Arsip Blog

Rabu, 27 Februari 2008

hidup


hidup adalah gerak yang bernuansa ada

ketabahan ketegaran dan kekecewaan

maka belajarlah pada hidup yang menuju

redup

gerak


TAMAN SASTRA RAUDAH JAMBAK

Takdir 1

Semut semut membariskan kesabaran
Mengangkut serpihan daging yang
Menempel di dinding
Tapi, di ujung tikungan seekor ciciak dengan
Rakusnya melahap setiap serpihan
Yang melintas pintas


Takdir 2

Seorang lelaki terduduk dibangku
Melumat setiap kepulan asap dimulutnya

Seorang gadis berambut gerimis sedang
Menari-nari di kaca jendela matanya


Takdir 3

Gerimis lirih di jendela kaca
Membayang dalam samara-samar cuaca
Tapi, kata-kata terkunci
Mengigil di depan pintu
Lalu terbenam pada kubangan luka
Yang tergenang di ruang tamu

Takdir 4

Telah lama kusembunyikan api
Di rimbunan hujan yang menari
Tapi, angin menamparnya bertubi-tubi
Bersama sepi kupeluk dirimu
Bersama dingin kurayapi dirimu
Namun, ragumu seperti peluru
Membabi-buta luruhkan tangisku

Takdir 5

Jangan kau pahat sungai pada tebing hatiku yang curam
Takkan pernah ada camar yang terbang rendah
Kecuali gagak yang mendongak
Tapi, ukirlah telaga
Tempat kita membasuh cinta

Takdir 6

Aku hanya sepotong penis di atas kompor
Sekali waktu dapat kau rebus, kau bakar atau kau goring
Makanlah, hanya itu yang dapat kuberikan
Untuk penambal perutmu
Dan anak-anak kita

Aku hanya sepotong penis di atas kompor
Jika kau tak berkenan sebab penyesalan
Bakarlah, dan hanguskan sampai riwayat penghabisan
Untuk sebuah kesetiaan
Atau pengkhianatan

Takdir 7

Hari ini Tuhan mingkin lupa menyinggahi kita
Memenuhi isi piring-piring di atas meja
Sebaiknya kita penuhi saja dengan koma koma
Di cangkir-cangkir yang menganga
teguklah bersama kemarau lambung kita

Takdir 8

Ah,
Biarlah

Takdir 9

Dengan menyebut nama Tuhan
Kusahkan kalian menjadi pabrik
Penghasil setan-setan

Takdir 10

Tuhan,
Telah kusaksikan begitu banyak rimbunan air mata
Yang patah terkulai jatuh di kerontangnya tanah
Meranggas dari ranting-ranting jiwa
Yang lelah

Medan, 00-07

Sepasang do’a
Sepasang do’a terbang menembus jendela kaca
Sementara angin tersedu-sedu dalam rindu
Pada monument luka ini kupahatkan selembar daun
Yang gugur, rebah di atas tanah yang pasrah
Satu persatu usia gugur, rebah di atas pusara basah
Tombak itu menghunjam ke dada berkali-kali
Duri-duri terus-menerus menempel di kaki
Ah, betapa waktu tak pernah sudi menunggu
Harum lembut aroma kenanga berganti bau gelora
Aroma kamboja, dan sebelum waktu menjemputku
Di atas sajadah, bersama untaian zikir yang merindu,
Dan air mata segala duka, kulepaskan segera
Sepasang do’a terbang menembus jendela kaca
2007
Iqra’
:bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan
Pada masa yang penuh benalu seluas tanpa batas
Allah,izinkan aku untuk tetap bernaung dalam asma-Mu
Setegar zikir rerumputan menyulam suara azan
Yang bergema di lingkaran semesta tak terhingga
Sebab dalam ketenangan yang mengambang
Dingin terasa meluluhlantakkan
Sebab dalam keheningan yang mengawang
Bisu begitu membekukan
Sebab dalam kehampaan yang menerawang
Api berkobar-kobar menghanguskan
Aku telah mengunyah-kunyah
Segala tipu daya yang meledakkan kebenaran
Dalam kesumat dan tak jelas batasnya
Dalam sujud aku arungi lautan taubat
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi
Tuhanku,
Pada masa yang berwarna abu-abu membekas
Di kanvas jiwa, perhelatan telahpun dikunjungi
Deraian air-mata yang mencekik nurani,
Menulikan telinga dari lantunan ayat-ayat cinta-Mu
Tentang sepotong pesawat bagai burung-burung yang
Menggapai-gapai makrifat di bandara surga-MU
Tentang sebongkah kapal, bagai lumba-lumba yang
Menelusuri maqom di pulau penuh sungai susu
Tentang sekeping kereta-api, bagai kura-kura yang
Bermunajat sepanjang stasiun hati ber-aura biru
Atau tentang muntahan, debaran, deburan, dan
Zikir dari perut-perut bumi
Bukan tak tersulam niat membungkus
Bongkahan syahwat dan karang muslihat
Membesar-memadat, membesar-memadat
Dalam sujud panjang tak berkesudahan
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Amboi,
Pada masa yang penuh belatung, virus
Dan kuman-kuman ini ajarilah kami meneguk
Setetes demi setetes embun keikhlasan dari
Segelas derai air-mata kami, derai air-mata
Kecintaan sepenuh nurani
Jangan lenakan kami dalam kebatilan
Yang membutakan
Jangan mabukkan kami dengan khamar
Yang meluluh-lantakkan
Jangan hilangkan segala kesadaran
Yang melenyapkan-tanpa bekas
Selalu kukayuh sampan sajadah
Mengarungi lautan penuh ombak,
Penuh onak, menghindari bongkahan
Karang-karang keangkuhan yang teramat tajam
Dalam sujud yang beringsut-ingsut
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Maka,
Setelah kubaca masa-masa penuh benalu
Berwarna abu-abu yang penuh belatung,
Virus dan kuman-kuman, dengan nama-Mu
Yang menciptakan: naungilah dan peluk kami
Dari teror kemaksiatan, serta persekutuan kesesatan
Agar tetap taffakur dalam syukur, dalam membaca
Rasa cinta sesama
Kutubul amin, 22 Januari 2007
M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972
Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar,
Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED .Alamat kontak-Taman Budaya
SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP.
085830805157.
no. rek; Mandiri cabang mdn balaikota,
106-00-04699933

Senin, 25 Februari 2008



Lintasan Waktu,
Sedingin Hawa Jogja



1

udara basah
sepanjang lamun dihias kerut wajah
ditunggu waktu cahaya purnama
dicambuk senar kecapi menuntunmu

kota disapa gunung api
seperti keledai di jalanan tugu dan lempuyangan
perempuan gentayangan
berkelana dengan perantau

masih sedingin dulu
tubuh ranummu

2

air mata menjadi saluran bagi hujan
rindu pada daun pohon
batang meranggas mencari pelindung udara basah.
halilintar membelah kabut tipis
di atas bukit

aku meminangmu dengan angin
di tempat sepi bersama dingin
merayapi nafas sampai ke seberang
pulau tanpa bakau, batu cadas dan karang laut.
menatap langit kabut dan merasakan hujan

air mengguyur tubuhmu
mengalir ke samudera

3

sambil membaca bahasa tubuh
kemanakah akan kau lepas ayam betina berbulu tipis
menulis puisi sampai ke pasar, mall dan supermarket
pekik yang tercekik, melepaskan syair kesia-siaan
tidak dimengerti dan penuh misteri

aku akan selimuti tubuh dengan harum bunga
meniduri kota dilipatan hawa malioboro
menunggu daun gugur

kukecup keningmu
kau diam membisu

4

semalaman ini tubuhmu menggumam desah
melambaikan kisah masa lalu
syair pertama dibayangi nyeri kesedihanku
berpusar dari rindu kembali ke waktu mula kita bertemu

tapi kesedihanku telah membatu
seperti bukit dilalap ketandusan
hanya ada sebatang pohon tanpa daun
ranting meranggas ke batas paling ujung
menjadi purba menjadi legenda

5

pipin yuli dhian hapsari
di sudut kota ini aku tak ingin kembali
kisah lama yang pahit ditikam keris mata dewa
aku membenci suara seperti menyumpahi ketololan

entahlah dimana ketenangan dan batas kejujuran
dengus nafas seperti ketandusan padang pasir dihembus desir angin
begitu panas
begitu cemas

6

tak ingin kuketuk rumahmu karena keluguanku
meski sapa dan bisu bersatu dalam gumam rindu
seperti elang melayang di tengah laut
jaring para nelayan menuju batas yang tak jelas

di antara keberanian dan ketulusan
menantang badai melawan maut
gelombang tak takut pecah di pantai
ketololan dan keluguan menjadi cermin

7

sekali waktu kita bertemu
kau sapa diriku terburu-buru

“kapan kau pulang, jam berapa dan naik apa
kereta kencana tidak untuk dibawa bersuka ria
itu milik raja dijaga sepuluh kesatria”

kupandangi wajahmu
jauh ke dalam hati

“apa yang kau pikiri?”

medan yang lantang membawamu ke seberang
tak ada ombak dan gelombang memecah karang
tak ada sapa sekedar bercanda
hanya mata kelilipan disapu pikiran

inilah terakhir kali kita bertemu
godaan bau tubuhmu membuat iri lelaki
juga perempuan lain yang datang dan pergi

8

wajahmu membuat kisah baru
sekeras karang tak pecah karena gelombang
tapi ingin kunikmati dengan tenang
seperti malin kundang di pantai padang
sujud di pasir buritan kapal

kukecup keningmu
kau diam membisu

Jogjakarta, 2007

Jumat, 22 Februari 2008

Lintasan Waktu di Cafe Juanda

cahaya api memanjangkan bayangan tubuh
antara nibung raya dan gajahmada
desir angin menyapu rimbun dedaunan
membentuk pola irama mengalun panjang
melayang jauh sampai hilang di tikungan jalan.

di halaman antrium plaza medan fair
duduk termangu mencium harum rambutmu

merasakan basah daun dihujani embun
ditiup angin sampai tubuh membungkuk
menggenggam kedua telapak tangan
memanggil dirimu dengan desah yang panjang
kau tak juga datang tapi tetap kutunggu
sambil mengingat-ingat kenangan pertama
menikmati malam di cafe juanda

“hai...! kaukah yang berdiri itu?”
suaraku nyaris kaku membayangkan
kau berdiri mengulum senyum lesung pipit
menepati janji

diam yang kubenci tapi senyummu menggugah hati
kau melamun memandang sekeliling
perlahan mendorong kursi mundur sedikit ke belakang
membetulkan letak switer merah jambu

“hai...! dhian hapsari!”
aku ingin menikmati pesona lebih lama
seperti malam di jogjakarta menggigilkan persendian

2008

Kamis, 21 Februari 2008

Penyair


Puisi Puisi AFRION

Perburuan Rumahitam

di batam
puluhan pasang bayangan karam
tenggelam ke dasar laut
sampai dilumpur paling dalam
tak menemukan apa-apa

seanyir nafas perempuan
tubuh mengawang dibawa angin
selalu jalang selalu tak ingin pulang
dihanyut gelombang memabukkan

selain ranting mengering
daun gugur ke rahim tanah
mendongeng kisah mata air
mengikis wajah kemerahan

perjalanan yang panjang
mengukir jalan berliku bersimpang
dihempang ranting dan batang pohon
akar menunjang kedalaman

sepanjang bentangan jalan
perempuan merenda pertumbuhan
deru angin membawa hujan
lalu geram mengusik rumahitam
sehabis gumam
pertarungan memangsa desah percintaan
lonceng berdentang dua belas kali
perburuan pun dimulai
setajam pedang hang nadim
waktu mencengkram
dosa dibenci anak-anak sorga


Batam, 2007

Pertikaian Tanah Deli

sepanjang mata
kering dan cemas
mengayuh perahu ke samudera
tak jelas arah dan batas

memburu ladang pertikaian
medan yang tak pernah bangun
disesaki perantau sepanjang tahun

barisan pelayat tanpa suara
berpantun pantun syair melayu
saling mendekap berharap

tak ada yang dapat mencatat
kota bagai tubuh ditenung segala dewa

kubur menganga ditunggui pedang pancung
raja dan datuk tak berdaya
hidup di kepung amarah
dikebiri sampai wajah pucat pasi

bangsawan melata melilit batang jati
rawa dangkal menghibur tulang belulang
tertanam setengah tubuh
dicekik laskar revolusi

di tanah deli pertikaian tak henti
guru patimpus meratapi sungai deli dan babura
medan putri di tanah wakaf, menjadi asing menjadi melata
menjadi selembar sajak

sejak kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh
segemuruh napas pertarungan
memandang istana tanpa tahta dan singgasana

geram meradang dalam pikiran
menunggu angin laut cina selatan
lalu tubuh dibayangi legenda purba
jatuh dari angkasa

seperti burung jatuh
arwah terbang dan melayang
mata mengambang
pandangan terlunta jauh mengembara
sampai tak menemukan kata

wajah kerut didetak waktu
membuka jendela membiru
dijemput takdir jejak tubuh
menghiba
meremas dada
mengharap nasib baik



gemuruh tubuh membentuk cakram
cahaya menampar sudut kota
menunggu waktu berubah

waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam

Medan, 2007


Mengenangmu


kata ibu “pergilah merantau karena tanah seriau telah kehilangan payung
tak ada batas ujung sepanjang pandang - selain labuh tanker
jiwa kering telentang mengejang”

menyisir bakau pulau kecil, tambang timah dan ladang minyak
dikikis matahari melengkung, rapuh dibelah beratus lorong
amuk dan kapak puluhan tahun membelah tanpa lelah
badai tercipta dari daun berguguran
air mengalir ke semenanjung
di semenanjung manapun kita melabuh menjelma segala riuh
jika riuh serisau tanah riau apatah hendak hentikan tangis
lalu bandar menjadi makam menembus dinding rahim
makam yang memanjang dari hulu ke hilir
ke muara mana ia berhenti kesetiap risau sepilu perempuan
menanti suami membawa seikat kembang pewangi
angin bertiup menggali kubur yang panjang

setengah telanjang dada lelaki berkeringat menggulung gelombang
dalam sekejab membentuk laut garang
merangkai kemudi patah ditelan ombak petang
mengigaukan amarah karena kegersangan tanah pusaka
pohon dan air kecoklatan meraungkan tangis di ujung bukit
bau amis dan udara yang tipis
kampung yang tak pernah rampung menulis kisah paling resah
tanah yang kejang sepanjang debar dirundung gelisah

“mestikah memenung di tepian sungai
menyerah sebelum ajal memanggil pulang
lalu rubuh tengkurap di pusaran arus
nikmati muara mengalirkan limbah berwarna air kecoklatan
menghapus rindu pada laut” kataku

mestinya ibu berhenti mengeja huruf dari kegamangan petuah para datuk
karena di sungai menggelepar anak ikan tertikam begitu dalam
kampung yang lengang kehilangan sejarah bersama adab yang terkikis
mengenang sebatang pohon diukir wajah sembilan wali
raja tanpa tahta dan mahkota tanpa janggut dan keris sakti
di pedalaman lelaki tua memungut kerinduan
dihanyutkan arus sungai ke muara terlunta-lunta
semacam jejak kehitaman menyapu kabut di bukit
makin berbaris makin habis

“di bukit mana tersiar kabar dengan raung halilintar
angin menggulung akar pohon
sekalipun tanah kelahiran dilindung mantra segala doa
hidup akan semakin singkat saja”

sesingkat riau kehilangan kecipak air - minyak bumi dan rimbun pohon
untuk hidup dengan semestinya di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi menggantungkan lampu waktu subuh
pada pohon berbaris memanjang ke belakang
sepanjang gugusan lembah – tanah merekah
tubuh melayang terbang menjelang sembahyang
diamuk cuaca saat azan tiba

sesingkat itu
kukenang tubuhmu sepanjang badai dan hujan

Batam, 2007

Lelaki dan Sebilah Pisau


“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara“ katamu

bau tubuh yang garang dengan sebilah pisau di pinggang
mengukir makna tanah makam

“mainkanlah kisah para nabi” kataku menikam perut bumi

perahu nuh merayapkan sepasang belatung
kunang kunang menerbangkan cahaya

di tengah antara dinding dan lorong panjang
lelaki berambut ikal bertubuh kurus
dengan apakah kau tuliskan kisah malin kundang dan joko tingkir
sedang langit hitam langit menyempit udara pengap
setelah empat puluh tahun tubuh rapuh tak bertenaga

lelaki aneh dengan sebilah pisau di pinggang
tak peduli tempat berteduh
sekedar hinggap atau melepas lelah.
angan-angan melantunkan nyanyi pilu yang panjang
tidak jelas suaranya
selain desir angin di daun
memberi kabar tentang tangis anak istri
suara kesiasiaankah yang datang dan pergi?

“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara
mestikah kumainkan kisah para nabi” katamu

“apa yang tak ada padaku – ada padamu.
yang tidak ada padamu – ada padaku
kita saling mengisi memenuhi kebutuhan
mempertahankan hidup tenggelam dalam lamunan
menyesalkah?
ah barangkali tidak” kataku

ladang di tanah petak persegi panjang
di tengahnya gundukan pasir membentuk bukit
menanam ubi habis dijarah puluhan pemain sandiwara lain
hidup yang tak lebih sama
menjadi melata dengan taring yang panjang

tenang seperti tanpa dosa tanpa beban
memamah rakus ubi-ubi yang kutanam
hidup menggantung di pundak orang lain
begitu tidak peduli, merambah hutan
sampai perut menggelembung seperti perempuan bunting
masuk angin ataukah kenyang sebenarnya kenyang
dan tidak pernah saling memahami.

lelaki itu
bahkan kini menahan kutukan menjadi sebilah pisau
sementara aku tak henti mengagumi ketololan
menjadi aktor paling bejat
tak peduli dengan sebilah pisau membunuh hidup keluarga
hidup anak istri yang saban hari menanti beras dan ikan
bertahan hidup selamanya atau memilih mati
demi memenuhi ambisi suami.

2007


Sunyi Batu Pantai Air Manis


menelusuri cahaya demi cahaya
adalah kisahmu di pinggiran pantai
merambah rumput hitam memekat
membujur simpuh meneteskan keringat

berabad-abad berjatuhan dari bayangan masa lalu
adakah kau mengetuk takdir kuburmu
meremas tasbih mengeja huruf demi huruf
pada waktu berjatuhan dari hempasan angin
di balik celah seperti yang sudah-sudah

tetes hujan kian basah
merangkai tanya pada tiang patah; doa bundakah itu
yang memainkan randai malin kundang
merindukan anak di perantauan
yang tak pulang-pulang?

maka pulanglah
sebelum senja menutup usia
selagi mata mengurai bunga-bunga mekar
merambat hingga ranting ke pucuk daun
menguat pada akar

di tengah musim, saat badai melepas gelombang ke pantai
menghanyutkan perahu, membawa petaka
kukira inilah negeri maut menuliskan cerita
lalu bersimpuh menekuk lutut pasir berkerikil
merasai keganjilan terburai
di tengah nasib

bahwa kita telah lama hidup
dalam usia waktu berkelebat membuka rahasia perjalanan
menelusuri cahaya demi cahaya
mengenangkan percakapan
di tengah takdir paling sunyi
dan paling batu dari makna nasibmu


Medan, 2006


Di Tengah Pekuburan


lalu hening bayangmu dalam tubuhku
menjejak telapak, menemukanmu di tepian
setiap kali waktu mendendangkan pilu perempuan
entah itu ibuku atau ibumu menghentakkan kaki
dengan sengaja tidak mengajakmu kembali dan seterusnya pergi
bagai dua kekasih bercumbuan lalu sunyi kita dalam hening
melumat geram berabad-abad lama
mengigau di celah batu membelah musim
didesak waktu tiba pada malam hitam

dan bayangmu dan tubuhku
gemetar didera cambuk malaikat

angin mengempas ditingkahi tiupan seruling
barangkali juga, tuhan akan datang menjenguk
seperti dosa membatu di dinding kalbu
ah, celaka membiarkan ia menangis
atau sendirian memilin kusut benang
wajah sesekali menghilang
dibuai resah digeram malam tanpa cahaya
menyembul tanpa warna
hitam mengigau di antara gemuruh angin
di tubuhku
luka darahmu
bibir yang selalu kelu
membaca kisah


2006


Deksarah


jika risaumu serisau tahun berganti, dek
akan kukirim syair pelepas dahaga

jika ingatan melabuhkan tubuh yang luka sepanjang hari lalu
perjalanan menghempas rasa luka dukamu diam seketika
ditinggal hidup sendiri tapi kali pertama dirimu datang menjengukku
akan kukirim harum hawa sorga

(hidup yang patah hanya sementara
maka jangan biarkan dirimu dirundung duka)

raibkan kisah angin itu, dek
bayang luka senantiasa mengganggu jiwa
mengembaralah keangkasa maha, malaikat membawa cahaya
bagi diri yang senantiasa percaya

(ulangtahunmukah kini datang membawa kabar ke tanah melayuku, dek?)

jika risau tahunmu jika igau tak kunjung padam
maka layarkan bahtera nuh menyusuri kalut jiwa
jika risau tubuh dihantam bayang mengebiri sepanjang hari lalu
maka layarkan keyakinan firman dan hadist


Medan, 2007



Mihrab


tubuh yang kau tidurkan di semesta bumi
sebelum subuh menggeliatkan kabut
menepi di ujung ruang
menanti kabar memagut cemas penghabisan

setelah maut menyelimut di tangan berkeriput
doa di pusaran lubuk menggelinding berputar-putar membawa tubuhmu gemetar

berhentilah langkah menyusuri pasir dan gurun
di seberang bukit berbatu lelah
menghitung hari-hari penantian
menjelmakan kalut

setiap kali akan ada saja yang datang dan pergi
mengintai dari balik jendela
menghirup bau tubuhmu
yang selalu jalang selalu pulang
membanam cinta pada perseteruan angka-angka

waktu subuh menggigil ngilu pada siku
aku bersekutu menjelajah ruang angin pada musim
dingin bersendiri
menyeka debu pada dinding dan seketika raib
mengenang percakapan kita
rindu berpantun-pantun membawa tiga pucuk daun
gugur di putik bunga

waktu cemas melepas sakit dalam lumpur berbatu
sesaat mengalirkan tetes embun
mengucap salam ke paru-paru.
menggigil dalam lipatan cahaya
bersaksi bersujud simpuh menyusun kata-kata
jika makna nasibmu hitam di lumut batu
abadikah ia?


Medan, 2005 – 2006


Samsara


kalau hidup dikebiri
gairah apa yang melenggang ke pelupuk mata
segala samar, senyum kehilangan cahaya

berlapis-lapis geram bersandar di dermaga, kapal tak berlayar
sejak laut dirundung badai, dan kita terbang mengambang
setelah hening memeluk peluh, angin mengirim kabar
dari syair-syair yang tak laku di pasar

lumpuh tempat berteduh
rumah-rumah rubuh
lalu ikhlas luluh tengkurap di tepian makam

aku, syair, dan buku-buku
membisikkan takdir itu
dengan sekumpulan sajak abadi
menjelaskannya padaku; tentang jalan berliku
pada ranjang maha luas, pada nasib
berpayung di dedaunan pucuk pohon

bahwa kita sudah lama tak bertegur
menerjemahkan nafas, perlahan menggemakan percakapan
dan menghitung hening setiap persimpangan jalan

maka, datanglah berkunjung
kusiapkan tempat duduk berdua
menyusun arah layaknya buku syair-syairku
bertumpuk di atas batu

samsara, pada ruang memucat
ini masa menjadi kering tanpa jejak
tinggal sederet kata bisu di ruang tamu

aku begitu gagap tinggal di rumahmu
mungkin salah memilih takdir, lahirlah waktu
aku tak sabar menunggu


Medan, 2005

Puisi Puisi Pusriza

Puisi-puisi Karya Pusriza

Jiwa-jiwa Membatu

Sayangnya kita hanya bercanda
mengunyah waktu menjadi kalimat bisu
kita gairahkan sajak-sajak kelu
padanya bersemayam semu
lantas, dapatkah melipur jiwa-jiwa
membatu
sementara zaman memanggul kita
pada laju

Marelan, September 2007


Lelaki yang Memanggul Purnama di Pundaknya

entah berapa peluh mengucur
sepanjang purnama di malam duka
entah berapa keluh melebur
setiap jiwa terluka
jalan-jalan sesak dengan tawa kaku
lalu menikung tangis anak merana
hingga membekas mata memerah
menghitung almanak di pundaknya

entah berapa lama lagi
lelaki itu memanggul purnama
walau air mata tak sudah-sudah
meniti pada nisan sukma

November 2007


Bocah Lampu Merah

Masih sanggupkah kita
melahap tarian bocah
pada jendela mobil
setengah menganga
atau bersungut senyum
di atas tunggangan roda dua
“tak tahu siapa, anak siapa?”
walau pupil memerah
barisan gigi menguning
roman pasi, badan mengurus
kulit mulus mendekil
“Masih sanggupkah kita?”

November 2007


Di sana Gadisku Berada

Di sana, kampung yang kusinggahi
di balik bukit barisan eru

pagi hari kicau prenjak bernyanyi
malamnya jangkrik berzikir takzim

tak ada kepulan asap jalan raya
atau hiruk pikuk kendaraan beroda
masih terdengar sungai tertawa
atau pepohonan melambai sumringah

November 2007

Puisi Puisi M. Yunus Rangkuti

MONOLOG DIRI /1/

Matahariku luluh pada bentang selaput malam bebintang rapuh memuram dalam kenangan masa silam. Jarum detik terus berputar kitari lingkar waktu berlalu. Detaknya mengetuki dinding sepi. Aku teriak memaki, tetapi gema itu bagai deru hujan menjamuri.
Permainanku usai, meski pertarungan belum selesai. Berkali berharap hanya sia-sia menghampa gelap tambah mendekap dan aku bagai hilang arah pada lelangkah melelah.
Matahariku luluh dan malam membungkus tubuh berkali aku terjatuh, berkali menggapai menyentuh tak jua utuh. Aku menyerah, tetapi pasrah itu bagai desau angin menyelimuti



MONOLOG DIRI /2/

Pada rentang empat puluhan entah berapa sisa waktu di sebalik lembar almanak, atau justru detak jam menunggu. Aku belum mampu merindu, sebab simpuh tak jua utuh. Selalu kuledakkan namaMu tanpa sajadah dan air mata bersalah.
Pada rentang empat puluhan alpaku terus bertambah dalam resah, amarah. Tuhan, ingin aku kembali selusuri jejak langkah memunguti karunia malu.


Deli Serdang, 05 – 07







SERENADA DIRI /1/

seperti matahari gairahmu tak henti
menjalari, meski senjaku telah tiba
pada langkah melelah
aku terbenam dalam malam membeku
kau terus memburu dalam cumbu menggebu
di ujung waktu hanya tersisa cemburu


SERENADA DIRI /2/

aku ingin selalu dicumbui
elusan lembut menjalari dari celah-celah
menggeliatku dari mimpi beku
darah gairahku mencair bulir-bulir keringat
dalam dekap hangat memacu semangat
di puncak panas membakar aku terkapar
dalam dahaga dan lapar, tapi
api cumbu belum henti aku dipacu kembali
hingga lelah mendekap di malam melelap

Deliserdang, 06 – 07








GEMURUH WAKTU MENYERGAP TAK BERJAWAB

tiada lagi tersisa bersama waktu berlalu
hanya gemuruh rindu terpendam dalam diam
kecamuknya menyiksa, ketika apa saja
menjelma jadi cerita pernah dirasa
aku menyendiri terperangkap senyap
sejuta kata merangkai bertubi tanya
menyergap tak terjawab, sebab selalu saja
diawali andai demi andai tak pasti

Deli Serdang, 2007

Biodata

M. Yunus Rangkuti lahir di Medan, 21 Maret 1966. Puisi-puisinya banyak menyebar di beberapa harian Medan. Selain itu beberapa karyanya sudah dibukukan dalam antologi bersama, seperti: ASA, DALAM KECAMUK HUJAN, TENGOK 4, AMUK GELOMBANG, JELAJAH, MEDAN PUISI, MEDAN SASTRA, MUARA TIGA, dll. Bergabung dalam komunitas FKS (forum kreasi sastra-Medan), LABSAS (laboratorium sastra), KSI (komunitas sastra indonesia-medan), GENERASI dan YA. Production. Bermukim di Desa Sampali, Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. No. Kontak: 085296080344

Puisi Puisi Arif Solihin Martua

Puisi – Puisi Karya : Arif S M

Coklat /1/
Kepada : Ami Luthfia Ulfa

lalu seolah mata tak terpejam
dengan mengucap tiga rangkai kata
aku cinta padamu
kemudian seonggok rindupun
melebur dalam jiwa dalam dadaku
seolah tak mau lepas
dalam kesibukan memikirkanmu
setelah itu semua lumpur melumer
menjadi coklat manis
beraroma cinta kita

medan, desember 2007

Coklat /2/
Kepada : Ami Luthfia Ulfa

coklat yang kemarin kau berikan
kukunyah-kunyah dalam remang malam
dalam kehampaan tak bertepi
dalam kerinduan yang sangat luas
dan dalam kesendirian yang paling sendiri

medan, desember 2007

Coklat /3/
Kepada : Ami Luthfia Ulfa

kepada kawan kutebarkan senyum terindah
kepada lawan kutebarkan senyum termanis
dan kepada semua kutebarkan kerinduan
yang tiada habis
sembari sebelah tanganku memeluk sebuah buku
dan didalamnya ada fotomu
sedang tersenyum

medan, desember 2007





Coklat /4/
Kepada : Ami Luthfia Ulfa

seekor cicak merayap perlahan
menatap dengan mata nanar
memandangku dengan curiga dan tanda tanya
mengapa sebuah coklat bisa terbaring lemah disampingku
padahal kemarin coklat itu masih duduk tenang di samping jendela
lalu seekor nyamuk datang
cicak merayap lagi

medan, desember 2007


biodata :
nama : Arif Solihin Martua
pekerjaan : Mahasiswa UNIMED Jur. Bahasa Jerman
penulis merupakan aktifis teater kampus, aktif di Teater LKK UNIMED, Teater Generasi Medan, dan karyanya dimuat di beberapa Media Massa.


Salam DKOKUK
Teater LKK UNIMED WOW………..

Puisi Puisi S. Ratman Suras

S. RATMAN SURAS
Sembilan Pupuh daun-daun Cinta
Seperti rerumputan aku pasrah pada musim
berkali-kali kuledakkan dzikir
meniti riwayat rahasia takdir
membaca keikhlasan bumi, menampung hujan dan
cahaya
sambil menunggu mekarnya bunga-bunga di dada
Engkau Maha Cinta, samudraMu samudra cinta
di pucuk ombaknya kujinakkan badai
yang menyergap dari balik kehitaman kabut
aku terkapar jauh sendirian, selembar daun imanku
kering
dipermainkan angin, perih mata batinku meraung-raung
memanggil gunung, gemetar terkulai aku di bibir pantai
Telah kuciptakan sepi pada lembar-lembar daun turi
angin mengendus nafasmu yang bergemuruh
gumpalan-gumpalan kisah mengapung, aku tak bisa
menampung
pergumulan cinta yang tak pernah rampung
seperti tarian kupu-kupu di ladang bunga
di sini di dada ini menjelma gua hitam
tak ada siapa-siapa, masuklah mari kita mabuk
panas cahayamu mencairkan penjara cintaku
Pagi yang berdarah, di ujung musim pancaroba
sebelum perjamuan embun dan daun-daun usai
aku menatap ribuan gagak melesat ke Utara
di bibir jurang tanah merah akar-akar sangsi menggapai
cinta yang tersisa, menampung nafas embun yang
terakhir jatuh
di ufuk timur, matahari baru bangkit tiba-tiba mandadak
redup
Sebutir embun membangun rumah cinta di selembar
daun
laba-laba menjerat rindu di reranting layu
angin berpusar memanah matahari
daun-daun berkibar bagai layar, di samudera embun
perahu kecilku penuh muatan cinta yang merintih
di sela-sela gesekan duan-daun, keping-keping rinduku
tumpah di belukar duri
ada yang menggelepar, di ujung malam yang berat
mungkin embun di urat dedaunan. atau doa-doa yang
tersumbat
namun, bulan masih mekar mendendangkan kidung tolak
bala
cinta yang luka pun sirna ditelan rimbamalam
yang menggantung sampai ke awang-awang sunyi
Untuk mengambar cintamu, tak cukup
walau semua dedaunan jadi kertasnya
seluruh reranting jadi penanya, tujuh samudra jadi
tintanya
sebab cintamu tak terhingga. sedang aku di perindu sunyi
yang kesepian. sujud di urat daun yang menguning
yang selalu diterjang angin
Daun-daun terus berkisah tentang cinta
matahari mekar kembali, angin berhembus, embun pun
jatuh
seperti kisah cinta biasa, seandainya embun itu puisi tentu ada taman, pepohonan, belukar,
burung-burung bebatuan dan sungai kecil yang selalu mengalirkan madu
bermuara pada lautan kata-kata sunyimu
yang kau larungkan ke dasar samudra paling hening
Medan, 2003 – 2004
S. Ratman Suras :
Nareswari
Kepingan rembulan itu jatuh di rimbunan
selangkangan Sang Dewi. Cahaya api suci
sukma panas kobaran asmara yang membiru
beku malam gigil yang terkutuk
pamor keruis haus darah. darah muncrat dari lambung
pembuatnya, sukma melayang dari ranjang birahi
sang Akuwu dan tembok-tembok dingin Singasari
cinta ditanam dalam tanah dendam. kesumat berkobar
hangus tinggal puing-puing
setiap ganti penguasa, tanah jiwa banjir darah.
Sei Deli
:Tuan Guru Patimpus
Perahu kayu engkau tambatkan ke tepian
tiang layar cinta terus berkobar.
mengarus bening dada hening
pusaran waktu menjemput laut rindu
kabar dari gunung. hujan dan angin begitu akrab
menabur mantra jiwa pengembara sebait mantra
berdebur di air bening pada leladang senyap
telah tertanam biji-bijian, merambat belukar subur
warisan para leluhur.
“serupa juga, aku di sini atau di sana,
sebab kita punya tanah sampai ke laut, “katamu
lembut
tanah bumi langit, sungai gunung
angin menyahuti sejuk
padi dituai, jerami dan sekam jadi pupuk.
dari rumah panggung Engkau membangun kampung,
sambil memeluk erat dada Datuk Kota Bangun.
Kapal kerta kulayarkan ke laut emas
cinta menciut di tepian.sampah-sampah hanyut
sampah-sampah nyangkut. ada yang menggelepar
di bantaran seperti keriuhan pasar yang terbakar.
rumah-rumah kardus berjejal anak-anak panah
telanjang melesat dari busurnya
ada yang memanah matahari yang tersembunyi
di rimbunan gedung cintamu telah terjerat hutan beton
menyemak sesak di bundaran Petisah.
ku tatap patungmu gagah
kibaran jubahmu nampak goyah
kini tinggal kisah dilumuri sejarah.
Medan, 2005
S. Ratman Suras
PROSESI
aku embun pada daunmu
aku daun dalam pohonmu
aku pohon dalam bumi kasihmu
aku kasih dalam cintamu
aku cinta menujumu
medan, 2002
PUPUH SEPULUH DAUN-DAUN CINTA
aku sebutir embun pada selembar daun
kesepianku mengapung di pucuk badai malam yang berkobar
kerinduan pada pantai adalah untaian biji tasbih
yang mengundang angin melayarkan perahu kecilku
gelisah ombak melambai teduh, sebab laut sabar dalam doa
hingga meyentuh ubun-ubun sebutir pasir. di sini
di tanah batinku yang kering kerontang
akar-akar rerumputan rindu musim basah yang mendesah
sebab kemarau telah menguji ketabahan beburung
dan langit merengkuhnya dalam bahasa cinta
Medan, 2004
S. Ratman Suras
INDONESIA
Sesaat setelah ledakandahsyat menggema
kami tairap.nurani tercecer, luka menganga gosong
darah mengering di jalanan, jeritan pilu terdengar
darah mengering, korban berjatuhan, kita gali lagi kubur-kubur
baru
kami kibarkan merah putih setengah tiang di dada
untuk sebuah dendam kesumat yang entah
dialamatkan kepada siapa?
Ledakan dahsyat itu merontokkan kota
sebuah lubang tercipta. Orang-orang menangis
di depan pesawat tivi, keluarga korban meratap
sambil mendekap peti mati.pata petinggi kita berkata negeri ini
aman sentosa
Sepertinya engkau menghilang dari peta jiwaku
ibu? Sesobek sengketa demi sengketa hanya menambah luka
paling pedih.di mana lagi menikmati hujan dan matahari
dengan nyaman di negeri ini?
Medan, 9 Sept, ‘04
KEMARAU
Maka berhembuslah angin
menyetakkan daun-daun. ia pun rontok
di keheningan tanah merah yang kesekian
bebatuan kepanasan pasrah memuji kebesaranmu
ada suara tanpa rupa, terurai di pucuk-pucuk ilalang
yang membentuk gelombang api
Maka berhembuslah angin
mematahkan reranting hati yang mati
tergeletak di tanah yang retak
matahari tajam mengiris musim
ada rupa tanpa suara, terpacak di ladang yang haus
mengenduskan gelombang sangsi
Maka berhembuslah angin
gelombang api membakar apa saja
gelombang sangsi menggulung siapa saja.
Medan, 2003
S. Ratman Suras :
SEPUCUK SURAT BERDARAH
: Panglima Meng-Chi
Telah kutemukan negeri
tanahnya subur semerbak wangi
rakyatnya ramah, raja betahta kencana
hai, akulah saudara tuamu:
mari kita jalin salam
berniaga sampai ke utara
Kami butuh rempah-rempah dan Ciu
jangan gentar, seribu serdadu
perahu naga di laut jawa
bukan untuk perang !
kami ingin membagi cinta
dunia dengan segala isinya
Namun, kalian salah terima
Telah kukorbankan satu telinga
darah menetes, luka mengaga
ingatlah, saudara muda
kami akan kembali
ke tanah jawa ini
biar banjir darah banjir peti
sebagian semang kami
telah terkubur di sini !
Medan, 2005
K E S A W A N
:Ttjong Afie
Menyusuri Kesawan
aku teringat tuan
toke sukses yang dermawan
di gerbang istanamu
dua ekor singa menatapku pilu
sebab matanya penuh denu
Tak ada lagi sado
tak ada lagi helicak
kota melaju sangat cepat
gedung-gedung tua telah disulap
toke-toke tanpa keringat
Jika malam turun di Kesawan
aku ingin mengundang tuan
makan malam di trotoar
menu sea food dan pecal lele
dibawah lampu warna warni
yang lincah indah sekali
Menatap Kesawan
aku teringat tuan
kerja kerasmu telah terpatri
anak cucumu di tanah Deli ini
Data Diri
S Ratman Suras, lahir di desa Wringinharjo, Cilacap 8 Oktober 1965. Belajar menulis puisi secara otodidak. Semua penyair Indonesia terkenal dianggap sebagai gurunya. Puisi-puisinya banyak dimuat di media massa Medan, antara lain waspada, Analisa, Mimbar Umum dan Medi Indonesia jakarta. Selain antologi tunggalnya Gugur Gunung (1997) juga turut berpartisipasi dalam antologi bersama. Busmi (SSI 1996) Getar II Bulsas, Batu, Malang (1997) dalam Kecamuk Hujan (SKSK 1997) Tengok 2 ( Arsas Medan 2001) Muara 3 (Forum Dialog Utara Indonesia Malaysia 2001) Teluk Amuk Gelombang (Star Indonesia, 2005 Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Sumut, 2005).Persalaman Dialog Teluk V Sabah 2001) Kini tinggal di Jl. Sei Belutu I No. 21 Medan 20154

Puisi Puisi M. Raudah Jambak

MENERAWANG PATUNG-PATUNG BERBAJU
Alangkah indahnya menerawang patung-patung berbaju
Berdiri terpaku menjelma tugu-tugu yang disekitarnya
Menjadi taman bermain-anak cucu
Alangkah anehnya orang-orang dewasa yang memandang
Takjub anak-anak berusia belia tak berbaju, lalu menghardik
Anak sendiri yang memang tidak perduli
Lantas apakah kita seperti patung-patung yang termenung
Anak-anak berusia belia tak hendak berteriak
Memandang sebuah ketelanjangan yang memang
Sebatas kebiasaan
Lantas apa bedanya kita dengan hewan
Yang berpakaian dianggap sekedar hiasan
Lalu dijadikan gurauan
Dan alangkah anehnya sebuah keindahan kesopanan
Tak mampu diukur dengan batasan
Tak mampu dicerna dalam pikiran
Atau karena memang sudah menjelma
Kebiasaan menjadi kebisaan
Medan,06
ANGAN-ANGAN DIGUYUR HUJAN DEBU MENGENDUS BATU-BATU
:mengelus uncen,memapah abepura
Entah mengapa sore ini para semut memenuhi sepanjang
Badan jalan merambat tak beraturan.rambu-rambu
Berdahan rendah ditebas tanpa balas terseret pada trotoar
Kebisuan,ketika itu angin berwarna kusam diguyur hujan debudebu
Entah mengapa sore ini para semut memadati sepanjang
Badan jalan menyeruak tak beraturan menambah pecah
Pusat-pusat kebisingan.slogan kata-kata yang tiarap direranting
Pohon, merayap ditetiang listrik hanya mampu terpaku –membisu,
Ketika itu angin bersayap buram mengendus batu-batu
Entah mengapa sore ini para semut pasrah sepanjang
Badan jalan terkapar dengan desah tertahan ditembus deru peluru,
Memperjuangkan angan-angan yang mengawan
Tak berkesudahan, diguyur hujan debudebu-mengendus batubatu
Medan,06
TELAH TERUKIR RANTING DAUN SAMPAI SEJARAH PALING AKHIR
Telah terukir ranting daun pada kelopak mataku
Akarnya meranggas menembus sampai ke kulit paling akhir
Mencari celah-menyusuri darah, dan merambat
Ke puncak otak setelah melewati danau hati
Aku tak sempat menarik napas , ketika daun-daunnya
Merimbun pada kornea yang menjingga. Butiran-butiran embun
Menyeruak di sudut-sudut daun,
Membasah resah, membaca segala
Telah terukir ranting daun pada kelopak mataku
Rahimnya membuahkan berjuta aksara dari kulit paling akhir
Merenangi sungai darah, dan hanyut di hulu otak menembus batu hati
Aku tak sempat menahan isak, ketika gemuruh jantung menghentak.
Membobol waduk air mata-membanjir luka, mengugurkan daun-daun-
Membusukkan segala
Telah terukir ranting daun pada kelopak mataku
Gemulai dihembus angin yang mengerang garang
Akarnya meranggas menembus kulit paling akhir
Rahimnya membuahkan berjuta aksara duka dari kulit paling akhir,
Lukanya menganga pada pedih memerah, di kulit paling akhir, sampai
Sejarah perdaban yang paling akhir
Medan,06
TANGIS GERIMIS ADALAH
Tangis gerimis adalah air mata gadis yang perih
Ketika menanak luka, mengalir di sungai-sungai nestapa,
Menderas arusnya
Tangis gerimis adalah air mata gadis yang menjelma
Butiran-butiran mutiara kaca, menggores di ruang-ruang batin
Tanpa jiwa, mendarah lukanya
Tangis gerimis adalah musik-musik jiwa yang memenuhi gua hampa,
Menggema tanpa alunan nada, yang memanah aura pesona
Tangis gerimis adalah
Luka di sungai-sungai nestapa, butiran-butiran mutiara kaca
Tanpa jiwa, atau gua hampa tanpa alunan nada
Medan,06
AKU MENJADI ANGIN
Aku menjadi angin
Yang bebas lepas menari kesanakemari
Mencium harum-mengelus daun-daun
Di taman hatimu
Medan,06
KEPOMPONG HUJANKU MENETESKAN KUPU-KUPU
Kepompong hujanku meneteskan kupu-kupu
Ulat-ulat menguap dari setiap sudut sejarah lelah
Meliuk-liuk diantara pori-pori tanah
Membasah di akar desah
Lalu, kubasuh wajah matahari
Kerontangkan rumput sepanjang savana
Membakar borok liang birahi, diantara
Kapas-kapas yang berbaring di paha
Menggeliatkan para wanita penyulam awan
Kepompong hujanku
Meneteskan kupu-kupu
Memburu bunga sepanjang savana
Menyedot madu
Medan,05
SEHABIS KHATAM HUJAN
Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan
Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan
Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang
Alif ba ta cinta
Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda
Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya
Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan
Surga?”
Medan,05
BAU ANYIR YANG MENGUAP
Bau anyir yang menguap dari liang ketiak dan selangkang
Mulai dari modul bayi berusia hari ini sampai labi-labi
Riwayat akhir nanti. Sekali menyulam dengkur-berdebur
Sekian rupiah. Ada yang diam-diam buang nafas
Diantara rimbunan ampas
Seorang lelaki berumah buncit bersetubuh
Dengan lubang senggama mimpinya
Dengan mulut berbusa-menganga
Sementara seekor ayam betina mengacak-acak rambut
Kemaluanku, sebelum memberi cinderamata luka
Pada seperampat perjalanan menuju kota.aku menghitung
Ketukan nada aroma disetiap tarikan nafasku, disetiap
Tetes keringatku
Bau anyir menguap
Diantara nafas kotoran
Berubah sayap pada jendela
Bogor,04
BIDADARI YANG MENARI
Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Di antara arak awan yang menawan, dan diantara
Pelangi yang menyemai seni sari-sari
Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Lalu mengajakku membakar birahi
Jakarta,05
BERITA TERKINI HARI INI
Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari ini masih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, mengunyah-kunyah nomor uji, seperti menjerat
Kursi sidang komisi di setiap ruang rapat fraksi
Giginya yang tajam menghunjam dalam-dalam serat saraf
Menghamburkan cairan dan kotoran yang memabukkan
Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari inimasih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, sementara seekor kucing hanya bisa menganga
Menjelma kuda
Medan,06
CITA-CITA YANG JUJUR
DAN KEINGINAN YANG ADIL
Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu mewujudkan
Cita-citamu menjadi dokter yang mengobati
Negeri yang sedang sakit ini, pahami semua
Mata pelajaran, jangan hanya hitung-hitungan saja
Sebab pikiranmu nanti akan tertanam
Sekadar keuntunganmu pribadi
Buta dengan kerugian orang lain
Boleh, Nak
Kau boleh jadi jaksa, apalagi jadi hakim
Tapi hati-hati, sebab kau akan tergelincir
Hanya untuk mempermainkan hati nurani di balik
Gelar yang kau pugar, dan jika masih begitu
Lebih baik kau jadi pedagang saja yang jelas
Ukuran timbangannya, itupun jika kau pedagang kecil
Seandainya kau pedagang besar, maka kau akan merepotkan
Pemerintah dengan kerugian yang milyaran
Siapkan dirimu jadi pemimpin, Nak
Sebab banyak pemimpin yang lebih siap
Jadi anak buah, pesuruh atau pecundang
Dalam pikiran mereka rakyat bukan apa-apa
Jika negara adikuasa yang mengerdipkan mata
Agama hanya jadi rawa-rawa penghalang
Akal bulus keinginan mereka menaikkan tarif
Setinggi-tingginya,menghukum maling ayam
Dengan cara yang paling jahanam
Sementara pelaku korupsi masih diberikan
Hukuman bergaransi
Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu menjadikan kita
Manusia berakal budi-berhati mulia
dalam setiap detik mengalirlah do’a-do’a
memohon kepada sang pencipta
karena dialah yang layak sempurna dipercaya
medan,03

Puisi Djamal

RUANG YANG KOSONG
: Umar Khalid
Diruang yang sempit ini kau hanya duduk memaku
Tanpa ada kau lontarkan sebait kata
Di sudut ruang 3 x 4 ini kau tertidur lelap
Menghempas kangen yang kian berjubal
Dan menyita tanya
Saat kita smu dulu kau selalu menggendong derita
Yang berkepanjangan, dengan sejumput asa
Serta redupnya jalanmu kau lalui dengan
Mesra
Aduhai... hanya tawa yang ada di lubuk hatimu
Tanpa ada yang melihat apa yang menempel
Tepat di pundakmu
Kawan aku ingin mengecup senyummu hari ini
Senyum yang membuat aku terlelap dengan tenang
Senyum ikhlas yang terpancar dari lubuk hatimu
Kawan hidangan dengan cumi-cumi
Siang ini kita santap dengan riang
Padahal kutahu berapa isi kantongmu hari ini
Medan, 2008
TUAN DENGARKANLAH
Sebungkus harapanku tumpah pagi ini
Dihempas sebuah angan yang kian lama
Memudar
Mataku togok di ujung penantian
Yang tak kunjung tiba dan entah kapan akan tiba
Suara perutku kian berseliweran di telinga
Tanpa ada yang mendengarkan
Tuan dengarkanlah suara genderang
Perut yang nyaring ini
Walau tanpa partitur
Pada orkestra negeri yang simpang siur
Medan, 2008
SEBUAH PERTEMUAN
Jangan gantungkan nasibmu dengan
Harapan yang akhirnya
Melingkar-lingkar di leher
Lihatlah sesaat lagi pasti akan ada sebuah mukjijat
Duduk di hadapan kita
Tentang sebuah janji
Dari negeri yang beribu teka-teki
Medan, 2008
RANTING KERING
Sayang,
Jangan kau kail kata itu
Bangunlah dari lelapmu
Sebab hari ini ada secercah harapan
Yani, lihatlah di depanmu
Masih ada ranting-ranting kering
Yang akan kita jadikan bara
Untuk sebuah negeri yang merdeka
Medan, 2008
LEMARI RENTA
Hanya debu yang melekat erat
Dan setumpuk kertas yang mulai menua
Menghiasi lemariku
Di sana tak ada sepucuk harapan
Yang tersisa cuma selembar angkara
Dari para pemimpin yang haus kuasa
Medan, 2008
Djamal kelahiran Medan 09-09-1982 adalah salah seorang anggota sanggar Teater Generasi Medan

Puisi Puisi AFRION

PUISI PUISI AFRION



Pertikaian Tanah Deli

Sabanhari, sepanjang waktu di tanah Deli
pertikaian tak henti
waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam

Di sungai Deli
segala raung adalah segemuruh tubuh
menikmati air beracun limbah
tiada perahu tiada kapal berlayar ke laut bebas
sungai dengan kepurbaan riwayat
mengabur situs menjadi abu batu

Tak ada yang dapat dihalau
daulat tuanku; abdi tubuh abdi hidup di bumi

Tidak sesejuk angin sejernih mata gunung
mencium harum tubuhmu

Airmata keruh; menangis di tanah guguran daun daun
sejak lama diapit pohon kamboja
kepala suku empu dan datuk datuk
pulang menatapmu kini dengan tubuh pucat pasi
seperti awan langit senja
pulang menatapmu kini bagai ditenung segala dewa
jadi bangkai peradaban
dihuni belulang tulang

Abdi raja mengeluh luluh tengkurap
dilamun petaka tanah ulayat dijarah
digarap puluhan perantau

Tiada tempat menanam pangan
mendulang gabah
menambang batu tanah liat

Perantau menguasai laman rumah
membangun gedung gedung
membakar pohon pohon
alangkah tidak mengenakkan
tidak senyaman dulu mereka nikmati indah tubuhmu
merasakan hembusan angin turun

Sejak daun kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh, segemuruh napasmu
raja dalam istana tanpa tahta dan singgasana
tahun tahun gusar di tengah musim angin laut
lalu membiarkan langkah mencari suaka
meniupkan dupa untuk santapan dewa

Meneteskan airmata langit berkabut
lalu antara bayangan memanjang
melewati negeri gelap gulita
segala menghilang penuh khianat tanah huma
tanah ulayat negeri beradat
dijemput takdir kematian


Medan, 2008




Kampung Medan /1/

Berpuluh resahku menghambur ke pucuk kalbu
lahir berpuluh gundah berpuluh gelisah
berpuluh rumah dan kanak berselimut kain belacu

Hikayat urban guru Patimpus
membuka ladang kampung Medan
kini bertumbuhan kepalsuan
dilamun petaka bumi jejak perantau

Istana bagi semua mengalir airmata
menusuk jantung hati dan paru
menyesak menghantam tengkuk kepala
membawa pikiran di tanah tandus membayangkan
beratus duka perempuan-perempuan

Sisa kuli kontrak
dilibas rotan dihukum pancung revolusi
di tengah amuk manusia pinggiran
bangun dari tidur melihat jalanan terbakar
bertumpahan darah kematian

Prahara menghancurkan tanah dan air
menghentak langkah
menghilang arah


Medan, 2004 – 2007


Kampung Medan /2/

Mungkin aku lelaki yang tak pandai memutar lidah
tak paham berkelit menyelamatkan diri dari godaan
perempuan perempuan sepanjang lapangan mardeka
tak pernah diam memacu desah percintaan
kata ibu “hati-hati dengan perempuan”
tapi bukankah ibu perempuan juga? pikirku.

Perempuan cantik bagaimanakah ibu
menggoda ayah datang meminang
dengan kelicikan memperdaya
mengharap nasib baik

Seperti malam sepulang pengajian
bagaimana ibu bersikap
wajah manis menaburkan harum bunga
kemanjaan memesona datang penuh cinta
diantar ayah berkeliling dengan sepeda

Darahku penuh titisan ayah
dikejar perempuan perempuan manja
apakah itu artinya aku lelaki penggoda asmara


2008


Kampung Medan /3/

Jiwa berduka dalam perkabungan
jiwa terluka berlumur darah dikedalaman rongga
baru kurasakan sakitnya ketidaksetiaan dan khianat
baru kutahu kebanyakan dari mereka memperdaya
mengolok-olok penuh merayu
mengeluarkan kata-kata asmara dari mulutnya yang bergincu.
terlena dalam kebahagiaan semu

Seperti takdir yang mesti kuterima dengan lapang dada
bukankah semua itu hanya akal-akalan belaka?

Seperti batu yang membelah lautan darahku
gelombangnya membuat tubuhku kehilangan keseimbangan

Aku tidak mau gelombang lautan darahku menenggelamkan dirimu
biarkan mereka berkhianat

Menumbuhkan rasa percaya diri seharian bersamaku
setiap datang malam waktu dingin mengucapkan salam

Segala nikmat dan kenyamanan diri
datangnya dari serpihan cahaya bulan dan matahari
menerangi semesta dengan firman-firman yang mulia.
begitulah kuterima berkah hidup ini dengan rasa syukur nikmat

Diam yang sangat kubenci tapi senyummu menggugah hati
kau berdiri memandang sekeliling perlahan mendorong kursi
mundur sedikit ke belakang membetulkan letak switer merah jambu

“Hai...akan kemanakah kau pergi?”
“Pulang.”
“Menemui lelakimu di warung?”

Kulihat matamu memantulkan cahaya kemerahan
wajahmu tampak muram mengandung keinginan direbahkan
pelan tapi pasti seketika tubuhmu menghilang.
aku gelagapan mencari dalam kegelapan.


2008


Kampung Medan /4/

Perjalanan terasa panjang, jalan berliku bercecabang
bagai ranting dan batang pohon, akar menunjang kedalaman
sejak rindu menjelmakan aroma bunga

Dengan apa menyampaikan syair dan lagu
hikayat medan guru Patimpus
menidurkan lelah Hang Nadim
membaca kisah Hang Tuah
syair raja Ali Haji di kepulauan jauh
mendongeng kisah mata air
membentang usia jarak dan waktu
tak ada yang bisa bertahan dari takdir akhir
kembali ke rahim tanah
seperti dedaunan di ranting mengering
gugur pada musim

2008


Kampung Medan /5/

Seperti Batam tak habis kubandingkan
menikmati malam di kampung Medan
menari di bawah bayang masa lalu
kenangan melukis bulan
gerak pertama jatuh sehabis lekuk tangis
lonceng berdentang dua belas kali
bayangan karam
tenggelam ke dasar laut hitam
bahkan sampai ke lumpur paling dalam
tak menemukan apa-apa

Mungkin pula seperti kota besar lainnya
gagap pandangi hidup dan mati
didesak tumpukan pikiran
sehabis cahaya terbenam
mengaca diri mengukur kedalaman

Dalam kehampaan dan gumam
berlari mengejar bayangan
seperti angin membawa hujan, seperti badai
tengah kabut awan hitam
maut mencengkram
tubuh bergelimpangan


2008



Lintasan Waktu,
di Café Juanda



cahaya api memanjangkan bayangan tubuh
antara nibung raya dan gajahmada
desir angin menyapu rimbun dedaunan
membentuk pola irama mengalun panjang
melayang jauh sampai hilang di tikungan jalan.

di halaman antrium plaza medan fair
duduk termangu mencium harum rambutmu

merasakan basah daun dihujani embun
ditiup angin sampai tubuh membungkuk
menggenggam kedua telapak tangan
memanggil dirimu dengan desah yang panjang
kau tak juga datang tapi tetap kutunggu
sambil mengingat-ingat kenangan pertama
menikmati malam di cafe juanda

“hai...! kaukah yang berdiri itu?”
suaraku nyaris kaku membayangkan kau berdiri di depanku
mengulum senyum lesung pipit
menepati janji

diam yang kubenci tapi senyummu menggugah hati
kau melamun memandang sekeliling
perlahan mendorong kursi mundur sedikit ke belakang
membetulkan letak switer merah jambu

“hai...! dhian hapsari!”
aku ingin menikmati pesona lebih lama
seperti malam di jogjakarta menggigilkan persendian

2008