Arsip Blog

Senin, 05 Desember 2011

Puisi KH.Mustafa Bisri

Rasanya Baru kemarin

Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia.

Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari para jurkam PDIP saja.



Rasanya
Baru kemarin.

Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.

Rasanya
Baru kemarin

Padahal sudah lebih setengah abad lamanya.
Menteri-menteri yang dulu suka korupsi
Sudah banyak yang meneriakkan reformasi

Rasanya baru kemarin

Rakyat yang selama ini terdaulat
sudah semakin pintar mendaulat
Pemerintah yang tak kunjung merakyat
pun terus dihujat

Rasanya baru kemarin

Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.
Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh
Padahal pembangunan badan yang kemarin dibangga-banggakan
sudah mulai runtuh

Kemajuan semu sudah semakin menyeret dan mengurai
pelukan kasih banyak ibu-bapa
dari anak-anak kandung mereka
Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi sudah menutup mata
banyak saudara terhadap saudaranya

Daging yang selama ini terus dimanjakan kini sudah mulai kalap mengerikan
Ruh dan jiwa
sudah semakin tak ada harganya

Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan
para penguasa berlaku sewenang-wenang
kini sudah pandai menirukan

Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya
Semakin bertambah besar pengaruhnya
Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda
Kepentingan sendiri dan golongan
sudah semakin melecehkan kebersamaan

Rasanya
Baru kemarin

Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka
Pahlawan-pahlawan idola bangsa
Seperti Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja
Sudah dikalahkan oleh Sin Chan, Baja Hitam,
dan Kura-kura Ninja

Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan

Rasanya
Baru kemarin

Tokoh-tokoh angkatan empatlima sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah banyak yang terbenam
Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya sudah banyak yang tak jelas maunya

Rasanya
Baru kemarin

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian Benar-benar merdeka?)

Rasanya
Baru kemarin

Negeri zamrud katulistiwaku yang manis
Sudah terbakar nyaris habis
Dilalap krisis dan anarkis
Mereka yang kemarin menikmati pembangunan
Sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban
Mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri
Sudah meninggalkan utang dan lari mencari selamat sendiri

Mereka yang kemarin sudah terbiasa mendapat kemudahan
Banyak yang tak rela sendiri kesulitan
Mereka yang kemarin mengecam pelecehan hukum
Kini sudah banyak yang pintar melecehkan hukum

Rasanya baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka.

Mahasiswa-mahasiswa pejaga nurani
Sudah dikaburkan oleh massa demo yang tak murni
Para oportunis pun mulai bertampilan
Berebut menjadi pahlawan
Pensiunan-pensiunan politisi
Sudah bangkit kembali
Partai-partai politik sudah bermunculan
Dalam reinkarnasi

Rasanya baru kemarin

Wakil-wakil rakyat yang kemarin hanya tidur
Kini sudah pandai mengatur dan semakin makmur
Insan-insan pers yang kemarin seperti burung onta
Kini sudah pandai menembakkan kata-kata

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah lima puluh sembilan tahun kita
Merdeka.

Para jenderal dan pejabat sudah saling mengadili
Para reformis dan masyarakat sudah nyaris tak terkendali
Mereka yang kemarin dijarah
Sudah mulai pandai meniru menjarah
Mereka yang perlu direformasi
Sudah mulai fasih meneriakkan reformasi
Mereka yang kemarin dipaksa-paksa
Sudah mulai berani mencoba memaksa

Mereka yang selama ini tiarap ketakutan
Sudah banyak yang muncul ke permukaan
Mereka yang kemarin dipojokkan
Sudah mulai belajar memojokkan
Mereka yang kemarin terbelenggu

Sudah mulai lepas kendali melampiaskan nafsu
Mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa
Sudah mulai banyak yang lupa

Rasanya baru kemarin

Ingin rasanya aku bertanya kepada mereka semua
Tentang makna merdeka

Rasanya baru kemarin

Pakar-pakar dan petualang-petualang negeri
Sudah banyak yang sibuk mengatur nasib bangsa
Seolah-olah Indonesia milik mereka sendiri
Hanya dengan meludahkan kata-kata

Rasanya baru kemarin

Dakwah mengajak kebaikan
Sudah digantikan jihad menumpas kiri-kanan
Dialog dan diskusi
Sudah digantikan peluru dan amunisi

Rasanya baru kemarin

Masyarakat Indonesia yang berketuhanan
Sudah banyak yang kesetanan
Bendera merahputih yang selama ini dibanggakan
Sudah mulai dicabik-cabik oleh dendam dan kedengkian

Rasanya baru kemarin

Legislatif yang lama sekali non aktif
Dan yudikatif yang pasif
Mulai pandai menyaingi eksekutif
Dalam mencari insentif

Rasanya baru kemarin

Para seniman sudah banyak yang senang berpolitik
Para agamawan sudah banyak yang pandai main intrik
Para wartawan sudah banyak yang pintar bikin trik-trik

Rasanya
Baru kemarin

Tokoh-tokoh orde lama sudah banyak yang mulai menjelma
Tokoh-tokoh orde baru sudah banyak yang mulai menyaru

Rasanya
Baru kemarin

Orang-orang NU yang sekian lama dipinggirkan
Sudah mulai kebingungan menerima orderan
NU dan Muhammadiyah yang selama ini menjauhi politik praktis
Sudah kerepotan mengendalikan warganya yang bersikap pragmatis

Rasanya
Baru kemarin

Pak Harto yang kemarin kita tuhankan
Sudah menjadi pesakitan yang sakit-sakitan
Bayang-bayangnya sudah berani pergi sendiri
Atau lenyap seperti disembunyikan bumi
Tapi ajaran liciknya sudah mulai dipraktekkan
oleh tokoh-tokoh yang merasa tertekan
Anak dan antek kesayangan Bapak sudah berani tampil lagi
Mendekati rakyat lugu mencoba menarik simpati
Memanfaatkan popularitas dan kesulitan hidup hari ini

Rasanya baru kemarin

Habibie sudah meninggalkan
Negeri menenangkan diri
Gus Dur sudah meninggalkan
Atau ditinggalkan partainya seorang diri

Rasanya baru kemarin
Padahal sudah limapuluh sembilan tahun lamanya
Megawati yang menghabiskan sisa kekuasaan Abdurrahman
Mengajak Hasyim Muzadi merebut lagi kursi kepresidenan
Membangkitkan nafsu banyak warga NU terhadap kedudukan

Apalagi Wiranto yang mengalahkan Akbar
menggandeng Salahuddin keturunan Rais Akbar
Ikut bersaing merebut kekuasaan melalui Golkar
Dan didukung PKB yang dulu ngotot ingin Golkar bubar

SBY yang mundur dari kabinet Mega juga ikut berlaga
Dengan Jusuf Kalla menyaingi mantan bos mereka
Bahkan dalam putaran pertama paling banyak mengumpulkan suara

Amin Rais yang sudah lama memendam keinginan
Memimpin negeri ini mendapatkan Siswono sebagai rekanan
Sayang perolehan suara mereka tak cukup signifikan

Hamzah Haz yang tak dicawapreskan PDI maupun Golkar
Maju sendiri sebagai capres dengan menggandeng Agum Gumelar
Maju mereka berdua pun dianggap PPP dan lainnya sekedar kelakar

Rasanya baru kemarin

Rakyat yang sekian lama selalu hanya dijadikan
Obyek dan dipilihkan
Kini sudah dimerdekakan Tuhan
Dapat sendiri menentukan pilihan
Meski banyak pemimpin bermental penjajah yang keberatan
Dan ingin terus memperbodohnya dengan berbagai alasan
Rakyat yang kebingungan mencari panutan
Malah mendapatkan kedewasaan dan kekuatan
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaiman rasanya
Merdeka?)
Rasanya baru kemarin
Orangtuaku sudah lama pergi bertapa
Anak-anakku sudah pergi berkelana
Kakakku dan kawan-kawanku sudah jenuh menjadi politikus
Aku sendiri tetap menjadi tikus

(Hari ini
setelah limapuluh sembilan tahun kita merdeka
ingin rasanya aku mengajak kembali
mereka semua yang kucinta
untuk mensyukuri lebih dalam lagi
rahmat kemerdekaan ini
dengan mereformasi dan meretas belenggu tirani
diri sendiri
bagi merahmati sesama)
Rasanya baru kemarin
Ternyata sudah limapuluh sembilan tahun kita
Merdeka

(Ingin rasanya
aku sekali lagi menguak angkasa
dengan pekik yang lebih perkasa:
Merdeka!)

Rembang, 17 Agustus 2004

INDONESIA BERKACA
Raudah Jambak













telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa

MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA?
M. Raudah Jambak

Masih merdekakah kau Indonesia
setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya
dalam kaleng rombeng
recehan angka milik pengemis belia
yang mendendangkan kidung lara
bersama hembusan dupa dari opelet tua
asih merdekakah kau Indonesia
ketika musyawarah berubah dari mufakat
menjadi siasat
ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat
ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan
dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa
Masih merdekakah kau Indonesia
dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya
karena matamu telah dibutakan
dan mulutmu disekat rapat-rapat
serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa
Masih merdekakah kau Indonesia
padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata
dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka
Masih merdekakah kau Indonesia?


INDONESIA, MERAH-PUTIHKU
Karya : M. Raudah Jambak

Indonesia, Indonesia
di negeri ini aku dilahirkan
di negeri ini aku dibesarkan
di negeri ini aku menggapai
segala impian
segala harapan
segala cita
dan cinta

Indonesia, Indonesia
engkau adalah taman terindah
ibu yang paling ramah, penuh
kasih dan sayang
dalam suka
maupun duka

Indonesia, Indonesia
adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur,
adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan
adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur
adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan

Indonesia, Indonesia
laksana obat penghilang perih luka-luka
tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam
danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka
dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam

Indonesia, Indonesia
barisan semangat sepanjang carnaval
anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal
kekasih segala pujaan, membenam segala gombal

Indonesia, Indonesia
merah darahku
putih tulangku
di tubuhku
kita menyatu
padu

medan, 2010

INILAH DIA,……..Para Pemenang Lomba FESTIVAL PUISI BENTARA 2011

Apresiasi Puisi Wartawan "Koran Jakarta" Menangi Lomba Cipta Puisi Nasional
KORAN JAKARTAJAKARTA - Wartawan Koran Jakarta, Frans Ekodhanto Purba, memenangi lomba cipta puisi nasional anugerah bentara budaya 2011. Malam penganugerahannya sendiri diberikan pada Minggu (27/11) malam di Bentara Budaya Bali. Karya puisi Frans berjudul Cerita Tiga Rupa berhasil masuk dalam lima pemenang karya puisi terbaik menyisihkan 2.521 judul puisi yang dikirim oleh sekitar 700 penyair dari 130 kota di Indonesia.

Pemenang lainnya adalah Sindu Putra dengan judul puisi Kupu-Kupu Kuning dalam Cerita Pendek Putu Arya Tirtawiryas, A Muttaqin dengan judul puisi Tukang Kayu, Romi Zaman dengan judul Sajak Daun, serta Otto Sukatno CR dengan puisi Opera Rama Sinta. Koordinator Bentara Budaya Bali, Warih Wisatsana, mengatakan lomba cipta puisi nasional ini merupakan salah satu kategori lomba dalam rangkaian festival puisi bentara budaya yang sudah berlangsung sejak dua tahun lalu.

"Festival puisi bentara sebenarnya sudah sejak 2010, tetapi lombanya baru dilaksanakan kali ini," kata Warih. Untuk tahun ini, tema lomba yang diambil adalah "Mitologi dalam Refleksi Kekinian". Juri yang dilibatkan antara lain penyair Umbu Landu Paranggi, sastrawan Nyoman Tusthi Eddy, serta kritikus sastra Prof Dr I Nyoman Darma Putra.

Selain lomba cipta puisi nasional, juga diselenggarakan lomba baca puisi se-Indonesia serta lomba dramatisasi puisi se-Bali. Animo masyarakat sendiri terlihat tinggi dalam rangkaian perlombaan ini. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta dan karya yang dikirimkan dalam setiap kategori lomba.

"Semoga puisi dan dunia kesusastraan Indonesia bisa menjadi angin sejuk bagi carut-marutnya pergolakan politik, ekonomi, hukum di Indonesia," kata Frans. Warih juga menjelaskan bahwa kegiatan semacam ini menjadi suatu hal yang menarik untuk menunjukkkan suatu proses, terutama proses yang terjadi di Bali dan di Indonesia pada umumnya. Semacam proses persinggungan sesuatu yang bersifat global (mengandung nilai-nilai luar) dan nilai-nilai lokal serta nasional.

"Hal ini coba kita refleksikan ke dalam bentuk kegiatan ini, sehingga kami mengambil temanya, 'Mitologi dalam Refl eksi Kekinian'. Karena keindonesiaan kita dibentuk dari sesuatu yang bersifat mitologi dan kehidupan tradisi kita, sementara kekinian kita, mau tidak mau harus kita sikapi dengan kreatif untuk menghasilkan keindonesiaan yang kita kehendaki," katanya.

Setelah melalui proses panjang dan berbagai tahapan lomba sedari bulan Februari hingga Oktober, akhirnya pada 27 November 2011, bertepatan dengan malam Puncak Festival Puisi Bentara 2011 diumumkanlah Lima Puisi Terbaik dari 1.521 naskah karya 700 penyair yang berasalah dari 130 kota se-Indonesia. Lima Penyair yang memperoleh Anugerah Bentara 2011 serta diundang khusus untuk menerima penyerahan hadiah di Bentara Budaya Bali ialah :

1. A. Muttaqqin (Surabaya), dengan puisi berjudul “Tukang Kayu”
2. Frans Ekodhanto Purba (Jakarta), dengan puisi berjudul “Cerita Tiga Rupa”
3. Otto Sukatno CR (Yogyakarta), dengan puisi berjudul “Opera Rama Sinta”
4. Romi Zarman (Padang), dengan puisi berjudul “Sajak Daun”
5. Sindu Putra (Mataram), dengan puisi berjudul “Kupu-kupu Kuning dalam Cerita Pendek Putu Arya Tirtawirya”.

Lomba Baca Puisi se-Indonesia
Dari 208 pendaftar se-Indonesia, Lomba Baca Puisi memperebutkan Anugerah Bentara 2011 yang digelar pada 25-27 November 2011, melalui tahap penjurian yang ketat dengan melibatkan dewan juri yang terdiri dari Oka Rusmini, Ida Bagus Darma Suta dan Wayan Sunarta menetapkan juara 1,2,3, Harapan 1,2, enam (6) Nominator, enam (6) Pembaca Berbakat serta dua (2) Pembaca Favorit, diantaranya :

Juara 1 : Nomor Undi 80, Hurria (Universitas Trunojoyo, Madura)
Juara 2 : Nomor Undi 66, I Putu Oka Wardika (SMA Negeri 5 Denpasar)
Juara 3 : Nomor Undi 185B, Mira Astra (Umum)
Juara Harapan 1 : Nomor Undi 151B, Awyawaharika A. AP (SMA Negeri 5 Denpasar)
Juara Harapan 2 : Nomor Undi 36, Tria Hikmah Pratiwi (Umum)

Nominator :
1. Nomor Undi 25, Dra. Ni Wayan Sumiasih (SMA Lab. School, Singaraja)
2. Nomor Undi 45, Shelvie (SMA Lab. School, Singarja)
3. Nomor Undi 111, Ardiansyah Dz (Universitas Trunojoyo, Madura)
4. Nomor Undi 118, Ni Luh Ayu Desi Andriani (SMA Negeri 2 Amlapura)
5. Nomor Undi 147, Muda Wijaya (Umum)
6. Nomor Undi 168, Catur Wira Natanegara (SMA Negeri 1 Denpasar)

Pembaca Berbakat :
1. Nomor Undi 7, Pande Km. Intan Trianaputri (SMP Negeri 3 Gianyar)
2. Nomor Undi 24, I Gst. Ayu Gita Dewantariyasa (SMP Negeri 5 Denpasar)
3. Nomor Undi 34, Kadek Desi Nurani Sari (SMA Lab. School, Singaraja)
4. Nomor Undi 79, Ni Putu Suputri Noviani Pradhana (SMA Negeri 3 Denpasar)
5. Nomor Undi 84, Silvia Anggita Putri (SMP Negeri 3 Kuta Selatan)
6. Nomor Undi 100, Winda Permata Sari (SMA Negeri 1 Denpasar)

Pembaca Favorit :
1. Nomor Undi 146, Nuril Eka H (Psikologi, UI)
2. M. Choirul Anam (SMA Negeri 4 Surabaya)

Lomba Dramatisasi Puisi se-Bali
Dewan juri yang terdiri dari Abu Bakar (dramawan), Nyoman Erawan (perupa dan art perfomer) serta Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Sastrawan), menetapkan tiga (3) Terbaik dari sembilan (9) penampil yang berhak memperoleh Anugerah Rektor Universitas Udayana, diantaranya :

Juara 1 : Nomor Undi 8, Teater Ilalang (Singaraja)
Juara 2 : Nomor Undi 5, Teater Limas (SMA Negeri 5 Denpasar)
Juara 3 : Nomor Undi 4, Teater Angin (SMA Negeri 1 Denpasar)

Selamat kepada para Pemenang dan Nominator…..

Salam,
Panitia Puisi Bentara 2011

PUISI PUISI YANG DIJADIKAN PUISI WAJIB UNTUK MUSIKALISASI DAN DRAMATISASI BENTARA BUDAYA BALI 2011

Otto Sukatno CR
OPERA RAMA SINTA

di hadapan api penyucian, Sinta nampak tegar, tanpa setitikpun butiran air mata
namun ia tak segera menceburkan dirinya
“masuklah!” Ujar Rama, tenang seakan tanpa dosa
“bila engkau belum terjamah Rahwana api akan menyelamatkanmu!”
mendengar perintah itu, Sinta menatap tajam wajah suaminya dan balik berkata
“jika api benar-benar menyelamatkanku, aku justru ragu atas kesucian
dan kejujuran kuasamu, maka sebaiknya masuklah terlebih dahulu
atau kita masuk sama-sama merasakan panasnya dosa, sebab aku tak mau lagi
tertipu untuk kedua kalinya
dan aib dunia hanya dipikulkan di pundak Hawa!”
Rama terperangah tak mampu berbuat apa
sambil menatap wajah Sinta,
penuh tanda tanya?
Yogyakarta., 2009


PENYESALAN#03

Karya : Ali Antoni


masih teringat kuat bagaimana aku mengendap dulu
diam-diam mengambil selendangmu ditelaga
berjingkat-jingkat ku atur langkah
agar kau kehilangan sayap dan tak ada pilihan lain kecuali hinggap di peraduanku
sampai kemudian musim berganti musim
hujan di susul hujan
kalender tanggal satu-satu
dan jarum jam di ruang kamar kita sudah terganti puluhan kali
namun aku tetap merasa bahwa kau adalah musim panenku
sungguh aku tak menyesal kenapa aku mengendap
dan mencuri kesucianmu
biarlah itu menjadi dosaku
sebagai neraka yang aku syukuri
dan aku hangat dalam apimu yang menyambar-nyambar
kau mematangkan beras lumbung padiku
kau adalah air yang menghidupkan kebunku
kau pula yang menjadi damar penerang
yang membantuku mengeja huruf-huruf kuno dari masa silam
…..
namun satu hal yang membuat telagaku mengering
sungaiku tak lagi sejernih dulu
benih tunasku gagal tumbuh
setelah tak sengaja kau temukan sayapmu yang kusimpan rapat-rapat
kau menuduhku sebagai pendusta, sebagai setan berkepala lima
dengan mudahnya kau lupakan kembang gula
yang sering kita nikmati berdua


TUKANG KAYU
Karya : A. Muttaqin


Kupilih kayu untuk selembar pintu.
Kupilih jati ketimbang mahoni dan trembesi.
Sebab pada jati serat keteguhan merangkum diri.
Sebab pada jati segala janji sepi terberi.

Mungkin jati kenyang menyusu sungai.
Menggugurkan daun saat tanah pecah
dan padi-padi menundukkan kepala.
Sebab itu jati tumbuh sebagai pohon kuat.

Ketika dibuat pintu tak gampang dicungkil
pencuri laknat. Jati juga bisa jadi jendela
yang indah. Berbekal serat murni yang mirip
rajah di telapak tangan kita:

rajah yang memanggil sejuk angin timur
jika kita sedang susah tidur. Atau membawa
angin barat, jika pikiran kita sedang semburat.
Kadang ia juga membawa angin selatan

atau utara, seperti salam mesra yang diucap
bibir berkah. Begitulah. Begitu kayu-kayu
kupelajari rahasianya. Agar tak keliru saat kutebang
di hutan sana. Seperti kala kupilih kayu meranti

daripada mahoni, untuk kotak lemari dan lelaci.
Sebab meranti menyimpan serat lembut murni.
Meniru perempuan yang gemi dan primpan.
Mengamankan intan dan marjan dari pengintai.

Pernah kupilih kayu jangkang ketimbang
kampar rindang. Kayu jangkang yang pahit
namun wingit, nyaman untuk meja panjang,
kuda goyang, atau ranjang senggang

yang diukiri elang, kawanan kijang
dan tujuh dayang yang sedang mandi di sendang.
Kupilah juga kayu pilihan untuk podium besar.
Kuhadapkan kayu itu ke matahari agar ia bersih

dari jamur dan sisa hujan. Dan dengan segenap
kekuatan, kuhiaskan ukiran kembang, burung terbang
atau khat yang merawikan sholawat dan pujian.
Kubikin sedemikian nyaman. Sebab di sanalah

khotbah dan kitab suci kelak ditegakkan.
Di tanganku tergenggam tata ketam dan palu godam.
Dengan gergaji kutipiskan balok kayu jadi papan.
Kadang aku bertanya tentang takdir sang kayu:

apakah ia akan jadi tiang rumah, jadi meja, kursi
atau malah jadi peti yang menyimpan orang mati.
Kucipta mereka dengan teliti dan senang hati.
Seperti meramut anak-anak sendiri.

Dari hari ke hari. Dengan kecermatan penyawur benih.
Dengan ketulusan seorang ibu yang tak terbagi.
Kerap terpikir juga mencipta pola pintu dan jendela
yang sanggup mengantar orang ke gerbang mimpi.

Atau ke jalan landai yang membuat mereka damai.
Atau yang seperti bibir kekasih, terbuka dan terkatup
sendiri, mengucap doa-doa jika kita pulang atau pergi.
Pernah pintu dan jendela macam itu dicipta sang Yesus.

Dengan rasa paling halus. Dengan sepasang tangan tulus
dan kudus. Berkali-kali lelaki lembut gondrong itu datang
ke mimpiku. Memberi perkul landep dan palu antep padaku.
Ketika terbangun, perkul dan palu seolah masih terpegang.

Tapi kedua tanganku gemetar. Kesepuluh jarinya mengaduk diri seperti geruguk sepi.
Terantuk dan tersaruk, mereka seolah
berkeras merayap dari sisiku. Merayap miring, menyamping
mirip prilaku kepiting. Membawa telapak tanganku pergi.

Satu ke kanan. Satunya lagi ke kiri. Mencari muara sungai
paling murni yang saban malam mengalir dari sebidang pipi:
sungai yang tak mungkin terjamah tanganku yang hanya
mengenal perkul, palu, dan gergaji.

2011



KUPU-KUPU KUNING
DALAM CERITA PENDEK PUTU ARYA TIRTAWIRYA
Karya : Sindu Putra


ia sentuhkan tanganku yang kering
ke dadanya
yang paru-parunya basah oleh getah tembakau
sembari minta doa: “ sengatkan naga dati tubuhmu
hingga menggigit luka hatiku……..”

lelaki yang terbaring di atas jalan cerita,
yang ditulisnya diseantero Lombok
tubuhnya menyimpan demam, yang dideritanya seumur hidup
tak ada yang ditutup-tutupinya, tak ada yang tidak dituturkannya:
“lihatlah, sindu, kupu-kupu kuning
yang hinggap di potret masa muda saya……….”
kupu-kupu yang menyeberangi selat Lombok
menemukan taman bunga bawah laut,
dengan sungai-sungai apinya yang menyala
menemukan taman rahasia, tempat Sita disembunyikan
kupu-kupu yang menemukan nektar bunga perdu,
yang lebih manis dari susu ibu

ia sentuhkan lagi tangannya yang kering
ke dadanya, yang biru oleh batu rindu:
“ciumlah bau tuak, sindu
yang menenggelamkan bulan di Cakranegara
dengarlah kokok ayam jantan,
yang menggiring penangkar kupu-kupu
ke goa-goa di pinggiran kota.
saya ini, seorang urban di kampung halaman……”

kupu-kupu yang tua Putu Arya Tirtawirya
dalam cerita-cerita pendeknya yang getir.
kupu-kupu getas yang kehilangan sehektar taman bunga
kupu-kupu garam yang kehilangan bunga padi yang wangi,
kupu-kupu yang tua itu, kini hinggap di potret masa lalumu
dalam kamar, tanpa sungai-sungai api
tanpa pohon-pohon sungsang
kupu-kupu yang ditinggalkan malam, kupu-kupu yang ditinggalkan pagi

tapi, Putu Arya Tirtawirya
terimakasih
telah kau contohkan
bagaimana menceritakan diri sendiri


Mataram 2011


CERITA TIGA RUPA
Karya : Frans Ekodhanto Purba

Si Tumang

akulah pemilik tetubuh jelita, pemenang
taruh dan pertarungan, tanpa mengalirkan dendam
tanpa menggaligali luka, menumpahkan nanah amarah
akulah pemenang, bukan raja, bukan penguasa, bukan juga manusia
dengan sehelai torak aku melamarnya
darah, cinta, kasih dan nafsu yang kujejakkan di rahimnya
adalah keutuhan janinjanin cinta kami
dirajut sepanjang malam bulan purnama, akulah situmang
seekor anjing jantan

karena akulah segala yang tiada menjadi nyata
segala yang mustahil menjadi hidup
tapi karena dia pulalah aku menjadi kenangan
yang hanya bisa dijejak cerita
diraba airmata yang memata airkan usia


Dayang Sumbi

hamba dayang sumbi
pada hamba kesempurnaan dianugerahkan
karena hamba taruh dan pertarungan pecah
memadati sungaisungai dendam
mengombak, menerjang siapa saja
karena hamba pulalah kebencian menganga
raja mengangkat pedang
saling menikam, bersaing demi keinginan

karena hamba darah menjelma airbah
menenggelamkan mimpi
siapa punya doa berenanglah sekuat mampu
sebelum semuanya menjelma kenangan
mengapung bersama hampa nafsu

Sangkuriang

Sebelum fajar tumpah
telah kurapal timur jalanmu
kugenapkan barat sebagai detak kerinduan
hulu layar-layar perahu
dalam rahimku kecemasan tuntas ditebus

sungguh, musimlah yang telah mengawinkan kita
menjadi sedarah, serasa dan sejiwa
bolehlah kiranya aku meminjam sebaris perjalanan
dari hidupmu untuk usiaku, sebelum maut
memagut, melemparkan nasib
pada tebing-tebing kesunyian
sebab perangku adalah kau
yang berhianat di puncak batas

Kereta subuh, Maret 2011

Keterangan:
Si Tumang: Seekor anjing jantan yang menjadi teman sekaligus suami Dayang Sumbi dalam pengasingan.
Dayang Sumbi:Putri raja tanah Parahyangan
Sangkuriang: Anak kandung Dayang Sumbi dan Si Tumang yang telah membunuh bapaknya Si Tumang, sekaligus yang mencintai ibunya Dayang Sumbi.



VARIASI ATAS SANGKURIANG
Karya : Alex R. Nainggolan


karena asmara
segalanya nampak sia
hanya terpukau rupa
wangi tubuh dan birahi menyala

bertahun-tahun ia panggul kutuk itu
tapi tak mau jadi sisipus
meski tubuhnya tak kurus atau kelopak matanya tirus
sebab pertemuan kerap sisakan debar
ketika ia bergetar
pada setiap kesiut warna

"bagaimana aku tahu jika engkau ibuku;
sedangkan berpuluh tahun kita tak bertemu?"
ia mendesau sengau, juga permintaan yang panjang dari sumbi
sebab nyala birahi, membuatnya berulang ditikam sepi

"aku sudah jadi lelaki perkasa. kecuplah segala urat tubuhku
dan aku takjub pada siluet tubuhmu,"

*
saat itu pagi merekah tertinggal basah
pada bibir perempuan
meskipun hujan belum tiba
betapa perempuan itu kembali jadi dara
yang memecah mantra ketika bicara
kelopak bibirnya setengah terbuka
semacam tenung yang mengurung
bagi dada lelaki

sungguh! perempuan itu telah mencatat prasasti
di suatu pagi,
liuk tatapnya seperti panah yang menancap dada
tapi lelaki itu tak juga sakit
bahkan saat panah itu kembali menancap
berulangkali. toh, ia terbiasa menahannya sejak kecil dan mungil

kini,
ia yakin bila jodohnya tiba

*
apakah ia lupa menandai dulu;
saat terbungkus di rahim milik siapa?
hanya diingatnya hangat alir darah
desir sayat kesakitan menjerti
dan ia menangis saat bayi

ia mengingat hari kelahiran
dan merasa ada mimpi baru
yang tak pernah ditempuh

bertahun-tahun ia lupa pada ibu

tapi ibu bukan pendendam
tak semacam ibunya kundang
mengutuk jadi batu telanjang
ihwal anak durhaka
menandai bekas rahimnya yang pecah

berapa banyak engkau rendam;
kangen yang merajam pada anak lanang
ketika beratus malam tandang
lenyap di tengah gelap
lenyap ketika mengingat
engkau yang sendirian
setelah kelahiran
kutinggalkan dirimu, sangkuriang

*
di hari-hari yang kelabu
ia masuk keluar hutan
akrab dan bertahan di rindang dahan
tumbuh bersama tanah dan akar
tapi ia telah bermimpi basah
bayangan perempuan
lingga yang basah dan suara penuh desah
ia telah memanggul napas lelaki dewasa
di kepalanya penuh dengan lekuk bidadari

*
ketika ia tiba di sebuah rumah,
cuma ada perempuan itu--
yang beratus hari kemudian memanah dadanya.
dan ia merasa bahagia

ada yang bercambah
menyesaki tubuh
ia yang menyerah
pada harum tubuh

*
mereka bertemu pada tahun yang lembap
tembang asamara itupun bergeriap

dosakah satu kecupan bagimu, ibu?

dan burung-burung menyanyikan balada
hutan bergema penuh dengan desah akar

"semestinya aku tahu tanda itu. bukankah kulit jangat tubuh
begitu liat dan mengikat. aku ingat, kelahirannya yang dibisiki misteri.
ah, anak lanagnku; mengapa engkau jatuh cinta padaku?"
perempuan dengan tubuh wangi itu menyesali yang terjadi
ia paham, tak mungkin menolak birahi
dari perjaka muda itu
ia senang dengan pertemuan ini
bertahun-tahun kehilangan anak semata wayang
tapi segalanya terlanjur celaka
membuatnya limbung, jatuh di tahun-tahun ia masih muda

tapi kecantikan tak pernah sirna
seperti cahaya matahari yang abadi
tak bisa ditolak
meskipun malamnya dipenuhi dengan isak

*
"aku ingin sebuah perahu. tapi bukan nuh."
pagi yang tinggi
lesung yang menyanyi
ia tahu,
lelaki muda sakti itu bakal marah

dan ia menjadi abu
meskipun mencintainya sepenuh hati
sebagai anak lelaki semata wayangnya


2010-2011


SAJAK DAUN

__di pantai air manis
Karya : Romi Zaman

Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.

Tak pernah ia membenci angin
sebagai biang kepergian
meskipun terombang-ambing antara arah
dan tujuan.

Hidup di rantau
ia lebih gemar membayangkannya
sebagai tanah terjauh
sebagai tanah tempat ia jatuh.

Tak pernah ia mengukur jarak
berapa jauh dari induk
Pun tak pernah ia berpikir
kapan akan kembali
krena setiap kepergian tak pernah
menjanjikan kepulangan.

Terombang-ambing oleh angin
Serupa terombang-ambing di tengan lautan.
Hanya kapal.
Tak pernah ia belajar bagaimana garam
bisa lesap ke dalam air.
Tak pernah ia belajar kepada ikan
yang tak pernah sedikitpun terasa asin
meskipun berenang di lautan garam.

Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.

Ibukku tampuk, ayahku angin.
Benarkah aku ini Malin?

Berlayar jauh ke dalam malam.
Terombang-ambing antara cahaya bulan
dan mata perempuan.
Hanya gelombang dan pasang mengepung kapal
sedangkan embun tak pernah membasahi layar.

Jika benar aku ini Malin,
sampai kapankah embun sanggup menetesiku tubuhku
yang batu?
Ia lepas,ia lepas
melayang jauh di pantai itu.


BALADA SI KUNDANG
Karya : Era Sofiyah

i
Inilah sesungguhnya jejak yang tak berdusta
Ketika waktu menggerus masa
Dintara luka yang tak berkelu
’’maaf nak’’, bukan maksudku sengaja membuatmu membatu
Ini hanya sekedar tentang cinta yang tak kau tahu
Maka tak ada sesal yang harus kueja
Karena waktu mengajariku untuk tak menangisi sejarah

Akan kuceritakan sebuah hikyat
Tentang selaksa peristiwa
Ketika asa mencipta harapan
’’Ijinkn aku bu, mengangkat sauh’’, katamu dulu
Kan kuhirup aroma dikedalaman laut
Menaklukkan segala curam batu karang
Kelak kan kubawakan segenggam pualam
Untukmu yang telah membagi air kehidupan

Duh, Inilah sesungguhnya keberangkatan
Tak harus ada seduh sedan
Kupupuskan segala resah yang menggoyah
Kugenggamkan hatiku pada ceracau tetua
Biarlah bujang pergi kenegeri seberang
Karena laut akan membawanya pulang
Pada nyiur dan jelaga hitam

Maka kehilangan adalah kematian bagiku
Duh,anakku
Kau yang telah sematkan bunga api
Dari mulut sumbingmu
Setelah berbilang waktu
Kau rengkuh kenikmatan di rahimku
Lalu kepada siapa lagi rindu ini harus kupasung, duhai sayang

Sungguh, aku hanyalah wanita tua yang tak berdaya menggenggam bara

Maka disini aku akan menemanimu setiap subuh
Untuk hapuskan segala resah
Kan kudendangkan lagu –lagu perindu
Agar hilang segala kelu
Kan kubacakan syair tua-tua dahulu
Agar kau tak melulu diserbu sesal yang gaduh
ii
Kupasrahkan segala yang tersisa
Di negeri yang kini telah luluh
Lihat, lihatlah perempuan-perempuan yang berjalan setengah telanjang
Dengan tuak ditangan
Dan mata yang menggelinjang
Lalu mereka campakkan benih-benih tak bertuan
Oh, negeri ini telah menjelma menjadi sarang durjana

Dengar,dengarlah nak!
Seduh sedan para tetua
Telah hilang bujang-bujang kecintaan mereka
Sebab dikutuk peradaban

Untukkmu yang berhidmat dalam bisu
Kan kubingkai keikhlasan dalam pilu
Bila itu mengembalikanmu pada yang dulu
Agar aku bisa memelukkmu setiap subuh

iii
Ibu, Rasanya aku tak perlu lagi mengingatmu
Mengingatmu adalah mengingat kesakitan masa lalu

Sungguh bu, hasrat telah menenggelamkanku pada lautan dendam
Dendam atas segala peristiwa yang tak kau rasa
Dendam atas segala kemiskinan yang membuatku tak berharga
Dendam atas segala kebodohan yang tak terbantahkan

Bagiku kau hanyalah perempuan renta pengunyah sirih
Tak seharusnya kau ada di tepian dermaga
Menantiku dengan sejumput rindu

Ibu, katamu dulu kau akan menungguku
Pada nyiur dan jelaga hitam
Lalu mengapa kau memanggilku sang durjana laknat

Maka seduh sedan tak ada guna
Karena laut telah mengekalkanku dalam diam
Karena laut telah melahirkan petaka
Bagi si anak durhaka
Duhai ibu, kabarkan pada setiap yang bernyawa
Sebelum laut kembali murka

Biarlah tubuh bekuku menjelma prasasti
Bila durhaka telah meraga dalam jiwa
Bila harus kutumpangkan sang pendosa di tubuh perawan
Hingga tercipta benih-benih tak bertuan

Kau tahu bu, aku hanyalah lelaki rapuh
Yang tak berdaya akan hasrat perindu
Bukankah perempuan itu juga yang telah melahirkan sumpah serapah
Dari bibir bergincumu ?

Bu, dari cadasnya karang
Kutitipkan salam
Demi kerinduan yang terpendam

Sungguh, akulah si celaka itu
Yang telah memerah habis air susumu
Kutuk saja menjadi batu
Agara lunas hutang sangsiku
Agar tak ada lagi keberangkatan
Agar tak ada lagi seduh sedan
Agar tak ada lagi benih-benih yang tercampakkan
Karena aku dilahirkan sebagai lelaki kundang


TUTUR AKHIR SANG PARIKESIT
Karya : Andromeda Ken Prabuhening

“Takdirmu adalah akhirmu,
Berlarilah ke tempat persembunyianmu!”

Gema raungan sang petapa
Membelah alam keheningan yang menutup sepi
Mengutuk Parikesit yang terengah berlari
Dengan senyum yang mampu membuat setiap dewa mengerang

Begitulah negeri ini,
Dia yang telah mengoyak habis tulang rakyat
Hanya memberi senyum kebinasaan
Dia perlakukan setiap bawah sebagai pijakan
Dia perlakukan setiap sujud sebagai tempat ludah
Ular mampu kau permainkan untuk berdiri di atas kedudukan
Ular mampu kau gantung demi memuaskan hasrat kuasa-mu

“Seperti tumbuhnya matahari di ufuk timur,
Maka terbenamlah menuju arah barat dan akan berlangsung demikian”

Dharma ditegakkan oleh sang penguasa
Jatuhnya parikesit oleh kutukan sang petapa
Nafasnya terengah membelah hutan hitam
Mencari tempat untuk mengubur kenistaan

Begitulah juga negeri ini,
Telah digalinya lubang pada ibu pertiwi oleh para tikus tanah
Menanam sisa – sisa kotoran dan debu materi
Menutup mata, mulut, dan hati demi kemunafikan
Kau telah berlari dengan menyebut setiap nama
Kau tutupi setiap senyum licik yang melingkar di otakmu
Mengingat kau telah meminum darah rakyat ini

“Padi yang telah dituai maka akan tumbuh tinggi
hingga hasil nya akan jatuh ke tanah dan membusuk”

Sang naga Taksaka berlari menyembur api keadilan
Di mana pun parikesit telah berlari dan bersembunyi
Maka datanglah sang naga
Yang datang dengan keadilan telah mampu membunuhnya

Demikian akhir negeri ini,
Dulu kami menutup setiap kesadaran kami
Namun kini, berlarilah para tikus mencari lubang tanah
Kuasamu kau bawa ke dalam perut buncitmu
Kami telah mengutuk hidup dan alam kematianmu
Negeri ini temukan tikus terbesar yang mampu melubangi kubah persatuan
Berlarilah bak parikesit yang telah mati oleh kutukan sang petapa
Karena pada akhirnya begitulah takdir yang akan membawamu ke lubang kehancuran.


AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
Karya : M. Raudah Jambak, S.Pd

/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging

Akulah Waktu yang kehilangan makna beban

Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan

Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.

Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak

/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!

Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan

Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba

Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa

yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!

/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah

Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010


PUTRI HIJAU
Versi Batak Karo
Karya : Sedia W Barus

Wahai Putri nan hijau kemilau.
Bapak bermarga Meliala konon berdarah Hundustan.
Ibu bermarga Barus berleluhur tanah kamper.
Berparas cantik disukai para perempuan dan lelaki dari delapan penjuru angin.
Terlahir dari janda kampung Sebaraya,Tanah Karo di Sumatera,Putri Hijau ditimang dibesarkan para kurcaci dalam gua sungai Lau Biang
Bersama dua saudara kembar yang menyerupai naga dan mariam, menghisap udara sejagad.

Putri Hijau Dewasa dipinang Maharaja Haru Sicapah.
Berkalang tahun tak punya keturunan Putri Hijau dicerai
Bermodal tanah sekepa; putri menunggang Naga dikawal Mariam saudaranya
Sampailah mereka di Tanah Deli yang subur nan permai.
Berkat bantuan saudara tua san ayah Meliala,Putri mendirikan Kerajaan Haru Deli Tuah1.

Walau digoda Sultan Aliuddin Ryat Alkahar di abad limabelas ceritranya, ia tetap dalam
Keyakinan.Setia sampai mati pada suami Manang Ginting Suka.
Kerajaan Haru Lingga Timur Raja, Kutabuluh,Wampu, Sicapah boleh tunduk pada Sultan2

Putri Hijau, srikandi ratu penguasa Kerajaan Haru Deli Tua, karena pembangkangannya diserang berkali-kali agar ia menyerahkan kekuasaan dan mengubah keyakinan,
Tapi Haru Deli Tua bertahan sampai tubuh berkalang tanah
Terjun ke Laut Selat Malaka pilihannya dengan berikrar, erbelawan3.
“Lebih baik menjaga harga diri daripada kekuasan”.
Brahma dan adat junjungannya

Putri Hijau ditabur cahaya rembulan dan matahari
Rambut tergerai menaungi gunung Sibayak dan Sinabung.
Langkah gesit gemulai meyisiri jalan dari Tamiang ke Jambi
Satu kaki berpijak di daratan satu di samudera luas.
Dagu pipi kening ranum cerlang berlulur kesucian ari kelapa hijau
Bercampur perasaan aneka jeruk wewangian.
Wajah dan bicara lembut pancaran hatinya
Keras watak dan lakunya ditemppa alam insani

Hijaunya Sang Putri dan Deli Tua ini meneduhkan
Tegar menghadapi musuh dengan bersahabatkan belantara Bukit Barisan.
Kearipannya memimpin negeri adalah kasih sayang
Sang Putri menegakkan keadilan dengan cinta
Sorot mata yang tulus bahasa diplomasinya
Kepada Malaka dan Portugis ia berbantuan

Sayang, kekuasaan Putri digerogoti para hulubalang korup
Ditembaki mariam Aceh berpeluru emas mereka tergiur
Deli tak lagi bertuah sampai Gocah pun melawan

Gocah Menjadi raja4
terciumlah ranumnya tanah deli
Kepada simancung berkulit putih konsesi diberi
Tanam paksa dan kuli berlaku di Tanah Deli
Memakmurkan negeri salju dengan tembakau cerutu.


Cimanggis, Februari 2011


1Tuah(bhs Karo) asal kata Tua, yang artinya keturunan/anak. Jadi Deli Tua(dulu sering ditulis tuwa) bukan lawan kata dari Deli (muda). Diduga nama ini diambil karena janda kembang si Putri Hijau belum punya keturunan.
2Sekitar tahun 1539
3Erbelawan(bhs Karo), asal nama kota/pelabuhan Belawan. Er(awalan)=ber. Belawan=sumpah
4Tahun 1612



KAU TERUS BERLARI DIKEJAR BAB DEMI BAB INI
: Timun Emas
karya: Arif Fitra Kurniawan


- Tak ada yang lebih raksasa dari kaki mimpiku
yang berkeras untuk terus memburu ribuan senyap sayap
kupu-kupu yang berterbangan menuju kebun matamu
mata yang ditumbuhi barangkali demi barangkali,
yang membuat jejak perih ketika aku menyibak
rimbunan jarum demi mencari seruas jerami

- Tiba-tiba jalan menjadi tak begitu penting,
ketika bagiku engkau tujuan dari apa yang
disebut orang-orang yang tersesat oleh persimpangan
sebagai kekalahan.

- Satu-satunya cara melawan kesedihan adalah tertawa,
satu-satunya perihal yang mampu melengkapi kebahagian
adalah airmata.
itu kubisikkan pada mataku sendiri berulangkali,
sebab tanpa keduanya
usia mata tak akan sanggup bertahan lebih lama

- Jarak sengaja telah menjauhkan aku
sebagai laut yang liat, memandang engkau yang langit
agar tak bisa aku panjat,

- Kelak kau akan mengerti mengapa
tiap kali bermimpi
tak juga henti aku merakit tangga-tangga ini.
sebab usiaku semakin buta dan
tak ada yang bisa ditemui
sebelah mataku selain dendam yang batu
untuk menyebut keinginanmu
sementara separuh penglihatanku yang lain
bertahan dalam kepalan yang air
yang akan kau lihat sewaktu aku mencapai hilir,
sewaktu kau memilih tergelincir.

- Kapan?
ketika kau meyakini cinta adalah ibu
dari seluruh perihal yang menyakitkan.

(*catatan: puisi ini terinsiprasi dongeng Timun Emas yang berkembang di Pulau Jawa)

Pelatihan puisi Komunitas Home Poetry

Beberapa kali Komunitas Home poetry melakukan diklat puisi, baca, tulis, musikal maupun visual atau seni pertunjukan puisi. Diantara pesertanya adalah Ayu dari SMA Negeri 1 medan, Tami dari SMA Annizam, dll. Berikut beberapa karya mereka.

KUMPULAN PUISI
Ayu Yusriani Nasution

Telepon Umum

Berdiam diri
Berdiam sendiri di sudut ini
Memeluk manja dinding mati
Berteman debu merebah di setiap sisi

Dahulu..saat teknologi tak seperti sekarang ini
Aku sangat diminati
Kita bercengkrama mesra
Komunikasi terarah syarat suka
Bahkan waktu pun cemburu akan kita

Namun, sekarang
Aku menempel bisu bertemankan debu
Menatap sendu bersama angin lalu
Terus membisu tanpa pedulimu
Tak terawat bak fasilitas umum yang semu
Hanya menempel menahan jemu..

(Di Sisi Sebuah Bangunan, 28 Okt 2011)

Nalar Si Saklar

Tidakkah pernah nalar menjamah
Walau sejumput sedikit kisah
Aku saklar menatap nanar
Akan semua yang disekitar

Disini..hanya disini
Berpeluk erat di dinding sisi
Tiada puja dan puji
Tiada banyak fungsi lagi

Sesekali sentuhan cadas itu mendarat
Tepat di bagian jidat
Jika dan hanya jika untuk sambungkan energi
Saat dimana benderang lampu dihargai
Dan aku tidak dipandang sama sekali

Disinilah, beginilah diriku.
Sesekali ingin ini itu
Tak hanya diam atau kaku..

(Ruang Tengah, 5 Nov 2011)

Ceritera Asbes


Hai, kalian yang disana
Tatap aku yang menganga
Meronta-ronta diiringi tarian angin menerpa
Dan kalian hanya diam begitu saja
Menatap dari kejauhan sana

Lihat aku! Lihat! Lihatlah!
Melambai getir sampaikan duka
Ingin segera lepas dari singgasana

(Medan, 28 Okt 2011)


Ranting Mati yang Hilang Nyali


Sepanjang hari..
Hari demi hari..
Tiada titik henti

Sebatang kara
Kering rasanya
Sudah pun renta

Tersangkut disela pondasi
Mengharap angin terus menari-nari
Terus menari
Jangan berhenti
Bantu diri lepaskan jerat ini

Tak tahanku rasanya kini
Melunglai hilang nyali di atas sini
Di teras bangunan tua ini

(Sekitar Taman, 29 Okt 2011)

Jerawat


Tanpa permisi ku hampiri
Setiap pipi bak kue bakeri
Nyaman sekali
Pipi mulus menjadi permadani

Posisi pas pamer sana sini
Lucu sekali
Menyaksikan si dia sibuk setengah mati
Menutupi bahkan memoles diri ini
Dan siksa pun harus akun cicipi
Racuni aku perlahan pasti

Betapa..oh..betapa nasib ini
Sang empunya pipi amat benci
Akan gemarku si jerawat ini
Inginnya tuk pajang spanduk anti
“Jerawat dilarang singgah disini”

(Ruang Kelas, 9 Nov 2011)

Tulisan Usang


Sajak-sajak menahan amarah
Saat menanti predikat sampah
Melepas mahkota sejarah
Merobek asa menjadi gundah
Menatap di ujung kisah
Tiada pembaca yang melimpah ruah
Hanya berdiam pasrah
Menyandang predikat sampah!

(Medan, 11 Nov 2011)

Taman Senyuman


Parasmu, taman senyuman
Tempat senyuman itu bersemi
Landasan garis lengkung bersahaja
Bertahta indah bagai mahkota

Parasmu, ladang imaji penuh fiksi
Mengundang kreasi untuk berpuisi
Mengetuk manja daya mencipta
Seolah motivator ternama

Parasmu, begitu sederhana
Namun bermakna luar biasa
(Medan, Nov 2011)

Tarian Pena Untuk Dunia



Nadi berpacu bersama waktu
Kian berpacu melaju maju
Melepas daya cipta bertahta
Mengukir karya bersama asa
Seiring jemari menari dengan pena
Menghunjuk diri pada dunia
Dengan harap nyala kedepannya
Tak hanya usang begitu saja
Tapi dikenang sepanjang masa
(Medan, 11 Nov 2011)

Podium


Sebuah medium
Bahagia tiada pensiun
Penuh guratan senyum
Sebuah medium bernama podium
Stadium yang membawa harum

(Lapangan, 14 Nov 2011)

Disini Bermimpi


Disini…
Lisan ku rangkai
Tulisan mengurai teori-teori
Dengan pena dan jemari menari-nari
Disini…
Impian mulai ku patri
Bersemangat setiap hari
Amati pahami dan tulis ilmu pasti
Bekali diri menuju sejati
Tak hanya sebatas imajinasi
Disini…
Mengabdi untuk diri pada negeri
Berpacu penuh obsesi
Berteman imajinasi berani
Disini…
Satu tujuan ku mulai pasti
Prestasi tiada henti!

(Taman Budaya,12 Nov 2011)

Dalam Sebuah Aula


Gema resonansi suara para siswa
Dari ribuan banyaknya mereka

Satu, dua, tiga dan seterusnya
Mengambil tempat dalam aula

Dan…
Jantung berdetak dengan kencangnya
Terhenyak akan suasana

Mengapa?
Meski cuaca panas menyapa
Peluh bagai telah berolahraga
Tak redupkan asa yang terasa
Sungguh luar biasa!

(Aula Kartini, 13 Nov 2011)

Sesampai di Ruang Makan


Konsentrasi buyar seperti di guyur hujan
Rasa lapar menjalar semakin liar
Bak beradu dalam balapan
Mengejar lapar jauh depan
Sendok dan garpu tak mau kalah
Tancap hidangan sana sini
Meliuk-liuk menikung lapar
Lahap lauk…
Lahap pauk…
Lahap semangkuk…
Tertinggal lapar yang telah kikuk
Menjemput kenyang di akhir mangkuk
(Sepulang Try Out, 13 Nov 2011)

Teduh di Baitullah


Teduh!
Satu kata di Baitullah

Tepat di bawah kubah mewah
Bangunan yang berdiri megah
Dituju langkah kaki para jama’ah
Nan terpaut ikatan akidah

Lihatlah! Masukilah!
Sajadah dibentang luas teratur
Akur dengan nuansa syukur

Resapilah!
Tiap sujud kan jernihkan ruh
Membasuh keluh dan peluh
Teduh!
Suatu rasa di Baitullah

(Mesjid Agung, 15 Nov 2011)

Kala Hujan dari Teras


Kala hujan deras
Ku nikmati di sudut teras
Semakin deras
Rintik-rintik terasa semakin khas
Terasa mengecup ku di paras

Seolah tak puas
Ku tarik kursi lebih menepi
Jauh lebih menikmati
Lepas penat duduk santai

Biarkan gerah terbilas lekas
Rasakan bebas…

(Teras, 17 Nov 2011)

Penghuni Taman


Kemarilah!
Amati penghuni taman ini
Seolah miliki jemari
Mereka berdansa bersama angin
Saling berkusik seolah tengah bercanda
Sungguh menarik mata
Menikmati peraduan di bawah terik matahari
Sebelum senja merengkuh nanti

(Halaman rumah, 19 Nov 2011)

Dipelukan Bunda


Bunda…
Begitu nyaman ku rasa
Hangat pelukan bunda
Membuai aku penuh manja
Bunda…
Di pelukan bunda
Bibir ini lepas tertawa
Sepasang mata terpana pada bunda
Garis ceria itu begitu nyata
Nyata sampaikan bahagia

(Medan, 3 Nov 2011)


Sungai Berazam


Suram timbulkan muram
Rupa pun kian seram
Aliran mengarah kelam

Seolah semua mata terpejam
Abaikan ku begitu kejam
Harapkan manusia paham
Cegahku ke arah kelam

Namun…
Tetap aku sang sungai berazam
Meski hingga akhir manusia tiada paham
Ku tetap abdikan diri pada semesta alam

(Pinggiran sungai, 3 Nov 2011)

Cahaya Sang Surya


Cahaya sang surya
Bertahta penuh wibawa
Berperangai raja di tata surya
Jabatan jaya
Sumber energi utama
Memberi terang pada semesta
Abdikan pelita pada dunia

(Medan, 19 Nov 2011)

Toilet Umum

Rp 500,00 terpampang lantang
Di bagian depannya
Peduliku seolah menerawang
Keadaan rumpang begitu senjang
Derap langkah tergesa panjang
Masuki toilet umum
Benar nyatanya
Tak tahan tuk dipandang
Ingin segera membuang lalu bergegas pulang
Begitulah, kuman dan kotoran berebahan disana

(Toilet umum, 19 Nov 2011)

Raja Siang dan Putri Malam

Fajar menjelang
Raja siang bertandang
Kian waktu kian menantang
Hingga senja pulang
Berganti putri malam berkunjung datang
Ribuan tahun berselang
Tiada ubahnya hingga sekarang

(Teras malam, 20 Nov 2011)

Tengah Malam


Tengah malam
Kala mata terpejam
Lelap datang menyelimuti
Bertamukan mimpi menghampiri
Nikmati fiksi dunia mimpi

(Kamar tidur, 24 Nov 2011)

Anak Jalanan

Sebakal kitab usang
Syarat kaku diambang usang
Sebab akibatnya hanya kita
Namun dia jadi tersangka
Lisan mencerca penuh prasangka
Lihatlah tanggungannya
Mengemis meminta-minta
Tiada berbisa jinak merata
Tiada upaya ubah nasibnya
Seperti kayu di belantara
Ayo,kita bangkit
Ayo,kita rakit
Bakal bibit yang akan terbit

(Taman Budaya, 25 Nov 2011)

Pelajar

Pelajar..
Kini hanya sebatas gelar
Tinggi nilai dapat disamar
Pelajar..
Bukan hanya ia yang harus belajar
Bukan pula ia yang tengah diajar
Pelajar..
Ia tuntas dengan kata bayar!

(Kamar belajar, 26 Nov 2011)

Tirai Hujan


Gemuruh datang disusul gerimis
Angin kian kencang pakaian serasa menipis
Hujan pun hadir bersama petir
Semakin lebat dan lebat
Dingin..
Terasa rintik air di tangan
Tak puas ku lalu memandang
Ternyata tirai!
Lihat hujan membentuk tirai
Dari tepi genting bangunan

(Teras Samping Bangunan, 26 Nov 2011)


body Ungkapan Cermin
Karya : Tri Utami Raudani

Kejujuran, hanya itu yang kukatakan
Jangan marah, aku memang begitu
Itu semua demi kebaikanmu
Agar kau paham akan kekurangan

Sungguh, aku ini teman yang jujur
Selalu jujur tentang rupamu
Wujud yang terkadang kau ubah
Dengan perantaraank

Yah, aku ini terlalu sabar
Kau selalu menuduh, menyalahkan
Seakan tidak peduli pada kenyataan
Kenyataan yang berasal dari kejujuranku

Medan, November 2011

Pengabdian Tong Sampah Tua
Karya : Tri Utami Raudani

Telah lama mengabdi pada dunia
Menampung segala bentuk jenis
Lihat aku si tong sampah tua
Begitu amanah meskipun hina

Sedikitpun tak pernah mengeluh
Menahan nafas bau sampah
Melekat di sekiujur tubuh ini
Di hinggapi ribuan lalat nakal

Akulah tong sampah tua
Tolong hargai aku

Medan, November 2011
Rayuan Pohon
Karya : Tri Utami Raudani

Ayo, mendekatlah kepadaku
Akulah tempat yang sejuk itu
Kemari, melangkah ke arahku
Aku yakin, dirimu tak menyesal

Jujur, aku kesepian
Temani aku sejenak saja
Agar hilang kesendirianku
Yang aku alami setiap hari

Medan, November 2011

Pinta Selimut Kusam
Karya : Tri Utami Raudani

Rawat aku dengan baik ya
Jangan biarkan aku terlantar
Terbuang sia-sia begitu saja
Tidak dipakai, bagai bangkai

Izinkan aku terlelap tidur bersamamu
Mengarungi mimpi indah denganku
Mampu hangatkan suasana
Pelindungmu dari dinginnya sang kegelapan

Medan, November 2011
Bantal yang Kesepian
Karya : Tri Utami Raudani

Segera peluk aku
Lau, mendekap menujuku
Cukup satu pintaku
Kau tetap bersamaku

Kembalilah kepadaku
Jangan biarkan aku sendiri
Menahan sepi tanpa dekapmu
Aku berharap
Aku yakin kau tak akan tega

Medan, November 2011

Untaian Kata Surat Cinta
Karya : Tri Utami Raudani

Aku ini bukti nyata perasaanmu
Kau beri sajak indah di tubuhku
Sekumpulan kata penuh rayuan
Aku sendiri saja geli

Aku ini secarik kertas indah
Begitu istimewa yang kau ukir
Lalu, kau persembahkan untuknya
Agar dia paham gejolak di dadamu

Medan, November 2011


Kebencian Si Tembok pada Lumut
Karya : Tri Utami Raudani

Kau mulai merajai sekujur tubuh
Penguasa seutuhnya sang kendali
Penjajah kejam, bengis dan sadis
Kotori kebersihan
Merusak, mengotori keelokan diri

Sekarang, aku ingin kau pergi
Terbebas dari belenggumu
Kembali indah seperti awal
Tidak ada kau lagi

Medan, November 2011

Cermin dan Tokoh
Karya : Tri Utami Raudani

Segala terlihat selalu kutiru
Akan ku coba walau sulit
Tanpa kusadari aku jadi sepertimu
Berganti sepertinya

Dikata senang
Aku tokoh beribu penampilan
Bisa menawan, bisa rupawan
Atau bahkan sebaliknya

Medan, November 2011



Keanggunan Jilbab
Karya ; Tri Utami Raudani

Mahkota terindah wanita
Penutup aurat nan elok
Pelindung kesucian diri
Bawa nuansa penuh islami

Bukti keimanan hamba
Berlanjut keikhlasan
Jiwa-jiwa bersih
Pembawa ketenangan

Medan, November 2011

Sepasang Merpati Bijak
Krya : Tri Utami Raudani

Banyak cerita kita hari ini
Tentang keseharianmu
Sampai aku tak mengingatnya lagi
Ribuan kisah telah kita lewati
Bisa bahagia bahkan sebaliknya

Nikmat berbincang denganmu
Ingatkah kawan
Selepas mengarungi sungai nil itu
Kau tampak lelah

Aha..
Saat bersamaan sepertimu
Letih menghampiri diri
Hilang seketika saat bersamamu

Medan, November 2011

Rokok Si Pembunuh Lihai
Karya : Tri Utami Raudani

Membunuh lewat kebodohan
Berteman sesosok aku
Teman pembawa derita
Penghancur masa depan

Dalam diam kau beraksi
Tanpa sadar atau tidak
Misi kemudian terlaksana
Si teman tewas mengenaskan

Medan, November 2011

Isi Hati Diary
Karya : Tri Utami Raudani

Tertuang semua kisah
Cerita saja semua denganku
Mulai hal kecil sampai besar
Aku tetap menanggapi
Melayanimu dengan baik

Ada banyak cerita
Tersimpan rapi padaku
Berbungkus kepercayaan
Tertancap di memoriku

Medan, November 2011

Bendera di Hati
Karya : Tri Utami Raudani

Pemerdeka bangsa terjerat
Musnahkan kau di pertiwi ini
Terbebas dari belenggu
Penghalang kebebasan

Hai pemuda-pemuda bangsa
Beri penghormatan
Setidaknya mengenangku
Menancapkan aku dalam hati

Medan, November 2011

Pelangi
Karya : Tri Utami Raudani

Aku amat indah
Hadir sesudah sang penyubur
Anggun dan elok dilihat
Warna warni cemerlang

Sengaja diciptakan
Agar memberimu kebahagiaan
Di sela-sela kesedihan
Hari-hari penat

Medan, November 2011

Kamar Mandi
Karya : Tri Utami Raudani

Hening
Tidak ada suara sumbang
Tapi, hanya ada satu suara indah
Itu berasal dari raja air

Sunyi
Sungguh sangat khusyuk
Terasa nikmat sekali
Dirasa dengan baik

Medan, November 2011

Dapur
Karya : Tri Utami Raudani

Harus hidangan yang sedap
Beri racikan mantap
Agar makan dengan lahap
Sajian yang hebat nikmat

Cukup hanya kaum hawa saja
Selain itu tak perlu ikut
Karena ini takdirku
Melayani baik dengan masakan

Medan, November 2011

Desakan Sang Angkot
Karya : Tri Utami Raudani

Sesak sekali
Juga mual sepertinya
Sangat bau
Tidak sanggup menahannya

Cukup ramai
Sakit berdesakan
Kecilkan tubuh
Agar semua kebagian

Medan, November 2011

Kamarku
Karya : Tri Utami Raudani
Tidak sembarangan
Ini wilayah pribadi
Hanya beberapa saja
Boleh masuk dengan izinku

Selalu rapi dan bersih
Dipenuhi pernak-pernik
Cermin terpampang
Jam dinding yang berdenting

Medan, November 2011

Kerumunan di Panggung
Karya : Tri Utami Raudani

Dinanti jutaan jiwa
Ingin menyaksikan langsung
Penampilan sangat dahsyat
Dari makhluk cukup hebat

Sorak lanjut teriakkan
Sudah pecah keheningan
Berganti jadi keributan
Di malam yang tenang

Medan, November 2011

Pesimis Curi Sang Ahli
Karya : Tri Utami Raudani

Curi ilmu dari sang ahli
Menangkap setiap sinyal positif
Lalu, berandai-andai sepertinya
Itu jadi penyemangat diri

Si pesimis pun jadi optimis
Menata impian dengan cemerlang
Melangkah sedikit jauh
Tahapan menuju kesuksesan

Medan, November 2011

Becak Pilihan
Karya : Tri Utami Raudani


Sudah banyak melintas
Namun tak satupun berkenan di hati
Tidak sedikit yang berhenti
Tetap saja menolak

Cukup hanya seorang
Pendamping jelas arah tujuan
Agar tidak tersesat di jalan
Melewati perjalanan panjang

Medan, November 2011


Penguasa yang Angkuh
Karya : Tri Utami Raudani

Lepaskan saja mahkota itu
Sudah selayaknya berganti
Jika kau tak ingin malu
Pada kesombongan diri

Lebih pedulilah terhadap kami
Anak-anak yang terlantar
Si penerus bangsa terhambat
Butuh pendidikan layak

Medan, November 2011

Kemunafikan Polisi
Karya : Tri Utami Raudani

Cukup adilkah
Beri sanksi keras pada kami
Masalah kecil diperbesar
Tapi, masalah besar diperkecil

Pernahkah koreksi diri
Kesalahan fatal tak termaafkan
Kami tak mengetahui
Dan kau tutupi itu

Kelas yang sunyi, November 2011

Hartawan yang Kikir
Karya : Tri Utami Raudani

Kami hanya makhluk biasa
Mungkin tak sehebat kau
Memiliki segudang emas
Ribua hektar lahan

Tak pernahkah
Terniang di benakmu
Menolong kami
Makhluk-makhluk yang lemah

Kelas yang sunyi, November 2011

Kebusukan Sang Hukum
Karya : Tri Utami Raudani

Sebuah pembelaan yang sia-sia
Sampai mulut ini berbuih pun
Tidak digubris sama sekali
Dasar tak ada hati

Berpakaian rapi
Tapi hati busuk
Cari sesuap nasi
Dari jalan sesat

Di angkot, November 2011

Koruptor yang kotor
Karya : Tri Utami Raudani

Perut itu pasti buncit
Terisi ribuan dosa
Darah itu pasti terhambat
Tersumbat perilaku tak terpuji

Cepat kembalikan uang kami
Atau pakai pada tempatnya
Bukan kau konsumsi sendiri
Untuk kau berpoya-poya

Di Angkot, November 2011

Si Perokok Sialan
Karya : Tri Utami Raudani

Darimu kami jadi penyakitan
Awalnya hanya menghirup
Namun, tak tau akhirnya nanti
Mungkin kami bisa mati

Taati peraturan
Kau anggap itu semua
Sudah di larang tetap di kerjakan
Kau manusia atau hewan

Kelas yang suci, November 2011

Parkir Liar Membabi Buta
Karya : Tri Utami Raudani

Percuma saja peraturan terpampang
Larangan keras ditegakkan
Tapi, tak seorangpun menjalankan
Hanya jadi alasan

Tak takut akan sanksi
Segala cara dihalalkan
Tak tersangka pun jadi korban
Kelakuan tak menaati peraturan

Rabu, 01 Juni 2011

Menelaah Sastra Kontemporer Kita; Dicari: Pengamat Sastra yang ”Banal”!

Sihar Ramses Simatupang

Jakarta – Siapakah pengamat yang menggali nama pengarang di luar kubu Humanisme Universal, di luar nama Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, Wiratmo Soekito, Gerson Poyk atau HB Jassin – termasuk Chairil Anwar? Siapakah yang menggali kekuatan sastra, tentu selain nama Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi atau Utuy Tatang Sontani di kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)? Sudah banyak!
Yang belum banyak adalah pengamat yang menimang karya pengarang di luar kubu di atas, pada zaman itu. Karya dan biografi pengarang berkualitas lainnya yang berada dalam keanggotaan Lesbumi atau LKN misalnya, atau bahkan yang berasal dari pihak independen alias pengarang yang tak berpartai - tentu selain nama Iwan Simatupang!
Dalam kriteria semacam itu, tak ada juga yang memungut nama penyair yang ikut merekonstruksi pantun modern Indonesia selain Amir Hamzah atau penyair kontemporer Sitor Situmorang yang sebagian pengamat menganggap puisinya bernuansa pantun kontemporer. Siapa juga yang mempertanyakan kemodernan dan kecanggihan struktur puisi penyair selain Chairil Anwar?
Pertanyaan yang umum adalah, masihkah ada pengamat yang banal, berpikir rekonstruktif apalagi dekonstruktif terhadap tatanan yang mapan selama ini? Rata-rata berusaha nyaman dalam kemapanan sejarah mainstream, semua cenderung konvensional.
Mereka tak berani menggali atau menafsir sejarah baru, atau sejarah yang tertinggal. Mungkin karena tak mau lelah, sulit untuk berkonsentrasi, ingin menghemat biaya penelitian seminimal mungkin, atau terbentur dana akademis. Tak ada lagi ”ajip-ajip” lain, yang melakukan tindakan seperti Ajip Rosidi, meyakinkan publik tentang periodisasi sastra, lalu menggugat sejarah versi Jassin yang membagi sejarah sastra berdasarkan angkatan 1928,1945,1966 dst. Pengamat sekarang nyaris tak ada yang menolak kategori atau sistem referensi di atas. Misalnya dengan membuat sejarah sastra per tahun, per wilayah di Indonesia - termasuk sastrawan yang eksil dan merantau, atau kategori usia (mengapa tidak?).
Itu belum terjadi. Yang dilakukan pengamat adalah selalu berada di jalur aman, membaca, menilai karya sastrawan yang mapan di jalur sejarah. Pengamat sekarang tak mengambil risiko, tak menguji kekuatan pengamatannya dari hasil pembelajaran akademis bertahun-tahun, malah ”menjilat” sejarah beku, dengan cara (lagi-lagi) menulis, membahas karya sastrawan tua yang karyanya sudah dibahas puluhan bahkan ratusan pengamat lain lewat ribuan tulisan.
Tradisi akademisi (sastra) yang dulunya kuat dengan pemaparan sistematika, objektivitas dan metode, pada akhirnya semakin ”memenara gading”, sehingga menjadi bumerang buat dinamika sastra.
Hal itu semata karena ketidakjujuran konsep, polarisasi kelompok sehingga makin terasa usaha "pilih kasih" terhadap setiap amatan teks. Hasilnya, sejarah dan analisis sastra kemudian cenderung tak berani membongkar wilayah baru gagasan, kepengarangan, apalagi konsep dan perubahan yang terus berkembang di segala zaman.
Minimnya Peran Akademisi
Pandangan post modernisme berupa the other, liyan, di Indonesia yang seharusnya membuka kotak pandora sejarah sastra, malahan merelatifkan setiap pengarang, teks dan konsepnya. Hal itu terjadi dalam kesusastraan. Yang mengemuka bukan lagi pada gagasan (yang begitu banyak bermunculan), justru perhatian publik lebih tercurah kepada siapa yang berbicara.
Pertaruhan selanjutnya adalah gagasan yang cenderung diterima publik justru adalah jaringan, media massa bahkan propaganda. Memasuki pola ini, maka yang akan terbaca kemudian adalah perbincangan teks-teks karya sastra yang dangkal dan di permukaan saja. Buku yang disarankan media, televisi, atau penerbitlah yang dibaca. Fungsi akademisi dan fungsi sastrawi para pengamat kemudian tergantikan oleh tawaran konseptor yang bermotif sensasi, politisasi dan industri. Kita butuh karya seperti Mashuri, Tusiran Suseno, Calvin Michel Sidjaja, Junaedi Setiyono, Yonathan Rahardjo, Anindita Siswanto Thayf, dibahas karyanya, bukan dengan hanya menyodorkan namanya belaka.
Di fase semacam ini, sulit untuk menentukan kualitas, karena pengamat yang seharusnya menguji kualitas teks secara estetis, etis, dan logis, tergantikan para medioker dan "konseptor tak tulus" tadi. Maka, pembaca (atau yang belum membaca dan setengah membaca pun) menjadi tersesatkan oleh informasi-informasi "picisan"!
Publik pun dipermainkan oleh euforia yang silih berganti, dari "kulit" sebuah teks, ke "kulit" teks yang lain. Di tataran ini, sulit untuk menentukan kekuatan teks "Laskar Pelangi" Andrea Hirata, "Rahasia Meede, Harta Karun VOC" Es Ito, "Mahasati" Qaris Tajudin, "Bilangan Fu" Ayu Utami, misalnya, kecuali mengujinya dalam perjalanan kurun waktu dan radius jangkau para pembacanya. Selama apa teks bertahan dan sebesar apa komunitas yang menggemarinya. Apalagi, bila gemuruh pembicaraan tak lagi mengarah kepada soal teks secara mendalam, namun hanya mengarah pada kemasan alias hanya di permukaan. Persoalan waktu dan ruang ini setidaknya telah dilewati oleh Katrologi "Bumi Manusia" Pramoedya Ananta Toer, "Burung-burung Manyar" YB Mangunwijaya, atau Trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari.
Nama-nama penulis kontemporer yang disebutkan di atas bukan tak mungkin muncul, bertahan bahkan menguat di perjalanan sejarah. Karena itu, diperlukan pengamatan teks atas estetika, etika dan logika yang lebih teliti, bukan euforia yang sekadar menyertakan biografi pengarang, latar komunitas pengarang, ataupun politik si pengarang (dengan kawan-kawannya) saja. Bila pun fenomena terakhir ini dilakukan, niscaya karya sastra itu akan lumpuh dan mati dengan sendirinya. Kenyataannya, beberapa (buku) karya sastra yang belakangan digenjot lewat publikasi sensasional pun kemudian harus bertekuk lutut oleh debu di rak buku atau berakhir dengan desah kekecewaan si pembaca yang tangannya kemudian menumpuk buku di lemari terbawah dalam perpustakaan pribadinya.
Hanya pengamat sastra yang menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan dana, yang dapat menyelamatkan situasi ini. Mereka, tentu terbendung oleh kekuasaan media massa, penerbitan, sewa ruang diskusi, atau mahalnya biaya pulsa internet demi melempar opini di situs ataupun milis. Namun, pengamat tetap harus bicara! Akademikus harus keluar dari tembok kampusnya dan bersuara! Tatkala sensasi semakin kotor, analisislah yang membersihkannya.

Selasa, 31 Mei 2011

Pesta penyair Nusantara jadi event tahunan-2011 Palembang

-Laporan Koran Republika-
Ada yang mengaum, ada yang beteriak, ada yang merintih, ada yang membanting kursi, ada yang berdendang, ada yang membawa jaelangkung, ada yang cool-cool saja. Begitulah aksi panggung para 'penyair Nusantara' dalam perhelatan Pesta Penyair Indonesia,Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering,di Medan, 25-28 Mei 2007 lalu.

Tampil pada malam ketiga, penyair Pekanbaru,Fakhrunnas MA Jabbar, mendengdangkan lagu pedih nasib Riau yang terus diterpa perubahan zaman, melalui 'sajak seri'-nya, Riau 1 dan Riau 2. Bagi sastrawan yang juga deputi direktur PT Riau Andalan Pulp & Paper ini, Riau adalah 'harta karun' budaya yang harus disayangi, namun ia tidak dapat mencegahnya ketika Riau terus dieksploitasi kekayaan alamnya:

sungguh aku tak bisa beri dikau permata
bebatuan purba tertanam jauh di lembah-lembah
semua orang menambang uang dan logam
biar kutambang perahu saja
sungguh aku tak bisa beri dikau mutiara
kerang dan tripang tertanam jauh di laut dalam
semua orang memetik mawar
biar aku saja memetik senyummu yang ramah

Beragam gaya dan beragam tema. Begitulah sajak-sajak para penyair Nusantara yang terkumpul dalam buku antologi puisi Medan Waktu (dieditori oleh Afrion Medan, Antilan Purba, dan M Yunus Rangkuti) yang melengkapi perhelatan tersebut. Maka, beragam pula gaya penampilan mereka di panggung. Binhad Nurrohmat pun membanting kursi, untuk memunculkan sensasi teateral. Tapi, Krismalyanti, cool-cool saja ketika
membaca sajak Jerat Kering.

Sebelum mereka, penyair Malaysia yang juga aktor ternama, Khalid Salleh, seperti mengaum ketika meneriakkan sajak Merdeka di Tangan Siapa? -- sebuah sajak lugas yang berbicara tentang makna kemerdekaan:

merdeka adalah kebebasan melakukan dan menyatakan erti
kebenaran memberi dan menerima kebaikan mengusulkan
pandangan untuk kebaikan bersama membuka semangat
untuk kesedaran -- berbangsa, beragama, dan bernegara

Sekitar 100 penyair dari berbagai penjuru kawasan Nusantara -- Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan -- adu kebolehan membaca sajak di atas panggung selama empat malam berturut-turut, 25-28 Mei 2007. Tiga malam pertama
berlangsung di Taman Budaya Sumatera Utara, dan malam terakhir di Garuda Plaza Hotel.

Dari Brunei, penyair yang tampil membaca sajak, antara lain Zefri Ariff, Adi Swara dan Sheikh Mansor. Dari Malaysia, antara lain SM Zakir, Khalid Salleh, DR Ibrahim Ghaffar, Mohammad Saleeh Rahamad, DR Ahmad Razali Yusuf, Muhammad Lutfi Ishak, Shamsudin Othman,Nasury Ibrahim, Rahimidin Zahari, Ijamala MN, Saring Sirad, Amirul Fakir, Amran Daud dan Saifulizan Yahya.

Paling banyak, tentu, dari Indonesia, antara lain Korrie Layun Rampan (Kutai Barat), Shantined (Balik Papan), Micky Hidayat (Banjarmasin) , Dinullah Rayes (Mataram), Doel CP Allisah (Aceh), Idris Pasaribu (Medan), Hasan Bisri BFC (Bogor), Khoirul Anwar (Kediri), Sarah Serena (Jakarta), Epri Saqib (Jakarta),Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka (Lampung),Harta Pinem dan M Raudah Jambak (Medan)yang tampil sungguh memukau dalam pertunjukan puisinya yang berjudul 'INDONESIA NEGARA PENGIMPOR SAMPAH TERBESAR DI DUNIA'.

Selain mereka, penyair yang ikut meramaikan pentas baca sajak, antara lain Viddy AD Daery (Lamongan),Fikar W Eda (Aceh), R Galuh Angger Mahesa (Medan),Syaifuddin Ghani (Kendari), Doddy SH (Bojonegoro) ,Leonowens SP (Jakarta), Hasan Al Banna, Nurhilmi
Daulay, Mihar Harahap, Koko Bhairawa, Dini Usman,Raswin Hasibuan (Medan), A Aris Abeba (Pekanbaru), dan Amin Setiamin (Labuhan Batu).

Jika pada malam pembukaan dimeriahkan musikalisasi puisi dan tari, panggung puisi pada malam penutupan makin seru dengan tampilnya Bupati Langkat H Syamsul Arifin SE. Ketua Majelis Adat dan Budaya Melayu ini membacakan sajak-sajak Amir Hamzah dengan penuh penghayatan. Bahkan, beberapa penyair Malaysia dan Indonesia masih membaca sajak sambil membentuk lingkaran mengelilingi meja, meski acara telah ditutup oleh Kepala Disbudpar Medan H Syarifuddin SH.

Pesta penyair yang dilenggarakan oleh Laboratorium Sastra Medan bekerja sama dengan Disbudpar setempat ini tentu tidak hanya diisi 'pesta sajak'. Pada siang hari para peserta suntuk mengikuti workshop (pagi) dan diskusi sastra (siang). Pada hari kedua (pagi) sempat digelar pula silaturahmi Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang diprakarsai oleh Ketua KSI Cabang Medan, Idris Pasaribu.

Diskusi sastra membahas khasanah puisi Nusantara dan kesastraan Indonesia mutakhir, dengan pembicara Suyadi San (Medan), Moh Saleeh Rahamat, SM Zakir (Malaysia),Zefri Ariff (Brunei), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta),dan Isbedy Stiawan ZS (Lampung). Sedangkan sesi proses kreatif menampilkan Viddy AD Daery, Binhad Nurrohmat,Rahimidin Zahari (Malaysia), dan Sheikh Mansor (Brunei).

Puncak pesta penyair ini adalah gathering di Garuda Plaza Hotel, yang diawali dialog budaya bersama Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Depbudpar RI, DR Mukhlis Pa'Eni. Berbagai isu kebudayaan mutakhir, seperti makin terpinggirkannya seni tradisidibahas oleh doktor antropologi sosial ini.

Usai dialog, gathering diisi musyawarah untuk membahas kemungkinan dibentuknya forum bersama penyair Nusantara. Seperti diakui oleh ketua panitia, Afrion Medan, sempat menguat rencana untuk membentuk sebuah jaringan kerja dengan nama Komunitas Sastra Nusantara.

Sidang pleno yang dipimpin oleh Ahmadun YH, Viddy AD Daery dan Idris Pasaribu, akhirnya menyepakati event tahunan Pesta Penyair Nusantara, Sempena TheInternational Poetry Gathering sebagai forum bersama penyair Nusantara untuk bermusyawarah sambil
berapresiasi dan mengekspresikan karya.

Pesta penyair tersebut akan diadakan secara bergilir di kota-kota negara peserta, yakni Indonesia,Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Thailand.Disepakati, Pesta Penyair Nusantara 2008 akan diadakan di Kediri, Jawa Timur.

Maka, ''setelah bertemu di Kediri tahun depan!Kita akan melanglang Nusantara'' kata
beberapa penyair Malaysia, sambil melambaikan tangan ke beberapa penyair Indonesia di depan Hotel Srideli,tempat mereka menginap.

Pesta Penyair Model Gotong Royong

Kini menjadi semacam kelaziman bahwa event sastra se Nusantara, baik di Indonesia maupun di negeri jiran,diadakan secara bergotong royong -- biaya peserta
ditanggung bersama.

Demikian pula pesta penyair se Nusantara di Medan ini.Panitia hanya menyediakan akomodasi selama acaraberlangsung. Sedangkan transport dari kota asalpeserta, baik sebagai pembicara, pembaca puisi, maupun penggembira, ditanggung sendiri. Karena itu, sebelum acara, para calon peserta biasanya sibuk mencari bantuan dana.

Berungtunglah, ada saja lembaga pemerintah dan swasta yang peduli pada sastra dengan membantu keberangkatanpeserta. Salah satunya adalah PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). "Tentu, kami sangat peduli pada acara seperti itu, karena sangat penting untuk meningkatkan prestasi budaya bangsa," kata Dirut PT RAPP DR Rudi Fajar.

Menurut Rudi, acara semacam pesta penyair di Medan itu sejalan dengan program peduli budaya yang dilaksanakanoleh produsen pulp dan kertas ini. Salah satu program yang kini sedang digalakkannya adalah pendirian taman bacaan di desa-desa yang kini telah mencapai lebih dari 110 desa di Riau.

Akhirnya sampai jumpa pada event Temu Penyair Nusantara V di Palembang 2011. Salam....

Selasa, 08 Maret 2011

ANTOLOGI HASIL TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU


Bunga Rampai Puisi dan Cerpen
Berlatar Kota Tanjungpinang
(Diterbitkan, Desember 2010)

Kota Tanjungpinang merupakan salah satu pusat penting Kerajaan Melayu. Ia pernah menjadi menjadi gerbang Kerajaan Bintan sejak tahun 1673 Kerajaan Johor muncul gemilang di Hulu Sungai Carang – atau dikenal sebagai Sungai Riau. Pada masa itu dunia kalam, tulis-menulis berbagai ilmu pegetahuan, khususnya agama Islam dan sastra tumbuh subur. Maka dikenallaah nama pengarang Raja Ahmad dan Engku Putri Hamidah, anak Raja Haji Fisabilillah. Kepengarangan terus berlanjut sampai kepada Raja Ali Haji (anak Raja Ahmad dan merupakan cucu Raja Haji), Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau dan sampai kepada Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu, muncul Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM. Syamsuddin dan lain-lain sampai Suryatati A. Manan.

Buku Tanjungpinang Punya Cerita ini mencoba menghimpun cerpen dan puisi yang berlatar Kota Tanjungpinang karya sejumlah pengarang/penyair dari berbagai kota di tanah air. Mereka adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, Hudan Nur, Isbedi Stiawan ZS, Rida K. Liamsi, Sitok Srengenge, Tan Lioe Ie, Viddy AD Daery, Fakhrunnas MA Jabbar, Nanang Suryadi, Fahrudin Nasrulloh, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, M. Raudah Jambak, Raudal Tanjung Banua, dan Triyanto Triwikromo; di samping dari Tanjungpinang sendiri, Abdul Kadir Ibrahim dan Suryatati A Manan.

Ini bukan sekadar romantisme-kenangan, namun sebuah upaya membangkitkan kemungkinan kreatif dari sebuah kota, sekaligus mendokumentasikan pengalaman sastrawan atas kota yang hikmatinya. Karya sastra sebagai dokumentasi sosial niscaya menemukan persilangannya yang tepat: ia merekm jejak pergulatan Kota Tanjungpinang, dulu, sekarang dan masa datang.

Rabu, 02 Maret 2011

SAJAK-SAJAK ISLAMI

M. Raudah Jambak

BISMILLAH

bismillahirrohmanirrohiim
demikian kumulakan segala permulaan

sesungguhnya segala perbuatan
dimulai dengan niat

bismillahirrohmanirrrohiim
mulailah dengan langkah kanan
bismillahirrohmanirrohiim
mulailah dengan tangan kanan
bismillahirrohmanirrohiim
perkuatlah dengan husnuzon
bismillahirrohmanirrahiim
enyahkanlah segala suuzon

bismillah adalah ucapan yakin melangkah
hapus segala hujjah, hapus segala resah
anak yang mengerahkan segala pada ibu
pertiwi yang selalu gelisah
lantas, alhamdulillahirobbil'alamiin,
pertanda syukur sepanjang umur
demikianlah, sejak lahirnya anak manusia
polos dan tanpa ikatan, tak ada sepotongpun
yang terbawa dibawah nisan
lantas, mengaca pada masa lalu perlu
tetapi bertindak untuk lebih maju, justru fardhu
dari tanah akan kembali ke tanah
dari air akan kembali ke air
dari angin akan kembali ke angin
innalillahi wa innailaihi roji'un
untuk apa lagi kita saling berbantah
niat ikhlash atas ridho dan rahmat
itu pencapaian memperoleh syafa'at

mari yakinkan langkah dengan bismillah
tanamkan segala pujian hanya pada Allah
semoga segala niat memperoleh rahmah

medan-2004/2005

SERATUS UNTAI BUJI TASBIH

Telah kurangkai seratus untai biji tasbih
Mengurai asmamu dalam amalan dalam ilahi
Anta maksudi waridhoka matlubi

Telah kuangkai seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai tapi gejolak jiwa ini
Tak mampu jua menampung tumpahan kerinduan
Yang membanjir air mata
Padahal telah kuarungi keluasan laut semestamu
Padahal telah kukayuh sampan sajadahku
Menuju rahmatmu

Telah kurangkai seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai
Bersama takbir
Bersama zikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama ALLAH.........


Lelaki yang Berdiri Itu

Lelaki yang berdiri
Antara rumah dan mimbarnya
Pada taman di antara
taman-taman di surga
berdiri atas gundukan tanah
bersandar pada sebatang
pohon kurma yang menangis
menyaksikannya naik
atas mimbar dari kayu
laksana unta yang menangis
kehilangan anak
lalu lelaki itu memeluknya
dan berkata
"Mana yang kau pilih
hidup subur dan rimbun
atau menjadi pohonan surga?"
lelaki itu lalu menguburnya
di bawah mimbar empat tingkat
yang kemudian menjadi puing
di peti mati
hanya tercium aroma wewangi
lelaki yang berdiri
antara rumah dan mimbarnya
pada taman di antara
taman-taman di surga
pada hari berbangkit, berdiri
pertama kali, lalu diteruskan
sahabat, imam dan wali
setelahnya yang mendapat
syafaat dan rahmat Ilahi

medan,11-12-04

PUISI M. RAUDAH JAMBAK

SAJADAH BATU

Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku
Dengan zikir beribu waktu
Rabbi,
Telah meretas air mataku satu satu
Namun rindu begitu kelu

Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta
Dari waktu ke waktu

2007-09-15

SAJADAH KAYU

Walau rayap rayap mengerat gigil tulang
Sujudku pada-Mu
Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu
Yang menjelma perahu
Mengarungi lautan do’a-do’a menuju
Dermaga rindu
Ah, akukah itu
Si penebang kayu yang dahaga
Akan embun rahmat-Mu

2007-09-15

SAJADAH API

Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu
Menganyam tembikar murka
Abrahah si pengumpul kayu
“Patung besar itulah yang memenggal leher
Tuhan-tuhan mu,” ujarnya berseru

Amuk Abrahah menyulut deru
Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami
Sujud pada sajadah api membiru

07


SAJADAH TANAH

Sunan Kalijaga membentangkan sajadah
Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar
“Telah menyatu aku dengan Tuhanku!”
Mengutil rimah-rimah amarahnya
yang berdarah darah

O, siapakah yang memautkan
Zikir cacing pada bebal leher terpenggal
Di bujur sujud yang tersungkur?

07

SAJADAH AIR

Digelembung zikir sajadah air, Musa
Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi
Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam
Bilah bilah
Dan perahu itu
Dan anak itu
Dan rumah itu
Pada sujud air sajadahpun air
Mengalir, membulir

07

SAJADAH UDARA

Menapaki Haram menuju Aqsa adalah
Hijaiyah bagi hati yang resah
Lalu, memebentanglah sajadah
Pada sujud udara menjemput cinta-Nya

Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah
Yang tak sudah sudah
Ya, Rabbi

07


Iqra’

:bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan

Pada masa yang penuh benalu seluas tanpa batas
Allah,izinkan aku untuk tetap bernaung dalam asma-Mu
Setegar zikir rerumputan menyulam suara azan
Yang bergema di lingkaran semesta tak terhingga
Sebab dalam ketenangan yang mengambang
Dingin terasa meluluhlantakkan
Sebab dalam keheningan yang mengawang
Bisu begitu membekukan
Sebab dalam kehampaan yang menerawang
Api berkobar-kobar menghanguskan
Aku telah mengunyah-kunyah
Segala tipu daya yang meledakkan kebenaran
Dalam kesumat dan tak jelas batasnya
Dalam sujud aku arungi lautan taubat
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi
Tuhanku,
Pada masa yang berwarna abu-abu membekas
Di kanvas jiwa, perhelatan telahpun dikunjungi
Deraian air-mata yang mencekik nurani,
Menulikan telinga dari lantunan ayat-ayat cinta-Mu
Tentang sepotong pesawat bagai burung-burung yang
Menggapai-gapai makrifat di bandara surga-MU
Tentang sebongkah kapal, bagai lumba-lumba yang
Menelusuri maqom di pulau penuh sungai susu
Tentang sekeping kereta-api, bagai kura-kura yang
Bermunajat sepanjang stasiun hati ber-aura biru
Atau tentang muntahan, debaran, deburan, dan
Zikir dari perut-perut bumi
Bukan tak tersulam niat membungkus
Bongkahan syahwat dan karang muslihat
Membesar-memadat, membesar-memadat
Dalam sujud panjang tak berkesudahan
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Amboi,
Pada masa yang penuh belatung, virus
Dan kuman-kuman ini ajarilah kami meneguk
Setetes demi setetes embun keikhlasan dari
Segelas derai air-mata kami, derai air-mata
Kecintaan sepenuh nurani
Jangan lenakan kami dalam kebatilan
Yang membutakan
Jangan mabukkan kami dengan khamar
Yang meluluh-lantakkan
Jangan hilangkan segala kesadaran
Yang melenyapkan-tanpa bekas
Selalu kukayuh sampan sajadah
Mengarungi lautan penuh ombak,
Penuh onak, menghindari bongkahan
Karang-karang keangkuhan yang teramat tajam
Dalam sujud yang beringsut-ingsut
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Maka,
Setelah kubaca masa-masa penuh benalu
Berwarna abu-abu yang penuh belatung,
Virus dan kuman-kuman, dengan nama-Mu
Yang menciptakan: naungilah dan peluk kami
Dari teror kemaksiatan, serta persekutuan kesesatan
Agar tetap taffakur dalam syukur, dalam membaca
Rasa cinta sesama
Kutubul amin, 22 Januari 2007
PADA RUKUK AKU TERBUNGKUK PADA SUJUD AKU MAUJUD
Oleh : M.Raudah Jambak

Malam ini, sajadah telah dialiri sungai air mata, do’a-do’a
Berembun diujung lidah yang jatuh dari daun-daun tasbih
Sementara angin khusuk memeluk degap rindu yang hampir
Membeku. Entahlah, rapal kaji tak juga sampai ke hati atau
Cinta yang bertuba di jelaga

Pada setiap baris ayat, kabar pun telah disampaikan. Jiwa yang
Kosong hanyalah gudang tua yang kehilangan cahaya dan tempat
Bersemayamnya para pendosa. Tetapi butir-butir wudhu’ yang bergulir
Adalah kerjap cahaya yang siap berpijar pada taman yang telah lama
Tak bertuan

Dan malam ini, gelap hanya mengantar subuh yang selalu membasuh
Dahaga para pemburu nasuha, yang melentikkan setiap jentik zikir
Di setiap iring-iringan takbir. Harap hanya sebatas kerinduan yang
Mengawan, rindu adalah harap yang mengerjap dalam degap, sebab
Pada rukuk aku terbungkuk pada sujud aku maujud

Medan,2007

Kun

Jadilah!
maka jadilah ia
bukan batuknya ternyata
tapi degup jantung yang
mengeras tiba-tiba
dan muntahan dari bibir
yang menggila

Jadilah!
maka jadilah ia
dan do'a yang menjawab
segala

maka,
Kun!

medan,06

Demi Masa

Demi yang menguasai gugur daun daun
adakah hijau bersembunyi pada kerontang
pikiran?
Demi pemilik mata air mengalir
adakah kekeruhan terendap pada danau
hati?
Demi Sang Maha Pencipta manusia
adakah pria dan wanita diharuskan
bebas berbuat suka-suka?

Medan, 2006

LANGKAH – LANGKAH

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah asap yang menggumpal – gumpal menjadi
Seonggok awan hitam , di antara
Mendung – mendung
Dan menjadi hujan dalam mataku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah kemarau yang menyengatkan bisa – bisa
Teriknya dan menusuk jantung – jantung
Hingga berdarah , dan seketika detik – detik
Kematian menyelimuti jiwaku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Menjadi limbah pada pabrik – pabrik kemaksiatan
Adalah bibit penyakit yang mengatupkan
Segala urat syaraf dan nadi – nadi darahku
Menyumbat mulutku karena tak terbiasa
Melafaskan asma – Mu
Suara azan itu adalah
Langkah – langkah kakiku
Yang terseret satu – satu.


Puisi M. Raudah Jambak
AMSAL MUHARRAM

Allah ,
Hari – hari yang tersusun dalam hurup – hurup keabadian
Pada langit , pada bumi , pada bintang ,
Pada tanah kelahiran adalah
Hijaiyah pergantian musim ke musim
Bermula dari Adam yang mempersunting Hawa
Dalam surga
Lalu , lahirlah pasangan Kabil , lahirlah pasangan Habil
Dalam belantara dunia
Allah ,
Seperti hiasan langit yang gemerlapan
Menjadi cahaya alam semesta jiwa
Adalah Ibrahim yang mencari Sang Pencipta ,
Lalu menunggu kelahiran Ismail tiba
Yang hampir terbentur dalam usia senja Siti Hajar ,
Istrinya dan Allah kembali menguji ke – Imanan
Dalam qurbannya
Allah ,
Dalam lidah cakrawala yang terikat
Bendera – bendera curiga di antara batu karang nafsu
Dan keserakahan dunia lahirlah putra cahaya
Dari rahim Aminah berbapa Abdullah
Muhammad Rasulullah merobah peta suram dunia jahiliyah


Puisi M. Raudah Jambak
Melepas Do’a Air Mata

Sepeninggal tsunami
Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga
--sepanjang ziarah, seluas samudera
tetesnya tercipta
menyantuh lembut pipi para bocah
yang tengah mengundang cakrawala
tetesnya tercipta
melepas saudara – saudara kami
yang tertimpa bencana
tetesnya tercipta
menjelma busur zikir yang melesat,
meretas segala jarak
: dari banda sampai Mandrehe
dari kamala sampai barwalla
dari batin sampai perih mata
sepeninggal tsunami
kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga
kami hembuskan aroma surga – liwa
buat saudara – saudara yang tertipa bencana
-- sepanjang ziarah, seluas samudera

SEHABIS KHATAM HUJAN

Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan

Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan

Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang

Alif ba ta cinta

Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda

Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya

Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan

Surga?”

Medan,05

Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana

Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana, di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang
Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan
Medan,03-04
Adalah rahasia dalam rahasia

mustika hati kasih adalah kata yang kau tenun
dan rasa dalam bulan purnama memecah sinar
dan binar angkara di jagad sengketa
adapun tamadun terbelah sudah,
adapun kurun berlelehan darah
dan sukma takberpantai, kekasih
selindang iman terpendam dalam-dalam
desir angin subuh membawa tualang
ke haribaan Ilahi bermakna wujud?
di sini terpampang hakikat langit
dan makrifat menyatu di purnama sabit
sayap musim dalam setaman angin terketar
membawa pusar tak bernama
tataplah cahaya dalam cahaya,
nur muhammad yang utuh, maka takkan kau bawa gaduh
dari musim ke musim, kau tak yakin bahwa
kemilau syahdunya merenggut gosong menungmu
tataplah rahasia dalam rahsia
Allah!

2006

Aliran Cahaya

tahan sengketa untuk sementara
mari kita bagi-bagi cahaya
alirannya sudah sampai pada iman
yang paling kelam
puasakan hati, pikiran dan lisan
dari dendam dan segala kemungkaran
niscaya jiwa terjaga segala satwasangka
terlindung cahaya yang paling benderang
tahan sengketa di bawah puncak
keabadian yang paling hitam
mari kita bagi-bagi cahaya
dari alirannya yang paling tentram
medan,2006

Ramadhan Ya Ramadhan

adalah hati yang lebih abadi
melahirkan cinta sang pencipta cinta
aduh, betapa tubuh begitu ringkih
jiwa usang berjuta melahirkan letih
ramadhan ya ramadhan
kemana resah do'a hendak ditumpah
selain di selembar sajadah basah?
kemana zikir terus digilir
selain pada biji tasbih yang berlebih?
kemana takbir diteriakkan dalam sir
selain tenggelam dalam derai tangis fakir?
adalah hati yang lebih abadi
melahirkan nur muhammad yang abadi
pada resah do'a di sajadah basah
pada gilir zikir pada biji tasbih berlebih
pada teriak takbir fakir-fakir

medan,2006

Suatu Hari Aku Bertemu Dengan Diri Sendiri

suatu hari aku bertemu dengan diriku sendiri, terpaku di atas sajadah basah. Tafakur menabur resah pada Allah tak ada sepotong kata gairah tak ada seiris kata bahagia tak ada setitik warna cahaya suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, betapa anehnya raudah di atas sajadah. Tafakur seperti orang-orang yang tergusur tak ada sepotong pun kata makmur tak ada seulas ceria tak ada sebutir apa-apa suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, rasa malu tak terbendung lagi. Tak terbendung lagi Subhanallah!
Medan, 06

REQUIEM KEBANGKITAN

Ruh saudara-saudara kami
ruhnya Muhajirin
yang hijrah
singgah
di negeri Anshor
Robbi,
betapa luka begitu menyayat
sepanjang hayat
seperti rintihan seudati
memapah saman
dari zaman ke zaman
seperti erangan hombo
melompati batu
dari waktu ke waktu
Saudaraku,
jangan pandangi cemas
yang menganga di tepi cadas
yang menguap di udara
yang hanyut di antara lumut
sebab,
akan kau temukan gairah keabadian
di pusaran warna-warna
maut hanyalah selimut
yang mendekap hangat
para Muhajirin
yang hijrah ke negeri angin
menggilir zikir
sepanjang takbir
Ruh saudara-saudara kami
ruhnya Muhajirin
yang meminjam jubah tsunami
menuju negeri tabi'-tabi'in
di antara nadi luka
di antara syair yang merintih
di antara erangan tertahan
Robbi,
betapa luka begitu menyayat
sepanajang hayat, tapi
bangkitkan semangat jiwa
saudara kami
agar terus melukis pelangi
pada kanvas hati
bersama
'Illahi anta maksudi
wa rdhoka matlubi...
medan , 2005

PERAHUKU BERDERAK DI HAMPARAN DO’A YANG TAK BERTEPIAN

perahuku berderak diketuk-ketuk riak,
diombang-ambingkan ombak, entahlah
kukembangkan jua layar do’a dalam elusan angin
yang menggebu

kukutip butir-butir embun dari daun-daun senja
udara terasa semakin menua pada keriput
awan kelam yang diam, lalu bersama rintik langit
yang menitik anginpun berhenti sejenak di tepian
pantai yang pasang menyambut malam, perahuku
masih berderak di ketuk-ketuk riak

ah, betapa harap ini memeras air mata, jatuh
di ribuan buih laut yang mengeram, perahuku
masih diombang-ambingkan ombak

pada ini
lukisan pantai semakin landai di rimbunan
pasir yang berambut sarat beban pada kanvas
gelombang petang dan biru yang tentram,
biru yang berpaham di hamparan do’a yang
tak bertepian

malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada
ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi
dari lorong-lorong tak bernama
rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca

purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga
cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang
siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang
sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga

ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca
lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada
pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan
do’a-do’a

medan, 2007

DAN SEGALA CINTA PUN MELEPASMU

Dan bertasbihlah burungburung bersama maut
yang menjemputmu menuju dunia keabadian

dan berzikirlah hamparan rerumputan bersama
sederet lukaluka ditubuhnya pada rebah tubuhmu

dan awanawan ikut taffakur menaungi segala suka
segala duka diiringiringan jenazah putihmu

dan mentiklah hujan disudutsudut mataku mengenang
segala cinta yang pernah berharap akan restumu

Nur Hilmi Daulay
MUHASABAH

Dan bukit-bukit mengecap sunyi pada keheningan terpekat,
Menunggu satu detik yang mengantarkannya pada satu tahun berikutnya

Dan detak jantung yang berjalan menggandeng jarum jam itupun bersaksi,
Pada ingatan yang teracik menjadi catatan kecil terbesar tahun ini.

Tahmidnya menggema menyibak malam,
Saat memorynya menghadiri pesta rakyat, kali ini tanpa darah
Karna Negri ini telah lama lelah, lidahnya tak ingin lagi latah menjilati tinta merah yang berkali-kali tumpah dari jiwa-jiwa penghuninya

Lalu bulu kuduknya berdiri,
Dengan enggan diketuknya memory tragis yang menyaksikan dirinya tertimbun pada puing-puing bangunan dengan airmata menembus lumpur, menyetubuhi air bah.
Dan jantungnya masih berjalan bergandengan dengan jarum jam
walau entah berapa ratus ribu jantung telah diam, bungkam

Ia terpekur,
Menengadahkan kepala menatap lurus menembus jantung cakrawala,
Tapi bulanpun terlihat keruh
dan bibirnya
dan hatinya
dan jiwanya
berpeluk erat pada muhasabah yang nyaris hanyut dalam laut yang gemeretak dengan amarah membirahi

Dan..
helaan nafasnya bertasbih menggaung tembus ke bukit-bukit yang mengecap sunyi pada keheningan terpekat.
Pada satu detik yang berlalu beberapa puluh detik yang lalu, mengantarnya duduk dalam I'tiraf membuka tahun berikutnya

Matanya nanar menatap bulan yang kian keruh-
Dan pemiliknya tak pernah keruh,

Ia luluh04-medan

Hasan Al Banna

BELUM JUGA, NAK

maka selamat jalan, anakku. selamat berjuang
sebab hari ini
kita belum juga merdeka
bukan, bukan belanda yang datang menyerang
tidak, tidak jepang yang kembali menerjang
tapi sanak sendiri yang mengangkang
menghadang
dengan senjata terkokang
tapi jangan takut, anakku. jangan surut
sebab kulahirkan kau
bukan sebagai pengecut
itu terik yang memanggang
itu hujan yang merajang
itu peluru yang mendesing-melintang
adalah buai-sayang yang membawamu pulang
ke rumah atau bahkan ke liang?
lantas jangan menyerah anakku, jangan kalah
sebab sepercik doa
telah kusulut di sumbu darahmu.
Medan, 2003-2004

Sajak Indrian Koto

Lebaran Untuk Seorang Perempuan

lebaran, suatu waktu saat di mana sajadahku
basah oleh sesal dan duka lara
- sungguhkah aku kembali suci sebagaimana matamu
yang bening dan kekanak-kanakkan?
setiap putaran waktu, akan mengembalikan sepenggal kisah
yang sama dan berulang;
dan lebaran.
tapi tidak kisah ini, serupa mimpi –duhai, bagaimana
aku memulai? ia, waktu yang berkelindan itu, suatu kali
mengungkungku dalam birahi –ramadhan, di mana
setan-setan istirah – kami menjelma sepasukan setan lain
yang sama liar, sama kurang ajar –apakah bernama setan?

lebaran saat di mana semua orang merasa suci, tapi aku
sedikit sangsi, adakah yang akan terkelupas
dari kenakalan remaja yang sedikit tolol ini?

pagi itu, adalah sebuah waktu yang kelak
akan kami kutuk. lebaran masih jauh, tapi sukacita
sedang kami rayakan dengan cara
yang paling dasyat. setelahnya, kami purapura melupakan
penyesalan tak begitu saja menyelesaikan
banyak kisah, setelahnya tuhan mengirimkan kami
bingkisan yang muram dan lebaran adakah dosadosa akan ditanggalkan?

dan kau, sepasang matamu yang bening dan kanakkanak
tak cukup menyelamatkanku dalam harubiru
“setiap soal, setiap beban adalah perihal yang
membesarkan.” aku tak cukup kuat menafsir ulang
banyak kisah; lebaran ini, kerinduanku dibalut gunda dan luka.

kau menafsirnafsir lukaku dan aku sedikit
berpurapura menceritakan kerinduan yang dangkal; wajah ibu,
aroma kampung, lemangtapai, ketupat dan irama takbir
tapi, rahasia itu tetaplah terus terjaga
yang barangkali kelak akan kau tau juga, saat di mana
aku tak bisa merangkulmu lagi
- jika kau benarbenar pergi.

“jangan pergi dulu,” kataku di malam itu. “ikutlah bersamaku
kita akan rayakan keriuhan di jalanjalan, di alunalun sampai
kita muak dan muntah dengan sedikit sesal yang tertunda”
ramadhan telah usai, adakah besok, waktu yang lain
akan mempertemukan kita serupa peristiwa ini?
sebab kelak, mungkin kita tidak akan menghabiskan waktu
di jalan ini lagi. barangkali aku akan berada di tempat tersunyi
dan kau sedang menyandarkan kepala di bahu entah siapa
"itu kau," katamu dengan mata yang serupa malam
tapi tidak, kita tak beranjak
kita samasama berdusta, ”tinggallah di rumah,” katamu,
“kita akan makan ketupat dan dari dalam akan kita dengan irama takbir.”
kali ini aku menjadi manusia yang sedikit patuh, setidaknya
untuk sepiring ketupat. dan kita bercerita sesuatu yang cengeng;
tentang rumah masa depan, kata seorang kawan.
jika kata adalah doa sunggukah ia akan ada?
oh, celaka! banyak hal yang begitu rahasia. dan kami
yang tak pernah kuceritakan padamu adalah peristiwa konyol
yang entah akan selesai di mana –katakanlah, bagaimana aku bisa
meninggalkanmu jika bau rambutmu terus mengejarku.

malam itu – setelah pesta kecil itu – kau menghibur
kecengenganku dan aku berdusta padamu tentang
semua kerinduan itu. “aku ditinggalkan banyak waktu,
ditinggalkan banyak kisah.” kataku.
“setiap orang tengah mencipta peristiwa lain
atau menyambung kisah yang lama.”
“dan aku ingin punya persoalan denganmu saja.”
kataku dan kau tertawa
inilah rahasianya: setiap orang, setiap kita punya peristiwa dengan
banyak orang. ini rumit dan ini jauh lebih rumit. dan kami, suatu waktu
-ah, betapa aku menjadi tolol– menjalin peristiwa kecil
yang menyesakkan.

dengarlah, aku tulis puisi ini untukmu
sebagai isyarat keberangkatanku. sebagaimana kau tak datang
di hari pertama lebaran ini. “menziarahi waktu. mengunjungi setiap orang yang
mencatat peristiwa denganku.”katamu.
“dan aku, tidakkah juga perlu sebuah ziarah?’
“ah, kau kan kisah yang lain, koto!” –atau tidak terlalu penting?
“enak aja! untukmu akan ada peristiwa lain yang sedikit berbeda.”
-ah, bukankah selalu berbeda. Serupa apa?
dan aku sakit. lalu rumah redup dari bayangku
masa kanak lindap oleh peristiwa kecil dan tuhan tengah mengucapkan
selamat lebaran padaku. tidakkah kau tahu?
ah, kau tak akan pernah tahu,
- atau adakah tengah menjelma kekasih wahai perempuan
yang kukenal lewat sebait puisi.

dan tuhan kembali mengirimkan kartu pos dan bingkisan;
dosa dan dirimu.
Di antara itu semua akan adakah kita?

poetika, 2006

Bayang-bayang Nabi
(Oleh Kang Jaz)
________________________________________
Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan para pemimpin ?
"Membela yang lemah dan membantu yang miskin" jawab Nabi.

Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan ulama ?
Memberi contoh yang baik dan mendukung pemimpin
YAng membela orang - arang lemah" jawabnya

Ya Rasulullah ... apa yang harus dilakukan orang-orang lemah dan miskin ?
"Bersabarlah, dan tetplah bersabar
Jangan kau lihat pemimpinmu yang suka harta
Jangan kau ikuti ulamamu yang mendekati mereka
Jangan kau temani orang-orang yang menjilat mereka
Jangan kau lepaskan pandanganmu dari para pemimpin dan ulama yang hidupnya juhud dari harta"

Ya RAsulullah... Pemimpin seperti itu sudah tidak ada
Ulama seperti itu sudah menghilang entah kemana
Yang tersisa adalah pemimpin serakah
Yang tertinggal adalah ulama-ulama yang tama'
Banyak rakyat yang mengikuti keserakahan mereka
Ummat banyak yang meneladani ketamakan mereka !
Apa yang harus aku lakukan, Ya... RAsulullah !
Siapa yang harus aku angkat jadi pemimpin ?
Siapa yang harus aku ikuti fatwa-fatwanya ?
Siapa yang harus aku jadikan teman setia ?

"Wahai ummatku...
Tinggalkan mereka semua
Dunia tidak akan bertambah baik sebab mereka
Bertemanlah dengan anak dan istrimu saja
Karena Allah menganjurkan, "Wa 'asiruhunna bil ma'ruf"
Ikutilah fatwa hatimu
Karena hadits mengatakan, "Istafti qalbaka, wa in aftaukan nas waftauka waftauka"
Dan angkatlah dirimu menjadi pemimpin
Bukankah, "Kullulkum Ra'in, ea kullukum masulun 'an ra'iyyatihi ?"

Wajahmu
(Kitab Cinta Rumi)
________________________________________


Mungkin kau berencana pergi,
seperti ruh manusia
tinggalkan dunia membawa hampir semua
kemanisan diri bersamanya

Kau pelanai kudamu

Kau benar-benar harus pergi
Ingat kau punya teman disini yang setia
rumput dan langit

Pernahkah kukecewakan dirimu ?
Mungkin kau tengah marah
Tetapi ingatlah malam-malam
yang penuh percakapan,
karya-karya bagus,
melati-melati kuning di pinggir laut

Krinduan, ujar Jibril
biarlah demikian
Syam-i Tabriz,
Wajahmu adalah apa yang coba diingat-ingat lagi oleh setiap agama

Aku telah mendobrak kedalam kerinduan,
Penuh dengan nestapa yang telah kurasakan sebelumnya
tapi tiada semacam ini

Sang inti penuntun pada cinta
Jiwa membantu sumber ilham

Pegang erat sakit istimewamu ini
Ia juga bisa membawamu pada Tuhan

Tugasku adalah membawa cinta ini
sebagai pelipur untukmereka yang kangen kamu,
untuk pergi kemanapun kaumelangkah
dan menatap lumpur-lumpur
yang terinjak olehmu

muram cahaya mentari,
pucat dingding ini

Cinta menjauh
Cahayanya berubah

Ternyata ku perlu keanggunan
lebih dari yang kupikirkan

Keindahan Fantasi Cinta
(Al Muktashim)
________________________________________

Riuh... ramai... gaduh... dan penuh kegembiraan
Taman hati berwarna warni
Panggung rumah paru-paru berdiri kokoh
Kolam cinta mengalir indah keawan kasih

Badan terasa sejuk...
Segar tak terkirakan
Rumput selaput nadi bergoyang lembut
Di tiup angin cinta sejati

Burung camar jantung menukik pelan
Hinggap di pohon tulang iga putih
Matanya melihat kearah taman hati
Pandangannya terpesona oleh pemandangan cantik

Bidadari cinta dan pangeran kasih sayang
Bersenda gurau diangan yang tinggi
Hati pun gembira...
Jiwa pun lega...

Ya Allah...
Abadikan keadaan ini
Agar menjadi pedoman
Bagi hati yang saling menyatu

Mentari sanubari tersenyum riang
Alam jiwa bergembira ria
Serentak...
Jiwa0jiwa riang berdansa di sekitar taman hati
Oooh...
Indahnya fantasi cinta
Keagungan Ilahi
(Al Muktashim)
________________________________________

Ratu malam sang rembulan
Raja siang sang matahari
Keduanya selalu bertentangan,

Tarik menarik
Dorong mendorong
Saling menguasai,
Seolah selalu bertanding tiada henti

Tiada yang kalah
Tak ada yang menag,
Karena dengan kedua sifat yang bertentangan ini
Seluruh alam semesta bergerak!

Dunia berputar,
Saling mengisi,
Yang satu melengkapi yang lain
Tanpa yang satu
Takkan ada yang lain,

Siang dan malam
Terang dan gelap
BAik dan jahat
Tanpa yang satu,
Apakah yang lain itu akan ada?
Tanpa adanya gelap,
Dapatkah kita mengenal terang?

Inilah sebuah kenyataan
Yang telah dikenhendaki Allah
Tanpa kehendaknya, takkan terjadi apa-apa


Dawai Sang Sufi
(Al Futuhat)
________________________________________
Hidup adalah ibadah
Dalam ayat-Nya Allah berfirman,
Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya'bududun
Lama aku tidak percaya dengan ayat ini
Fikirku aku hanya disuruh shalat, puasa dan dzikir
Apalagiketika aku berfikir tentang ayat,
Wa'bud robbaka hatta ya'tiyakal yakin,
Demi Allah, aku tidak sanggup untuk beribadah terus menerus...
Aku bingung
Aku takut
Aku lari dari pendapatku sendiri
Suatu hari aku bertanya kepada guruku
Guruku mengatakan, "Tidak salah pendapatmu, tapi kurang".
Ketahuilah.....
Dalam ayat lain Allah juga berfirman
Wala tansa nasibaka minaddunya
Dan La yukallifullahu nafsan illa wus'aha
Jelas Allah tidak hanya menyuruh kitauntuksholat dan puasa
Allah juga menyuruh kita untukmencari dunia
Bahkan Allah melarang kita untuk membebani diri kita dengan beban yang berat
Sehingga kita tidak mampu memikulnya
Walaupun itu ibadah
Ketauhillah.....
Ibadahitu bukan bentuk lahirnya
Banyak perkara dunia yang berubah menjadi amal dunia karena niat
Banyak perkara yang kadang menurut kita tidak ada nilainya tetapi
Disisi Allah sangat berharga
Engkau makan,minum, tidur, cari nafkah, menikah
Tetapi di niati untuk menguatkan ibadah
Itulah arti Wama kholaqtul jinna wal insa illa liyakbudun
Dan engkau dapat istiqomah sholat, puasa, dzikir
Dengan bantuan makan, minum dan menikah
Itulah artiWa'bud robbaka hatta ya'tiyakal yaqin
Jikaengkau sholat, puasa tetapi tidak makan dan minum
Pasti engkau akan mati
bukankah ini bunuh diri dan jelas tidak ibadah ?
Engkau hanya sholat, puasa dan dzikir tetapi tidak menikah
Sehingga suatu ketika terjerumus zina, apakah arti semua ibadahmu ?
Ingatlah Allah pencipta manusia dengan ukuran dan aturan
Janganlah engkau mempertahankan kebodohanmu
Janganlah engkau hancur hanya karena pemahamanmu yang salah
Dan ingatlah pesan Allah Alladzina yastami'unal qoula
Fayattabi'una ahsanah.....
Orang-orang yang mendengarkan pendapat
Kemudian mengikuti pendapat yang paling bagus
Merekalah yang diberi petunjuk Allah
Dan merekalah orang-orang yang beruntung.....

FIRMANMU
Oleh:Aby Al Kahfie.

Ya ALLAH
Dua FirmanMU Yang Selalu Mengonyak Sobek
Pedih Perih Terasa Luka Dalam Menyayat Hati
Tak Mampu Ku Tahankan Gejolak Tangis
Terisak pilu Rindu AkanMU
Mengingat TuturMU Yang Kian Terabaikan

Satu Pilu Berjuta Resah Akan FIRMANMU

WAHAI SEKALIAN MANUSIA APA YANG MEMBUATMU
BERLAKU DURHAKA PADA TUHANMU

Sentak serontak Bergoncang Hati
Dalam Tangis Meratap Pilu

Satu Tangis Berjuta Pilu Akan QUDSIMU

WAHAI ANAK CUCU ADAM, KEBAIKANKU SELALU TURUN KEPADAMU
NAMUN KEJAHATANMU SELALU NAIK PADAKU

Refleks jiwa Meronta Hati
Memaki Diri Menuai Sedih

YA ALLAH
Nilailah Aku DAlam Dhoifku
Ku Ingin Kau Dalam Kesendirianku
Ku Rindu Kau Dalam Kesepianku
Ku Pilih Kau Di Antara mereka
Mendera Tangis Ketika Kau Abaikan.

YA ALLAH
Tersingkapnya Pelataran SinggasanaMU
Menjadi SAtu Pinta Tempat
Agar Ku Bisa Menyempurnakan SEMBAHKU
Ketika Tabir Mulai Terbuka Dari Segala KekuasaanMU

PINTAKU
YA ALLAH
Jadikan Aku Dalam RahmatMU Ketika KU Butuh
Jadikan Aku Dalam Sepiku Menjadi KawanMU
Jadikan Aku Dalam PETUNJUKMU KETIKA Ku Tersesat
Jadikan Aku Dalam IBADAHKU Menjadi kekasihMU

YA ALLAH
AKU dan PINTAKU
BERSERAH HARAP PADAMU.

Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /1/

Ketika rusuk tubuh menggigil ngilu
dicambuk brikade pasukan langit
peluh mengucur berbau nanah
pada pori-pori nista
isi kepala semak dengan nafsu dunia
batin ternoda berteriak:
ampun Tuhan
jiwa-jiwa keruh berguling
merayap mengais raung:
kami insyaf Tuhan
lantas jiwa-jiwa keruh dengan sedunya
bersujud pada sajadah air mata
Tembung, September 2007

Sajadah Air Mata /2/

Tuhan, hamba-Mu larut dalam kelam
berjalan mencari penerang
pada sudut-sudut yang gamang
dalam perjalanan
maksiat tertelan menjadi sarapan
entah berapa dusta yang terkunyah
entah berapa nista yang menjadi darah
tapi, Tuhan
aku tetap mencarimu
walau di atas sajadah
menjadi telaga air mata
Bilal, September 2007


Sajadah Air Mata /3/

Pada malam bergelayut alunan
zikir di bibir basah
seorang muallaf yang merindu
buah makrifat
menganyam untaian tasbih
illahi dalam hatinya
dengan linangan air mata atas sajadah
menuju sujudnya.
Sunggal, September 2007

Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /4/

Maka jatuhlah bulir-bulir
air mata di atas sajadah
pada akhir doa
seorang pemuda yang
memetik buah taubatnya
Medan, September 2007


Sajadah Air Mata /5/

Rizka, tidurlah
bentangkan air mata itu
di atas sajadah
kemarilah sayang
beri kecupan dengan bismillah
biarkan ayat-ayat Tuhan
membasuh tidur kita
berselimut Hamdalah
Medan, September 2007


Sajadah Air Mata /6/

telah kualirkan sungai air mata
pada muara sajadah yang resah
sebab Kau menyapa kami dalam lupa
lalu hadiahkan gempa berbalut gelisah
sebab Kau menegur kami dengan cinta
lalu titipkan bencana yang tak sudah-sudah

telah kualirkan sungai air mata
pada muara sajadah yang resah
tapi, kami hamba yang selalu
mengharapkan rahmat-Mu
tak sudah-sudah
Medan, September 2007




Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /7/

kemana sajadah air mata kubentangkan
di simpang jalan anak kecil menengadah tangan
kemana sajadah air mata kubentangkan
di bawah lampu merah ibu renta yang
terbungkuk-bungkuk memegang mangkuk
Sunggal, September 2007


Sajadah Air Mata /8/

walau di atas sajadah
hujan air mata
membentuk telaga
walau di atas sajadah
waktu terus menggebuk
remuk
tetapi, Tuhan
di atas sajadah
aku merindu cinta-Mu
merengkuh tubuhku
Sunggal, September 2007


Sajadah Air Mata /9/

Takkan terganti sajadah air mataku
dengan 1000 dinar
walaupun api membakar tubuhku
menggelegar bagai nar
Takkan terganti sajadah air mataku
dengan 1000 dinar
walaupun istana kau bangun
dengan muslihat dunia
yang berbagai rupa
Sunggal, September 2007





Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /10/

Ibu, diantara doa-doamu
kau menyebut nama anak-anakmu
lalu kau bersujud
diatas sajadah bersama
bulir-bulir air mata
tapi, ibu
biarlah aku mengganti
sujudmu pada sajadah air mataku

Sunggal, September 2007