PUISI PUISI M. RAUDAH JAMBAK
DI PINTU PEMILIHAN SUARA
Di pintu pemilihan suara
Seorang bocah mencatatkan sejarah
Sebab banyak kata-kata yang ia dapatkan
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu pemilihan suara
Seorang bocah mengutip sampah kata-kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
DI HARI KAMPANYE
Alangkah, ah
Hati kami memilin luka luka
Orasi itu menombak batin menganga
Dan kami masih tak berdaya
Mengunyah sejuta janji
Jadi air mata
SELAMAT DATANG PEMIMPIN
Di belahan peradaban yang mana
Kata-kata paling setia tidak lagi menggema
Selamat datang wahai pemimpin
Kami sambut engkau dengan segala
Suka cita
Di belahan kemanusiaan yang mana
Janji-janji paling pasti tidak lagi dipungkiri
Selamat datang wahai pemimpin
Kami jemput engkau dengan segala
Keyakinan cinta
LELAKI TUA PEMASANG UMBUL UMBUL
Di sepanjang jalan ini
Seorang lelaki tua duduk sendiri
Menatap setumpuk umbul umbul pemilihan
Di bayang matanya, anak dan istrinya
Tak lagi meneguk air mata
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Saling berburu deru
Lelaki tua terduduk sendiri
Membenahi luka luka segala nestapa
Membenahi banjir peluh mengucur nyeri
Membenahi pikiran renta mengusung senja
Di simpang nyeri
Lalu lalang kata membunuh nurani
PUISI PUISI M. RAUDAH JAMBAK
KEPADA LELAKI ITU
Pulanglah
Esok masih ada cerita yang kita cipta
Menjadi bunga atau apa saja yang kita suka
Atau kita sihir saja ia menjadi ular kepala dua
Debu dan asap knalpot yang menyelimut kata
Adalah laksana lumpur yang membenamkan mutiara
Di kepala kita, rakyat jelata
Pulanglah
Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah buram kita menjadi senyuman
DI SIMPANG PERADABAN KOTA JALAN RAYA
Seorang wanita tua tertidur digilas berjuta pulas
Dengan kaleng di tangan ia mengayuh angan
Berlayar pada perahu sepetak di taman
Di atasnya bertuliskan pembelaan
Terhadap kaum yang terlantar
Umbul umbul pemilihan
Laksana prajurit
Penjaga
dan
Lampu
Di simpang jalan
Menghalau masa lampau
Terjerumus arus pikiran renta
Yang terbang bersama perih debu
Sepanjang trotoar peradaban kota-kota
SEPANJANG SIANG
Sepanjang siang ini masih juga kau hamburkan
Debu bertubuh ulat berbulu yang meranggaskan
Kemarau dalam kepalaku, menceracau parau
Di tenggorokanku, kering
Lalu kata-kata yang berhamburan dari mulutmu
Berubah serdadu, berubah pemburu, mengintai
Sepanjang siang ini masih juga kau hidangkan
Orasi-orasi basi di atas meja persekongkolan
Mendesak sepenuh perutku, mengacau galau
Di bibirku, muntah
Dan kata-kata yang berkobaran dari mulutmu
Menjelma duri, menjelma api, menghanguskan
MELINTAS JALAN INI
Melintas jalan ini aku hanya menanam jejak
Tanah tandus mengusung debu sepanjang peradaban
Pepohonan di kiri kanan meranggas, gersang
Arus kata-kata simpang-siur menembus telinga
Mengaduk-aduk pikiran
Ah, apakah hayalku yang terlanjur pagi
Menafsir resah segala warna gerah
Atau kesumat terlampau berkarat
Memeluk kata yang masih belia
Sebelum tercemar darah luka
Melintas jalan ini aku tak ingin membatas jarak
Tapi, kerontang pikiran terlanjur membusukkan
Peta segala cuaca
KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)