Arsip Blog

Jumat, 18 Maret 2016

SEMOPGA TUHAN MEBETHT

KORUPTOR BUDIMAN









Pinangan








Drama Satu Babak
Karya Anton Chekov Saduran Suyatna Anirun

© 2010









RUANG TAMU DI RUMAH RADEN SUHANDOYO SALIMUN. MUSIK SELENDANG DELIMA MENGIRINGI RATNA SALIMUN YANG RUSUH HATINYA MEMASUKI RUANGAN.

Syair :
Bermula kisah di hamparan tanah Medan
Ratna binti Salimun dan Togar Margolang
Hendak saling mencari pasangan
Namun selalu banyak penghalang

(RATNA MENGHENTAK-HENTAKKAN KAKINYA, SEMBARI NGOMEL TAK JELAS. KEMUDIAN DUDUK MENYEPAK-NYEPAK KAKINYA SEPERTI ANAK KECIL YANG LAGI KESAL. BEGITU AYAHANDANYA, SUHANDOYO SALIMUN, MASUK KE RUANGAN, RATNA JUSTRU PERGI DENGAN WAJAH KESAL),
(WAJAH SUHANDOYO SALIMUN TENTU SAJA TERHERAN-HERAN MELIHAT KELAKUAN PUTRI SEMATA WAYANGNYA. UNTUNGNYA TOGAR MARGOLANG DATANG).

SALIMUN : Eee ... ada orang rupanya. O ... Togar Margolang Sinambela, aduh, aduh, aduh ... Sungguh di luar dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA BERSALAMAN).

TOGAR : Baik, baik, terima kasih, macammana dengan Bapak?

SALIMUN : Baik, baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik melupakan tetanggamu, lae Togar. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian? Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi ke mana?

TOGAR : Oh, tidak. Aku hanya akan mengunjungi Pak Suhandoyo Salimun yang baik.

SALIMUN : Lalu mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.

TOGAR : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi Pak Suhandoyo Salimun yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Salimun? Segelas air!

SALIMUN : (KE SAMPING MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan memberinya.
(KEPADA TOGAR) Apa soalnya, lae Togar?

TOGAR : Terima kasih, Pak Salimun... Maaf ... Pak Suhandoyo Salimun yang baik, aku begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak.
SALIMUN : Akh, lae Togar jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?

TOGAR : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak.

SALIMUN : (DENGAN GIRANG) Anakku Togar, Togar Margolang Sinambela, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak percaya.

TOGAR : Saya merasa terhormat untuk meminang ... ...

SALIMUN : Anakku sayang, aku sangat gembira, dan seterusnya ... (MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu lama sekali. Memang itulah keinginanku. Aku selalu mencintaimu, nak Togar. Seperti kau ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta, kasih yang baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di sini seperti tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen seluruh hatiku. Alangkah baiknya aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ...

TOGAR : Pak Suhandoyo Salimun yang baik, bagaimana Pak, bolehkah saya mengharapkan dia untuk melamar saya?

SALIMUN : Bagi seorang yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu. Aku yakin sekali, ia sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR)

TOGAR : Bah! Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. O Amang, kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Salimun gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SMK... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup. (MINUM)
Alamak... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali. (RATNA MASUK)

RATNA : Ooo ... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli mau mengambil barangnya? Apa kabar lae Togar Margolang Sinambela?

TOGAR : Apa kabar Ratna Salimun yang baik?

RATNA : Maafkan bajuku jelek. Aku sedang mengiris buncis di dapur, mengapa sudah lama tak datang? Duduklah.
(MEREKA DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali sehingga petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya terlalu serakah memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk nantinya. Dan aku seharusnya menunggu.
(MEMANDANG SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana, bang Togar? Huu ... kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa?

TOGAR : (GUGUP) Begini Ratna Salimun yang baik. Sebabnya ialah: aku sudah memastikan bahwa ayahmu ingin agar kau mendengarkan langsung dari aku. Tentunya kau tak mengharapkan hal ini. Dan mungkin kau akan marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM)

RATNA : Ada apa? (HENING)

TOGAR : Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Salimun yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal kau dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui, diwarisi tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan keluarga Sinambela, ayahku, dan keluarga Raden Salimun, ayahmu, selalu rukun dan boleh dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau masih ingat Lapangan “Simalingkar B”-ku yang dibatasi oleh pohon-pohon, yang tidak jauh dari kebun binatang ...

RATNA : Maaf, saya memotong. Abang katakan Lapangan “Simalingkar B“ apa benar itu milik Abang?

TOGAR : Ya, itu milikku.

RATNA : Jangan keliru. Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami. Bukan milik Abang.

TOGAR : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Salimun yang manis.

RATNA : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi milik Abang.

TOGAR : Bah, tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona ... Aku sedang berbicara tentang Lapangan “Simalingkar B” yang terbentang antara Medan dan Brastagi.

RATNA : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami.

TOGAR : Tidak, Ratna Salimun yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami.

RATNA : Pikirlah apa yang kau ucapkan, Bang Togar Margolang Sinambela... Sejak berapa lama tanah itu menjadi milikmu?

TOGAR : Bah! Apa yang kaumaksud dengan “beberapa lama“? Selamanya aku punya ingatan, tanah itu adalah milik kami.

RATNA : Mana bisa ... ?

TOGAR : Aku mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna Suhandoyo Salimun. Lapangan “Simalingkar B” dulu memang milik yang dipersoalkan. Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa tanah itu milikku dan hal itu sekarang sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pikirkanlah baik-baik. Opung-Namboruku mengizinkan tanah itu dipakai oleh petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa selama lebih dari dua ribu tahun. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menganggap tanah itu menjadi milik mereka. Tapi sesudah perjanjian itu habis, yaitu sesudah Pak SBY naik ...

RATNA : Semua ucapanmu sama sekali tidak benar. Ayah Kakekku dan kakek kakekku, keduanya menganggap bahwa tanah mereka memanjang sampai arah Brastagi. Jadi Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami. Ooo ... aku tidak mengerti apa yang menjadi persoalan. Ini merusak suasana Togar Margolang Sinambela.

TOGAR : Akan kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna Salimun...

RATNA : Kau akan melucu atau akan menggoda saya? Itu tidak lucu sama sekali. Kami memiliki tanah itu hampir tiga abad, dan tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku. Maaf, Togar Margolang Sinambela. Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu itu. Saya tidak tergila-gila pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari empat puluh hektar dan harganya paling tinggi tiga ratus juta rupiah. Tetapi saya terpaksa memprotes karena ketidak-adilan. (TOGAR BERAKSI INGIN BICARA)
Kau boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan ketidakadilan.

TOGAR : Saya mohon agar kau suka mendengarkan aku. Petani-petani Kakek-Ayahmu seperti kukatakan tadi membuat batu bata untuk Opung-Namboruku. Dan karena Opung-Namboroku ingin membalas kebaikan ini ...

RATNA : Kakek-Opung-Namboru, aku tak mengerti semua itu. Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami ! Itulah !

TOGAR : Milikku ... ! ..., Milikku ... !

RATNA : Milik kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas jas, Lapangan “Simalingkar B“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka!

TOGAR : Aku juga tidak tergila-gila pada lapangan itu, Ratna Salimun. Kalau kau mau akan kuberikan tanah itu padamu sebagai hadiah.

RATNA : Aku yang bisa memberikan tanah itu kepadamu sebagai hadiah. Karena itu adalah milikku. Semua ini merusak suasana, Togar Margolang. Percayalah. Sampai sekarang aku masih memandangmu sebagai sahabat yang baik. Tahun yang lalu kami meminjam mesin penggiling padi hingga bulan November dan sekarang kau berani menganggap kami sebagai kaum melarat. Menghadiahi aku dengan tanahku sendiri. Maafkan saya, lae Togar Margolang. Ini bukan sikap tetangga yang baik. Terlebih-lebih lagi ini dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan.

TOGAR : Aih Mak, kalau begitu menurut anggapanmu aku ini lintah darat? Alebaya, aku belum pernah merampas tanah orang lain, Nona. Dan aku tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku dengan cara yang demikian! (MINUM) Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami.

RATNA : Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di lapangan itu.

TOGAR : Akan kulempar mereka semua keluar!

RATNA : Awas kalau kau berani!

TOGAR : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Lapangan “Simalingkar B” adalah milikku.

RATNA : Jangan kau menjerit! Kau boleh berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena marah bila di rumahmu sendiri. Tapi di sini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti adat.

TOGAR : Kalau aku tidak sakit napas, Nona, kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak akan berteriak-teriak seperti ini.
(BERTERIAK) Lapangan “Simalingkar B“ milikku.

RATNA : Punya kami!

TOGAR : Punyaku!

RATNA : Kami!

TOGAR : Punyaku! (SUHANDOYO SALIMUN MASUK)

SALIMUN : Ada apa dengan kalian? Mengapa berteriak-teriak?

RATNA : Ayah, coba terangkan pada orang ini. Siapa yang memiliki Lapangan “Simalingkar B“. Dia atau kita?

SALIMUN : Togar, Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami.

TOGAR : Masya Allah, Salimun! Bagaimana bisa menjadi milikmu?
Cobalah sedikit adil. Opung-Namboru meminjamkan Lapangan “Simalingkar B“ tersebut kepada petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua ribu tahun. Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka. Tapi ketika perjanjian selesai, maka tanah itu adalah milik kami.

SALIMUN : Maaf, Togar. Kau lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa kepada Opungmu dan seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama kemudian, ... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang memilikinya. Mungkin kau belum memiliki petanya, Gar.

TOGAR : Akan aku buktikan bahwa akulah pemiliknya!

SALIMUN : Akan tidak bisa, Nak ...

TOGAR : Tentu saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT)

SALIMUN : Mengapa kau berteriak-teriak, Gar? Kau tidak usah membuktikan apa-apa dengan menjerit-jerit. Aku tidak menginginkan kepunyaanmu. Dan akupun tidak akan menyerahkan kepunyaanku. Untuk apa? Kalau kau, Togar ... Kalau kau sudah berani mencoba untuk bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu kepada petani-petani, dari pada kepada orang seperti kamu.

TOGAR : Itu kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak menghadiakan hak orang lain?

SALIMUN : Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namamu: “Tuan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua kali umurmu, Tuan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa berteriak-teriak, dan seterusnya ...

TOGAR : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan menertawakan aku? Katamu ... Tanahku adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Suhandoyo Salimun... Kau bukan tetangga yang baik. Kau lintah darat!

SALIMUN : Apa katamu, Togar? Lintah darat?

RATNA : Ayah, suruhlah buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera.

TOGAR : Apa katamu, Nona?

RATNA : Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami dan kami tidak akan menyerahkan kepadamu. Aku tidak mau, tidak mau ...

TOGAR : Oh ... persoalan ini akan berlarut-larut nantinya. Akan kubuktikan di depan pengadilan bahwa akulah pemiliknya.

SALIMUN : Di depan pengadilan boleh saja, Tuan Muda, dan seterusnya ... Boleh saja ... Kamu memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini ke pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik!
Memang semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... !

TOGAR : Alamakjang! Bapak jangan menghina keluargaku. Semua keluarga Sinambela selalu orang yang dapat dipercaya, dan tidak seorangpun yang muncul di pengadilan karena melarikan uang, seperti amangborumu. (KEPADA RATNA)

SALIMUN : Semua keturunan Sinambela keturunan gila !

RATNA : Yaaaaa ... Semuanya, semuanya ... ... !

SALIMUN : Opungmu seorang pengadu ayam, namborumu yang termuda melarikan diri dengan mandor PU, dan seterusnya ... (LEMAH)

TOGAR : Dan namborumu seorang yang bongkok.
(MEMEGANG JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ... Demi Allah ... Air ...

SALIMUN : Dan ayahmu seorang yang mata keranjang!!!

RATNA : Dan tak ada lagi selain Namborumu yang mulutnya latah dan judes ...

TOGAR : Oooohh ... Aih Amang !!! Kakiku sudah lumpuh! Kalian orang-orang berkomplot! Tukang komplot! Oh ... Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintunya?! Aku mau pulang ... !!

RATNA : Jahat!, Licik!, Memualkan!!

SALIMUN : Dan kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar malapetaka, itulah kau!

TOGAR : Mana pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana saya harus keluar...? Mana pintunya? ... (KELUAR)

SALIMUN : Selangkahpun kamu jangan lagi memasuki rumah ini!
RATNA : Bawa saja ke pengadilan, kita lihat nanti. (TOGAR KELUAR MERABA PINTU)

SALIMUN : Persetan dia ... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH)

RATNA : Orang sial, bagaimana kita bisa percaya lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah ini?, penjahat!, orang tolol!, berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina pemiliknya. Sialan!!!

SALIMUN : Dan si Konyol itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ... Pikirlah ... Melamar.

RATNA : Hhhaaaahhh ... ?, Melamar Apa?

SALIMUN : Dia datang ke sini untuk melamarmu ...

RATNA : Melamar saya? Mengapa ayah tidak memberitahu terlebih dahulu? (MENYESAL)

SALIMUN : Karena itu dia berpakaian necis. Bagus! Si Bulus!

RATNA : Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia kembali lagi.

SALIMUN : Aduh, bawa dia kembali?

RATNA : Lekas ... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

SALIMUN : Aduh ... segera, jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah ... ! (LARI KELUAR)

RATNA : Oh, Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

SALIMUN : (MASUK LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku, kami hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau.

RATNA : Tidak. Ayah yang salah!

SALIMUN : Ha ... ? Salahku? Begitukah? (TOGAR MASUK) Nah, bicaralah sendiri dengan dia! (SALIMUN KELUAR)

TOGAR : (MASIH TERENGAH-ENGAH) Hatiku berdebar-debar, kakiku lumpuh, pinggangku sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.

RATNA : Kami minta maaf, bang Togar. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru, abangku Togar Margolang Sinambela, sekarang aku ingat Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikmu. Sungguh-sungguh ...
TOGAR : Oh ... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya, Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikku. Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut.

RATNA : Ya ... milikmu, betul milikmu. Duduklah, (MEREKA DUDUK) Kami tadi salah.

TOGAR : Aku bertindak menurut prinsip. Aku tidak menghargai tanah lapangan itu. Yang aku hargai adalah prinsipnya.

RATNA : Betul, prinsipnya. Mari kita bicarakan soal lain saja.

TOGAR : Terutama aku mempunyai bukti-buktinya, Ratna Salimun. Opung-Namboruku memberikan izin kepada petani-petani ayahmu ...

RATNA : Cukup, cukup tentang hal itu. (KE SAMPING) Saya tidak tahu bagaimana memulainya. (KEPADA TOGAR) Apakah kita akan berburu rusa, pada suatu hari?

TOGAR : (MULAI HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku berharap berburu ayam liar setelah panen selesai, Ratna Salimun yang baik. Tapi sudahkah kau mendengar betapa jeleknya nasib si Belang, kucingku, kau kenal dia? ... Kakinya lumpuh ...

RATNA : Kasihan, bagaimana terjadinya? ...

TOGAR : Entahlah, mungkin otot kakinya terkilir. Tapi, kucingku adalah yang terbaik. Lagi pula belum kusebutkan berapa harga yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa aku membayar kepada Haji Ramli sebanyak dua juta rupiah untuk si Belang?

RATNA : Terlalu mahal, Abangku.

TOGAR : Kukira jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia kucing yang lucu dan cerdas.

RATNA : Ayah hanya membayar lima juta rupiah untuk si Manis, dan si Manis jauh lebih cerdik daripada si Belang.

TOGAR : Si Manis lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Manis lebih cerdik dari si Belang?

RATNA : Ya, tentu saja. Si Manis masih muda sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat sifat-sifatnya dan cerdiknya, Amang Sinambela tidak mempunyai satu ekor-pun yang menyamai dan yang bisa mengalahkannya.

TOGAR : Maaf, Ratna Salimun. Tapi kau lupa bahwa si Manis berkumis pendek. Dan, ooo ... Kucing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit.

RATNA : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang hal itu.

TOGAR : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya.

RATNA : Sudah kau ukur?

TOGAR : Oh ya, kucingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.

RATNA : Tetapi pada kucing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia sudah tua dan jelek seperti anjing yang hampir mati.

TOGAR : Oh ... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh ekor kucing seperti si Manis. Dan si Manis itu tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai berpuluh-puluh kucing, seperti si Manis itu. Dan lima puluh ribu rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia.

RATNA : Tampaknya hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Togar Margolang. Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau mengatakan si Belang kucingmu lebih cerdik dari si Manis. Aku tidak suka pada lelaki yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti tahu bahwa kucing kami seratus kali lebih bagus dan berharga daripada kucingmu yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang sebaliknya?

TOGAR : Sekarang sudah jelas, Ratna Salimun. Bahwa kau buta dan tolol. Insyaflah kau, bahwa kucingmu berkumis pendek.

RATNA : Bohong ... !

TOGAR : Betul ... !

RATNA : Bohoooooong ... !

TOGAR : Alahmak! Mengapa menjerit-jerit? Mengapa pula kau berteriak-teriak?

RATNA : Mengapa kau berbicara omong-kosong? Ingin membuat aku marah. Sudah masanya bahwa si Belang harus ditembak mati. Tapi coba kau bandingkan dengan si Manis.

TOGAR : (SAKIT LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan soal ini. Hatiku berdebar-debar.

RATNA : Aku sudah berpengalaman bahwa laki-laki yang biasanya ngomong besar tentang perburuan biasanya tidak mengetahui tentang soal itu.

TOGAR : Nona, kuminta agar kau jangan bicara. Kepalaku akan pecah. Diamlah!

RATNA : Aku akan diam sebelum kau mengakui bahwa si Manis seratus kali lebih baik dari si Belang.

TOGAR : Seribu kali lebih jelek ! Persetan dengan si Manis. Oh, kepalaku ... Oh, mataku ... Pundakku ...

RATNA : Belangmu yang bodoh tidak memerlukan ucapan persetan, ia boleh dianggap mati saja.

TOGAR : Diam! Hatiku mau pecah! Oh.

RATNA : Sekarang apa lagi? (SALIMUN MUNCUL) Ayah, katakan dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran sehat Ayah, kucing mana yang lebih baik, si Manis atau si Belang?

TOGAR : Pak Salimun, saya hanya meminta jawaban atas pertanyaanku, apakah si Manis berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak?

SALIMUN : Mengapa kalau ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apa-apa? Tidak ada lagi kucing yang baik di seluruh daerah kita ini.

TOGAR : Tetapi kucing si Belang lebih baik dari si Manis, bukan?

SALIMUN : Jangan terburu-buru, nak Togar. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-sifat yang baik. Dia kucing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ... Tapi kucing itu Gar, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ...

TOGAR : Maaf, hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau fakta-faktanya. Kalau kau insyaf, di rumah Abah Wahab, kucing Raden Abdillah dikalahkan si Belang, sedangkan kucing Bapak, si Manis, setengah kilo di belakang mereka.

SALIMUN : Bohong, Gar. Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau menghentikan perdebatan ini. Ia dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat kucing orang lain. Misalkan saja kau menemukan bahwa kucing kami lebih pandai dari pada si Belang. Kau mulai mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Gar?

TOGAR : Kuingat juga ...

SALIMUN : (MENIRUKAN) Kuingat juga. Apa yang kau ingat?

TOGAR : Hatiku berdebar-debar. Kakiku sudah hilang perasaannya. Aku tidak bisa ...

RATNA : (MENIRUKAN) Hatiku berdebar-debar. Huh ... Itukah seorang pemburu ? Kau seharusnya tinggal di rumah saja daripada terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak apalah. Tapi kau cuma ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikut-ikutan campur tangan kucing orang lain. Kau seharusnya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat daripada berburu serigala. Huh ... hatiku berdebar-debar. Huh ...

SALIMUN : Ya! Itukah seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau seharusnya tinggal di rumah daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu, tak apalah, tapi kau cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan seterusnya ... ... Aku orangnya cepat marah, lae Togar. Lebih baik kau hentikan saja perbantahan ini. Kau bukan seorang pemburu!

TOGAR : Dan kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau ikut hanya untuk korupsi dan menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku, kau ikut orang yang berkomplot!

SALIMUN : Apa? Aku orang yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu!

TOGAR : Tukang komplot!

SALIMUN : Pengecut! Anak liar!

TOGAR : Tikus tua! Rentenir! Lintah darat!

SALIMUN : Tutup mulutmu, atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar. Goblok!

TOGAR : Setiap orang mengetahui ..., ooo hatiku ..., bahwa istrimu dulu suka memukuli kau. Ooo ... hatiku ... bahuku ... mataku ... aku pasti mati, ooooh ... ... ...

SALIMUN : Dan kau suka menggoda babu-babu tetanggamu.

TOGAR : Ooo ... hatiku ... Pasti hancur, pundakku sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ... Aku pasti mati ... (JATUH KE KURSI)

SALIMUN : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang hawa.

RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... !

SALIMUN : Siapa mati? (MELIHAT TOGAR) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter! (MELETAKKAN AIR DI BIBIR TOGAR)
Minum ... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau!
(TOGAR BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah, Gar...

TOGAR : (BERKUNANG-KUNANG) Di mana aku?
SALIMUN : Sebaiknya kau segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia menerima lamaranmu dan akan kuberikan anakku kepadamu.

TOGAR : Ah, siapa? (BANGUN) Siapa?

SALIMUN : Ia menerima kamu dan persetan dengan kalian.

RATNA : (HIDUP) Ya, kuterima lamaranmu.

SALIMUN : Jabatlah tangannya, Nak. Dan seterusnya ...

TOGAR : Hah? Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa sebenarnya? Oh ya, aku mengerti. Hatiku berdebar-debar, kepalaku pusing, aku senang Ratna yang manis.

RATNA : Saya ... saya juga senang Togar Margolang.

SALIMUN : Nah ... Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku.

RATNA : Tapi harus kau terima sekarang. Si Belang lebih bodoh dari si Manis.

TOGAR : Dia lebih cerdik, Ratna.

RATNA : Ia kurang cerdik!

TOGAR : Ia lebih cerdik.

RATNA : Kurang!

TOGAR : Lebih!

RATNA : Kurang!

TOGAR : Lebih!

SALIMUN : Wahhhh, inilah permulaan hidup bahagia sepasang suami-istri! Mari kita berpesta!

(SAAT MEREKA STATIS. MUSIK SELENDANG DELIMA KEMBALI BERKUMANDANG)

Syair :
Begitulah sepenggal kisah tentang anak manusia
Yang hendak menghabiskan masa berumah tangga
Meski diselimuti malapetaka
Namun tetap aman sentosa



F a d e I n (L a y a r T u r u n)

Puisi-Puisi M.Raudah Jambak...

Puisi puisi M. Raudah Jambak

Tsaisheng

Kaulah itu yang menebar benih rezeki
Pada setiap langkah-langkah pasrah
Yang menuai segala gerah, dan
Tikus-tikus siap mengintai
di setiap lengah

7 Februari 2008

Chenzhou

Di kota ini, para migran menembus
Gunung-gunung salju dari sejarah
Yang paling dingin

Di kota ini, cahaya temaram dalam diam
Orang-orang kerontang berebut air
Sampai tetes paling akhir

Di kota ini, tahun bersambut pada
Suasana yang paling haru, rumah-rumah
Merapat mencari hangat

2008

Di Tianjin

Di Tianjin para tikus membangun kerajaannya
Orang-orang cemas, orang-orang gemas, sebab
Emas-emas raib dari brankas

2008

Puisi puisi M. Raudah Jambak

Kembang Kertas

Kurayakan lunar tanpa barongsai
Dan tarian naga. Kembang kertas berjajar
Pada rumah yang merapat berbanjar
Kurayakan lunar menghempang babi tanah
Yang menyeberang gunung, menghadang
Tikus api yang menembus gudang
Dan langit, dan bumi dan manusia
Tercatat pada kelopak kembang
Begitu memesona

Hong bao

Merah warna yang penuh pada gairah
Di setiap hati para bocah
Genggam tangan dengan erat, maka
Akan kau genggam mata uang berwarna coklat
Dan beberapa potong permen pengikat

2008

Ling Ling Namaku

Lama sudah kita menjaring cerita
Tentang budaya dan perbedaan warna
Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu
Menyatukan segala-menyatukan rasa
Ah, apalah artinya sebuah nama katamu
Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya
Tentang sebuah harkat maupun pembuktian
Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu
Aku terlahir di negeri ini
Ling Ling namaku

2008-02-07

Puisi puisi M. Raudah Jambak

Ada Beda antara Kita

Usah resah maupun gundah tentang sebuah
Perbedaan antara kita. Apa itu salah?
Justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan
Bukan topeng dari cinta yang dipaksakan
Kita memang lahir dari keluarga yang berbeda
Kita memang lahir dengan warna kulit yang berbeda
Kita memang lahir pada lingkungan budaya yang berbeda
Tapi, tahukah kau bahwa kita masih punya hati
Yang menyatukan segala beda antara kita
Dengan cinta

2008

Tahun Tikus

Setelah kemakmuran di tahun babi tanah pergi
Tikus-tikus apipun kembali menebar rezeki
Berharap mendapatkan sebuah kursi
Untuk memimpin negeri ini
Gunung-gunungpun berubah gudang-gudang
Tanah, air dan api menyatu
Angin tergugu menunggu

Setelah tahun babi tanah pergi, maka berkuasalah
Para tikus api menebar rezeki atau korupsi
Bertubi-tubi

2008-02-07

Happy Lunar New Year

Gong Xi Fa cai,
Mari samakan langkah
Membangun negeri tempat
Kita lahir dan dibesarkan
Satukan hati, singkirkan perbedaan

7 Februari 2008

Berilah Air Dari Tangan Keikhlasan
berilah air dari tangan keikhlasan,maka
kita akan selalu dicurahkan kemudahan
sebab, kasih tanpa syarat adalah
hidup yang penuh kedamaian
pada manusia
juga Tuhan

medan,06
Aku Hanya Menitipkan Bunga Ini Untukmu, Sahabat
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. tanamlah ia pada vas
hatimu yang bersemu biru
sebab, hanya ia yang mampu mewarnai hidup
agar lebih indah dan merona

Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. rawatlah ia dengan
segenap kasih sayangmu
sebab, hanya ia yang mampu memberi kesegaran bagi hidup yang mengharu biru

Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu, ya setangkai bunga
cinta berwarna kedamaian

medan,06
Masa Depan Manusia
masa depan manusia adalah
pucuk dedaunan di puncak pepohonan
yang menghijau
sebab energi pupuk kebersamaan
bersih dari racun curiga
dan satwasangka

masa depan manusia adalah
buah ranum di reranting pepohonan
yang rimbun
sebab siraman segar air kebersamaan
mengalir dari mata air yang bersih
dan bening

masa depan manusia adalah
angin sejuk berhembus pada
pepohonan hati kita, makhluk
penjaga sah kelestarian hidup
dan kehidupan

medan,06
Demi Masa
aku kejar matahari tenggelam agar aku
tidak merasakan malam,
aku kejar kehendak hatiku untuk
kebahagiaanku,
tanpa sadar sekelilingku bukan siang lagi

aku pandang esok hari dengan sebuah ambisi
padahal aku hidup hanya beberapa jam lagi,
aku lupa mengucap syukur pagi tadi,
sekarang aku sudah mati dan tidak mampu
untuk menata hari depanku sekali lagi

aku lupa tersenyum,
sekarang mulutku sudah terkatub
aku lupa bertegur sapa,
sekarang aku diam bahasa
kisahku sudah selesai

hari ini adalah masa depanku
seharusnya aku peluk istriku
dan mencium dahi kedua anakku
sambil berjalan mampir kerumah ayah, ibuku
tapi, kisahku sudah selesai

kisahmu belum,
saat kau baca jeritan hatiku ini
hari ini, hari esok, mungkin milikmu,
jangan sia-siakan
pakai lututmu, pejamkan matamu, teduhkan hatimu,
mintalah Tuhan menuntunmu.

Siklus
Pernah kita beria di gelinjang kekanakan yang menggemaskan dengan celoteh tak bermakna.
Lalu bergolak dengan decak nakal keremajaan hidup oleh setumpuk kejahilan;
Trus tegak berlenggok menapak detak waktu yang masih terus berjajar kian banyak menyusur kedewasaan batas -batas hari yang tak mau surut.
Selalu ada cerita bergilir melintas di lorong nafas hidup tanpa mau permisi karna dia memang punya ruang untuk berlakon.
Kau dan aku mungkin lelah melonggok ke kisi peristiwa dengan tanya yang tak bersahut.
Galau, cemas, bingung dan takut adalah geliat angin yang mengusap jemarinya sebentar lalu pergi karna tersapu tawa.
Kadang memang tinggal mengendap di dada menoreh atau malah mencabik rasa.
Tapi mereka bukan keabadian yang memberi janji.
Karna di tiap simpang hidup yang luput dari pelupuk asa, selalu ada kuntum dari suatu janji bergantung dilipatan lutut dan tangan yang bergumam pada renungan doa.
Janji itu guratan pena Kudus dari tangan yang pernah terpaku, berlumur darah penebusan.
Suatu janji "Aku menyertai engkau senantiasa sampai pada akhir jaman.

M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi puisipenyair Medan), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay), MEDITASI (antologi puisi tunggal), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara, Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa Sumut)dan Perempuan berhati gerimis .Tembang Bukit Kapur (Penerbit Escava, Jakarta, 2007), Kumpulan cerpen Ranesi (Grasindo, 2007) Medan Sastra (DKSU, 2007), Jelajah (2003), Jogja 5,9 RC (antologi Puisi Jogja, 2006), Medan Puisi (2006) Sekarang ini aktif di Sanggar GENERASI Medan. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) . Kepala Biro Sastra Seniman Indonesia Anti Narkoba (SIAN)Wil.Sum. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan

Tumor karya M. Raudah Jambak

Tumor karya M. Raudah Jambak
PENTAS BISA DIMANA SAJA. BISA MENGGAMBARKAN APA SAJA. LAMPU BRMAIN SUASANA. MUSIK BERMAIN SITUASI. TERSERAH. TAPI YANG JELAS SEORANG LELAKI TERLIHAT SIBUK. DENGAN BERPAKAIAN YANG TERSERAH. MEMBOLAK-BALIKKAN LEMBAR KORAN. SEOLAH MENCARI SESUATU. MEMBUKA HALAMAN DEMI HALAMAN BUKU. MENCARI DI FILE KOMPUTER. MENULISKAN SESUATU DIKERTAS. MEMBUANGNYA. MENULIS SESUATU DI KERTAS, LALU MEROBEK-ROBEKNYA. MENGACAK-ACAK RAMBUT. MENYERUPUT KOPI. KEMUDIAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK. MENYALAKANNYA. MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. PENUH KENIKMATAN.
LELAKI ITU TIDAK BERAPA LAMA BERGERAK MONDAR-MANDIR SEOLAH SEDANG MENCARI INSPIRASI BARU DAN TERKEJUT KETIKA IA MENGINJAK SESUATU DAN TERPELESET.
Aduh....! sialan ! Siapa yang membuah sampah sembarangn ! Binatang ! Jin tanah, jin api, jin air, jin udara. Jin segala jin ! Setan ! Sumpah ! Eh, maaf. Ada kalian. Dan mumpung ada kalian, aku mau bertanya. Ah, tak usah kuatir. Aku masih bisa kontrol. Ya, iyalah. Sebab kontrol adalah nama lain dari nama asliku. Nama asliku? Aku Syaiful. Hehehe. Tenang. Boleh aku bertanya kan? Boleh? Oke. Trims. Siapa ya kira-kira yang membuah sampah sembarangan ini? Tak apa-apa. Aku mau kasih sesuatu. Kalau dia laki-laki akan kuajak diskusi. Bukan konfrontasi. Nah, kalau dia perempuan akan kujadikan ... hus, bukan istri, tapi inspirasi ... hehehe,,, ah, masak!? Kalian menuduh. Aku!? Ya, sudahlah. Kalau memang aku, berarti tidak ada persoalan. Walaupun sebenarnya aku sering bermasalah dengan diriku sendiri. Ya, sudahlah. Ooo, anu... tunggu sebentar.
LELAKI ITU SECEPAT KILAT MENCARI-CARI SESUATU DI LACI. DI ATAS MEJA DAN DITUMPUKAN-TUMPUKAN SAMPAH. LALU TERTAWA SUMRINGAH KETIKA MENEMUKAN SEBUAH KERTAS YANG SUDAH REMUK. KEMUDIAN MENARI-NARI KEGIRANGAN.
Ah, ini dia. Hahaha. Aku sedang melakukan riset dan menjadikannya cerpen. Bukan begitu. Ini contoh keseriusanku. Aku menulis karena itu aku ada. Aku ada karena itu menulis. Hehehe. Ah, coba kalian simak. Ya, simak. Tidak. Aku tidak akan terlihat sentimentil. Aku akan membaca cuplikannya berapi-api. Ya. Begitu. Nah, begini.
LELAKI ITU LALU MULAI MEMBACA. SEPERTI SEORANG DEKLAMATOR
Diruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Di antara semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tepat diatas daun yang yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya sangat perlahan, seperti seekor ulat yang merayap dipatahan-patahan ranting. Ini bulan yang kesekian.
LELAKI ITU BERHENTI MENYERUPUT KOPI. LALU MELIRIK KE PENONTON. ADA PERASAAN MALU.
Hehehe. Sebenarnya, cerita ini hampir seratus persen bercerita tentang aku. Apa!? Tidak percaya!? Ya, sudahlah, kalian dengarkan saja. Aku tulis nama tokohnya. Kubaca ya!? Terimakasih.
LELAKI ITU MENCARI BARIS-BARIS DALAM TULISAN DAN MELANJUTKAN MEMBACA LAGI.
Lelaki itu tercenung. Tatapan mataya menahun. Tak lepas memandang ranting, daun, semut, ulat, maupun aliran air yang mengalir. Hari masih sekuning cahaya. Pada dahi lelaki itu telah tercatat baris-baris beban. Begitu buram. Pikirannya kembali terbang di pinggir ranjang. Perempuan itu, istrinya, mengangis tersedu-sedu. Lelaki itu seperti kehilangan kata. Tak mampu harus berbuat apa.
MENATAP KE ARAH PENONTON. WAJAHNYA AGAK SEDIKIT KECEWA.
Mengapa kalian diam? Tak enak ya? Wah, pikiran kalian sama dengan pikiran istriku. Hanya mungkin lebih beringas. Malah tanpa sebab, ia pernah meminta cerai padaku.”Pokoknya, aku mau pisah. Aku minta cerai. Titik!” aku Cuma bisa diam. Hatiku serasa kelam. Katanya lagi, “ Kalau abang tidak mau, jangan salahkan kalau nati rumah ini penuh dengan nisan!”
LELAKI ITU MERAS TUBUHNYA SEKETIKA LEMAS. IA JALAN PERLAHAN MENGAMBIL. KURSI LALU DUDUK DENGAN WAJAH YANG MURAM.
Waktu itu aku hanya terduduk di pinggir ranjang. Bibirku masih tetap terkatup.
LELAKI ITU PERLAHAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DARI SAKUNYA MEMBAKARNYA, LALU MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. MENERAWANG JAUH.
Tatapan mataku mamaku di dinding. Pada sebuah foto perkawinan yang tergantung. Ada kebahagiaan yang tergurat jelas di sana. Bingkainya yang keemasan itu, menambah lengkapnya kebahagiaan kedua tokoh, foto pernikahan kami, yang tergambar abadi disana. Aku waktu itu masih terdiam. Hanya tatapan mataku yang menyebar kesetiap sisi dan sudut ruangan kamar. Aku masih ingat, betapa kamar kami telah menjadi saksi yang paling layak dipercaya. Demi mengingat itu hatiku memanas. Kalian tahu, demi perempuan itu segelanya rela kukorbankan. Tetapi apa yang kudapatkan. Lacur dasar lacur. Perempuan yang katanya istriku, yang paling kucintai melebihi segalanya itu, telah menghancurkanku kebahagiaan rumah tangga yang kami bina begitu rupa.
LELAKI ITU BERDIRI. ROKOK YANG BELUM HABIS ITU DICAMPAKKAN BEGITU SAJA DILANTAI. LALU LELAKI ITU MENGINJAK-INJAKNYA DENGAN PENUH KESAL.
Awalnya, aku berfikir. Ia sering marah-marah, karena aku selalu larut dalam tulisan. Kemudian, lupa menemaninya tidur. Lupa mengajaknya berbicara dan bercanda. Lupa segalanya. Kupikir itu. Kalian tidak percaya!? Ah, jangankan kalian istriku saja selalu menaruh curiga padaku. Lupakan. Lupakan saja. Aku hanya ingin menceritakan tentang istriku pada kalian. Isteriku yang selalu memarahiku kalau terlambat pulang kerumah. Isteri yang selalu memarahiku kalau aku sedang menerima telepon atau sms dari seorang perempuan yang sebenarnya belajar menulis kepadaku. Isteri yang kuanggap setia. Eh, ternyata...?
LELAKI ITU TERDIAM. DIA MENGAMBIL SESUATU DI SAKU CELANANYA. SEBUAH SAPU TANGAN. KEMUDIAN MENGHAPUS AIR MATANYA.
Bukan. Aku bukan menangis. Mataku erasa sedikit gatal saja. Mungkin terlalu lama menulis. Sehingga mataku terasa lelah. Sumpah. Aku tidak menangis. Aku marah. Coba kalian pikir. Disini. Ya disini, ditempat ini. Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu, tiba-tiba datang memelukku. Sambil berteriak kegirangan ia menyamaikan sesuatu, “aku hamil, bang.” Isteri yang kusebut perempuan itu memelukku penuh gembiri. Aku segera melepaskan pelukan itu dengan tiba-tiba. Dia terkejut dan bertanya, “kenapa, bang?” mata isteri yang kusebut perempuan itu mulai berkaca. Kebahagiaan yang paling diimpikannya seolah raib begitu saja. “apa ada yang salah?” isteri yang kusebut perempuan itu bertanya lagi. Puih! Dia lalu menerorku dengan bebagai pertanyaan-pertanyaan yang paling tidak aku suka. “abang tidak bahagia dengan kehadiran anak kita?” isteri yang kusebut Perempuan itu menggoncang tubuhku. “Atau Abang berpikir yang tidak-tidak tentang aku?”
LELAKI ITU BANGKIT. IA MERASA BERSEMANGAT DAN PENUH KEMENANGAN.
Tahukah kalian apa yang kulakukan selanjutnya. Tidak!? Aku hanya diam. Ya, hanya diam. Ada beban dan sesuatu yang tak perlu kuucapkan. Ada kata-kata yang terbelah menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Sejak itu, aku lebih memilih mengakrabkan diri dengan tulisan-tulisanku dan sebatang pohon jarak yang tumbuh tepat dipinggir parit di belakang rumah kami. Eh, maaf rumahku. Kenapa? Karena aku yang membelinya. Ya. Pada sebatang pohon jarak itu aku berdialog dengan kesunyian. Bercengkrama dengan kesepian. Karena aku merasa hatiku kosong begitu kosong.
LELAKI ITU BERGERAK MENGAMBIL GITAR BERNYANYI DENGAN SUARA YANG SETELAH GALAU. BERHENTI. MENYERUPUT KEMBALI KOPI KENTAL. YANG TERLALU LAMA DINGIN ITU
Mungkin hanya kalianlah yang mengerti perasaanku saat ini. Betapa sakitnya dikhianati. Bagaimana aku bisa bergembira dengan kehamilan isteriku. Tidak. Tidak samasekali. Aku tidak akan memberitahukannya pada kalian. Karena itu adalah aib. Mungkin pada saat yang tepat aku akan berbagi pada kalian. Aku lebih memilih diam. Termasuk pada isteri yang sekarang kusebut perempuan itu. Berhari-hari, bahkan sudah melewati bulan kedelapan, aku selalu seperti itu, jika tidak ada kesibukan lain yang memaksaku untuk berburu dengan waktu. Lalu teriakan, jeritan, tangisan isteri yang sekarang kusebut perempuan itu selalu membakar segala ketidakberdayaanku menjadi sebuah kekuatan. Adakah dari kalian yang cintanya dikhianati. Ya, persis. Akupun begitu! Sepakat!
LELAKI ITU TIBA-TIBA MENUJU KEARAH SUDUT-SUDUT RUANGAN. ADA PERASAN CURIGA. IA MERASA SEDANG DIAWASI. TETAPI KETIKA MERASA SEMUANYA AMAN IA KEMBALI LAGI. MENYERUPUT KOPI LAGI. DAN BERBISIK.
Aku sebenarnya begitu mencintainya. Tapi, aku malu mengakuinya. Pernah satu kali ia memaksaku untuk memeriksakan diri ke dokter. “Ayo kita ke dokter, periksa DNA,” ujar isteri yang sekarang kusebut perempuan itu terbata. Aku masih juga terdiam. Lalu isteri yang sekarang kusebut perempuan itu histeris, “Aku tidak akan pernah memeriksa kandungan ini.” Air matanya menderas.” jika Abang tidak mau ikut memeriksakan diri juga” Plak! Kata-kata itu seperti menamparku bertubi-tubi. Tapi, aku juga tetap diam, tidak mau bicara. Rasa malu, marah dan kecewa serasa berganti-ganti. Isteri yang kusebut perempuan itu berteriak lagi,”Abang tidak bisa selamanya terus begini,” ujar isteri yang sekarang kusebut perempuan itu sambil menyeka air mata,” Diam tidak akan pernah menyelesaikan segalanya!”
LELAKI ITU KEMBALI KE MEJA KERJANYA MENCARI-CARI SESUATU. DAN DIA SEPERTINYA TIDAK MENEMUKAN SESUATU.
Coba kutanya pada kalian. Jika kalian menerima musibah yang serupa dengan apa yang kalian lakukan? Marah? Benci? Atau diam? Nah, nah, nah. Akupun seperti tu. Aku hanya diam. Tetapi, isteri yang kusebut perempuan itu terus meracau. “Bicara!” isteri yang kusebut Perempuan itu berteriak sekuat-kuatnya, “Bicara!” isteri yang kusebut perempuan itu terus meracau. Berteriak. Menjerit. Berlari kesana kemari. Ia terus dan terus menjambak-jambak rambutnya. Menangis sejadi-jadinya. “jika kehamilan ini yang menjadi persoalan, maka aku akan menggugurkannya. Walau usia kandunganku ini sudah termasuk bulan kelahiran. Atau kita sebaiknya bercerai!” isteri yang kusebut Perempuan itu terus berteriak, “Pengecut! Banci! Kita cerai! Dengar! Aku mintai cerai!”
WAJAH LELAKI ITU TIBA-TIBA MENEGANG. ADA GEJOLAK YANG SEAKAN MENDESAK HENDAK MELEDAK
“Diam!” Aku mengerang. Gundahku meledak. Rokok yang sedari tadi bergantung disela-sela jariku, terloncat begitu saja. Nyaris mengenai isteri yang kusebut perempuan itu. Isteri yang kusebut Perempuan itu meradang. “Aku minta cerai! Titik!” Aku membalas. “Diam! Kalau aku bilang diam, diam!” Dia tak mau kalah, “Aku tidak akan pernah diam, jika Abang tidak jelaskan kepadaku tentang sikap Abang selama ini. Kebencian Abang yang begitu tiba-tiba kepadaku, terutama kepada calon anak kita. Dan Aku tidak akan pernah diam, kecuali Abang menceraikan aku. Aku minta cerai!” Aku tak mau kalah. “Aku benci padamu!Aku benci pada anak yang dikandunganmu! Aku benci diriku sendiri!” Kami terdiam beberapa saat. Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu coba melunak. “Kenapa? Apanya yang salah?” desak perempaun itu,”seharusnya Abang bangga. Bangga dengan kehadiran anak kita. Anakmu, Bang?.” Aku menggeleng dan menghindar. Pandanganku jauh. Kukatakan padanya dengan suara berat dan tertahan. “Itu bukan anakku. Dengar itu bukan anakku!” Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu berusaha untuk terus melunak. “Jadi, secara tidak langsung aku melakukannya dengan orang lain. Abang pikir, aku telah berzinah, aku selingkuh?!” Aku marah. Ya, aku marah terutama pada diriku sendiri. Kukatakan padanya. “Pokoknya anak itu bukan anakku. Titik!” aku lalu pergi begitu saja. Jiwaku mengerang. Waktu itu aku pergi dengan berjuta kekalahan, meninggalkan isteri yang sekarang kusebut perempuan itu. Isteri yang sekarang kusebut Perempuan itu ditumpuk-tumpuk amuk.
LELAKI TU TIBA-TIBA MENGMABIL KURSI DAN MELETAKKANNYA DIATAS MEJA. KEMUDIAN MENGAMBIL SESUATU DI TUMPUKAN KERTAS. BERDIRI DI SAMPING KURSI KEMUDIAN BERTERIAK-TERIAK SEOLAH DEKLAMATOR HANDAL.
Diruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Diantara semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tpat diatas daun yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya kadang deras, kadang sangat perlahan , seperti seekor ulat yang merayap di patahan-patahan ranting. Angin berhembus disela-sela daun. Melintas begitu saja. Hari semakin beranjak jingga. Sayup dari kejauhan suara seseorang mengundang cemas.
LELAKI ITU BERHENTI. MENURUNI MEJA. LALU MENYERUPUT KOPI YANG TINGGAL AMPASNYA. MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. TATAPANNYA MENERAWANG.
Lama aku merenung. Tidak. Aku hanya merenung. Aku sadar. Aku tidak perlu egois. Sebenarnya aku malu. Tapi, aku harus tahu diri. Apalagi ketika tetanggaku datang tergesa-gesa menemuiku. “Kakak pingsan, Bang. Cepat. Operasinya lagi berjalan!”. Secepat angin, begitulah aku terbang. Menembus segala kegelisahan. Rasa maluku menjalar. Betapa tidak, sudah lama aku ingin mengatakan bahwa aku sudah tidak mampu memberikan keturunan kepada istri yang sekarang sudah kusebut isteriku. Batinku terus berontak. Rasa senang tidak ingin memiliki anak sudah kubuang jauh-jauh. Tetapi, istriku hamil? Isteriku tengah dioperasi. Istriku, ah. Dan isteriku tidak menyadari betapa aku ternyata begitu mencintainya. Aku juga merasakan rasa takut sekaligus rasa malu yang bukan kepalang, jika ketahuan. Secepat angin, begitulah aku datang. Menyambut dokter yang keluar dari ruang operasi seperti takut dan senang. “Selamat!” kata dokter itu. “Terimakasih, Dok. Apa anaknya, Dok. Sehatkan, Dok?” tanyaku hati-hati. “Anak siapa?”dahi dokter berkerut. Ia lantas tersenyum, “ooo, bukan. Istri Bapak tidak mengandung. Istri bapak terkena tumor. Dan kami berhasil mengangkatnya. Sekarang sedang beristirahat.” Aku was-was sekaligus puas, “Tapi katanya...hamil?” Aku merasa melayang ketika dokter itu menggelengkan kepala. Aku gembira. Bahagia! Aku ingin menari dan berpuisi!
LELAKI ITU LALU MELENGGAK-LENGGOKKAN TUBUHNYA. IA MENARI. IA BERPUISI.
Secepat arus air mengalir, begitu ia tergelincir. Secepat datang, secepat itu pula ia pergi. Senang dan benci begitu saja hadir silih berganti. Dan ini memang ramadhan kesekian.
LELAKI ITU TERUS MENARI DAN SEOLAH PEJUANG YANG MENANG DARI GELANGGANG PERANG IA NAIK KEATAS MEJA DAN BERTERIAK SEKUAT-KUATNYA
Istriku aku cinta padamu!
LAMPU PERLAHAN PADAM. MUSIK PERLAHAN DIAM. PADAM
SELESAI

Medan, KOMUNITAS HOME POETRY, 06-12-14
BIODATA

M.Raudah Jambak, S.Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersingguangan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indoneisa, Seniman Indonesia Anti Narkoba, dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto Km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Hp 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pingan. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan denan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se Indonesia di Bogor (2008), work shop cerpen MASTERA, di Bogor(2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta, TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pingan. Nominasi cipta puisi nasional Bentara, Bali, dll.

Ibu kita Raminten.

Monolog
Ibu kita Raminten.
Diangkat dari novel karya Muhamad Ali
Teks Pra- lakon: Ikun Sri Kuncoro
1. Yang aku bayangkan adalah ruang pengadilan. Tapi ruang ini sekaligus juga harus hadir secara simbolik sebagai sebuah kungkungan, yang dengan itu berarti ia juga menindas, entah sebagai sebuah sistem (termasuk tata nilai, di sini) atau sesuatu hal yang lain yang muaranya pada konstruksi sosial.
2. Maka, bayangannya adalah pilar-pilar tiang dengan berbagai ukuran yang secara kompositif memberi efek visual menekan karena stage dalam pembayangannya hanya berisi sebuah tempat duduk terdakwa (Raminten), maka tiang-tiang ini harus dipermainkan dengan cahaya yang memberi aksentuasi atas suasana monolog Raminten. Jika ditemdukan ikon lain yang lebih menggugah tentu itu yang diharapkan.
3. Andai potensi teaternya mampu, yang aku bayangkan dari teater ini hanyalah teater auditif: sebuah rangkaian irama bunyi yang memukau (membuat penonton betah) yang muncul dari wilayah tekanik ucapan dan ilustrasi musik. Sehingga, Raminten tidak perlu beranjak dari kursi terdakwanya untuk sebuah spektakel yang lain.
4. Tetapi sejujurnya saya juga tak mengelak, andai prosesi latihan, proses penciptaan teater yang sesungguhnya memberikan penawaran lain yang sering tak terduga dan tak dibayangkan pada awalnya. Karena, sebenarnya, di situlah letak keajaiban teater.
Marilah dimulai saja:
Panggung itu gelap, ketika lamat-lamat detak sepatu membentur ubin hadir semakin nyata dan berselah-selih dengan suara “ngremo” antara bunyi gamelan dan tembang, juga dentam besi dari gembok dan kerangkeng penjara. Sampai suasana menjadi.
Lalu dalam kelam itu sidang dibuka oleh suara hakim:
Hakim (Off Stage): Sidang perkara pembunuhan Prihartono warga negara Indonesia kelahiran Hongkong, dengan agenda utama pembelaan terdakwa II Saudari Raminten yang akan disampaikan oleh terdakwa sendiri, dengan ini dinyatakan dibuka.
Lalu lampu merayap pelan pada Raminten yang duduk di kursi terdakwa.
RAMINTEN
Trima-kasih. Sebagaimana dinyatakan kepada saya dan telah saya jawab, saya tidak akan menambahkan atau mengurangi. Saya... hanya akan melihatnya dan mengatakannya dari sisi diri saya tentang peristiwa apa yang telah saya jalani dan tentang apa yang telah bapak dan ibu simpulkan atas diri saya.
Saya, malam itu, tanggal 22 Desember 2004 memang berada di kamar bapak Prihartono di jalan Ahmad Yani no. 1. Tetapi seperti yang telah saya katakan, kenapa saya di rumah itu? ... Saya, ... dipaksa Stambul ... Anak saya.
Malam itu, Stambul pulang. Dan seperti beberapa malam sebelumnya, Stambul membujuk saya.
Setelah berbulan-bulan tidak pulang—juga, ketika bapaknya meninggal—beberapa malam sebelum peristiwa itu Stambul membujuk saya untuk menjadi gundik bapak Prihartono.
Menurut Stambul, hidup saya akan lebih baik kalau saya bersedia bekerja pada Pak Prihartono. Katanya, Pak Prihartono sedang membutuhkan seorang tukang pijat. Yang diinginkan adalah seorang tukang pijat yang muda. Tapi Stambul yakin bahwa tak akan ada perempuan muda yang bersedia menjadi tukang pijat Pak Pri.
Stambul, anak saya itu, dari pada saya hidup seperti ini: nganggur, kelaparan dan kesepian. Hidup bukan mati pun tidak. Lebih baik ikut Pak Prihartono. Meskipun tua, Pak Pri duitnya banyak. Pak Pri akan memberi uang berlimpahan, cukup makan, cukup pakaian, dan saya hanya disuruh memijat-mijat. Hanya itu saja. Memijat.
Memang, sejak Markeso meninggal, saya hidup dari belas-kasih tetangga. Setiap hari tetangga-tetangga memang saya dtang mengantar makanan untuk saya. Itu berjalan lebih dari tiga bulan lamanya. Dan, mungkin akan lebih lama lagi seandainya peristiwa ini tidak terjadi.
Sepeninggal Markeso, saya memang malas melakukan apa saja. Saya tidak keluar rumah. Saya memang tidak pernah bekerja sejak saya menjadi istri Markeso. Saya, Stambul, dan Markeso, hidup hanya dari hasil Markeso mbarang, mengamen sebagai ludruk garingan. Atau ludruk ontang-anting: sendirian mengamen dengan menembang, menari dan ngremo. Dan kami hidup.
Dulu Markeso bekerja sebagai kernet angkot. Sebelum bertemu saya. Sebelum kami menikah. Saya masih ingat benar ketika kami bertemu. Waktu itu usia saya baru 15 tahuanan. Seperti biasa, saya membantu bapak yang berjualan obat keliling, menggelar perlak untuk alas menata dagangan bapak. Ketika itu sebuah angkot berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Entah kenapa, ketika mendengar dari mesinnya saya tiba-tiba berhenti dan entah kenapa saya jadi memandangnya. Saya melihat Markeso, meloncat turun dan melayani para penumpang turun. Waktu itu, mungkin Markeso masih berusia 20-an. Ia sibuk mempersilakan penumpang turu, membantu menurunkan barang lalu sibuk menawarkan pada orang-orang yang barangkali akan ikut dalam angkotnya. Lalu tiba-tiba ia berpaling. Sejenak kami berpandangan. Lalu ia teruskan menawarkan angkotnya, dan saya meneruskan menata obat-obatan dagangan bapak. Tapi entah kenapa, setiap kali saya mendongak melihatnya, ia selalu juga sedang melihat saya.. Seterusnya, wajh Markeso selalu saya ingat dan setiap kali bapak berjualan di pasar itu, saya selalu berharap melihatnya lagi.
Tak sampai setahun saya pun menikah dengan Markeso. Kami keluar dari rumah bapak dan menyewa rumah bedeng yang murah di pemukiman padat. Markeso berhenti sebagai kernet angkot dan memilih menjadi pengamen. Dari hasil mengamen itulah kami hidup. Dan setahun kemudian lahirlah Ruba’i.
Kami pun cemas. Bagaimanakah kami harus hidup dari hasil mbarang Markeso dengan tambahan seorang bayi? Untuk hidup berdua kami, kadang makan hanya 2 kali/ entah dari mana pikiran itu datang, tiba-tiba kami memutuskan untuk menyerahkan Ruba’i pada orang yang bersedia memungutnya. Dan kebahagiaan kami pun pulih kembali begitu ada orang datang dan sangat berterimakasih kepada kami ketika mereka menerima Ruba’i.
Tapi sungguh kami tidak menjualnya. Memang, Pak Rus, yang memungut Ruba’i memberikan uang ungkapan kebahagiaannya pada kami. Tetapi, Pak Rus sendiri yang menyatakan itu hanya sebagian ungkapan kebahagiaan karena ia mendapatkan kesempatan dari Tuhan untuk bisa membesarkan seorang bocah. Dan kami pun berpesan agar nama Ruba’i tak diganti dengan nama lainnya.
Begitulah. Nasib Lastri pun sama ketika setahun kemudian adik Ruba’i itu lahir. Kami yang membayangkan nasibnya tidak bersekolah, makan dan pakaian yang tidak akan tercukupi, menyerahkan Lastri pada Bu Broto begitu usianya telah lebh dari tiga bulan. Orang-orang pun mengira terutama tetangga-tetangga kami, bahwa kami telah menjual anak-anak kami. Apalagi pada tahun berukutnya Gani lahir dan Pak Irham memintanya untuk membesarkannya.
Juga, ketika Fitri lahir, Alamsyah, dan Samsi pada tahun-tahun berikutnya. Ketiganya diminta oleh Pak Subandi seorang pengusaha oli yang anak-anaknya sudah besar semua.
Tetapi sungguh kami tidak menjual anak-anak kami. Kami selalu meminta agar mereka tidak mengganti nama anak-anak kami dan kami selalu tahu pada siapa anak-anak kami serahkan.
Anak ketujuh kami, Joko, kami serahkan pada pedagang koran, Pak Hasan namanya. Falhi, anak kedelapan kami serahkan pada Pak Badawi, seorang guru agama di SD kampung sebelah. Dewi diminta Ibu Kartika yang telah menjanda. Ningsih dan Ningrum anak kembar kami dibesarkan Pak Widodo dan Pak Alam. Sedangkan Anwar diminta oleh Pak Effendi, seorang pelaut.
Memang, terkadang ada saja dari mereka yang mengambil anak kami, tidak saja memberikan uang begitu mereka bawa anak-anak kami. Sering, ada saja yang telah memberikan kepada kami uang sejak bayi-bayi itu masih ada dalam kandungan. Mereka bilang, agar bayi yang saya kandung tidak kekurangan gizi sehingga saya harus menjaga makanan yang saya makan. Itu pengakuan mereka. Bapak-bapak dan ibu-ibu boleh tidak percaya. Tapi begitulah mereka mengatakannya kepada kami, setiap kali pada setiap bulan mereka memberikan uang itu ketika saya mengandung anak yang hendak mereka minta.
Begitulah kami mengandung anak-anak kami. Kami memberikan bayi-bayi kami kepada orang lain lantaran kami tahu, kami tak akan bisa menghidupinya. Kami tak akan pernah sanggup menyekolahkan, dan kami tak akan bisa mendidiknya sendiri. Kami bahkan tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi seandainya anak-anak kami besarkan pada lingkungan kami yang pepat oleh rumah-rumah bedeng kemiskinan kami. Kami sudah melihat apa yang terjadi dengan anak-anak tetangga kami; yang dekil, yang kurus, yang tak bersekolah, dan kami sudah tahu apa yang terjadi pada saat besarnya nanti.
Tetapi kenapa kami bisa beranak sampai 12, sampai 13, hanya kemiskinak kami yang tahu. Saya dan Markeso tak punya pekerjaan lain begitu maghrib tiba. Setiap kali pulang ngamen, Markeso tak akan pergi lagi. Dan kami hanya akan bersembunyi dalam bedeng gubuk kami. Kami jarang, atau malah tidak pernah bermain ke gubuk tetangga kami. Mengunjungi mereka lebih sering hanyalah mengunjungi sumpah serapah yang mengutuk nasib dan kehidupan. Berjalan-jalan ke pertokoan hanya akan tersiksa sebagaiamana, mungkin, tiba di neraka. Neraka bagi kami adalah menyaksikan melimpahnya barang-barang yang ditawarkan tanpa pernah bisa membelinya. Neraka bagi kami adalah kelaparan yang tak pernah lekang.
Dan Markeso, suami saya, adalah laki-laki yang tahu bagaimana membangun surga di dalam gubuk kami. (JIKA ADA TRANSISI TEATER BISA DIAWALI DI SINI). Tangan yang kasar, bau keringatnya yang sengak, mulutnya yang bertembakau, selalau saja bisa mendatangkan surga di bedeng kami yang pengap bila sudah berbaring di dekat saya.
Saya ingat benar, apa yang dikatakannya di suatu malam:
“Ram, sungguh buruk nasib kita. Bayangkan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua dan ak mampu lagi buat bekerja? Kita akan jadi tua bangka, nantinya.
Apakah akan ada yang ingat kepada kita, Ram? Satu saja dari 12 anak yang kita buang itu?
Kamu jangan marah, Ram. Tapi apalagi kalau bukan membuangnya? Memberikannya kepoada orang lain sama artinya dengan membuang. Meskipun, kita tetap meminta agar nama-nam anak-anak itu tidak diganti. Meskipun kita tahu dan hapal, siapa-siapa saja yang telah memungut anak kita. Tetapi, kita tetaplah melepaskan tanggungjawab itu. Atau, ka mu lebih suka aku menyebutnya menjual, Ram? Kamu lebih keberatan, kan? Meskipun kenyataannya kita tidak hanya menerima ucapan terimakasihnya dalam sejumlah uang, tetapi juga menerima uang belanja selama kamu hamil dan selama tiga bulan awal menyusui hanya agar bayimu tidak kekurangan gizi. Tapi apa kenyataannya, Ram? Kita juga menumpang makan dari uang membeli bubur dan susu itu.
Kita memang telah menjual bayi-bayi itu. Atau mungkin kita telah menjualnya. Tetapi sungguh, sekarang aku justru sangat ketakutan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua. Kita akan menjadi tua, Ram. Kita akan, menjadi tua bangka dan tidak punya siapa-siapa.
Tidak, Ram. Tidak.
Kita harus punya anak lagi, harus. Dan kita juga harus memeliharanya sendiri. Kita harus membesarkannya. Karena, karena aku tidak yakin 12 anak kita akan ada yang bersedia menerima kita pada waktu kita telah menjadi bangka. Ayo, Ram. Kau harus hamil. Harus hamil lagi. Dan kita harus berani memelihara anak sendiri. Kita harus membesarkannya. Kita akan menyekolahkannya, akan mengajarinya bermain, akan mengajaknya berjalan-jalan. Apapun yang kita punya.”
(WAKTU LEWAT DALAM HITUNGAN BANYAK BULAN. INI ZAMAN KETIKA RAMINTEN TENGAH MENGANDUNG ANAK KE-13. USIA PERUTNYA MUNGKIN 7 ATAU 8 BULAN. ANDAI TEATER DIPERMAINKAN SET BISA BERUBAH: AKU MEMBAYANGKAN PERISTIWANYA DI DALAM GUBUK BEDENG RAMINTEN. ADAPUN TOKOHNYA ADALAH MARKESO. WAKTUNYA SORE SEPULANG DARI MENGAMEN. JADI, MINIMALNYA, AKTOR MEMBAWA SATU ALAT YANG DIGUNAKAN MENGAMEN. SEMISAL, KEDANG KECIL. LALU MENGAMEN SEBENTAR DI WILAYAH PENONTON. JIKA SANGGUP, AKTOR BERIMPROVISASI SEBENTAR DENGAN PENONTON. TETAPI ANDAI TETAP DIPERTAHANKAN KONSEP AWAL SEBAGAI TEATER AUDITIF. MAKA YANG TERJADI DALAM SESAAT HANYALAH SEMACAM LAMPU PADAM. DAN KETIKA CAHAYA TUMBUH PENGADILAN ITU BERLANJUT.)
RAMINTEN:
Sore itu Markeso datang dengan wajah yang bungah. Aku sudah mendengar teriaknya sejak dari luar:
“Ram.., Ram..., Raminten..
Ini yang namanya rezeki nomplok. Aku bertemu dengan Mas-mas seniman. Jangan salah ucap lagi dengan “si Niman.” Aku ditraktirnya. Dibayari makan sepuasku, dan masih diberi duit. Sekarang kamu percaya, kan? Anak memang selalu membawa rezekinya sendiri. Aku juga menemukan nama untuk anak kita: Stambul. Kamu pengen ngerti apa itu Stambul? Itu artinya, sandiwara. Drama. Orang-orang pinter, mas-mas seniman itu, menyebutnya titer. Mas seniman tadi yang bilang. Jangan takut kalau nama itu membebani anak kita. Nanti kita selamati dengan tiga ekor ayam yang masih kita punya. Dengan selamat tiga ekor ayam pasti tidak akan ada aral yang melintangai Stambul. Kamu tahu, kan? Nabi Ibrahim? Nama Ibrahim memberikan sesaji satu ekor kambing untuk mengganti nyawa anaknya, Nabi Ismail. Nah, karena kita bukan nabi maka cukup ayam saja: tiga ekor.
Nama itu tentu akan membawa berkah. Kalau sudah besar, Stambul, Stambul akan menjadi seniman sandiwara. Titer. Tapi kalau nanti dia ternyata perempuan, aku lebih suka kalau dia menjadi penyanyi ndangdhut. Kita harus dibelikan teve agar bisa menonton dia.
Aku jadi tidak sabar menunggu 2 atau 3 bulan lagi. Tabungan kita rasanya cukup untuk membayar Bu Bidan. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita laki-laki. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita laki-laki. Aku akan mengajarinya main kendang, menembang. Aku akan mengajarinya menari. Maka, kalau sudah besar dia akan menjadi...
(KALIMAT ITU TIDAK SELESAI. DAN RAMINTEN TERISAK. DI SINI TRANSISI UNTUK MASUK KE TOKOH STAMBUL.)
RAMINTEN:
Apa yang terjadi dengan Stambul setelah besar adalah apa yang tidak pernah kami harapkan. Bahkan, membayangkan pun, kami; tidak. Sore, apabila Markeso telah pulang dari mengamen, Stambul pastilah akan datang.
“Ram..., Raminten... Di mana Markeso? Aku sudah melihatnya pulang, tadi. Mar..., Markeso... Atu, uang itu sudah diberikan padamu? Mana? Mana? Berikan padaku! Kalau tidak kamu berikan padaku, kepada anakmu, akan kamu berikan kepada siapa hasil kerja bapakku? Atau kalian belum makan? Baik, kita bagi tiga uang itu. Aku minta bagianku, dan kalian ambil bagian kalian. Atau begini saja. Berikan uang itu semua padaku, nanti aku akan membelikan kalian makan malam ini. Daripada kalian harus keluar, naik-turun, tebing sungai ini, tentu hanya akan membuat kalian lapar lagi. Iya, kan? Nah, biarkan aku sekalian membelikan kalian makan untuk malam ini. Setuju, kan?
Ram, aku dengar dari para tetangga, kamu dulu menjual 12 kakakku selagi masih bayi. Kenapa itu tidak dilakukan lagi? Biar aku nanti yang mencari pembeli. Aku punya banyak kenalan. Dan aku dengar harga bayi sangat mahal sekarang. Malah, Ram, ada yang bisa menjualkan dengan harga yang lebih tinggi lagi bila kamu bersediah dioperasi selagi bayi itu berusia 3 bulan dalam kandunganmu. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya operasi itu, Ram. Kita hanya tinggal menerima harga bayi itu. Katanya untuk dibikin sop, atau diawetkan untuk diminum sebagai jamu. Kamu tidak tertarik, Ram? Hanya mengandung tiga bulan, Ram. Dan kit abisa pindah dari bedeng ini. Kamu tidak bosan tinggal di gubuk yang berdempet-dempet ini? Kamu tidak bosan terus melarat seperti ini? (Kere kok ra jeleh.) ah, aku yakin, Markeso pasti setuju. Di mana? Di mana Markeso sekarang?
Mar... Markeso... Mar. Kamu sembunyikan di mana Markeso? Tapi uang itu sudah diberikan padamu, kan? Mana, berikan padaku. Nanti aku belikan kalian makan, malam ini. Atau..., baik..., aku belikan juga makan sampai besok pagi. Bagaimana? Mana sekarang uangnya? Ayo, berikan. Berikanlah \ram. Aku kan anakmu.
Ram, aku memang pernah mencuri. Sering, malah. Aku juga kadang memeras. Atau, memaksa. Tapi, aku tidak mau melakukan itu pada kalian. Ayolah, Ram. Berikan uang itu padaku. Jangan paksa aku menjadi pemeras, atau penjahat pada kalian. Ram, meskipun orang-orang selalu mengatakan aku sama jahatnya denan kalian yang telah menjual kakak-kakakku, tapi aku tetap tidak ingin jahat pada kalian dengan memaksa kalian menyerahkan uang itu padaku. Kalian itu Ram, berikan uang itu padaku. Ayolah, nanti aku belikan nasi untuk malam ini, besok pagi, dan juga siangnya. Bagaimana? Ayolah, Ram. Jangan suruh aku untuk kasar padamu.
Ram, kalian tahu apa yang dikatakan orang-orang di luar? Mereka bilang, kalian; kamu dan Markeso, lebih jahat daripada aku. Mereka juga bilang bahwa kalian bodoh. Kata mereka, kalau dulu kalian membesarkan sendiri anak-anak kalian, kalian akan beruntung. Kalian bisa menjualnya ke luar negeri, sekarang. Dan kalian bisa terus menerima kiriman uangnya. Kata mereka, kalian bisa menjualnya sebagai babu, sebagai buruh pabrik, bahkan kalau perlu kalian bisa menjualnya sebagai pelacur.
Aku tidak bisa membayangkannya, Ram. Andai 12 kakakku kamu jual ke luar negeri. Apa yang akan terjadi pada kita saat ini, Ram? Aku pasti, sudah tentu, tidak perlu menunggu saban sore hanya untuk meminta uang Markeso yang hanya receh itu. Bayangkan, Ram, 12 anak dalam satu tahun. Kalau mereka mengirim satu juta saja satu orang sekali dalam satu tahun, kita sudah harus menghabiskan uang segepok itu setiap bulan. Itu hanya sekali mereka mengirimkan. Kalau setiap anakmu itu mengirimkan dua kali saja dalam satu tahun, apa kita tidak repot untuk menghabiskannya? Ah.., Markeso pasti tidak perlu bekerja seperti topeng monyet itu. Keliling kota, mengumpulkan recehan.
Markeso, pasti akan duduk-duduk setiap hari dengan rokok kreteknya yang berbau menyan itu. Atau, ah.., jangan-jangan dia akan kawin lagi. Beranak-pinak banyak, dan pasti dikualnya lagi.
Kita akan hidup enak, Ram, hanya dengan 12 kakakku yang mengirimkan uang bergiliran. Dasar, kamu memang bodoh, Ram. Dan karena kamu bodoh, maka kamu pun tidak mau memberikan uangmu padaku sekarang untuk kubelikan nasi. Mana? Di mana sebenarnya uang itu? Atau, aku harus mengambilnya sendiri? Kamu sembunyikan di mana? Di bawah tikar? Dalam besek pakaianmu? Atau kau simpan dalam kutangmu? Mana biar aku ambil sekalipun kau sembunyikan dalam celana dalammu.”
(ADA SESUATU YANG BERUBAH DI DALAM PANGGUNG).
Begitulah Stambul memaksa saya. Syukurlah, semenjak itu dia tidak kembali lagi. Dia tidak pernah pulang lagi. Tapi suaranya yang terus menuduh saya menjual kakak-kakaknya tak bisa saya lupakan. Dan malam itu, saya dan Markeso tak lagi bisa makan. Uang seharian Markeso mengamen telah dirampasnya. Semua.
Kepergian Stambul memang membuat kami lega, meskipun terkadang kami merasa kehilangan juga. Bagaimanapun Stambul adalah anak kami. Anak yang kami niatkan untuk kami asuh sendiri. Kami besarkan, dan kami harap untuk bisa merawat hari tua kami. Lambat-laun kami memang bisa melupakan dan mengikhlaskannya. Kami terkadang bersyukur tidak membesarkan sendiri ketiga belas anak-anak kami. Kalau yang terjadi adalah apa yang sudah dinasibkan pada Stambul pastilah rumah bedeng kami hanya akan menjadi sarang, perampas, pemabuk dan pelacur. Anak-anak kami.
Lalu datanglah peristiwa itu. Beberapa bulan setelah Markeso meninggal. Stambul datang. Dia meminta saya untuk menjadi tukan pijat Pak Prihartono. Saya tidak hanya menolaknya. Tetapi juga, dengan sangat terpaksa, mengumpatinya. Dan dia pergi.
Tetapi beberapa malam kemudian, dia tidak hanya meminta saya. Dia, bahkan, telah memaksa dan menyeret saya. Saya digelandang sampai rumah Pak Prihartono. Dan saya diseretnya sampai ke dalam kamar. Diseretnya.. Diseretnya saya...
Di dalam kamar itu saya tidak tahu berapa saya telah dijualnya. Tapi saya dengar apa yang dikatakan Prihartono pada Stambul:
“Brengsek. Aku bilang akan memberikanmu 250 ribu kalau yang kamu bawa perempuan muda. Tapi apa yang kamu bawa sekarang? Mayat tua. Apa matamu sudah tidak bisa membedakan perempuan muda dengan orang yang sudah bau tanah? Sekarang bawa uang itu kalau mau. Kalau tidak, bawa juga pergi nenek-nenek itu. Aku bisa minta orang lain mencari apa yang aku inginkan. Dasar goblok.”
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan di kamar mandi itu. Saya seperti tidak bisa berpikir. Tidak bisa menalar. Ketika, saya lepas baju saya dan menuruti perintahnya untuk membersihkan diri.
Lalu terdengar suaranya lagi:
“Kenapa lama? Cepatlah keluar.”
Dan ketika saya keluar dari kamar mandi, saya tidak berani melihat matanya. Saya hanya bisa mendengar perintah-perintahnya:
“Stop. Berhenti di situ. Buka bajumu. Rokmu. Kutangmu. Celana dalammu. Berbaliklah. Aku ingin melihatmu dari belakang.
Nah, mendekatlah. Sekarang pijitlah aku. Kamu bisa memijat juga ternyata. Atau kamu sudah menyiapkannya? Karena menjadi pelacur tentu tak bisa selamanya? Pintar juga kamu punya otak. Kalau kamu mau, kamu bisa juga bekerja di sini. Kamu pasti bisa memasak, kan? Kerjamu hanya memasak, membersihkan rumah, menyeterika, dan memijit. Kamu tidak usah mencuci karena di sini sudah ada mesin cucinya. Berapa kamu minta dibayar setiap bulan? 150 ribu, mau? Aku juga akan mengijinkan kamu menerima panggilan memijat dari orang lain apabila aku tidak sedang ingin dipijat.
Ya, terus ke bawah. Jangan sungkan-sungkan. Aku juga ingin dipijat di bagian itu. Ayo! Kenapa berhenti? Pijatlah di mana saja aku ingin kau memijatnya. Aku telah membayarmu. Aku berhak menyuruh apa saja padamu. Aku bahkan berhak tidak hanya memintamu memijat. Aku bahkan berhak memintamu untuk melayaniku.”
(ADA PERKOSAAN PERSETUBUHAN YANG KASAR, DI SINI)
Lalu tiba-tiba Stambul datang. Saya sudah tidak bisa mendengar apa yang mereka percakapkan. Saya takut. Saya bingung. Saya sedih, marah tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang terjadi di situ tak bisa semuanya saya ingat.
Sesekali saya memang mendengar dan melihat Stambul menggertak dan meminta uang. Sesekali saya mendengar Prihartono yang membentak-bentak Stambul. Saya ingat Markeso. Andai dia masih hidup, aakah dia juga akan membiarkan saya digelandang Stambul?
Lalu saya mendengar kaca pecah. Ketika saya berpaling saya melihat Stambul bergulat dengan Prihartono. Saya tidak tahu bagaimana perkelahian itu terus terjadi. Pikiran saya kacau. Saya bingung. Saya sedih. Saya takut. Tapi juga marah. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingin menangis tapi sudah tidak bisa. Saya ingin berteriak. Tapi saya telah kehilangan suara saya.
(RAMINTEN TERUS BICARA. TANGANNYA BERGERAK-GERAK. TAPI SUARA ITU TAK ADA. LAMPU MENYUSUT. HINGGA MENEMUKAN KELAM.)

TEATER LKK IKIP/UNIMED 18 DESEMBER 1988 - 18 DESEMBER 2016

Catatan produksi teater lkk unimed
1. “Bisul-bisul”. Karya Vredy Kastam Marta. Sutradara Amiruddin A.R. Taman Budaya Sumatera Utara. 1989.
2. “Nyanyian Angsa”. Karya W.S. Rendra. Sutradara Barani Nasution. Taman Budaya Sumatera Utara. 1990.
3. “Saijah dan Adinda”. Karya Wisran Hadi. Sutradara R.M. Syahril. Taman Budaya Sumatera Utara. 1991.
4. “Kenanglah Kami”. Karya Andi M.S. Sutradara R.M. Syahril. Taman Budaya Sumatera Utara. 1992.
5. “Detik-detik Kemerdekaan”. Sutradara R.M. Syahril. Lapangan Merdeka Medan. 1992.
6. “Tassemata”. Karya/Sutradara Suyadi San. Taman Budaya Sumatera Utara. 1993.
7. “Abra Kadabra alias Hamlet dalam kebimbangan”. Karya Adaptasi Suyadi San. Sutradara R.M. . Taman Budaya Sumatera Utara. 1994.
8. “Eyang Sukro”. Karya/Sutradara Suyadi San. TVRI Stasiun Medan. 1994.
9. “Sang Penyair”. Naskah/Sutradara M. Raudah Jambak Taman Budaya Sumatera Utara. 1994/1995.
10. “Api Perjuangan”. Naskah Mastar Muham, Sutradara Mala Ibrahim, Stadion IKIP Medan. 1995.
11. “GMT”.Naskah A. Rahim Qahhar, Sutradara Aisyah Bashar, R.M. H. Adam Malik. 1995.
12. “Sang Penyair”.Naskah M. Raudah Jambak, Sutradara Indra Ardi Sekedang, Taman Budaya Sumatera Utara. 1995.
13. “Abra Kadabra alias Hamlet dalam kebimbangan”. Karya Adaptasi Suyadi San. Sutradara R.M. Syahril. Pekan Seni Mahasiswa Nasional III 1995. Taman Ismail Marzuki (TIM). (Juara Harapan I PEKSIMINAS Jakarta 1995).
14. “Fajar Sadiq”. Karya Emil Sanossa. Sutradara Alwiyuddin. Taman Ria Sumatera Utara. 1995.
15. “Di Balik Tabir”.Naskah/karya M. Raudah Jambak, Dharma Agung Convention Hall. 1996.
16. “Wayang Kebatinan”. Karya/Sutradara Suyadi San. TVRI Stasiun Medan. 1996.
17. “S-O-S”. Karya/Sutradara Suyadi San. Taman Budaya Sumatera Utara. 1996.
18. “Bulan Bujur Sangkar”. Karya Iwan Simatupang. Sutradara Suyadi San. Taman Budaya Sumatera Utara. 1997.
19. “Fajar Sadiq”. Karya Emil Sanossa. Sutradara Marahalim Harahap. Taman Budaya Sumatera Utara. 1998.
20. “Malam Jahanam”. Sutradara Raswin Hasibuan. Pementasan Kolaborasi dengan Teater Kartupat Medan 1999. Auditorium Universitas Negeri Medan.
21. “Pulo Batu”. Karya Sitor Situmorang. Sutradara Marahalim Harahap. Taman Budaya Sumatera Barat. 1999.
22. “Duo Denum”. Karya Akhudiat. Sutradara T.S. Teulot. Pekan Seni Mahasiswa Nasional V 2000. Universitas Airlangga–Surabaya.
23. “Tok-tok-tok”. Karya Ikranegara. Sutradara T.R. Muhammad. Taman Budaya Sumatera Utara. 2000.
24. “Onani”. Karya/Sutradara UKM Teater LKK UNIMED. Pertemuan Teater Eksperimental Mahasiswa Nusantara IV 2000. Universitas Andalas–Padang.
25. “Borok”. Karya Hafistaadi. Sutradara Aminullah R.A. Pertemuan Ekshibisi Teater Mahasiswa se–Indonesia dan Teater Sumatera Utara 2001. Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara.
26. “Lysistrata”. Karya Terjemahan W.S. Rendra. Sutradara Hafistaadi. Pementasan Kolaborasi dengan Teater Siklus Ind. Art Medan 2001. Auditorium Universitas Negeri Medan.
27. “Wajah Wajah”. Adaptasi Karya/Sutradara Hasan Al Banna. Kenduri Teater Mahasiswa Indonesia–Malaysia 2001. Taman Budaya Riau.
28. “Penjaja Kereta Sorong”. Karya Murray Siscgal. Sutradara Hasan Al Banna. Parade Teater Sumatera Utara 2002. Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara.
29. “Perempuan dan Burung-burung”. Karya Linda Cristanty. Sutradara Indra Fredian. Pertemuan Teater Eksperimental Mahasiswa Nusantara V 2002. Universitas Andalas–Padang.
30. “Penjaja Kereta Sorong”. Karya Murray Siscgal. Sutradara Hasan Al Banna. Pekan Seni Mahasiswa Nasional VI 2002. Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (Juara I Pekan Seni Mahasiswa Nasional VI).
31. “NOL”. Karya Putu Wijaya. Sutradara Hasan Al Banna. Estafet Monolog Teater Anak Negeri 2003. Sanggar Tari Taman Budaya Sumatera Utara.
32. “NGOK”. Karya Putu Wijaya. Sutradara Aminullah R.A. Parade Teater Sumatera Utara 2003. Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara.
33. “Romeo dan Juliet”. Karya William Shakespeare. Adaptasi/Sutradara Yeni Amalia. Pementasan Tunggal UKM Teater LKK UNIMED 2003. Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara.
34. “Akhiri Ini Dengan Indah”. Karya UKM Teater LKK UNIMED. Sutradara Wirma Rezeki Anggraini dan Indra Fredian. Pementasan Kabaret Gelegar Bulan Bahasa V MABASASTRASIA FBS UNIMED 2004. Auditorium Universitas Negeri Medan.
35. “Penagih Hutang”. Karya Anton Chekov. Sutradara Jones Gultom. Pekan Seni Mahasiswa Nasional VII 2004. Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.
36. “Lawan catur”
37. ”DOR”.karya Putu Wijaya
38. “BUI”.Karya indra YT taman budaya STSI padang panjang
39. “Kopi Susu”.Karya Indra YT
40. “Jalan Samping”
41. “Bapak Nomensen”
42. “Rapel Pensiun”.karya andi ms
43. “Pelajaran-pelajaran”.Karya
44. “Marsinah”.karya Ratna Sarumpaet .Sutradara Denny Dariansyah Lbs .Taman Budaya Sumatera Utara .2010.
45. “Keparat ” .Adaptasi Cerpen Indra Tranggono .Sutradara Hilmansyah Sihotang.Gedung Serba Guna Unimed. 2011.
46. “Keparat” .Adaptasi Cerpen Indra Tranggono .Sutradara Hilmansyah Sihotang.Taman Budaya Sumatera Utara. 2011.
47. “Keparat” .Adaptasi Cerpen Indra Tranggono .Sutradara Hilmansyah Sihotang.Rantau Prapat. 2011.
48. “Kretak”.karya Ahmad Badren Siregar.Sutradara Ahmad Munawar Lubis.Taman Budaya Sumatera Utara. 2012.
49. “Belenggu”karya/Sutradara Siti Rina Anugrah Hrp.Sangar Tari Taman Budaya Sumatera Utara.2012.
50. “Belenggu”.karya/Sutradara Siti Rina Anugrah Hrp.Temu Teman Nusantara X.Puwokerto.2012
51. “Musang berjanggut”.karya Djamalul Abidin As .Sutradara Ahmad Haikal.Taman Budaya Sumatera Utara. 2013
52. “Pagi bening”.Sutradara Muhammad Ardian.Taman Budaya Sumatera Utara. 2013.
53. “Pidato”.karya Putu Fajar Arcana.Sutradara Ahmad Munawar Lbs. Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2014. Palangkaraya.Teater Tertutup Taman Budaya.
54. “Pidato”.karya Putu Fajar Arcana.Sutradara Ahmad Munawar Lbs.Taman Budaya Sumatera Utara. 2014.
55.

PINANGAN










Pinangan








Drama Satu Babak
Karya Anton Chekov Saduran Suyatna Anirun

© 2010









RUANG TAMU DI RUMAH RADEN SUHANDOYO SALIMUN. MUSIK SELENDANG DELIMA MENGIRINGI RATNA SALIMUN YANG RUSUH HATINYA MEMASUKI RUANGAN.

Syair :
Bermula kisah di hamparan tanah Medan
Ratna binti Salimun dan Togar Margolang
Hendak saling mencari pasangan
Namun selalu banyak penghalang

(RATNA MENGHENTAK-HENTAKKAN KAKINYA, SEMBARI NGOMEL TAK JELAS. KEMUDIAN DUDUK MENYEPAK-NYEPAK KAKINYA SEPERTI ANAK KECIL YANG LAGI KESAL. BEGITU AYAHANDANYA, SUHANDOYO SALIMUN, MASUK KE RUANGAN, RATNA JUSTRU PERGI DENGAN WAJAH KESAL),
(WAJAH SUHANDOYO SALIMUN TENTU SAJA TERHERAN-HERAN MELIHAT KELAKUAN PUTRI SEMATA WAYANGNYA. UNTUNGNYA TOGAR MARGOLANG DATANG).

SALIMUN : Eee ... ada orang rupanya. O ... Togar Margolang Sinambela, aduh, aduh, aduh ... Sungguh di luar dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA BERSALAMAN).

TOGAR : Baik, baik, terima kasih, macammana dengan Bapak?

SALIMUN : Baik, baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik melupakan tetanggamu, lae Togar. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian? Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi ke mana?

TOGAR : Oh, tidak. Aku hanya akan mengunjungi Pak Suhandoyo Salimun yang baik.

SALIMUN : Lalu mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.

TOGAR : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi Pak Suhandoyo Salimun yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Salimun? Segelas air!

SALIMUN : (KE SAMPING MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan memberinya.
(KEPADA TOGAR) Apa soalnya, lae Togar?

TOGAR : Terima kasih, Pak Salimun... Maaf ... Pak Suhandoyo Salimun yang baik, aku begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak.
SALIMUN : Akh, lae Togar jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?

TOGAR : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak.

SALIMUN : (DENGAN GIRANG) Anakku Togar, Togar Margolang Sinambela, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak percaya.

TOGAR : Saya merasa terhormat untuk meminang ... ...

SALIMUN : Anakku sayang, aku sangat gembira, dan seterusnya ... (MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu lama sekali. Memang itulah keinginanku. Aku selalu mencintaimu, nak Togar. Seperti kau ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta, kasih yang baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di sini seperti tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen seluruh hatiku. Alangkah baiknya aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ...

TOGAR : Pak Suhandoyo Salimun yang baik, bagaimana Pak, bolehkah saya mengharapkan dia untuk melamar saya?

SALIMUN : Bagi seorang yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu. Aku yakin sekali, ia sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR)

TOGAR : Bah! Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. O Amang, kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Salimun gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SMK... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup. (MINUM)
Alamak... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali. (RATNA MASUK)

RATNA : Ooo ... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli mau mengambil barangnya? Apa kabar lae Togar Margolang Sinambela?

TOGAR : Apa kabar Ratna Salimun yang baik?

RATNA : Maafkan bajuku jelek. Aku sedang mengiris buncis di dapur, mengapa sudah lama tak datang? Duduklah.
(MEREKA DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali sehingga petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya terlalu serakah memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk nantinya. Dan aku seharusnya menunggu.
(MEMANDANG SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana, bang Togar? Huu ... kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa?

TOGAR : (GUGUP) Begini Ratna Salimun yang baik. Sebabnya ialah: aku sudah memastikan bahwa ayahmu ingin agar kau mendengarkan langsung dari aku. Tentunya kau tak mengharapkan hal ini. Dan mungkin kau akan marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM)

RATNA : Ada apa? (HENING)

TOGAR : Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Salimun yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal kau dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui, diwarisi tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan keluarga Sinambela, ayahku, dan keluarga Raden Salimun, ayahmu, selalu rukun dan boleh dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau masih ingat Lapangan “Simalingkar B”-ku yang dibatasi oleh pohon-pohon, yang tidak jauh dari kebun binatang ...

RATNA : Maaf, saya memotong. Abang katakan Lapangan “Simalingkar B“ apa benar itu milik Abang?

TOGAR : Ya, itu milikku.

RATNA : Jangan keliru. Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami. Bukan milik Abang.

TOGAR : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Salimun yang manis.

RATNA : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi milik Abang.

TOGAR : Bah, tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona ... Aku sedang berbicara tentang Lapangan “Simalingkar B” yang terbentang antara Medan dan Brastagi.

RATNA : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami.

TOGAR : Tidak, Ratna Salimun yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami.

RATNA : Pikirlah apa yang kau ucapkan, Bang Togar Margolang Sinambela... Sejak berapa lama tanah itu menjadi milikmu?

TOGAR : Bah! Apa yang kaumaksud dengan “beberapa lama“? Selamanya aku punya ingatan, tanah itu adalah milik kami.

RATNA : Mana bisa ... ?

TOGAR : Aku mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna Suhandoyo Salimun. Lapangan “Simalingkar B” dulu memang milik yang dipersoalkan. Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa tanah itu milikku dan hal itu sekarang sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pikirkanlah baik-baik. Opung-Namboruku mengizinkan tanah itu dipakai oleh petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa selama lebih dari dua ribu tahun. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menganggap tanah itu menjadi milik mereka. Tapi sesudah perjanjian itu habis, yaitu sesudah Pak SBY naik ...

RATNA : Semua ucapanmu sama sekali tidak benar. Ayah Kakekku dan kakek kakekku, keduanya menganggap bahwa tanah mereka memanjang sampai arah Brastagi. Jadi Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami. Ooo ... aku tidak mengerti apa yang menjadi persoalan. Ini merusak suasana Togar Margolang Sinambela.

TOGAR : Akan kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna Salimun...

RATNA : Kau akan melucu atau akan menggoda saya? Itu tidak lucu sama sekali. Kami memiliki tanah itu hampir tiga abad, dan tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku. Maaf, Togar Margolang Sinambela. Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu itu. Saya tidak tergila-gila pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari empat puluh hektar dan harganya paling tinggi tiga ratus juta rupiah. Tetapi saya terpaksa memprotes karena ketidak-adilan. (TOGAR BERAKSI INGIN BICARA)
Kau boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan ketidakadilan.

TOGAR : Saya mohon agar kau suka mendengarkan aku. Petani-petani Kakek-Ayahmu seperti kukatakan tadi membuat batu bata untuk Opung-Namboruku. Dan karena Opung-Namboroku ingin membalas kebaikan ini ...

RATNA : Kakek-Opung-Namboru, aku tak mengerti semua itu. Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami ! Itulah !

TOGAR : Milikku ... ! ..., Milikku ... !

RATNA : Milik kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas jas, Lapangan “Simalingkar B“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka!

TOGAR : Aku juga tidak tergila-gila pada lapangan itu, Ratna Salimun. Kalau kau mau akan kuberikan tanah itu padamu sebagai hadiah.

RATNA : Aku yang bisa memberikan tanah itu kepadamu sebagai hadiah. Karena itu adalah milikku. Semua ini merusak suasana, Togar Margolang. Percayalah. Sampai sekarang aku masih memandangmu sebagai sahabat yang baik. Tahun yang lalu kami meminjam mesin penggiling padi hingga bulan November dan sekarang kau berani menganggap kami sebagai kaum melarat. Menghadiahi aku dengan tanahku sendiri. Maafkan saya, lae Togar Margolang. Ini bukan sikap tetangga yang baik. Terlebih-lebih lagi ini dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan.

TOGAR : Aih Mak, kalau begitu menurut anggapanmu aku ini lintah darat? Alebaya, aku belum pernah merampas tanah orang lain, Nona. Dan aku tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku dengan cara yang demikian! (MINUM) Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami.

RATNA : Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di lapangan itu.

TOGAR : Akan kulempar mereka semua keluar!

RATNA : Awas kalau kau berani!

TOGAR : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Lapangan “Simalingkar B” adalah milikku.

RATNA : Jangan kau menjerit! Kau boleh berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena marah bila di rumahmu sendiri. Tapi di sini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti adat.

TOGAR : Kalau aku tidak sakit napas, Nona, kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak akan berteriak-teriak seperti ini.
(BERTERIAK) Lapangan “Simalingkar B“ milikku.

RATNA : Punya kami!

TOGAR : Punyaku!

RATNA : Kami!

TOGAR : Punyaku! (SUHANDOYO SALIMUN MASUK)

SALIMUN : Ada apa dengan kalian? Mengapa berteriak-teriak?

RATNA : Ayah, coba terangkan pada orang ini. Siapa yang memiliki Lapangan “Simalingkar B“. Dia atau kita?

SALIMUN : Togar, Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami.

TOGAR : Masya Allah, Salimun! Bagaimana bisa menjadi milikmu?
Cobalah sedikit adil. Opung-Namboru meminjamkan Lapangan “Simalingkar B“ tersebut kepada petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua ribu tahun. Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka. Tapi ketika perjanjian selesai, maka tanah itu adalah milik kami.

SALIMUN : Maaf, Togar. Kau lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa kepada Opungmu dan seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama kemudian, ... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang memilikinya. Mungkin kau belum memiliki petanya, Gar.

TOGAR : Akan aku buktikan bahwa akulah pemiliknya!

SALIMUN : Akan tidak bisa, Nak ...

TOGAR : Tentu saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT)

SALIMUN : Mengapa kau berteriak-teriak, Gar? Kau tidak usah membuktikan apa-apa dengan menjerit-jerit. Aku tidak menginginkan kepunyaanmu. Dan akupun tidak akan menyerahkan kepunyaanku. Untuk apa? Kalau kau, Togar ... Kalau kau sudah berani mencoba untuk bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu kepada petani-petani, dari pada kepada orang seperti kamu.

TOGAR : Itu kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak menghadiakan hak orang lain?

SALIMUN : Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namamu: “Tuan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua kali umurmu, Tuan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa berteriak-teriak, dan seterusnya ...

TOGAR : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan menertawakan aku? Katamu ... Tanahku adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Suhandoyo Salimun... Kau bukan tetangga yang baik. Kau lintah darat!

SALIMUN : Apa katamu, Togar? Lintah darat?

RATNA : Ayah, suruhlah buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera.

TOGAR : Apa katamu, Nona?

RATNA : Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami dan kami tidak akan menyerahkan kepadamu. Aku tidak mau, tidak mau ...

TOGAR : Oh ... persoalan ini akan berlarut-larut nantinya. Akan kubuktikan di depan pengadilan bahwa akulah pemiliknya.

SALIMUN : Di depan pengadilan boleh saja, Tuan Muda, dan seterusnya ... Boleh saja ... Kamu memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini ke pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik!
Memang semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... !

TOGAR : Alamakjang! Bapak jangan menghina keluargaku. Semua keluarga Sinambela selalu orang yang dapat dipercaya, dan tidak seorangpun yang muncul di pengadilan karena melarikan uang, seperti amangborumu. (KEPADA RATNA)

SALIMUN : Semua keturunan Sinambela keturunan gila !

RATNA : Yaaaaa ... Semuanya, semuanya ... ... !

SALIMUN : Opungmu seorang pengadu ayam, namborumu yang termuda melarikan diri dengan mandor PU, dan seterusnya ... (LEMAH)

TOGAR : Dan namborumu seorang yang bongkok.
(MEMEGANG JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ... Demi Allah ... Air ...

SALIMUN : Dan ayahmu seorang yang mata keranjang!!!

RATNA : Dan tak ada lagi selain Namborumu yang mulutnya latah dan judes ...

TOGAR : Oooohh ... Aih Amang !!! Kakiku sudah lumpuh! Kalian orang-orang berkomplot! Tukang komplot! Oh ... Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintunya?! Aku mau pulang ... !!

RATNA : Jahat!, Licik!, Memualkan!!

SALIMUN : Dan kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar malapetaka, itulah kau!

TOGAR : Mana pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana saya harus keluar...? Mana pintunya? ... (KELUAR)

SALIMUN : Selangkahpun kamu jangan lagi memasuki rumah ini!
RATNA : Bawa saja ke pengadilan, kita lihat nanti. (TOGAR KELUAR MERABA PINTU)

SALIMUN : Persetan dia ... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH)

RATNA : Orang sial, bagaimana kita bisa percaya lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah ini?, penjahat!, orang tolol!, berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina pemiliknya. Sialan!!!

SALIMUN : Dan si Konyol itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ... Pikirlah ... Melamar.

RATNA : Hhhaaaahhh ... ?, Melamar Apa?

SALIMUN : Dia datang ke sini untuk melamarmu ...

RATNA : Melamar saya? Mengapa ayah tidak memberitahu terlebih dahulu? (MENYESAL)

SALIMUN : Karena itu dia berpakaian necis. Bagus! Si Bulus!

RATNA : Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia kembali lagi.

SALIMUN : Aduh, bawa dia kembali?

RATNA : Lekas ... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

SALIMUN : Aduh ... segera, jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah ... ! (LARI KELUAR)

RATNA : Oh, Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

SALIMUN : (MASUK LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku, kami hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau.

RATNA : Tidak. Ayah yang salah!

SALIMUN : Ha ... ? Salahku? Begitukah? (TOGAR MASUK) Nah, bicaralah sendiri dengan dia! (SALIMUN KELUAR)

TOGAR : (MASIH TERENGAH-ENGAH) Hatiku berdebar-debar, kakiku lumpuh, pinggangku sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.

RATNA : Kami minta maaf, bang Togar. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru, abangku Togar Margolang Sinambela, sekarang aku ingat Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikmu. Sungguh-sungguh ...
TOGAR : Oh ... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya, Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikku. Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut.

RATNA : Ya ... milikmu, betul milikmu. Duduklah, (MEREKA DUDUK) Kami tadi salah.

TOGAR : Aku bertindak menurut prinsip. Aku tidak menghargai tanah lapangan itu. Yang aku hargai adalah prinsipnya.

RATNA : Betul, prinsipnya. Mari kita bicarakan soal lain saja.

TOGAR : Terutama aku mempunyai bukti-buktinya, Ratna Salimun. Opung-Namboruku memberikan izin kepada petani-petani ayahmu ...

RATNA : Cukup, cukup tentang hal itu. (KE SAMPING) Saya tidak tahu bagaimana memulainya. (KEPADA TOGAR) Apakah kita akan berburu rusa, pada suatu hari?

TOGAR : (MULAI HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku berharap berburu ayam liar setelah panen selesai, Ratna Salimun yang baik. Tapi sudahkah kau mendengar betapa jeleknya nasib si Belang, kucingku, kau kenal dia? ... Kakinya lumpuh ...

RATNA : Kasihan, bagaimana terjadinya? ...

TOGAR : Entahlah, mungkin otot kakinya terkilir. Tapi, kucingku adalah yang terbaik. Lagi pula belum kusebutkan berapa harga yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa aku membayar kepada Haji Ramli sebanyak dua juta rupiah untuk si Belang?

RATNA : Terlalu mahal, Abangku.

TOGAR : Kukira jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia kucing yang lucu dan cerdas.

RATNA : Ayah hanya membayar lima juta rupiah untuk si Manis, dan si Manis jauh lebih cerdik daripada si Belang.

TOGAR : Si Manis lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Manis lebih cerdik dari si Belang?

RATNA : Ya, tentu saja. Si Manis masih muda sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat sifat-sifatnya dan cerdiknya, Amang Sinambela tidak mempunyai satu ekor-pun yang menyamai dan yang bisa mengalahkannya.

TOGAR : Maaf, Ratna Salimun. Tapi kau lupa bahwa si Manis berkumis pendek. Dan, ooo ... Kucing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit.

RATNA : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang hal itu.

TOGAR : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya.

RATNA : Sudah kau ukur?

TOGAR : Oh ya, kucingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.

RATNA : Tetapi pada kucing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia sudah tua dan jelek seperti anjing yang hampir mati.

TOGAR : Oh ... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh ekor kucing seperti si Manis. Dan si Manis itu tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai berpuluh-puluh kucing, seperti si Manis itu. Dan lima puluh ribu rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia.

RATNA : Tampaknya hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Togar Margolang. Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau mengatakan si Belang kucingmu lebih cerdik dari si Manis. Aku tidak suka pada lelaki yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti tahu bahwa kucing kami seratus kali lebih bagus dan berharga daripada kucingmu yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang sebaliknya?

TOGAR : Sekarang sudah jelas, Ratna Salimun. Bahwa kau buta dan tolol. Insyaflah kau, bahwa kucingmu berkumis pendek.

RATNA : Bohong ... !

TOGAR : Betul ... !

RATNA : Bohoooooong ... !

TOGAR : Alahmak! Mengapa menjerit-jerit? Mengapa pula kau berteriak-teriak?

RATNA : Mengapa kau berbicara omong-kosong? Ingin membuat aku marah. Sudah masanya bahwa si Belang harus ditembak mati. Tapi coba kau bandingkan dengan si Manis.

TOGAR : (SAKIT LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan soal ini. Hatiku berdebar-debar.

RATNA : Aku sudah berpengalaman bahwa laki-laki yang biasanya ngomong besar tentang perburuan biasanya tidak mengetahui tentang soal itu.

TOGAR : Nona, kuminta agar kau jangan bicara. Kepalaku akan pecah. Diamlah!

RATNA : Aku akan diam sebelum kau mengakui bahwa si Manis seratus kali lebih baik dari si Belang.

TOGAR : Seribu kali lebih jelek ! Persetan dengan si Manis. Oh, kepalaku ... Oh, mataku ... Pundakku ...

RATNA : Belangmu yang bodoh tidak memerlukan ucapan persetan, ia boleh dianggap mati saja.

TOGAR : Diam! Hatiku mau pecah! Oh.

RATNA : Sekarang apa lagi? (SALIMUN MUNCUL) Ayah, katakan dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran sehat Ayah, kucing mana yang lebih baik, si Manis atau si Belang?

TOGAR : Pak Salimun, saya hanya meminta jawaban atas pertanyaanku, apakah si Manis berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak?

SALIMUN : Mengapa kalau ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apa-apa? Tidak ada lagi kucing yang baik di seluruh daerah kita ini.

TOGAR : Tetapi kucing si Belang lebih baik dari si Manis, bukan?

SALIMUN : Jangan terburu-buru, nak Togar. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-sifat yang baik. Dia kucing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ... Tapi kucing itu Gar, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ...

TOGAR : Maaf, hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau fakta-faktanya. Kalau kau insyaf, di rumah Abah Wahab, kucing Raden Abdillah dikalahkan si Belang, sedangkan kucing Bapak, si Manis, setengah kilo di belakang mereka.

SALIMUN : Bohong, Gar. Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau menghentikan perdebatan ini. Ia dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat kucing orang lain. Misalkan saja kau menemukan bahwa kucing kami lebih pandai dari pada si Belang. Kau mulai mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Gar?

TOGAR : Kuingat juga ...

SALIMUN : (MENIRUKAN) Kuingat juga. Apa yang kau ingat?

TOGAR : Hatiku berdebar-debar. Kakiku sudah hilang perasaannya. Aku tidak bisa ...

RATNA : (MENIRUKAN) Hatiku berdebar-debar. Huh ... Itukah seorang pemburu ? Kau seharusnya tinggal di rumah saja daripada terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak apalah. Tapi kau cuma ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikut-ikutan campur tangan kucing orang lain. Kau seharusnya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat daripada berburu serigala. Huh ... hatiku berdebar-debar. Huh ...

SALIMUN : Ya! Itukah seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau seharusnya tinggal di rumah daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu, tak apalah, tapi kau cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan seterusnya ... ... Aku orangnya cepat marah, lae Togar. Lebih baik kau hentikan saja perbantahan ini. Kau bukan seorang pemburu!

TOGAR : Dan kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau ikut hanya untuk korupsi dan menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku, kau ikut orang yang berkomplot!

SALIMUN : Apa? Aku orang yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu!

TOGAR : Tukang komplot!

SALIMUN : Pengecut! Anak liar!

TOGAR : Tikus tua! Rentenir! Lintah darat!

SALIMUN : Tutup mulutmu, atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar. Goblok!

TOGAR : Setiap orang mengetahui ..., ooo hatiku ..., bahwa istrimu dulu suka memukuli kau. Ooo ... hatiku ... bahuku ... mataku ... aku pasti mati, ooooh ... ... ...

SALIMUN : Dan kau suka menggoda babu-babu tetanggamu.

TOGAR : Ooo ... hatiku ... Pasti hancur, pundakku sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ... Aku pasti mati ... (JATUH KE KURSI)

SALIMUN : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang hawa.

RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... !

SALIMUN : Siapa mati? (MELIHAT TOGAR) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter! (MELETAKKAN AIR DI BIBIR TOGAR)
Minum ... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau!
(TOGAR BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah, Gar...

TOGAR : (BERKUNANG-KUNANG) Di mana aku?
SALIMUN : Sebaiknya kau segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia menerima lamaranmu dan akan kuberikan anakku kepadamu.

TOGAR : Ah, siapa? (BANGUN) Siapa?

SALIMUN : Ia menerima kamu dan persetan dengan kalian.

RATNA : (HIDUP) Ya, kuterima lamaranmu.

SALIMUN : Jabatlah tangannya, Nak. Dan seterusnya ...

TOGAR : Hah? Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa sebenarnya? Oh ya, aku mengerti. Hatiku berdebar-debar, kepalaku pusing, aku senang Ratna yang manis.

RATNA : Saya ... saya juga senang Togar Margolang.

SALIMUN : Nah ... Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku.

RATNA : Tapi harus kau terima sekarang. Si Belang lebih bodoh dari si Manis.

TOGAR : Dia lebih cerdik, Ratna.

RATNA : Ia kurang cerdik!

TOGAR : Ia lebih cerdik.

RATNA : Kurang!

TOGAR : Lebih!

RATNA : Kurang!

TOGAR : Lebih!

SALIMUN : Wahhhh, inilah permulaan hidup bahagia sepasang suami-istri! Mari kita berpesta!

(SAAT MEREKA STATIS. MUSIK SELENDANG DELIMA KEMBALI BERKUMANDANG)

Syair :
Begitulah sepenggal kisah tentang anak manusia
Yang hendak menghabiskan masa berumah tangga
Meski diselimuti malapetaka
Namun tetap aman sentosa



F a d e I n (L a y a r T u r u n)