Arsip Blog

Selasa, 11 Maret 2008

sajak

Sajak-sajak
Minggu, 27 januari 2008 | 03:16 WIB
Triyanto Triwikromo

Death Valley

di antara tambang-tambang mati

jangan pernah kau percakapkan tentang salju

atau cemara sunyi

hasratkan saja bau maut

tanpa kabut

tanpa selubung

tanpa raung

tentu saja kau memang bukan penggali sunyi. Tapi kau bisa mengenal mati di Death Valley.

kau bisa tersedu di lembah batu. Kau bisa menatap salib-Ku

melayang-layang dalam hamparan debu

maka

pergilah

pergi mati

ke lembah sunyi

ke Death Valley

2007



***


Kurnia Effendi

Mata Kata

+ Aurelia Tiara Widjanarko

Bertahun-tahun kuraut kata hingga langsing dan runcing. Bertahun-tahun kugurat halaman buku, mabuk dan mengigau sepanjang waktu. Bertahun-tahun mengitari panggung, menari seperti kurcaci lupa diri. Mewarnai gugusan peristiwa dengan sejumlah cinta dan lara. Bertahun-tahun membangun jembatan, antara satu bukit dan bukit berikutnya, dengan kata- kata. Bertahun-tahun jumawa di atas kuda kata-kata, berlari kencang tanpa menoleh lagi.

Lalu, pada sebuah tarikh muda, engkau lahir dari sunyi perigi bermata air kata, jernih

dan bercahaya. Lalu engkau bangkit dari abu unggun yang menyala semalam suntuk

membakar kayu kata-kata. Mata beningmu membaca semua kata dari setiap benang sari dan udara yang mempersinggahkan pada putik, menjadikannya tunas buah. Lalu engkau memeras perih kata dari tangkai zaitun, menyulingnya menjadi tetes-tetes harum dalam bejana. Tak

ada jejak pada kata-kata dari tempatmu (mungkin) pernah berguru.

Ingin kuhapus kata dari seluruh mantra yang melekat di mulutku. Ingin kuhapus kata

dari jubah dan terompah yang pernah kuajak mengembara. Ingin kuhapus kata dari mimpi

dan nyanyian yang bertahun-tahun memenuhi tidurku. Ingin kembali hening, menghilang dari suara, bersembunyi di balik cadar riuh rendah kata-kata. Pura-pura tak pernah mengenal kata yang bertahun-tahun meriwayatkan rahasiaku sebagai seorang kelana.

Dengan sepasang mata, kau berkata-kata. Mata sebening kaca, kaca sebening kata.

Dalam matamu, kata selalu berkaca. Mencari bayang-bayang simetri, sudut tersembunyi,

runcing dan bening. Pendar cahaya matamu menyusun kata-kata yang berkaca-kaca. Kata-

kata yang tidak menaruh dendam pada kaca, tempat mata memandang. Kaca yang senantiasa memantulkan kata-kata ke dalam mata.

Aku percaya: hanya dari lesung pipimu, tersenyum setiap kata

Dan matamu adalah genangan kata-kata sebening kaca

2007



***


Kurnia Effendi

Bidadari Pagi

+ Helena Rea

Aku selalu rindu menyamar batang-batang pohon, menanti tubuhmu berkelebat tinggalkan harum dalam kemerisik daun:

jejakmu yang tipis dihapus lembab embun.

Di busur langit berupaya menjadi matahari yang kaupandang sambil berlari, kuhimpun senyum manismu yang ditabur:

seperti biji-biji padi di tanah gembur para petani

Habis-habisan kubentuk diriku menyerupai gunung tempat kakimu lincah mendaki,

mengekalkan hangat suhu kulitmu:

meski sekujur tubuhku demam tinggi

Aku rela menghampar sebagai rerumputan lembut, permadani yang menjagamu dari pepucuk duri, demi percik keringatmu:

sebelum langkahmu terhenti dan sirip-sirip awan menepi

Mari kita ingat kembali sebuah malam di Ulee Kareng:

Meja baris ketiga yang goyah, kedai Jasa Ayah dalam remang cahaya, tercium harum buih secangkir kopi telur. Tak ingin berjarak dari rambut ikalmu, tirus pipimu, kawat gigimu. Dari letih matamu mengalir cerita perjalanan, berkelok mirip anak sungai

Di antara kita, di antara kata, penulis Air Raya mengudap roti sarikaya.

Mari kita kenang kembali sebuah malam di keramaian Rex:

Sepiring kerang yang masih menuturkan kesedihan pantai, hangat jejak tsunami

Mi Aceh yang meruapkan cerita-cerita lama, aroma hutan dan rawa-rawa

Langit serupa buku terbuka dengan tebaran aksara yang menyala

Terdengar samar percakapan orang-orang GAM antara riang dan waspada

”Aku bisa dekat dengan mereka, tapi tak boleh menulis tentang mereka.”

Malam bagimu tak pernah tua

Sebelum tiba pukul 10, tubuh langsingmu perlahan luruh

Bahkan ketika lampu listrik padam menjelang larut isya

”Apa yang terjadi bila berdua dalam gelap?” tanyamu manja

Kalau engkau seorang penakut, akan kubisikkan doa dan kata-kata yang menenteramkan

Kalau engkau gadis pemberani, hunuslah pedangmu untuk melawan mambang

Selagi gelap, kita tak dapat bertukar pandang, tapi aku yakin kau selalu cantik

Seperti engkau yakin aku tak pernah jauh:

Telingamu masih mendengar detak kecil

Nada rindu dari jarak ribuan mil

Aku ingin selalu menjadi selembar pagi yang menyaksikanmu bangkit dari mimpi, memandang gaun putih yang menari-nari di sekitar tubuhmu:

bulan pun bersandar dengan wajah pucat pasi

Di punggung cakrawala kuubah diriku menjadi sekawanan burung yang bernyanyi tak henti- henti, hendak mengalahkan semua bunyi:

sepilihan kata yang menjadikanmu bidadari

2007

Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah. Ia menulis puisi dan prosa. Kumpulan puisinya berjudul Kartunama Putih (1997). Ia tinggal di Jakarta.

Triyanto Triwikromo lahir di Salatiga, Jawa Tengah. Selain menggubah puisi, ia banyak menganggit cerita pendek. Ia bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suara Merdeka dan dosen penulisan kreatif di Universitas Diponegoro, Semarang.