini bergabung dengan D’lick Theatre Team di Taman Budaya Sumatera Utara, dan aktif di salah satu komunitas film di medan (Lt2 Art Community)

SEORANG ANAK MUDA MASA KINI MENULIS PUISI TENTANG PAHLAWAN DAN KEMERDEKAAN

MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA?
M. Raudah Jambak

Masih merdekakah kau Indonesia
setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya
dalam kaleng rombeng
recehan angka milik pengemis belia
yang mendendangkan kidung lara
bersama hembusan dupa dari opelet tua
asih merdekakah kau Indonesia
ketika musyawarah berubah dari mufakat
menjadi siasat
ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat
ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan
dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa
Masih merdekakah kau Indonesia
dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya
karena matamu telah dibutakan
dan mulutmu disekat rapat-rapat
serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa
Masih merdekakah kau Indonesia
padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata
dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka
Masih merdekakah kau Indonesia?

Matahari Tepi Pantai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta di sela-sela pegunungan
merambat pelan-pelan dalam bias cita-cita

di puncak musim angin begitu landai
pada pelepah pohon kelapa
:terdengar anak mengaji alip ba ta
riak-riak biasa dalam sebuah pemahaman
debur ombak hanya menerjang karang
seperti piatu, mengetuk pintu mimpi membuka
telapak kaki ibu
ia pun menemukan buih
yang meretas sepanjang jarak sepanjang waktu
lalu, langkah lenyapkan buih yang gaduh
di bubungan rumah jiwa kita
menetes tes sebutir embun
menetes tes sebutir keringat
menetes tes sebutir air mata
: biru itu harus tergapai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta disela-sela pegunungan
meski badai, biru itu harus tergapai

medan,5-Januari-2005

Bismillah

bismillahirrohmanirrohiim
demikian kumulakan segala permulaan

sesungguhnya segala perbuatan
dimulai dengan niat

bismillahirrohmanirrrohiim
mulailah dengan langkah kanan
bismillahirrohmanirrohiim
mulailah dengan tangan kanan
bismillahirrohmanirrohiim
perkuatlah dengan husnuzon
bismillahirrohmanirrahiim
enyahkanlah segala suuzon

bismillah adalah ucapan yakin melangkah
hapus segala hujjah, hapus segala resah
anak yang mengerahkan segala pada ibu
pertiwi yang selalu gelisah
lantas, alhamdulillahirobbil'alamiin,
pertanda syukur sepanjang umur
demikianlah, sejak lahirnya anak manusia
polos dan tanpa ikatan, tak ada sepotongpun
yang terbawa dibawah nisan
lantas, mengaca pada masa lalu perlu
tetapi bertindak untuk lebih maju, justru fardhu
dari tanah akan kembali ke tanah
dari air akan kembali ke air
dari angin akan kembali ke angin
innalillahi wa innailaihi roji'un
untuk apa lagi kita saling berbantah
niat ikhlash atas ridho dan rahmat
itu pencapaian memperoleh syafa'at

mari yakinkan langkah dengan bismillah
tanamkan segala pujian hanya pada Allah
semoga segala niat memperoleh rahmah

medan-2004/2005

Indonesia Berkaca

telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa


Nama : Maya Ramadhani
Alamat : Jl. Pelita I Gg. Saudara No. 4 Medan
Sekolah : SMUN 6 Medan
Puisi :

Derita Wanita Merdeka
dipungutnya jejak-jejak yang tertinggal
di atas granit-granit hati
yang tercipta dari kebekuan rasa
inikah derita wanita merdeka ?
tanya mereka pada nestapa
yang selalu bayangi tiap langkah kaki mereka
yang selalu terhembus dari tiap helaan nafas mereka
inikah derita wanita merdeka ?
yang terseret arus dunia
dan menjadi pemungut dosa-dosa
dijalanan khatulistiwa ibu kota
dimana katanya merdeka ?
bila kami para wanita harus terjajah
inikah derita wanita merdeka ?
hanya menjadi rayap malam
lalu terhempas oleh pagi
dalam keterasingan
inikah derita wanita merdeka ?
yang terbebas dari kolonial penjajah
namun,terjajah oleh miskinnya negara

Nama : Dian Khairani
Alamat : Jl. STM no. 9 Medan 20219
Sekolah : SMK Negeri 3 Medan
Puisi :

Belawan Kita
Kami mengungsi lagi, saat dua geng ribut-ribut di tengah kampung
Dua orang geng barusan mati, teriak pemuda tanggung
Bukan dua, tiga, kamu salah dengar
Cepat, kita harus bergegas, sebelum rumah kita dibakar
Sebelum si Ujang dibantai dan si Butet diperkosa
Ujar seorang bapak yang suaranya serak
Menahan linangan air mata.
Tidur ya?
Sambung si ibu dan anaknya mengangguk dipangkuannya
Tetapi matanya tetap saja menyimpan telaga
Ada apa, mak?
Mengapa darah harus ditumpahkan?
Ternak kita mereka tombak?
Warung nasi kita mereka bakar?
Hanya karena telinga mereka tak bisa mendengar
Atau Hati mereka tak dapat bersabar?
Jangan berduka !
Besok sore, kita bangun lagi rumah kita
Dan lusanya, belawan kita pasti aman
Karena hari itu 17 Agustus, 59 Tahun sudah negara kita merdeka

ama : Ahmad Fajar
Alamat : Jl. Laboratorium No. 9 Medan
Sekolah : SMU Plus Muhammadiyah Medan
Puisi :

KUBAYANGKAN
Kubayangkan menulis puisi
tuk Ibu tercinta
Hingga akhirnya putus ujung kalam lidahku
karena tajamnya kata dan panasnya hati
Kubayangkan sedang membuat surat cinta
tuk kasihku sayang
sampai habis kertas di dunia
tuk tumpahkan isi hatiku
Kubayangkan kiniku terbaring dihamparan
lautan emas dan perak dunia
Namun,ku bermandi di kubangan darah
dan airmata,di dalam rebusan nanah iri,
dengki yang kusemai dendam padanya
Kubayangkan isi penaku habis
di saat kubuat puisi ini
yang hancurkan hati meregang jiwa dari raga
mengembara di jagat raya mencari Tuhannya
Kubayangkan pabila aku
tak lagi perlu hidup di dunia ini
menyemai dosa
menuai azab
Kubayangkan semua manusia lenyap
tak berbekas
hingga hilang angkara murka
dari atas muka bumi ini
Kubayangkan jadi elang
yang punya sorot mata tajam
dan kekuatan lahir
tapi ia tumpul mata hatinya,
lemah batinnya
Kubayangkan jadi pembunuh yang haus darah
dan tangisan korban
yang memohon agar tak dibunuh
Kubayangkan aku adalah bom
yang guncang Legion & Mariot
yang bungkam keriuhan dunia sesaat,
mengundang derai tangis
banjiri tanah dewata dan metropolitanku
Kubayangkan aku tak lagi
berkhayal tentangku,tentangmu,
tentangnya dan tentang mereka
Namun,ku kan terus menulis hatiku,
hatinya,dan hati mereka
di prasasti yang kuukir
dengan darah aneka bangsa
Nama : Pandapotan MT Siallagan
Alamat : Perumahan Mutiara Permai Jl. Serai Blok B No. 25 Sp. Panam, Pekanbaru Riau 28293
Puisi :

Setelah Bambu Meruncing Lagi Diraut Airmata
: a/
setelah bambu-bambu itu meruncing lagi diraut airmata, kami menugal tanah-tanah yang telah terbakar di dalam jantung kami. kami tanami harapan-harapan, dan membesar jadi pohon-pohon di sepanjang usia kami. lalu hutan-hutan membentang lagi di dalam mimpi-mimpi kami. tapi, setiap kali kami terjaga dihentak doa-doa, kami selalu menemukan bambu dan pohon-pohon itu meranggas lagi. ranting dan daun-daun beterbangan jadi asap, menyesaki nafas kami. tapi kami perintahkan anak-anak kami mengibarkan bendera pada bambu dan pohon-pohon itu, agar kami bisa lagi membaca angin, dan bernyanyi:
indonesia raya...merdeka...merdeka...
b/
setelah pada bambu dan pohon-pohon yang terbakar itu kami kibarkan bendera, kampung kami memancarkan warna merah dan putih. kami takjub, dan berpawai merayakan kemenangan itu. tapi kami tiba-tiba tersentak. kami ternyata sedang berjalan di atas genangan darah, tulang-tulang saudara kami berserakan di halaman. kami ternyata tidak sedang mengibarkan bendera untuk memugar hutan, tapi melukis tanah dengan darah. dan menyusun serakan tulang-tulang jadi jalan raya.
c/
lalu kami berjalan di atasnya, mencoba membunuh ketakutan dengan ketajaman doa-doa. kami jelajahi jalan-jalan menuju kebebasan. tapi kami tersesat. jalan dan gang-gang tak cukup panjang menampung dosa-dosa kami. kami tersesat di tubir tebing, gagap menemukan peluh kami telah menjelma jadi lautan gelap. mimpi-mimpi kami mengapung, mengintai sejarah perjalanan kami, lalu menerkam kami di jurang yang mencuram digali luka kami.
d/
akhirnya kami putuskan untuk rehat, lelap memeluk duka sendiri, tidur di kamar yang kami tukangi dengan airmata kami sendiri. dan di dalam mimpi kami, anak-anak bernyanyi:
indonesia raya...merdeka..merdeka...
e/
kami menghayati nadanya dengan jiwa yang berdarah,
dan menjadi kian tak paham memaknai kemerdekaan
kamarpilu, pekanbaru, 11-08-04
Nama : Prakoso Bhairawa
Alamat : Jl. Bambang Utoyo Lr Sianjur I No. 584 rt 05 Lemabang Palembang
Puisi :

Bercerita Sekawanan Camar; episode 2
Malam berganti
sekawanan camar kembali memecah bayangan matahari
memulai cerita pagi tentang hidup generasi Adam-Hawa
yang selama dimensi waktu menjiarahi peradaban
dengan dongeng cinta, mimpi klasik, harapan
dan memainkannya pada panggung bernama dunia
lewat dialog rangkaian kata sarat makna
keluar melalui rongga diafragma dari tiap hembusan nafas
Sekawanan camar asyik memainkan angin
menangkap butir partikel cerita
dari pemuaian ekosistem pasir putih
di mana riak laut senantiasa mencumbui bibir pasir
dan bercanda bersama anak-anak pesisir
meski habitat mereka mulai kehilangan
ketika tiap jengkal pasir diperdebatkan
dan orang-orang ramai meninabobokkan cemara
dengan syair gergaji mesin bahkan
berani menguji keperkasaan karang dengan peledak
Camar-camar bercerita bergantian satu sama lain
camar besar tak mau kalah dengan camar kecil
si kecil tak mau diremehkan
ia punya cerita tentang air mata
anak pesisir selatan yang terlahir karena nestapa
di mana setelah semalaman melaut Bapaknya tak kembali
lantaran malamnya jadi korban bajak laut
dari utara camar besar membawa kisah tragis
tentang Rama yang tenggelam terseret ombak
dan Shinta hanya melihat lambaian terakhir
Sekawanan camar kembali berputar
memainkan angin bersama matahari yang terus meninggi
dan camar tertua mulai menutup cerita
“Utara – Selatan selalu punya cerita bagi
kita yang mendiaminya dari musim ke musim
sebagai sebuah catatan panjang kehidupan”

Catatan: Kemerdekaan dapat diartikan sebagai sebuah kebebasan. kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi. begitu juga hal yang diinginkan dalam puisi ini. semua memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat biar dia kecil maupun besar, karena kebebasan, kemerdekaan milik kita semua
Nama : Hasan Al Banna
Alamat : Jl. Balai Desa Gg. Antara No. 84 Timbang Deli Medan Amplas
Puisi :

BELUM JUGA, NAK
maka selamat jalan, anakku. selamat berjuang
sebab hari ini
kita belum juga merdeka
bukan, bukan belanda yang datang menyerang
tidak, tidak jepang yang kembali menerjang
tapi sanak sendiri yang mengangkang
menghadang
dengan senjata terkokang
tapi jangan takut, anakku. jangan surut
sebab kulahirkan kau
bukan sebagai pengecut
itu terik yang memanggang
itu hujan yang merajang
itu peluru yang mendesing-melintang
adalah buai-sayang yang membawamu pulang
ke rumah atau bahkan ke liang?
lantas jangan menyerah anakku, jangan kalah
sebab sepercik doa
telah kusulut di sumbu darahmu.
Medan, 2003-2004
Kategori : Pelajar
No Peserta : 335
Nama : Nurazizah daulay
Asal Sekolah : SMU sultan iskandar muda
Puisi

biarkan jemariku memilihmu
ketika gemericik dedaunan mengalunkan nada seindah dawai yang dipetik para dewi
izinkan jemariku memilihmu
ketika semilir angin melenggok, meliuk lalu mengelus pipi-pipi perawan
izinkan jemariku memilihmu
ketika para setan berpesta, meminum tuak kebobrokan etika
ketika para wayang saling sikut, menyulam kemelut jadi benang kusut
ketika air bah menyapu rumah-rumah reot di negri yang juga reot
hingga
ketika kamboja akan jatuh di atas kepalaku
jika mungkin,
tetaplah izinkan jemariku memilihmu
"puisiku"

Medan, akhir juni 2004
Kategori : Pelajar
No Peserta : 328
Nama : Maya Rahmadhani
Asal Sekolah : SMUN 6 MEDAN
Puisi :
Oase Sabana
Aku lara dipenghujung hunusan
pedang sang pendusta
Aku lemah diantara oase jiwa-jiwa padang sabana
Lelah aku mengendapkan bermil laut
laraku di dasar amazon terdalam,
dijulangan kebekuan everest teringgi,
dan digersangnya angin gunung sahara
Jiwaku terus mengembara tak tentu arah
diantara ombak-ombak laut,
badai-badai gurun dan
dinginnya gletser-gletser es yang mencair

Kategori : Pelajar
No Peserta : 232
Nama : MHD. HENDRIANTO
Asal Sekolah : SMUN4 MEDAN
Puisi

USANG
Ku buka peta perjuangan bangsa
usang dan penuh debu
sebagian rusak dan termakan jaman
ku buka peta perjuangan bangsa
ada pemuda berjuang
membanggakan ibunda
Indonesia...
ku buka jendela kamarku
di sana tak kulihat lagi
pemuda yang cinta kepada ibunda
Indonesia
Kategori : Pelajar
No Peserta : 314
Nama : FITRIANI RAMBE
Asal Sekolah : SMK.S.TELKOM SANDHY PUTRA

Nyanyi kecil

Lelah bermain lalu tidur
lupakan kekalahan tadi, saat bermain
lelapkan semangat sedikit berbunyi
kekalahan tadi tangis buat ibunda
bocah kecil berlapang dada,
mengisi tetes air mata,
dalam nyanyi kecilnya.
Bocah kecil mengurai waktu
suasana sama, batas tak terlihat
kekalahan dari segalanya
juga tangis buatnya
mengisi nyanyi kecilnya
pada permainan yang tak tertuntaskan
pada segala kecewanya.
Kategori : Pelajar
No Peserta : 69
Nama : Sholahuddin
Asal Sekolah : SMK 1 BATAM
Puisi:

Penghancur Bangsa
kabut surya telah menggepar di atas awan
tumpahan darah yang bergelinang dimana-mana
diamkah dia ??
diamkah dia ??
aroma kematian telah mendatangi tubuh kami
hingga mau merenggut apa yang kami telah dapati.
wahai saudara sadarlah engkau
sebelum engkau diteriaki maling oleh pengikutmu sendiri.
janganlah engkau menghancurkan putra-putri bangsa yang telah mekar dan berkembang
bunyikan saja loncengnya biar terdengar semua orang pertanda ajal insan akan lenyap.
kala sang surya tak ceria lagi seperti dahulu

Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 327
Nama : ELIDA WANI LUBIS
Asal Sekolah : UNIMED
Puisi

Perempuan Monalisa
Sebutir nilam menggelinding
Menjelma perempuan monalisa
Berdiri di tengah kobaran api
Menarik perhatian
Pemimpin
Pengkhotbah
Pengembara
Penipu
Pemerkosa
Hingga total memacetkan lalulintas.
Perempuan monalisa
Memberontak dari kepungan penelanjangan
Satu persatu ia tanggalkan pakaiannya
Semua mata terbelalak
Sekian nafsu berlompatan ingin menerkam
Gemuruh guntur meledak ditengah arena
Perempuan monalisa
Hanya dia yang mampu pertaruhkan nyawa
Demi satu benih cahaya bangsa
Anak keseratus,keseribu
bahkan kesejuta ribu anak bangsa
Perempuan monalisa
Pandanglah ia sebagai seorang ibu
Bukan pemuas nafsu
Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 248
Nama : Nur Hilmi Daulay
Asal Sekolah : Unimed
Puisi

Ibu, Aku Ingin Merah Putih Reinkarnasi
Pernah Ibu,
seduku merayu
ketika awan-awan itu kelabu
ketika bening yang harusnya berjabat tangan
berubah jadi roda-roda elmaut menggilas
lawang di perbukitan tinggal kenangan
Pernah Ibu,
lukisan yang kutoreh di atas kanvas
kusobek-sobek hingga letihku
karna setiap kali kuas kugerakkan
yang terlukis hanyalah kelam
yang terlukis hanyalah perang
yang terlukis hanyalah keranda-keranda kusam
lalu tak sengaja,
tinta merahku tumpah dan semua hanya darah
Pernah Ibu,
nuraniku tak mampu membendung sesal
sedih yang menikam teredam dengan serapah
aku marah !
ketika merah putih yang kau jahit hanya jadi penutup mayat seorang Ersa
tak cukup Ibu !
kali lain kulihat kain berwarna sama menutupi seorang Ferri
merah putih itu ikut terkubur mati
ada apa dengan anak-anak Ibu ?
tak cukupkah hanya seorang jurnalis?
lalu jaksapun harus melengkapi catatan kelam museum peradaban kita
hhh...
untung saja ada Ferri lain yang enggan mencatatkan dirinya pada museum yang sama
tahukah Ibu?
ketika itu sungguh
aku ingin merah putih reinkarnasi
Ibu,
aku berhasrat, suatu hari membeli kanvas baru lagi
melukis merah putih berkibar jauh lebih tinggi
mewarnai merahnya jauh lebih berani
mewarnai putihnya jauh lebih suci
aku
ingin
merah putih reinkarnasi !

Tanah Air, akhir juni '04
Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 209
Nama : Dian Trisna Sari
Asal Sekolah : UNIMED
Puisi :

Kerinduan
Merayu lagu rindu terbenam dalam sepi
Menikam siang dan malam di celah tebing hati
Lukisan kisah lalu terlintas kembali
Kala akhir berjabat kian menusuk diri
Menggumpal ku pendam asa ‘tuk bertemu
Mencari detik indah dalam salam membatu
Menggunung rasa kepada nama penuh cinta
Merajut senyum di langit jiwa
Terbungkam membisu, adakah ia tahu ?
Pohon kerinduan terus tumbuh subur di dinding galau
Terhanyut dalam nikmatnya nada rindu
Riang merajut mimpi, bilakah bertemu ?
Bergayut meninggi mencari hari
Meronta menggenggam tiang hati
Menitipkan asa di balik daun bertemankan matahari
Mengharap tunas rindu memucuk datangnya hari
Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 351
Nama : Soni Harianto
Asal Sekolah : Politeknik LP3I Medan
Puisi

Untaian Kata Buat Maya
pinjami aku bahasa...
kan ku ungkai menjadi kata...
tuk uraikan luhur budi, agung pekerti
anugarah Ilahi Rabbi untukmu, seorang putri
pinjami aku mimpi...
kan ku bangun istana syurgawi
dikelilingi nirwana dan rerimbunan bunga
dan jadikan engkau ratu bidadari
pinjami aku waktu
kan ku pahat rindu yang syahdu
yang jernih sebening cahaya surya pagi
yang putih sesuci embun di kelopak daun
pinjami aku pena
tuk goreskan lagi tinta
karena ku t'lah kehabisan kata
karena aku bukanlah penyair itu
yang pandai simpulkan kata lewat irama
yang pandai lembutkan batu yang t'lah beku
aku hanya penyair amatiran
yang ciptakan puisi dari kenyataan
dan kau adalah kenyataan itu
yang terus bersinar seiring waktu
Kategori : Mahasiswa
No Peserta: 143
Nama : Muharijal
Asal Sekolah : Politeknik Negeri Medan
Puisi :

Kemana Hilangnya
Malam itu langit tertunduk
Bulan dengan kedua matanya terbelalak
seakan terkejut ketika gaungan suara
menghambur keatas.
Dentuman suara tembakan itu
tak sedikit pun menggeser tapak kaki kami
yang sejak matahari terjaga
telah menyentuh pipi bumi.
Kami hanya berteriak
teriakan yang selama ini dicekik ketidakadilan
mulut kami terbuka lebar memuntahkan
keperihan kami.
Dor..,rebah dari kaum kami
membelakangi langit yang sedih
menetes darah perjuangan dikulit pertiwi
meresap hingga menyuburkan semangat
untuk tetap berjuang.
Kilat menangkap gambaran malam kelam
bayu menerpa daun warna - warni
digundukan tanah hunian penyampai lidah.

Kategori : Umum
No Peserta : 338
Nama : damayanti
Puisi

aku seorang janin
kegelapan ini membuatku akan lelap,
tapi bingar membuatku terjaga
hanya sakit yang pahit
karna bibirku tertohok jariku
"ibu aku akan sumbing"
bingar itu memporak-porandakan impiku
gelegar itu pada siapakah bertuan?
seorang tuan majikan melontar maki pada perempuan yang oroknya kutumpangi
"ibu, suara papaku melengking"
kegelapan ini membuatku akan lelap,
tapi gontai yang tercipta membuatku terjaga
ada tangis meraung
kecewa mengapung
sesal membubung
lalu kulihat perempuan ini berhenti di sebuah rel tua yang banyak menyimpan cerita tentang yawa-nyawa tak berasa
kegelapan ini membuatku akan lelap, gundah benar-benar membuatku terjaga
perempuan ini menjajakan dirinya di depan kereta
aku meronta, histeris
"ibu, kereta itu tak bermata"
tapi aku sumbing, yang terdengar hanya desis
kegelapan ini membuatku akan lelap,
lelap dalam gelap yang panjang
biarkan !
dalam terang nanti akan kutulis cerita buat tuhan tentang episode ini
"aku seorang janin "
Kategori : Umum
No Peserta : 247
Nama : M.Raudah Jambak
Asal Sekolah :
Puisi

Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana, di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang
Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan
Medan,03-04
No Peserta : 206
Nama : Yusrizal S Siregar
Asal Sekolah :
Kategori : Umum
Puisi

Sebuah Keberangkatan Sunyi
tak henti-hentinya angin mengirimkan dingin
kebekuan serta kebisuan telah menyelimuti
wajah-wajah batu
melukis sepi tanpa tepi di bola mata
menghujamkan belati sunyi
jauh ke dalam rasa kesendirian berabad
melayangkan ruh-ruh
mengiris bentangan hening yang purba
helai-helai rambut gugur
tatapan-tatapan patah berkabut
laksana antrean panjang sebuah keberangkatan
tanpa stasiun
tanpa kereta
di atas rel-rel waktu menuju keabadian
hanya doa dan air mata, mengantar keberangkatan
ini
di bawah sunyi kamboja.
Tanah Air, Juni 2004.
Yusrizal S. Siregar.
Kategori : Umum
No Peserta : 235
Nama : Zakir
Asal Sekolah:
Puisi

Kau Akan Menjemput Puisi Ini
mungkin hanya tetes hujan yang tahu
kalau telah kulengkapkan tangismu
pada daun-daun yang berjatuhan
kita harus tampung air hujan
seperti kita menampung kemiskinan
telah kulengkapkan puisi ini dengan sepi
ada juga airmata, sedikit senyum kecu
aku masih menunggu di gubuk ini
dari jendela kutatap langkahmu
mungkin kau akan menjemput puisi ini
Medan, 2004
ategori : Umum
No Peserta : 274
Nama : Hasan Al Banna
Asal Sekolah : Medan

Fragmen Sajani
tidak ada yang diwariskan bapakmu untuk kau anakku
selain matamu yang sipit
sedang hitam kulitmu seperti kulit ibumu ini
seperti kebanyakan warna kulit orang pribumi
(entah istilah apa itu, nak ?)
jika kau besar nanti, jangan sulutkan api dendam
kematian ayahmu kepada siapapun
sebab ia hanya terjebak kerusuhan hebat ketika itu
jangan, jangan kau kobarkan amarah durja
nanti para ibu-bapak, istri-suami dan anak-anak
menangis tersedak kehilangan para sanak
jangan belajar menyenangi darah dan luka
nanti sulit kau menafsir airmata; sedih pedih duka dan lara
bahagia atau hampa ?
maka pandanglah hidup ini lewat mata telaga
bertuturlah dengan wangi bunga
sehingga rumah mungil yang kelak kau huni
menjadi persinggahan ribuan rama-rama
yang menelurkan mutiara
dan bukan tempat serigala
memburu mangsa
maka demi bapakmu yang mendekap bumi
menyanyilah dengan gembira, anakku
menarilah kau seriangnya
biar darahmu tak sembarang gelegak
biar amarahmu tak gampang meledak.
Medan, 2003

No Peserta :
1061
Nama Peserta:
Praben Gusti Purnama Sari
Asal Sekolah :
SMAN 1 Pemali-Bangka
Posting :
28122004 , 14:36:58 WIB
Puisi :
Sajak tentang Seekor Camar

Sekawanan camar mengumandangkan lagu perih
lantaran gitar tempat seekor camar bersarang
dipetik jari-jari terluka dan
bulan dimalamnya pun menyanyikan
lagu sunyi dalam kekecewaan
bersama ombak yang meneriaki gelegarnya
membelah karang di tepian
perih terasa sampai ke hati
tapi ledakan baru bermula

Seekor camar berteriak
memanggil harinya dalam keadilan
sepanjang tahun menangis
meratapi luka di pulaunya bersarang
tiap putaran waktu hanya ada
kour dari mesin tambang
membuat kepala sesak
udara panas dan melebarkan luka

Dari tepian bibir pantai camar masih
melihat sebentuk harapan pagi yang mungkin
datang bersama matahari dimensi baru
karena ia yakin cerita duka lalu
tak akan terlihat di hari paginya
No Peserta :
1442
Nama Peserta:
Hardy Okuli
Asal Sekolah :
SMA N 1 Onan Runggu
Posting :
07012005 , 19:35:46 WIB
Puisi :
Menyulut Angan

seusai kuputar waktu
searah tanjak arus usia remajaku dan seusai kukemas mimpi
menjadi kenangan kumuh,
aku akan menguapkan segala
juntal keruh air mata lapukku, akan kujerang
dengan senyum yang memparah
sampai lukisan sedih yang terukir dari terik rinduku
akan terbakar, hangus bersama kedip-kedip hari

sesudah itu,
akan kudaki bukit-bukit awan
meskipun hanya dengan tapak lamban yang belum pasti jadi.
bulan tetap akan kujangkau.
dan dari sana,
bintang tembaga akan kulekang
sampai senyumku kembang seranum purnama

dan dengan bersampankan mimpi,
masih akan kudayung pelayaran senjaku
ke dermaga beku yang hampa tangis
tempat di mana akan kuperamkan tungguku di atas kasur luka
hingga laju kereta anganku
tiba di depan peron waktu yang berpeluh-peluh
sampai senyum kita
benar-benar dapat melingkup telaga gelap
yang meluapkan bau keringat jalanan kemana-mana
agar kelak kita bersama mencicipi adonan waktu
dengan liur yang berulur-ulur pada lumbung cita
sehingga tak akan pernah ada raga berpeluh sia-sia

rembulanpun telah panik menyaksikan ringkasan mimpi kering ini
dan terdengar bisiknya seolah saat ini akan tuntas sebait celoteh bocah
yang berjudulkan bara derita yang akan segera padam oleh hujan malaikat
yang akan menyayat akar-akar lukaku.

No Peserta :
2736
Nama Peserta:
Suryani
Asal Sekolah :
SMPN 1 Sy.Bayu
Posting :
31012005 , 11:55:22 WIB
Puisi :
Nyanyian Pengungsi

Tanah kering rerumputan
Terik hujan permainan
Malam pekat ketakutan
Perut kosong kelaparan

Inilah nyanyian kami
Baitnya lahir dari lara di jiwa
raga dengan duka meranggas
masuk lewat celah bilik sempit,
menghimpit,membusuk,muak!

Kami makan lapar
Kami minum haus,
Air mata kami karamkan pilar sejarah ini

Kini, kami adalah gagak
yang mencakar kuburan sendiri
berharap temukan sisa bangkai
pengganjal nafsu sesaat.
Tak ada lagi tempat berpijak selain gemuruh menampar rejam bumi

Jangan,simpan saja reportase itu
Luka lama kami masih membiru
Belatungnya pun belum usai menari.

Wahai tuan pemilik merah putih!
Terimakasih kami ucapkan
Telah kau beri kami harga
dengan sebungkus mie
Telah kau bawa kami bertamasya
hingga kenal penjuru negeri ini

Tapi, kami lihat...
sayap kemerdekaan negeri ini telah patah
Tak mungkin menerbangkan kami lebih jauh lagi.
Biarkanlah kami menabur benih di puing cinta kami

Ladang gersang kami minta disirami
Ilalang rumah kami minta disiangi
Bocah kecil kami minta disekolahi
Tak perlu kami jadi turis di negeri sendiri!

Tanah kering rerumputan
Terik hujan permainan
Malam pekat ketakutan
Perut kosong kelaparan

No Peserta :
1934
Nama Peserta:
hannanur
Asal Sekolah :
SMUN 2 Pemko lhokseumawe
Posting :
19012005 , 15:02:14 WIB
Puisi :
Bait do'a

Doa masih melengking di busung lapar anak kami.
Matahari memecahkan tangisnya dalam pelukan cahaya
Syair kami dicabik,tapi...
alinianya masih melolong dalam rimba sujud kami

Di panggung...
zaman mengigirkan liang lahat harapan kami
angan meremang dalam telaga air mata
tapi,tetap saja pundak tegak itu memikul keringat yang melaut dalam darah.

Biar kujaring kesucian lisanmu,
yang menyulutkan rangkuman lidah api.
Agar tak pecah lagi kesunyian tarian kita

Di serambi waktu...
doaku masih menggali harapan yang terpahat pada siluet langit tahun depan.

No Peserta :
2792
Nama Peserta:
Nur hilmi Daulay
Asal Sekolah :
universita Negeri Medan
Posting :
31012005 , 14:49:57 WIB
Puisi :
MUHASABAH

Dan bukit-bukit mengecap sunyi pada keheningan terpekat,
Menunggu satu detik yang mengantarkannya pada satu tahun berikutnya

Dan detak jantung yang berjalan menggandeng jarum jam itupun bersaksi,
Pada ingatan yang teracik menjadi catatan kecil terbesar tahun ini.

Tahmidnya menggema menyibak malam,
Saat memorynya menghadiri pesta rakyat, kali ini tanpa darah
Karna Negri ini telah lama lelah, lidahnya tak ingin lagi latah menjilati tinta merah yang berkali-kali tumpah dari jiwa-jiwa penghuninya

Lalu bulu kuduknya berdiri,
Dengan enggan diketuknya memory tragis yang menyaksikan dirinya tertimbun pada puing-puing bangunan dengan airmata menembus lumpur, menyetubuhi air bah.
Dan jantungnya masih berjalan bergandengan dengan jarum jam
walau entah berapa ratus ribu jantung telah diam, bungkam

Ia terpekur,
Menengadahkan kepala menatap lurus menembus jantung cakrawala,
Tapi bulanpun terlihat keruh
dan bibirnya
dan hatinya
dan jiwanya
berpeluk erat pada muhasabah yang nyaris hanyut dalam laut yang gemeretak dengan amarah membirahi

Dan..
helaan nafasnya bertasbih menggaung tembus ke bukit-bukit yang mengecap sunyi pada keheningan terpekat.
Pada satu detik yang berlalu beberapa puluh detik yang lalu, mengantarnya duduk dalam I'tiraf membuka tahun berikutnya

Matanya nanar menatap bulan yang kian keruh-
Dan pemiliknya tak pernah keruh,
Ia luluh

SURAT KEPUTUSAN DEWAN JURI
LOMBA CIPTA PUISI ONLINE V 2005
Kami Dewan Juri Lomba Cipta Puisi Online V yang telah diselenggarakan oleh PT. Telkom Divisi Regional I Sumatera, telah melakukan penilaian terhadap karya-karya Puisi dari para peserta, terhitung mulai tanggal 01 Maret 2005 hingga tanggal 16 April 2005 di situs www.isekolah.org.
Respon peserta masih tetap menggembirakan dengan jumlah yang cukup lumayan, terutama sambutan dari berbagai daerah yang selama ini belum ikut serta. Di samping itu masih ada sebagian pengirim yang berdomisili di luar Sumatera, sehingga statusnya gugur sebagai peserta. Khusus untuk Kategori Umum, di antara pesertanya terdapat beberapa nama penulis yang sudah “jadi”. Jumlah karya yang diterima sebanyak 2610 Judul Puisi, dan sebanyak 332 Judul Puisi yang tidak memenuhi syarat, dinyatakan batal.
Kriteria Penilaian meliputi 3 (tiga) unsur, masing-masing:
1. Unsur Bahasa: Idiom, pilihan kata (diksi), citraan (imaji) dan gaya bahasa.
2. Unsur Tema: Kepaduan tema, termasuk relevansi isi puisi dengan judul.
3. Unsur Orisinalitas (keaslian): Kemandirian dalam menggali dan mengungkapkan tema.
Perlunya ditetapkan Pemenang Lomba Cipta Puisi Online V sesuai dengan Kategori yang terdiri dari: Kategori Pelajar, Mahasiswa, dan Umum.
Maka dengan ini memutuskan: Pemenang Lomba Cipta Puisi Online V sebagaimana tercantum di bawah Surat Keputusan ini. Dewan Juri tidak bertanggung jawab apabila di kemudian hari puisi para pemenang ternyata adalah saduran, terjemahan, atau plagiat. Tanggung jawab tersebut terletak pada peserta itu sendiri.
Surat Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Medan, 24 April 2005
Dewan Juri Lomba Cipta Puisi Online V 2005
Ketua : A. Rahim Qahhar
Sekretaris : Damiri Mahmud
Anggota : Ys. Rat
Pemenang Lomba Cipta Puisi Online 2005 Juara I, II, dan III beserta Juara Harapan I, II, dan III adalah sebagai berikut :
1. Kategori PELAJAR
JUARA I
No.Peserta : 484
Judul : Karena Alam Bersabda dalam Sajak Kita
Nilai : 480
Nama : Hannanur
Domisili : Lhokseumawe
Sekolah : SMUN 2
JUARA II
No.Peserta : 972
Judul : Senandung Pagi
Nilai : 450
Nama : Lego Sitinjak
Domisili : Rantau Prapat
Sekolah : SMA Negeri 1 Rantau Prapat
JUARA III
No.Peserta : 1199
Judul : Karena Aku Penari Cahaya
Nilai : 375
Nama : Suryani
Domisili : NAD
Sekolah : SMPN 1 Bayu
HARAPAN I
No.Peserta : 798
Judul : Cukuplah Merasa Kecil
Nilai : 350
Nama : Syakhrawil Fadli
Domisili : NAD
Sekolah : SMPN 1 Bayu
HARAPAN II
No.Peserta : 1087
Judul : Orang-orang di Bebatuan
Nilai : 300
Nama : Feizal Al Kholik
Domisili : Kep. Babel
Sekolah : SMKN 1 Pkp
HARAPAN III
No.Peserta : 779
Judul : Harap
Nilai : 275
Nama : Ariesty Kartika
Domisili : Kep. Babel
Sekolah : SMUN 1 Pemali
2. Kategori MAHASISWA
JUARA I
No.Peserta : 766
Judul : Mengangon Badai
Nilai : 485
Nama : Januari Sihotang
Domisili : Sumut
Universitas : Fak. Hukum USU
JUARA II
No.Peserta : 876
Judul : Percakapan di Balik Reruntuhan
Nilai : 475
Nama : Rifaul Fanani
Domisili : Riau
Universitas : UIN Suska Pekanbaru
JUARA III
No.Peserta : 976
Judul : Pada Laut Kita Selalu Diam
Nilai : 450
Nama : Muhalib
Domisili : Riau
Universitas : Univ. Islam Riau
HARAPAN I
No.Peserta : 1124
Judul : Sajadah Laut
Nilai : 375
Nama : Ade Efdira
Domisili : Sumbar
Universitas : Univ. Andalas
HARAPAN II
No.Peserta : 449
Judul : Cut, Kuntum Jeumpa Mulai Mekar
Nilai : 350
Nama : Prakoso Bhairawa
Domisili : Palembang
Universitas : Univ. Sriwijaya
HARAPAN III
No.Peserta : 1167
Judul : Talqin Aceh Dan Nias
Nilai : 325
Nama : Aisyah
Domisili : Sumut
Universitas : USU Medan
3. Kategori UMUM
JUARA I
No.Peserta : 803
Judul : Perahu Fansuri, Suatu Pagi
Nilai : 500
Nama : Jimmy Maruli Alfian
Domisili :Lampung
JUARA II
No.Peserta : 187
Judul : Musa yang Membelah Gelombang
Nilai : 475
Nama : M. Raudah Jambak
Domisili : Medan
JUARA III
No.Peserta : 60
Judul : Aceh 1
Nilai : 455
Nama : Isbedy Stiawan ZS
Domisili : Bandar Lampung
HARAPAN I
No.Peserta : 1085
Judul : Ini Riwayat Kami, Bukan Kiamat Kami
Nilai : 400
Nama : Hasan Al Banna
Domisili : Sumut
HARAPAN II
No.Peserta : 878
Judul : Perahu Kita Masih Bersayap
Nilai : 375
Nama : M. Badri
Domisili : Riau
HARAPAN III
No.Peserta : 1163
Judul : Kasidah Bulan
Nilai : 350
Nama : Pandapotan MT Siallagan
Domisili : Riau




SEORANG ANAK MUDA MASA KINI MENULIS PUISI TENTANG PAHLAWAN DAN KEMERDEKAAN

Oleh :
Husni Djamaluddin

Bagaimana kalian mengendap dalam gelap malam
di lereng strategis sebuah bukit kecil
menghadang konvoi nica

bagaimana jantung kalian deras berdebar
ketika iring-iringan kendaraan itu semakin mendekat

lalu bagaimana tubuhmu ditembus peluru
dan kau rebah ke tanah berlumur darah
terbaring beku
di rumput ilalang
dalam lengang yang panjang
kami tak tahu
ketika itu kami belum tumbuh dirahim ibu


bagaimana kalian dalam seragam kumal
baju compang-camping
menyandang karaben Jepang
di front-front terdepan

bagaimana kalian terpelanting
dari tebing-tebing pertempuran

bagaimana kalian menyerbu tank
dengan bambu runcing

bagaimana kalian bertahan habis-habisan
ketika dikepung musuh dari segala penjuru

bagaimana kalian terbaring
di dinding-dinding kamar pemeriksaan nefis

bagaimana kalian mengunci rapat rahasia pasukan
dalam mulut yang teguh membisu
walau dilistrik jari-jarimu
dan dicabuti kuku-kukumu

bagaimana kesetiakawanan yang menulang-sumsum
bagaimana kaum ibu sibuk bertugas di dapur umum
bagaimana kalian sudah merasa bangga
kalau ke markas bisa naik sepeda

bagaimana semua itu sungguh-sungguh terjadi
dan bukan dongeng
dan bukan mimpi
kami tak alami
kami belum hadir di bumi ini

bagaimana peristiwa-peristiwa itu berlangsung
pastilah satu memori yang agung
tapi adalah memori kalian
dan bukan nostalgia kami

kemerdekaan
telah kalian rebut

kemerdekaan
telah kalian wariskan
kepada negeri ini
kepada kami anak-anakmu

kemerdekaan
menjadikan kami
jadi generasi
yang tak kenal lagi
rasa rendah hati
seperti yang kalian rasakan
di zaman penjajahan

kemerdekaan
ke sekolah naik sepeda
bukan lagi segumpal rasa bangga
seperti kalian dulu
di tahun tiga puluh
kami anak-anakmu
telah kalian belikan
sepeda motor baru
untuk sekolah, ngebut dan pacaran

tetapi
kemerdekaan
yang juga bahkan
menyadarkan kami
tentang peranan yang harus kami mainkan sendiri
dengan tangan sendiri dengan keringat sendiri
sengan bahasa kami sendiri
dalam lagu cinta
tak bersisa
pada tumpah darah
Indonesia

Kemerdekaan
kami tahu
tak hanya dalam deru
sepeda motor
tak cuma meluku tanah dengan traktor

kemerdekaan
bukan hanya langkah-langkah kami
ke gedung-gedung sekolah

kemerdekaan
bukan hanya langkah-langkah petani
ke petak-petak sawah

kemerdekaan
alah pula pintu terbuka
bagi langkah-langkah pemilih
ke kotak-kotak suara

kemerdekaan
adalah ketika hati nurani
bebas melangkah
dengan gagah
bebas berkata
tanpa
terbata-bata

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tapi bukan Tidur sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata kita sedang perang

Dia tidak tahu kapan dia datang
kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
dunia tambah beku
ditengah degup suara yang menderu

Hari itu 10 November
Hujanpun mulai turun
orang-orang ingin kembali memandangnya
sambil merangkai karangan bunga
tapi yang nampak,
wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang
Senyum bekunya mau berkata:
Aku sangat muda

(Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Subagyo Bachtiar)

AKU TULIS PAMPLET INI
Oleh :
W.S. Rendra

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng - iya - an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


Ingredients:
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh :
W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku


Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25 /18 Juni 1960


Directions:
GERILYA
Oleh :
W.S. Rendra

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Siasat Th IX, No. 42/1955


GUGUR
Oleh :
W.S. Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
" Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang."
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :
"Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!"

Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

HAI, KAMU !
Oleh :
W.S. Rendra

Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.


Jakarta, 29 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


LAGU SEORANG GERILYA
(Untuk puteraku Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra

Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata

Jakarta, 2 september 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi


LAGU SERDADU
Oleh :
W.S. Rendra

Kami masuk serdadu dan dapat senapang
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk mati
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di rumah


Siasat
No. 630, th. 13/Nopember 1959


NOTA BENE : AKU KANGEN
Oleh :
W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


ORANG-ORANG MISKIN
Oleh :
W.S. Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa



DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA

Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidup di rumah tangga

Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- horison yang selalu biru bagiku -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua


RAKYAT
hadiah di hari krida
buat siswa-siswa SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman


Rakyat ialah kita
jutaaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang beringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949


MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957



KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954
________________________________________
Thursday, April 03, 2003

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943




PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.


DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949