Puisi Arif S M
Perempuan Pada Sebuah Rumah
kemarin ia terus melucuti seluruh pakaian
ruang lindap yang menusuk berbau
meruang di dalam tubuhnya
sedang di luar sana serupa mawar mekar
berkelip secantik mutiara
diperbincangkan dengan sekerat roti tawar
berteman segelas besar bir atau anggur merah
kemarin ia terus menitik embun
jatuh di sebalik pelupuk matanya
merangkul kerut pada pipi
lalu meliuk-liuk mengitari dagu dan leher
ia tak boleh berpejam mata
sebab air bah dari matanya akan membanjir seluruh keruh
yang tergurat di wajahnya,
hingga esok pagi
kemarin ia bermimpi pula
tentang seorang lelaki kekar idaman
berototkan jiwanya, bernafas kasih
pada kursi di ujung lorong ruang ia bercerita
mengeluh jiwanya, meraung-raung dalam sunyi
walau parau suaranya terjepit
saat petang menenggelamkan matahari
kemarin ia tak melahap sarapan pagi
apalagi godak pada larut malam ini
ia hanya memahami rintik di luar sana
pandangannya jauh menelusup di balik jendela
nanar penuhi ruang mata
kusam sahabat setia, lusuh teman berkeluh
kali ini ia ingin bercumbu dengan sebuah harap
adakah esok kelam menemaninya lagi?
atau barangkali resah masih ingin bergumul?
Medan, 2008
Gerimis Padang Panjang
Kemarin gerimis lagi,
terus melipur kalbu namun gigil belum terasa ke kulit
hanya menembus tulang di sebaliknya
Putih perak mengkilap–kilap
jalanan terjal naik turun dan kadang berkelok–kelok
gerimis kemarin masih berasa hingga kini
jalanku masih menyisakan sedikit lelumpur yang naik–naik
membercak bulat–bulat di celana wasit sewarna langit saat itu
Rupanya langit tak henti menangis
mungkin hatinya tersayat–sayat ketika tawar–menawar miniatur
atau barangkali
tersandung batu sewaktu mencari randang bareh
di pasar Ateh
Langit makin buram, tanda siang kadaluwarsa
bukannya syair–syair tuhan dikumandang
namun gelak tawa menghias sembari menawar lapan–lapan
;angin semilir mengalir mewarnai perjalanan getir
sesampai simpang empat tak ayal anyangan datang
liar mata nanar membumihanguskan pemandangan
sekeliling tak dijumpai sedikit air
alih–alih mengumandang takbir
jalan berputar berkeliling–keliling, ngilu terasa pekat
sebuah pintu bergambar perempuan di ujung jalan
jadi akhir pencarian
ah, penat masih berukir di jidat
kini bukan hanya pekat, berdua menyusuri seratus anak tangga
membeban berat pada lengan tak berlemak
sedang dua perempuan di atas tersenyum–senyum
membolak–balik sobekan kertas menghitung–hitung keuntungan.
pada anak tangga paling akhir, mereka tertawa puas
padangpanjang-medan, 2008
KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)