Sajak-sajak
Minggu, 27 januari 2008 | 03:16 WIB
Triyanto Triwikromo
Death Valley
di antara tambang-tambang mati
jangan pernah kau percakapkan tentang salju
atau cemara sunyi
hasratkan saja bau maut
tanpa kabut
tanpa selubung
tanpa raung
tentu saja kau memang bukan penggali sunyi. Tapi kau bisa mengenal mati di Death Valley.
kau bisa tersedu di lembah batu. Kau bisa menatap salib-Ku
melayang-layang dalam hamparan debu
maka
pergilah
pergi mati
ke lembah sunyi
ke Death Valley
2007
***
Kurnia Effendi
Mata Kata
+ Aurelia Tiara Widjanarko
Bertahun-tahun kuraut kata hingga langsing dan runcing. Bertahun-tahun kugurat halaman buku, mabuk dan mengigau sepanjang waktu. Bertahun-tahun mengitari panggung, menari seperti kurcaci lupa diri. Mewarnai gugusan peristiwa dengan sejumlah cinta dan lara. Bertahun-tahun membangun jembatan, antara satu bukit dan bukit berikutnya, dengan kata- kata. Bertahun-tahun jumawa di atas kuda kata-kata, berlari kencang tanpa menoleh lagi.
Lalu, pada sebuah tarikh muda, engkau lahir dari sunyi perigi bermata air kata, jernih
dan bercahaya. Lalu engkau bangkit dari abu unggun yang menyala semalam suntuk
membakar kayu kata-kata. Mata beningmu membaca semua kata dari setiap benang sari dan udara yang mempersinggahkan pada putik, menjadikannya tunas buah. Lalu engkau memeras perih kata dari tangkai zaitun, menyulingnya menjadi tetes-tetes harum dalam bejana. Tak
ada jejak pada kata-kata dari tempatmu (mungkin) pernah berguru.
Ingin kuhapus kata dari seluruh mantra yang melekat di mulutku. Ingin kuhapus kata
dari jubah dan terompah yang pernah kuajak mengembara. Ingin kuhapus kata dari mimpi
dan nyanyian yang bertahun-tahun memenuhi tidurku. Ingin kembali hening, menghilang dari suara, bersembunyi di balik cadar riuh rendah kata-kata. Pura-pura tak pernah mengenal kata yang bertahun-tahun meriwayatkan rahasiaku sebagai seorang kelana.
Dengan sepasang mata, kau berkata-kata. Mata sebening kaca, kaca sebening kata.
Dalam matamu, kata selalu berkaca. Mencari bayang-bayang simetri, sudut tersembunyi,
runcing dan bening. Pendar cahaya matamu menyusun kata-kata yang berkaca-kaca. Kata-
kata yang tidak menaruh dendam pada kaca, tempat mata memandang. Kaca yang senantiasa memantulkan kata-kata ke dalam mata.
Aku percaya: hanya dari lesung pipimu, tersenyum setiap kata
Dan matamu adalah genangan kata-kata sebening kaca
2007
***
Kurnia Effendi
Bidadari Pagi
+ Helena Rea
Aku selalu rindu menyamar batang-batang pohon, menanti tubuhmu berkelebat tinggalkan harum dalam kemerisik daun:
jejakmu yang tipis dihapus lembab embun.
Di busur langit berupaya menjadi matahari yang kaupandang sambil berlari, kuhimpun senyum manismu yang ditabur:
seperti biji-biji padi di tanah gembur para petani
Habis-habisan kubentuk diriku menyerupai gunung tempat kakimu lincah mendaki,
mengekalkan hangat suhu kulitmu:
meski sekujur tubuhku demam tinggi
Aku rela menghampar sebagai rerumputan lembut, permadani yang menjagamu dari pepucuk duri, demi percik keringatmu:
sebelum langkahmu terhenti dan sirip-sirip awan menepi
Mari kita ingat kembali sebuah malam di Ulee Kareng:
Meja baris ketiga yang goyah, kedai Jasa Ayah dalam remang cahaya, tercium harum buih secangkir kopi telur. Tak ingin berjarak dari rambut ikalmu, tirus pipimu, kawat gigimu. Dari letih matamu mengalir cerita perjalanan, berkelok mirip anak sungai
Di antara kita, di antara kata, penulis Air Raya mengudap roti sarikaya.
Mari kita kenang kembali sebuah malam di keramaian Rex:
Sepiring kerang yang masih menuturkan kesedihan pantai, hangat jejak tsunami
Mi Aceh yang meruapkan cerita-cerita lama, aroma hutan dan rawa-rawa
Langit serupa buku terbuka dengan tebaran aksara yang menyala
Terdengar samar percakapan orang-orang GAM antara riang dan waspada
”Aku bisa dekat dengan mereka, tapi tak boleh menulis tentang mereka.”
Malam bagimu tak pernah tua
Sebelum tiba pukul 10, tubuh langsingmu perlahan luruh
Bahkan ketika lampu listrik padam menjelang larut isya
”Apa yang terjadi bila berdua dalam gelap?” tanyamu manja
Kalau engkau seorang penakut, akan kubisikkan doa dan kata-kata yang menenteramkan
Kalau engkau gadis pemberani, hunuslah pedangmu untuk melawan mambang
Selagi gelap, kita tak dapat bertukar pandang, tapi aku yakin kau selalu cantik
Seperti engkau yakin aku tak pernah jauh:
Telingamu masih mendengar detak kecil
Nada rindu dari jarak ribuan mil
Aku ingin selalu menjadi selembar pagi yang menyaksikanmu bangkit dari mimpi, memandang gaun putih yang menari-nari di sekitar tubuhmu:
bulan pun bersandar dengan wajah pucat pasi
Di punggung cakrawala kuubah diriku menjadi sekawanan burung yang bernyanyi tak henti- henti, hendak mengalahkan semua bunyi:
sepilihan kata yang menjadikanmu bidadari
2007
Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah. Ia menulis puisi dan prosa. Kumpulan puisinya berjudul Kartunama Putih (1997). Ia tinggal di Jakarta.
Triyanto Triwikromo lahir di Salatiga, Jawa Tengah. Selain menggubah puisi, ia banyak menganggit cerita pendek. Ia bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suara Merdeka dan dosen penulisan kreatif di Universitas Diponegoro, Semarang.
KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)