Arsip Blog

Selasa, 25 Maret 2008

AMIR HAMZAH DALAM KATA

Memaknai Puisi-puisi Amir Hamzah
Ditulis pada Februari 13, 2008 oleh kapasmerah
Oleh Drs Abdul Chair SM

ABDUL Hadi WM dalam bukunya Sastra Sufi Sebuah Antologi memasukkan empat puisi Amir Hamzah yakni: Doa, Berdiri Aku, Padamu Jua dan Tetapi Aku ke dalam sastra sufi. Sastra sufi adalah sastra Islam yang memuat ajaran tasawuf. Tasawuf dalam ajaran Islam merupakan ajaran ketauhidan yang menjadi landasan utama akidah Islam.

Jika sebuah karya sastra digolongkan dalam sastra sufi, maka karya sastra tersebut harus memuat ajaran tauhid di dalamnya. Inti dari ajaran tasawuf adalah syahadat yakni pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah. Kemudian ajaran ketauhidan dalam Islam juga menyangkut hal-hal pokok dalam keimanan. Bila demikian, maka penulis berpendapat bahwa empat puisi Amir Hamzah di atas tidak dapat dimasukkan ke dalam sastra sufi (Sastra Islam) dengan alasan sebagai berikut:

1.Tidak Memuat Ajaran Tasawuf
Puisi Amir Hamzah (Padamu Jua) tersebut cenderung mengajarkan kesyirikan, karena menyerupakan Allah dengan makhluk sebagaimana pada larik-lariknya: Kaulah kandil kemerlap, Pelita jendela di malam gelap, Melambai pulang perlahan, Di mana engkau, Rupa tiada suara sayup, Hanya kata merangkai hati, Engkau cemburu, Engkau ganas, Mangsa aku dalam cakarmu, Engkau pelik menarik ingin, Serupa dara di balik tirai.

Para pemerhati sastra menganggap bahwa kata KAU dan ENGKAU dalam larik-larik di atas merupakan kata ganti untuk Allah. Jika demikian, jelaslah bahwa puisi ini telah menyerupakan Allah dengan kandil kemerlap, pelita jendela dan dara di balik tirai. Kemudian puisi ini juga menyerupakan Allah dengan sifat makhluk yang melambai, cemburu, ganas, memangsa dan memiliki cakar. Kemudian untuk puisi Doa, Berdiri Aku dan Tetapi Aku sama sekali tidak sedikitpun menyentuh masalah tasawuf. Dalam hal ini pantas direnungi bahwa “Islam dan sastra memiliki hubungan yang kuat dalam aspek akidah Islam.(DR.Thahir Muhammad Ali: Malamih Al ‘Ammah li Nazariyati al Adabi Al-Islam)”.

2.Menghina Allah
Jika kata KAU dan ENGKAU dalam larik-larik di atas juga dianggap kata ganti untuk Allah, maka puisi itu telah merendahkan Allah (tidak berakhlak kepada Allah). Misalnya pada larik: Engkau cemburu, Engkau ganas, Mangsa aku dalam cakarmu. Pada hal Islam dan Nabi Muhammad SAW diturunkan Allah bertujuan untuk menyempurnakan akhlak secara menyeluruh. Bagaimanapun sastra Islam wajib berakhlakul karimah (akhlak mulia), karena “Islam dan sastra menggambarkan setinggi-tinggi akhlak. (Lihat: DR.Thahir Muhammad Ali: Malamih Al ‘Ammah li Nazariyati al Adabi Al-Islam)”. Islam menjunjung tinggi akhlak. Oleh sebab itu sastra yang tidak menjunjungg akhlakul karimah terutama akhlak kepada Allah adalah sastra sesat bukan Sastra Islam.

3. Buruk Dan Dangkal
Sastra Islam menampakkan pandangan hidup Islam yang ditulis dengan bahasa yang Islami. “Bahasa yang buruk dan dangkal isinya tidak termasuk ke dalam sastra Islam”(Lihat: HB.Yassin dalam Kesusasteraan Indonesia Moderen dalam Kritik dan Essay). Berbahasa dalam sastra Islam terletak pada dua hal penting yaitu berakhlak dalam berbahasa dan berbahasa dengan kebenaran Islam. Puisi Amir Hamzah Padamu Jua telah merendahkan Allah, karena puisi ini menyatakan Allah memiliki sifat cemburu, ganas, memangsa dan memiliki cakar. Puisi ini bukanlah puisi sufi, karena telah membahasakan Allah dengan nilai-nilai yang jelek. Untuk melihat bagaimana beretika dalam berbahasa untuk puisi kiranya dapat diperhatikan dalam sastra Melayu yang ditulis oleh Raja Ali Haji dalam bahasa Melayu yaitu dalam Gurindam Dua Belas.

4. Cinta Kepada Makhluk
Penulis meyakini kata KAU dan ENGKAU dalam puisi tersebut tidak merujuk kepada Allah, tetapi kepada makhluk lainnya. Karenanya gambaran cinta dalam puisi ini lebih cenderung kepada manusia. Jadi puisi ini merupakan gambaran dari orang yang sedang dimabuk cinta kepada seseorang. Hal ini jelas terlihat dalam larik-larik: Satu kekasihku, Aku manusia, Rindu rasa, Rindu rupa, Di mana engkau, Rupa tiada suara sayup, Hanya kata merangkai hati.

Larik ini semakin memperkuat bahwa Amir Hamzah rindu akan rupa, rindu akan rasa, dan rindu akan suara yang hanya dimiliki oleh manusia. Pesona cinta kepada kekasihnya semakin jelas digambarkan Amir Hamzah dalam puisi Doa, Berdiri Aku dan Tetapi Aku. Walhasil penulis menilai bahwa Abdul Hadi WM telah keliru besar memasukkan keempat puisi tersebut ke dalam kelompok sastra sufi, karena puisi tersebut terlepas dari aspek-aspek tasawuf, bahkan cenderung berbau syirk terutama puisi Padamu Jua.

*dosen STAIS T Tinggi Deli

Sumber: WASPADA Online, Rabu, 24 Oktober 2007 22:18 WIB