Arsip Blog

Senin, 05 Desember 2011

Puisi KH.Mustafa Bisri

Rasanya Baru kemarin

Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia.

Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari para jurkam PDIP saja.



Rasanya
Baru kemarin.

Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.

Rasanya
Baru kemarin

Padahal sudah lebih setengah abad lamanya.
Menteri-menteri yang dulu suka korupsi
Sudah banyak yang meneriakkan reformasi

Rasanya baru kemarin

Rakyat yang selama ini terdaulat
sudah semakin pintar mendaulat
Pemerintah yang tak kunjung merakyat
pun terus dihujat

Rasanya baru kemarin

Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.
Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh
Padahal pembangunan badan yang kemarin dibangga-banggakan
sudah mulai runtuh

Kemajuan semu sudah semakin menyeret dan mengurai
pelukan kasih banyak ibu-bapa
dari anak-anak kandung mereka
Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi sudah menutup mata
banyak saudara terhadap saudaranya

Daging yang selama ini terus dimanjakan kini sudah mulai kalap mengerikan
Ruh dan jiwa
sudah semakin tak ada harganya

Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan
para penguasa berlaku sewenang-wenang
kini sudah pandai menirukan

Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya
Semakin bertambah besar pengaruhnya
Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda
Kepentingan sendiri dan golongan
sudah semakin melecehkan kebersamaan

Rasanya
Baru kemarin

Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka
Pahlawan-pahlawan idola bangsa
Seperti Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja
Sudah dikalahkan oleh Sin Chan, Baja Hitam,
dan Kura-kura Ninja

Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan

Rasanya
Baru kemarin

Tokoh-tokoh angkatan empatlima sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah banyak yang terbenam
Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya sudah banyak yang tak jelas maunya

Rasanya
Baru kemarin

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian Benar-benar merdeka?)

Rasanya
Baru kemarin

Negeri zamrud katulistiwaku yang manis
Sudah terbakar nyaris habis
Dilalap krisis dan anarkis
Mereka yang kemarin menikmati pembangunan
Sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban
Mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri
Sudah meninggalkan utang dan lari mencari selamat sendiri

Mereka yang kemarin sudah terbiasa mendapat kemudahan
Banyak yang tak rela sendiri kesulitan
Mereka yang kemarin mengecam pelecehan hukum
Kini sudah banyak yang pintar melecehkan hukum

Rasanya baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka.

Mahasiswa-mahasiswa pejaga nurani
Sudah dikaburkan oleh massa demo yang tak murni
Para oportunis pun mulai bertampilan
Berebut menjadi pahlawan
Pensiunan-pensiunan politisi
Sudah bangkit kembali
Partai-partai politik sudah bermunculan
Dalam reinkarnasi

Rasanya baru kemarin

Wakil-wakil rakyat yang kemarin hanya tidur
Kini sudah pandai mengatur dan semakin makmur
Insan-insan pers yang kemarin seperti burung onta
Kini sudah pandai menembakkan kata-kata

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah lima puluh sembilan tahun kita
Merdeka.

Para jenderal dan pejabat sudah saling mengadili
Para reformis dan masyarakat sudah nyaris tak terkendali
Mereka yang kemarin dijarah
Sudah mulai pandai meniru menjarah
Mereka yang perlu direformasi
Sudah mulai fasih meneriakkan reformasi
Mereka yang kemarin dipaksa-paksa
Sudah mulai berani mencoba memaksa

Mereka yang selama ini tiarap ketakutan
Sudah banyak yang muncul ke permukaan
Mereka yang kemarin dipojokkan
Sudah mulai belajar memojokkan
Mereka yang kemarin terbelenggu

Sudah mulai lepas kendali melampiaskan nafsu
Mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa
Sudah mulai banyak yang lupa

Rasanya baru kemarin

Ingin rasanya aku bertanya kepada mereka semua
Tentang makna merdeka

Rasanya baru kemarin

Pakar-pakar dan petualang-petualang negeri
Sudah banyak yang sibuk mengatur nasib bangsa
Seolah-olah Indonesia milik mereka sendiri
Hanya dengan meludahkan kata-kata

Rasanya baru kemarin

Dakwah mengajak kebaikan
Sudah digantikan jihad menumpas kiri-kanan
Dialog dan diskusi
Sudah digantikan peluru dan amunisi

Rasanya baru kemarin

Masyarakat Indonesia yang berketuhanan
Sudah banyak yang kesetanan
Bendera merahputih yang selama ini dibanggakan
Sudah mulai dicabik-cabik oleh dendam dan kedengkian

Rasanya baru kemarin

Legislatif yang lama sekali non aktif
Dan yudikatif yang pasif
Mulai pandai menyaingi eksekutif
Dalam mencari insentif

Rasanya baru kemarin

Para seniman sudah banyak yang senang berpolitik
Para agamawan sudah banyak yang pandai main intrik
Para wartawan sudah banyak yang pintar bikin trik-trik

Rasanya
Baru kemarin

Tokoh-tokoh orde lama sudah banyak yang mulai menjelma
Tokoh-tokoh orde baru sudah banyak yang mulai menyaru

Rasanya
Baru kemarin

Orang-orang NU yang sekian lama dipinggirkan
Sudah mulai kebingungan menerima orderan
NU dan Muhammadiyah yang selama ini menjauhi politik praktis
Sudah kerepotan mengendalikan warganya yang bersikap pragmatis

Rasanya
Baru kemarin

Pak Harto yang kemarin kita tuhankan
Sudah menjadi pesakitan yang sakit-sakitan
Bayang-bayangnya sudah berani pergi sendiri
Atau lenyap seperti disembunyikan bumi
Tapi ajaran liciknya sudah mulai dipraktekkan
oleh tokoh-tokoh yang merasa tertekan
Anak dan antek kesayangan Bapak sudah berani tampil lagi
Mendekati rakyat lugu mencoba menarik simpati
Memanfaatkan popularitas dan kesulitan hidup hari ini

Rasanya baru kemarin

Habibie sudah meninggalkan
Negeri menenangkan diri
Gus Dur sudah meninggalkan
Atau ditinggalkan partainya seorang diri

Rasanya baru kemarin
Padahal sudah limapuluh sembilan tahun lamanya
Megawati yang menghabiskan sisa kekuasaan Abdurrahman
Mengajak Hasyim Muzadi merebut lagi kursi kepresidenan
Membangkitkan nafsu banyak warga NU terhadap kedudukan

Apalagi Wiranto yang mengalahkan Akbar
menggandeng Salahuddin keturunan Rais Akbar
Ikut bersaing merebut kekuasaan melalui Golkar
Dan didukung PKB yang dulu ngotot ingin Golkar bubar

SBY yang mundur dari kabinet Mega juga ikut berlaga
Dengan Jusuf Kalla menyaingi mantan bos mereka
Bahkan dalam putaran pertama paling banyak mengumpulkan suara

Amin Rais yang sudah lama memendam keinginan
Memimpin negeri ini mendapatkan Siswono sebagai rekanan
Sayang perolehan suara mereka tak cukup signifikan

Hamzah Haz yang tak dicawapreskan PDI maupun Golkar
Maju sendiri sebagai capres dengan menggandeng Agum Gumelar
Maju mereka berdua pun dianggap PPP dan lainnya sekedar kelakar

Rasanya baru kemarin

Rakyat yang sekian lama selalu hanya dijadikan
Obyek dan dipilihkan
Kini sudah dimerdekakan Tuhan
Dapat sendiri menentukan pilihan
Meski banyak pemimpin bermental penjajah yang keberatan
Dan ingin terus memperbodohnya dengan berbagai alasan
Rakyat yang kebingungan mencari panutan
Malah mendapatkan kedewasaan dan kekuatan
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaiman rasanya
Merdeka?)
Rasanya baru kemarin
Orangtuaku sudah lama pergi bertapa
Anak-anakku sudah pergi berkelana
Kakakku dan kawan-kawanku sudah jenuh menjadi politikus
Aku sendiri tetap menjadi tikus

(Hari ini
setelah limapuluh sembilan tahun kita merdeka
ingin rasanya aku mengajak kembali
mereka semua yang kucinta
untuk mensyukuri lebih dalam lagi
rahmat kemerdekaan ini
dengan mereformasi dan meretas belenggu tirani
diri sendiri
bagi merahmati sesama)
Rasanya baru kemarin
Ternyata sudah limapuluh sembilan tahun kita
Merdeka

(Ingin rasanya
aku sekali lagi menguak angkasa
dengan pekik yang lebih perkasa:
Merdeka!)

Rembang, 17 Agustus 2004

INDONESIA BERKACA
Raudah Jambak













telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa

MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA?
M. Raudah Jambak

Masih merdekakah kau Indonesia
setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya
dalam kaleng rombeng
recehan angka milik pengemis belia
yang mendendangkan kidung lara
bersama hembusan dupa dari opelet tua
asih merdekakah kau Indonesia
ketika musyawarah berubah dari mufakat
menjadi siasat
ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat
ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan
dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa
Masih merdekakah kau Indonesia
dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya
karena matamu telah dibutakan
dan mulutmu disekat rapat-rapat
serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa
Masih merdekakah kau Indonesia
padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata
dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka
Masih merdekakah kau Indonesia?


INDONESIA, MERAH-PUTIHKU
Karya : M. Raudah Jambak

Indonesia, Indonesia
di negeri ini aku dilahirkan
di negeri ini aku dibesarkan
di negeri ini aku menggapai
segala impian
segala harapan
segala cita
dan cinta

Indonesia, Indonesia
engkau adalah taman terindah
ibu yang paling ramah, penuh
kasih dan sayang
dalam suka
maupun duka

Indonesia, Indonesia
adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur,
adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan
adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur
adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan

Indonesia, Indonesia
laksana obat penghilang perih luka-luka
tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam
danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka
dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam

Indonesia, Indonesia
barisan semangat sepanjang carnaval
anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal
kekasih segala pujaan, membenam segala gombal

Indonesia, Indonesia
merah darahku
putih tulangku
di tubuhku
kita menyatu
padu

medan, 2010

INILAH DIA,……..Para Pemenang Lomba FESTIVAL PUISI BENTARA 2011

Apresiasi Puisi Wartawan "Koran Jakarta" Menangi Lomba Cipta Puisi Nasional
KORAN JAKARTAJAKARTA - Wartawan Koran Jakarta, Frans Ekodhanto Purba, memenangi lomba cipta puisi nasional anugerah bentara budaya 2011. Malam penganugerahannya sendiri diberikan pada Minggu (27/11) malam di Bentara Budaya Bali. Karya puisi Frans berjudul Cerita Tiga Rupa berhasil masuk dalam lima pemenang karya puisi terbaik menyisihkan 2.521 judul puisi yang dikirim oleh sekitar 700 penyair dari 130 kota di Indonesia.

Pemenang lainnya adalah Sindu Putra dengan judul puisi Kupu-Kupu Kuning dalam Cerita Pendek Putu Arya Tirtawiryas, A Muttaqin dengan judul puisi Tukang Kayu, Romi Zaman dengan judul Sajak Daun, serta Otto Sukatno CR dengan puisi Opera Rama Sinta. Koordinator Bentara Budaya Bali, Warih Wisatsana, mengatakan lomba cipta puisi nasional ini merupakan salah satu kategori lomba dalam rangkaian festival puisi bentara budaya yang sudah berlangsung sejak dua tahun lalu.

"Festival puisi bentara sebenarnya sudah sejak 2010, tetapi lombanya baru dilaksanakan kali ini," kata Warih. Untuk tahun ini, tema lomba yang diambil adalah "Mitologi dalam Refleksi Kekinian". Juri yang dilibatkan antara lain penyair Umbu Landu Paranggi, sastrawan Nyoman Tusthi Eddy, serta kritikus sastra Prof Dr I Nyoman Darma Putra.

Selain lomba cipta puisi nasional, juga diselenggarakan lomba baca puisi se-Indonesia serta lomba dramatisasi puisi se-Bali. Animo masyarakat sendiri terlihat tinggi dalam rangkaian perlombaan ini. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta dan karya yang dikirimkan dalam setiap kategori lomba.

"Semoga puisi dan dunia kesusastraan Indonesia bisa menjadi angin sejuk bagi carut-marutnya pergolakan politik, ekonomi, hukum di Indonesia," kata Frans. Warih juga menjelaskan bahwa kegiatan semacam ini menjadi suatu hal yang menarik untuk menunjukkkan suatu proses, terutama proses yang terjadi di Bali dan di Indonesia pada umumnya. Semacam proses persinggungan sesuatu yang bersifat global (mengandung nilai-nilai luar) dan nilai-nilai lokal serta nasional.

"Hal ini coba kita refleksikan ke dalam bentuk kegiatan ini, sehingga kami mengambil temanya, 'Mitologi dalam Refl eksi Kekinian'. Karena keindonesiaan kita dibentuk dari sesuatu yang bersifat mitologi dan kehidupan tradisi kita, sementara kekinian kita, mau tidak mau harus kita sikapi dengan kreatif untuk menghasilkan keindonesiaan yang kita kehendaki," katanya.

Setelah melalui proses panjang dan berbagai tahapan lomba sedari bulan Februari hingga Oktober, akhirnya pada 27 November 2011, bertepatan dengan malam Puncak Festival Puisi Bentara 2011 diumumkanlah Lima Puisi Terbaik dari 1.521 naskah karya 700 penyair yang berasalah dari 130 kota se-Indonesia. Lima Penyair yang memperoleh Anugerah Bentara 2011 serta diundang khusus untuk menerima penyerahan hadiah di Bentara Budaya Bali ialah :

1. A. Muttaqqin (Surabaya), dengan puisi berjudul “Tukang Kayu”
2. Frans Ekodhanto Purba (Jakarta), dengan puisi berjudul “Cerita Tiga Rupa”
3. Otto Sukatno CR (Yogyakarta), dengan puisi berjudul “Opera Rama Sinta”
4. Romi Zarman (Padang), dengan puisi berjudul “Sajak Daun”
5. Sindu Putra (Mataram), dengan puisi berjudul “Kupu-kupu Kuning dalam Cerita Pendek Putu Arya Tirtawirya”.

Lomba Baca Puisi se-Indonesia
Dari 208 pendaftar se-Indonesia, Lomba Baca Puisi memperebutkan Anugerah Bentara 2011 yang digelar pada 25-27 November 2011, melalui tahap penjurian yang ketat dengan melibatkan dewan juri yang terdiri dari Oka Rusmini, Ida Bagus Darma Suta dan Wayan Sunarta menetapkan juara 1,2,3, Harapan 1,2, enam (6) Nominator, enam (6) Pembaca Berbakat serta dua (2) Pembaca Favorit, diantaranya :

Juara 1 : Nomor Undi 80, Hurria (Universitas Trunojoyo, Madura)
Juara 2 : Nomor Undi 66, I Putu Oka Wardika (SMA Negeri 5 Denpasar)
Juara 3 : Nomor Undi 185B, Mira Astra (Umum)
Juara Harapan 1 : Nomor Undi 151B, Awyawaharika A. AP (SMA Negeri 5 Denpasar)
Juara Harapan 2 : Nomor Undi 36, Tria Hikmah Pratiwi (Umum)

Nominator :
1. Nomor Undi 25, Dra. Ni Wayan Sumiasih (SMA Lab. School, Singaraja)
2. Nomor Undi 45, Shelvie (SMA Lab. School, Singarja)
3. Nomor Undi 111, Ardiansyah Dz (Universitas Trunojoyo, Madura)
4. Nomor Undi 118, Ni Luh Ayu Desi Andriani (SMA Negeri 2 Amlapura)
5. Nomor Undi 147, Muda Wijaya (Umum)
6. Nomor Undi 168, Catur Wira Natanegara (SMA Negeri 1 Denpasar)

Pembaca Berbakat :
1. Nomor Undi 7, Pande Km. Intan Trianaputri (SMP Negeri 3 Gianyar)
2. Nomor Undi 24, I Gst. Ayu Gita Dewantariyasa (SMP Negeri 5 Denpasar)
3. Nomor Undi 34, Kadek Desi Nurani Sari (SMA Lab. School, Singaraja)
4. Nomor Undi 79, Ni Putu Suputri Noviani Pradhana (SMA Negeri 3 Denpasar)
5. Nomor Undi 84, Silvia Anggita Putri (SMP Negeri 3 Kuta Selatan)
6. Nomor Undi 100, Winda Permata Sari (SMA Negeri 1 Denpasar)

Pembaca Favorit :
1. Nomor Undi 146, Nuril Eka H (Psikologi, UI)
2. M. Choirul Anam (SMA Negeri 4 Surabaya)

Lomba Dramatisasi Puisi se-Bali
Dewan juri yang terdiri dari Abu Bakar (dramawan), Nyoman Erawan (perupa dan art perfomer) serta Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Sastrawan), menetapkan tiga (3) Terbaik dari sembilan (9) penampil yang berhak memperoleh Anugerah Rektor Universitas Udayana, diantaranya :

Juara 1 : Nomor Undi 8, Teater Ilalang (Singaraja)
Juara 2 : Nomor Undi 5, Teater Limas (SMA Negeri 5 Denpasar)
Juara 3 : Nomor Undi 4, Teater Angin (SMA Negeri 1 Denpasar)

Selamat kepada para Pemenang dan Nominator…..

Salam,
Panitia Puisi Bentara 2011

PUISI PUISI YANG DIJADIKAN PUISI WAJIB UNTUK MUSIKALISASI DAN DRAMATISASI BENTARA BUDAYA BALI 2011

Otto Sukatno CR
OPERA RAMA SINTA

di hadapan api penyucian, Sinta nampak tegar, tanpa setitikpun butiran air mata
namun ia tak segera menceburkan dirinya
“masuklah!” Ujar Rama, tenang seakan tanpa dosa
“bila engkau belum terjamah Rahwana api akan menyelamatkanmu!”
mendengar perintah itu, Sinta menatap tajam wajah suaminya dan balik berkata
“jika api benar-benar menyelamatkanku, aku justru ragu atas kesucian
dan kejujuran kuasamu, maka sebaiknya masuklah terlebih dahulu
atau kita masuk sama-sama merasakan panasnya dosa, sebab aku tak mau lagi
tertipu untuk kedua kalinya
dan aib dunia hanya dipikulkan di pundak Hawa!”
Rama terperangah tak mampu berbuat apa
sambil menatap wajah Sinta,
penuh tanda tanya?
Yogyakarta., 2009


PENYESALAN#03

Karya : Ali Antoni


masih teringat kuat bagaimana aku mengendap dulu
diam-diam mengambil selendangmu ditelaga
berjingkat-jingkat ku atur langkah
agar kau kehilangan sayap dan tak ada pilihan lain kecuali hinggap di peraduanku
sampai kemudian musim berganti musim
hujan di susul hujan
kalender tanggal satu-satu
dan jarum jam di ruang kamar kita sudah terganti puluhan kali
namun aku tetap merasa bahwa kau adalah musim panenku
sungguh aku tak menyesal kenapa aku mengendap
dan mencuri kesucianmu
biarlah itu menjadi dosaku
sebagai neraka yang aku syukuri
dan aku hangat dalam apimu yang menyambar-nyambar
kau mematangkan beras lumbung padiku
kau adalah air yang menghidupkan kebunku
kau pula yang menjadi damar penerang
yang membantuku mengeja huruf-huruf kuno dari masa silam
…..
namun satu hal yang membuat telagaku mengering
sungaiku tak lagi sejernih dulu
benih tunasku gagal tumbuh
setelah tak sengaja kau temukan sayapmu yang kusimpan rapat-rapat
kau menuduhku sebagai pendusta, sebagai setan berkepala lima
dengan mudahnya kau lupakan kembang gula
yang sering kita nikmati berdua


TUKANG KAYU
Karya : A. Muttaqin


Kupilih kayu untuk selembar pintu.
Kupilih jati ketimbang mahoni dan trembesi.
Sebab pada jati serat keteguhan merangkum diri.
Sebab pada jati segala janji sepi terberi.

Mungkin jati kenyang menyusu sungai.
Menggugurkan daun saat tanah pecah
dan padi-padi menundukkan kepala.
Sebab itu jati tumbuh sebagai pohon kuat.

Ketika dibuat pintu tak gampang dicungkil
pencuri laknat. Jati juga bisa jadi jendela
yang indah. Berbekal serat murni yang mirip
rajah di telapak tangan kita:

rajah yang memanggil sejuk angin timur
jika kita sedang susah tidur. Atau membawa
angin barat, jika pikiran kita sedang semburat.
Kadang ia juga membawa angin selatan

atau utara, seperti salam mesra yang diucap
bibir berkah. Begitulah. Begitu kayu-kayu
kupelajari rahasianya. Agar tak keliru saat kutebang
di hutan sana. Seperti kala kupilih kayu meranti

daripada mahoni, untuk kotak lemari dan lelaci.
Sebab meranti menyimpan serat lembut murni.
Meniru perempuan yang gemi dan primpan.
Mengamankan intan dan marjan dari pengintai.

Pernah kupilih kayu jangkang ketimbang
kampar rindang. Kayu jangkang yang pahit
namun wingit, nyaman untuk meja panjang,
kuda goyang, atau ranjang senggang

yang diukiri elang, kawanan kijang
dan tujuh dayang yang sedang mandi di sendang.
Kupilah juga kayu pilihan untuk podium besar.
Kuhadapkan kayu itu ke matahari agar ia bersih

dari jamur dan sisa hujan. Dan dengan segenap
kekuatan, kuhiaskan ukiran kembang, burung terbang
atau khat yang merawikan sholawat dan pujian.
Kubikin sedemikian nyaman. Sebab di sanalah

khotbah dan kitab suci kelak ditegakkan.
Di tanganku tergenggam tata ketam dan palu godam.
Dengan gergaji kutipiskan balok kayu jadi papan.
Kadang aku bertanya tentang takdir sang kayu:

apakah ia akan jadi tiang rumah, jadi meja, kursi
atau malah jadi peti yang menyimpan orang mati.
Kucipta mereka dengan teliti dan senang hati.
Seperti meramut anak-anak sendiri.

Dari hari ke hari. Dengan kecermatan penyawur benih.
Dengan ketulusan seorang ibu yang tak terbagi.
Kerap terpikir juga mencipta pola pintu dan jendela
yang sanggup mengantar orang ke gerbang mimpi.

Atau ke jalan landai yang membuat mereka damai.
Atau yang seperti bibir kekasih, terbuka dan terkatup
sendiri, mengucap doa-doa jika kita pulang atau pergi.
Pernah pintu dan jendela macam itu dicipta sang Yesus.

Dengan rasa paling halus. Dengan sepasang tangan tulus
dan kudus. Berkali-kali lelaki lembut gondrong itu datang
ke mimpiku. Memberi perkul landep dan palu antep padaku.
Ketika terbangun, perkul dan palu seolah masih terpegang.

Tapi kedua tanganku gemetar. Kesepuluh jarinya mengaduk diri seperti geruguk sepi.
Terantuk dan tersaruk, mereka seolah
berkeras merayap dari sisiku. Merayap miring, menyamping
mirip prilaku kepiting. Membawa telapak tanganku pergi.

Satu ke kanan. Satunya lagi ke kiri. Mencari muara sungai
paling murni yang saban malam mengalir dari sebidang pipi:
sungai yang tak mungkin terjamah tanganku yang hanya
mengenal perkul, palu, dan gergaji.

2011



KUPU-KUPU KUNING
DALAM CERITA PENDEK PUTU ARYA TIRTAWIRYA
Karya : Sindu Putra


ia sentuhkan tanganku yang kering
ke dadanya
yang paru-parunya basah oleh getah tembakau
sembari minta doa: “ sengatkan naga dati tubuhmu
hingga menggigit luka hatiku……..”

lelaki yang terbaring di atas jalan cerita,
yang ditulisnya diseantero Lombok
tubuhnya menyimpan demam, yang dideritanya seumur hidup
tak ada yang ditutup-tutupinya, tak ada yang tidak dituturkannya:
“lihatlah, sindu, kupu-kupu kuning
yang hinggap di potret masa muda saya……….”
kupu-kupu yang menyeberangi selat Lombok
menemukan taman bunga bawah laut,
dengan sungai-sungai apinya yang menyala
menemukan taman rahasia, tempat Sita disembunyikan
kupu-kupu yang menemukan nektar bunga perdu,
yang lebih manis dari susu ibu

ia sentuhkan lagi tangannya yang kering
ke dadanya, yang biru oleh batu rindu:
“ciumlah bau tuak, sindu
yang menenggelamkan bulan di Cakranegara
dengarlah kokok ayam jantan,
yang menggiring penangkar kupu-kupu
ke goa-goa di pinggiran kota.
saya ini, seorang urban di kampung halaman……”

kupu-kupu yang tua Putu Arya Tirtawirya
dalam cerita-cerita pendeknya yang getir.
kupu-kupu getas yang kehilangan sehektar taman bunga
kupu-kupu garam yang kehilangan bunga padi yang wangi,
kupu-kupu yang tua itu, kini hinggap di potret masa lalumu
dalam kamar, tanpa sungai-sungai api
tanpa pohon-pohon sungsang
kupu-kupu yang ditinggalkan malam, kupu-kupu yang ditinggalkan pagi

tapi, Putu Arya Tirtawirya
terimakasih
telah kau contohkan
bagaimana menceritakan diri sendiri


Mataram 2011


CERITA TIGA RUPA
Karya : Frans Ekodhanto Purba

Si Tumang

akulah pemilik tetubuh jelita, pemenang
taruh dan pertarungan, tanpa mengalirkan dendam
tanpa menggaligali luka, menumpahkan nanah amarah
akulah pemenang, bukan raja, bukan penguasa, bukan juga manusia
dengan sehelai torak aku melamarnya
darah, cinta, kasih dan nafsu yang kujejakkan di rahimnya
adalah keutuhan janinjanin cinta kami
dirajut sepanjang malam bulan purnama, akulah situmang
seekor anjing jantan

karena akulah segala yang tiada menjadi nyata
segala yang mustahil menjadi hidup
tapi karena dia pulalah aku menjadi kenangan
yang hanya bisa dijejak cerita
diraba airmata yang memata airkan usia


Dayang Sumbi

hamba dayang sumbi
pada hamba kesempurnaan dianugerahkan
karena hamba taruh dan pertarungan pecah
memadati sungaisungai dendam
mengombak, menerjang siapa saja
karena hamba pulalah kebencian menganga
raja mengangkat pedang
saling menikam, bersaing demi keinginan

karena hamba darah menjelma airbah
menenggelamkan mimpi
siapa punya doa berenanglah sekuat mampu
sebelum semuanya menjelma kenangan
mengapung bersama hampa nafsu

Sangkuriang

Sebelum fajar tumpah
telah kurapal timur jalanmu
kugenapkan barat sebagai detak kerinduan
hulu layar-layar perahu
dalam rahimku kecemasan tuntas ditebus

sungguh, musimlah yang telah mengawinkan kita
menjadi sedarah, serasa dan sejiwa
bolehlah kiranya aku meminjam sebaris perjalanan
dari hidupmu untuk usiaku, sebelum maut
memagut, melemparkan nasib
pada tebing-tebing kesunyian
sebab perangku adalah kau
yang berhianat di puncak batas

Kereta subuh, Maret 2011

Keterangan:
Si Tumang: Seekor anjing jantan yang menjadi teman sekaligus suami Dayang Sumbi dalam pengasingan.
Dayang Sumbi:Putri raja tanah Parahyangan
Sangkuriang: Anak kandung Dayang Sumbi dan Si Tumang yang telah membunuh bapaknya Si Tumang, sekaligus yang mencintai ibunya Dayang Sumbi.



VARIASI ATAS SANGKURIANG
Karya : Alex R. Nainggolan


karena asmara
segalanya nampak sia
hanya terpukau rupa
wangi tubuh dan birahi menyala

bertahun-tahun ia panggul kutuk itu
tapi tak mau jadi sisipus
meski tubuhnya tak kurus atau kelopak matanya tirus
sebab pertemuan kerap sisakan debar
ketika ia bergetar
pada setiap kesiut warna

"bagaimana aku tahu jika engkau ibuku;
sedangkan berpuluh tahun kita tak bertemu?"
ia mendesau sengau, juga permintaan yang panjang dari sumbi
sebab nyala birahi, membuatnya berulang ditikam sepi

"aku sudah jadi lelaki perkasa. kecuplah segala urat tubuhku
dan aku takjub pada siluet tubuhmu,"

*
saat itu pagi merekah tertinggal basah
pada bibir perempuan
meskipun hujan belum tiba
betapa perempuan itu kembali jadi dara
yang memecah mantra ketika bicara
kelopak bibirnya setengah terbuka
semacam tenung yang mengurung
bagi dada lelaki

sungguh! perempuan itu telah mencatat prasasti
di suatu pagi,
liuk tatapnya seperti panah yang menancap dada
tapi lelaki itu tak juga sakit
bahkan saat panah itu kembali menancap
berulangkali. toh, ia terbiasa menahannya sejak kecil dan mungil

kini,
ia yakin bila jodohnya tiba

*
apakah ia lupa menandai dulu;
saat terbungkus di rahim milik siapa?
hanya diingatnya hangat alir darah
desir sayat kesakitan menjerti
dan ia menangis saat bayi

ia mengingat hari kelahiran
dan merasa ada mimpi baru
yang tak pernah ditempuh

bertahun-tahun ia lupa pada ibu

tapi ibu bukan pendendam
tak semacam ibunya kundang
mengutuk jadi batu telanjang
ihwal anak durhaka
menandai bekas rahimnya yang pecah

berapa banyak engkau rendam;
kangen yang merajam pada anak lanang
ketika beratus malam tandang
lenyap di tengah gelap
lenyap ketika mengingat
engkau yang sendirian
setelah kelahiran
kutinggalkan dirimu, sangkuriang

*
di hari-hari yang kelabu
ia masuk keluar hutan
akrab dan bertahan di rindang dahan
tumbuh bersama tanah dan akar
tapi ia telah bermimpi basah
bayangan perempuan
lingga yang basah dan suara penuh desah
ia telah memanggul napas lelaki dewasa
di kepalanya penuh dengan lekuk bidadari

*
ketika ia tiba di sebuah rumah,
cuma ada perempuan itu--
yang beratus hari kemudian memanah dadanya.
dan ia merasa bahagia

ada yang bercambah
menyesaki tubuh
ia yang menyerah
pada harum tubuh

*
mereka bertemu pada tahun yang lembap
tembang asamara itupun bergeriap

dosakah satu kecupan bagimu, ibu?

dan burung-burung menyanyikan balada
hutan bergema penuh dengan desah akar

"semestinya aku tahu tanda itu. bukankah kulit jangat tubuh
begitu liat dan mengikat. aku ingat, kelahirannya yang dibisiki misteri.
ah, anak lanagnku; mengapa engkau jatuh cinta padaku?"
perempuan dengan tubuh wangi itu menyesali yang terjadi
ia paham, tak mungkin menolak birahi
dari perjaka muda itu
ia senang dengan pertemuan ini
bertahun-tahun kehilangan anak semata wayang
tapi segalanya terlanjur celaka
membuatnya limbung, jatuh di tahun-tahun ia masih muda

tapi kecantikan tak pernah sirna
seperti cahaya matahari yang abadi
tak bisa ditolak
meskipun malamnya dipenuhi dengan isak

*
"aku ingin sebuah perahu. tapi bukan nuh."
pagi yang tinggi
lesung yang menyanyi
ia tahu,
lelaki muda sakti itu bakal marah

dan ia menjadi abu
meskipun mencintainya sepenuh hati
sebagai anak lelaki semata wayangnya


2010-2011


SAJAK DAUN

__di pantai air manis
Karya : Romi Zaman

Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.

Tak pernah ia membenci angin
sebagai biang kepergian
meskipun terombang-ambing antara arah
dan tujuan.

Hidup di rantau
ia lebih gemar membayangkannya
sebagai tanah terjauh
sebagai tanah tempat ia jatuh.

Tak pernah ia mengukur jarak
berapa jauh dari induk
Pun tak pernah ia berpikir
kapan akan kembali
krena setiap kepergian tak pernah
menjanjikan kepulangan.

Terombang-ambing oleh angin
Serupa terombang-ambing di tengan lautan.
Hanya kapal.
Tak pernah ia belajar bagaimana garam
bisa lesap ke dalam air.
Tak pernah ia belajar kepada ikan
yang tak pernah sedikitpun terasa asin
meskipun berenang di lautan garam.

Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.

Ibukku tampuk, ayahku angin.
Benarkah aku ini Malin?

Berlayar jauh ke dalam malam.
Terombang-ambing antara cahaya bulan
dan mata perempuan.
Hanya gelombang dan pasang mengepung kapal
sedangkan embun tak pernah membasahi layar.

Jika benar aku ini Malin,
sampai kapankah embun sanggup menetesiku tubuhku
yang batu?
Ia lepas,ia lepas
melayang jauh di pantai itu.


BALADA SI KUNDANG
Karya : Era Sofiyah

i
Inilah sesungguhnya jejak yang tak berdusta
Ketika waktu menggerus masa
Dintara luka yang tak berkelu
’’maaf nak’’, bukan maksudku sengaja membuatmu membatu
Ini hanya sekedar tentang cinta yang tak kau tahu
Maka tak ada sesal yang harus kueja
Karena waktu mengajariku untuk tak menangisi sejarah

Akan kuceritakan sebuah hikyat
Tentang selaksa peristiwa
Ketika asa mencipta harapan
’’Ijinkn aku bu, mengangkat sauh’’, katamu dulu
Kan kuhirup aroma dikedalaman laut
Menaklukkan segala curam batu karang
Kelak kan kubawakan segenggam pualam
Untukmu yang telah membagi air kehidupan

Duh, Inilah sesungguhnya keberangkatan
Tak harus ada seduh sedan
Kupupuskan segala resah yang menggoyah
Kugenggamkan hatiku pada ceracau tetua
Biarlah bujang pergi kenegeri seberang
Karena laut akan membawanya pulang
Pada nyiur dan jelaga hitam

Maka kehilangan adalah kematian bagiku
Duh,anakku
Kau yang telah sematkan bunga api
Dari mulut sumbingmu
Setelah berbilang waktu
Kau rengkuh kenikmatan di rahimku
Lalu kepada siapa lagi rindu ini harus kupasung, duhai sayang

Sungguh, aku hanyalah wanita tua yang tak berdaya menggenggam bara

Maka disini aku akan menemanimu setiap subuh
Untuk hapuskan segala resah
Kan kudendangkan lagu –lagu perindu
Agar hilang segala kelu
Kan kubacakan syair tua-tua dahulu
Agar kau tak melulu diserbu sesal yang gaduh
ii
Kupasrahkan segala yang tersisa
Di negeri yang kini telah luluh
Lihat, lihatlah perempuan-perempuan yang berjalan setengah telanjang
Dengan tuak ditangan
Dan mata yang menggelinjang
Lalu mereka campakkan benih-benih tak bertuan
Oh, negeri ini telah menjelma menjadi sarang durjana

Dengar,dengarlah nak!
Seduh sedan para tetua
Telah hilang bujang-bujang kecintaan mereka
Sebab dikutuk peradaban

Untukkmu yang berhidmat dalam bisu
Kan kubingkai keikhlasan dalam pilu
Bila itu mengembalikanmu pada yang dulu
Agar aku bisa memelukkmu setiap subuh

iii
Ibu, Rasanya aku tak perlu lagi mengingatmu
Mengingatmu adalah mengingat kesakitan masa lalu

Sungguh bu, hasrat telah menenggelamkanku pada lautan dendam
Dendam atas segala peristiwa yang tak kau rasa
Dendam atas segala kemiskinan yang membuatku tak berharga
Dendam atas segala kebodohan yang tak terbantahkan

Bagiku kau hanyalah perempuan renta pengunyah sirih
Tak seharusnya kau ada di tepian dermaga
Menantiku dengan sejumput rindu

Ibu, katamu dulu kau akan menungguku
Pada nyiur dan jelaga hitam
Lalu mengapa kau memanggilku sang durjana laknat

Maka seduh sedan tak ada guna
Karena laut telah mengekalkanku dalam diam
Karena laut telah melahirkan petaka
Bagi si anak durhaka
Duhai ibu, kabarkan pada setiap yang bernyawa
Sebelum laut kembali murka

Biarlah tubuh bekuku menjelma prasasti
Bila durhaka telah meraga dalam jiwa
Bila harus kutumpangkan sang pendosa di tubuh perawan
Hingga tercipta benih-benih tak bertuan

Kau tahu bu, aku hanyalah lelaki rapuh
Yang tak berdaya akan hasrat perindu
Bukankah perempuan itu juga yang telah melahirkan sumpah serapah
Dari bibir bergincumu ?

Bu, dari cadasnya karang
Kutitipkan salam
Demi kerinduan yang terpendam

Sungguh, akulah si celaka itu
Yang telah memerah habis air susumu
Kutuk saja menjadi batu
Agara lunas hutang sangsiku
Agar tak ada lagi keberangkatan
Agar tak ada lagi seduh sedan
Agar tak ada lagi benih-benih yang tercampakkan
Karena aku dilahirkan sebagai lelaki kundang


TUTUR AKHIR SANG PARIKESIT
Karya : Andromeda Ken Prabuhening

“Takdirmu adalah akhirmu,
Berlarilah ke tempat persembunyianmu!”

Gema raungan sang petapa
Membelah alam keheningan yang menutup sepi
Mengutuk Parikesit yang terengah berlari
Dengan senyum yang mampu membuat setiap dewa mengerang

Begitulah negeri ini,
Dia yang telah mengoyak habis tulang rakyat
Hanya memberi senyum kebinasaan
Dia perlakukan setiap bawah sebagai pijakan
Dia perlakukan setiap sujud sebagai tempat ludah
Ular mampu kau permainkan untuk berdiri di atas kedudukan
Ular mampu kau gantung demi memuaskan hasrat kuasa-mu

“Seperti tumbuhnya matahari di ufuk timur,
Maka terbenamlah menuju arah barat dan akan berlangsung demikian”

Dharma ditegakkan oleh sang penguasa
Jatuhnya parikesit oleh kutukan sang petapa
Nafasnya terengah membelah hutan hitam
Mencari tempat untuk mengubur kenistaan

Begitulah juga negeri ini,
Telah digalinya lubang pada ibu pertiwi oleh para tikus tanah
Menanam sisa – sisa kotoran dan debu materi
Menutup mata, mulut, dan hati demi kemunafikan
Kau telah berlari dengan menyebut setiap nama
Kau tutupi setiap senyum licik yang melingkar di otakmu
Mengingat kau telah meminum darah rakyat ini

“Padi yang telah dituai maka akan tumbuh tinggi
hingga hasil nya akan jatuh ke tanah dan membusuk”

Sang naga Taksaka berlari menyembur api keadilan
Di mana pun parikesit telah berlari dan bersembunyi
Maka datanglah sang naga
Yang datang dengan keadilan telah mampu membunuhnya

Demikian akhir negeri ini,
Dulu kami menutup setiap kesadaran kami
Namun kini, berlarilah para tikus mencari lubang tanah
Kuasamu kau bawa ke dalam perut buncitmu
Kami telah mengutuk hidup dan alam kematianmu
Negeri ini temukan tikus terbesar yang mampu melubangi kubah persatuan
Berlarilah bak parikesit yang telah mati oleh kutukan sang petapa
Karena pada akhirnya begitulah takdir yang akan membawamu ke lubang kehancuran.


AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
Karya : M. Raudah Jambak, S.Pd

/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging

Akulah Waktu yang kehilangan makna beban

Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan

Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.

Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak

/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!

Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan

Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba

Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa

yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!

/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah

Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010


PUTRI HIJAU
Versi Batak Karo
Karya : Sedia W Barus

Wahai Putri nan hijau kemilau.
Bapak bermarga Meliala konon berdarah Hundustan.
Ibu bermarga Barus berleluhur tanah kamper.
Berparas cantik disukai para perempuan dan lelaki dari delapan penjuru angin.
Terlahir dari janda kampung Sebaraya,Tanah Karo di Sumatera,Putri Hijau ditimang dibesarkan para kurcaci dalam gua sungai Lau Biang
Bersama dua saudara kembar yang menyerupai naga dan mariam, menghisap udara sejagad.

Putri Hijau Dewasa dipinang Maharaja Haru Sicapah.
Berkalang tahun tak punya keturunan Putri Hijau dicerai
Bermodal tanah sekepa; putri menunggang Naga dikawal Mariam saudaranya
Sampailah mereka di Tanah Deli yang subur nan permai.
Berkat bantuan saudara tua san ayah Meliala,Putri mendirikan Kerajaan Haru Deli Tuah1.

Walau digoda Sultan Aliuddin Ryat Alkahar di abad limabelas ceritranya, ia tetap dalam
Keyakinan.Setia sampai mati pada suami Manang Ginting Suka.
Kerajaan Haru Lingga Timur Raja, Kutabuluh,Wampu, Sicapah boleh tunduk pada Sultan2

Putri Hijau, srikandi ratu penguasa Kerajaan Haru Deli Tua, karena pembangkangannya diserang berkali-kali agar ia menyerahkan kekuasaan dan mengubah keyakinan,
Tapi Haru Deli Tua bertahan sampai tubuh berkalang tanah
Terjun ke Laut Selat Malaka pilihannya dengan berikrar, erbelawan3.
“Lebih baik menjaga harga diri daripada kekuasan”.
Brahma dan adat junjungannya

Putri Hijau ditabur cahaya rembulan dan matahari
Rambut tergerai menaungi gunung Sibayak dan Sinabung.
Langkah gesit gemulai meyisiri jalan dari Tamiang ke Jambi
Satu kaki berpijak di daratan satu di samudera luas.
Dagu pipi kening ranum cerlang berlulur kesucian ari kelapa hijau
Bercampur perasaan aneka jeruk wewangian.
Wajah dan bicara lembut pancaran hatinya
Keras watak dan lakunya ditemppa alam insani

Hijaunya Sang Putri dan Deli Tua ini meneduhkan
Tegar menghadapi musuh dengan bersahabatkan belantara Bukit Barisan.
Kearipannya memimpin negeri adalah kasih sayang
Sang Putri menegakkan keadilan dengan cinta
Sorot mata yang tulus bahasa diplomasinya
Kepada Malaka dan Portugis ia berbantuan

Sayang, kekuasaan Putri digerogoti para hulubalang korup
Ditembaki mariam Aceh berpeluru emas mereka tergiur
Deli tak lagi bertuah sampai Gocah pun melawan

Gocah Menjadi raja4
terciumlah ranumnya tanah deli
Kepada simancung berkulit putih konsesi diberi
Tanam paksa dan kuli berlaku di Tanah Deli
Memakmurkan negeri salju dengan tembakau cerutu.


Cimanggis, Februari 2011


1Tuah(bhs Karo) asal kata Tua, yang artinya keturunan/anak. Jadi Deli Tua(dulu sering ditulis tuwa) bukan lawan kata dari Deli (muda). Diduga nama ini diambil karena janda kembang si Putri Hijau belum punya keturunan.
2Sekitar tahun 1539
3Erbelawan(bhs Karo), asal nama kota/pelabuhan Belawan. Er(awalan)=ber. Belawan=sumpah
4Tahun 1612



KAU TERUS BERLARI DIKEJAR BAB DEMI BAB INI
: Timun Emas
karya: Arif Fitra Kurniawan


- Tak ada yang lebih raksasa dari kaki mimpiku
yang berkeras untuk terus memburu ribuan senyap sayap
kupu-kupu yang berterbangan menuju kebun matamu
mata yang ditumbuhi barangkali demi barangkali,
yang membuat jejak perih ketika aku menyibak
rimbunan jarum demi mencari seruas jerami

- Tiba-tiba jalan menjadi tak begitu penting,
ketika bagiku engkau tujuan dari apa yang
disebut orang-orang yang tersesat oleh persimpangan
sebagai kekalahan.

- Satu-satunya cara melawan kesedihan adalah tertawa,
satu-satunya perihal yang mampu melengkapi kebahagian
adalah airmata.
itu kubisikkan pada mataku sendiri berulangkali,
sebab tanpa keduanya
usia mata tak akan sanggup bertahan lebih lama

- Jarak sengaja telah menjauhkan aku
sebagai laut yang liat, memandang engkau yang langit
agar tak bisa aku panjat,

- Kelak kau akan mengerti mengapa
tiap kali bermimpi
tak juga henti aku merakit tangga-tangga ini.
sebab usiaku semakin buta dan
tak ada yang bisa ditemui
sebelah mataku selain dendam yang batu
untuk menyebut keinginanmu
sementara separuh penglihatanku yang lain
bertahan dalam kepalan yang air
yang akan kau lihat sewaktu aku mencapai hilir,
sewaktu kau memilih tergelincir.

- Kapan?
ketika kau meyakini cinta adalah ibu
dari seluruh perihal yang menyakitkan.

(*catatan: puisi ini terinsiprasi dongeng Timun Emas yang berkembang di Pulau Jawa)

Pelatihan puisi Komunitas Home Poetry

Beberapa kali Komunitas Home poetry melakukan diklat puisi, baca, tulis, musikal maupun visual atau seni pertunjukan puisi. Diantara pesertanya adalah Ayu dari SMA Negeri 1 medan, Tami dari SMA Annizam, dll. Berikut beberapa karya mereka.

KUMPULAN PUISI
Ayu Yusriani Nasution

Telepon Umum

Berdiam diri
Berdiam sendiri di sudut ini
Memeluk manja dinding mati
Berteman debu merebah di setiap sisi

Dahulu..saat teknologi tak seperti sekarang ini
Aku sangat diminati
Kita bercengkrama mesra
Komunikasi terarah syarat suka
Bahkan waktu pun cemburu akan kita

Namun, sekarang
Aku menempel bisu bertemankan debu
Menatap sendu bersama angin lalu
Terus membisu tanpa pedulimu
Tak terawat bak fasilitas umum yang semu
Hanya menempel menahan jemu..

(Di Sisi Sebuah Bangunan, 28 Okt 2011)

Nalar Si Saklar

Tidakkah pernah nalar menjamah
Walau sejumput sedikit kisah
Aku saklar menatap nanar
Akan semua yang disekitar

Disini..hanya disini
Berpeluk erat di dinding sisi
Tiada puja dan puji
Tiada banyak fungsi lagi

Sesekali sentuhan cadas itu mendarat
Tepat di bagian jidat
Jika dan hanya jika untuk sambungkan energi
Saat dimana benderang lampu dihargai
Dan aku tidak dipandang sama sekali

Disinilah, beginilah diriku.
Sesekali ingin ini itu
Tak hanya diam atau kaku..

(Ruang Tengah, 5 Nov 2011)

Ceritera Asbes


Hai, kalian yang disana
Tatap aku yang menganga
Meronta-ronta diiringi tarian angin menerpa
Dan kalian hanya diam begitu saja
Menatap dari kejauhan sana

Lihat aku! Lihat! Lihatlah!
Melambai getir sampaikan duka
Ingin segera lepas dari singgasana

(Medan, 28 Okt 2011)


Ranting Mati yang Hilang Nyali


Sepanjang hari..
Hari demi hari..
Tiada titik henti

Sebatang kara
Kering rasanya
Sudah pun renta

Tersangkut disela pondasi
Mengharap angin terus menari-nari
Terus menari
Jangan berhenti
Bantu diri lepaskan jerat ini

Tak tahanku rasanya kini
Melunglai hilang nyali di atas sini
Di teras bangunan tua ini

(Sekitar Taman, 29 Okt 2011)

Jerawat


Tanpa permisi ku hampiri
Setiap pipi bak kue bakeri
Nyaman sekali
Pipi mulus menjadi permadani

Posisi pas pamer sana sini
Lucu sekali
Menyaksikan si dia sibuk setengah mati
Menutupi bahkan memoles diri ini
Dan siksa pun harus akun cicipi
Racuni aku perlahan pasti

Betapa..oh..betapa nasib ini
Sang empunya pipi amat benci
Akan gemarku si jerawat ini
Inginnya tuk pajang spanduk anti
“Jerawat dilarang singgah disini”

(Ruang Kelas, 9 Nov 2011)

Tulisan Usang


Sajak-sajak menahan amarah
Saat menanti predikat sampah
Melepas mahkota sejarah
Merobek asa menjadi gundah
Menatap di ujung kisah
Tiada pembaca yang melimpah ruah
Hanya berdiam pasrah
Menyandang predikat sampah!

(Medan, 11 Nov 2011)

Taman Senyuman


Parasmu, taman senyuman
Tempat senyuman itu bersemi
Landasan garis lengkung bersahaja
Bertahta indah bagai mahkota

Parasmu, ladang imaji penuh fiksi
Mengundang kreasi untuk berpuisi
Mengetuk manja daya mencipta
Seolah motivator ternama

Parasmu, begitu sederhana
Namun bermakna luar biasa
(Medan, Nov 2011)

Tarian Pena Untuk Dunia



Nadi berpacu bersama waktu
Kian berpacu melaju maju
Melepas daya cipta bertahta
Mengukir karya bersama asa
Seiring jemari menari dengan pena
Menghunjuk diri pada dunia
Dengan harap nyala kedepannya
Tak hanya usang begitu saja
Tapi dikenang sepanjang masa
(Medan, 11 Nov 2011)

Podium


Sebuah medium
Bahagia tiada pensiun
Penuh guratan senyum
Sebuah medium bernama podium
Stadium yang membawa harum

(Lapangan, 14 Nov 2011)

Disini Bermimpi


Disini…
Lisan ku rangkai
Tulisan mengurai teori-teori
Dengan pena dan jemari menari-nari
Disini…
Impian mulai ku patri
Bersemangat setiap hari
Amati pahami dan tulis ilmu pasti
Bekali diri menuju sejati
Tak hanya sebatas imajinasi
Disini…
Mengabdi untuk diri pada negeri
Berpacu penuh obsesi
Berteman imajinasi berani
Disini…
Satu tujuan ku mulai pasti
Prestasi tiada henti!

(Taman Budaya,12 Nov 2011)

Dalam Sebuah Aula


Gema resonansi suara para siswa
Dari ribuan banyaknya mereka

Satu, dua, tiga dan seterusnya
Mengambil tempat dalam aula

Dan…
Jantung berdetak dengan kencangnya
Terhenyak akan suasana

Mengapa?
Meski cuaca panas menyapa
Peluh bagai telah berolahraga
Tak redupkan asa yang terasa
Sungguh luar biasa!

(Aula Kartini, 13 Nov 2011)

Sesampai di Ruang Makan


Konsentrasi buyar seperti di guyur hujan
Rasa lapar menjalar semakin liar
Bak beradu dalam balapan
Mengejar lapar jauh depan
Sendok dan garpu tak mau kalah
Tancap hidangan sana sini
Meliuk-liuk menikung lapar
Lahap lauk…
Lahap pauk…
Lahap semangkuk…
Tertinggal lapar yang telah kikuk
Menjemput kenyang di akhir mangkuk
(Sepulang Try Out, 13 Nov 2011)

Teduh di Baitullah


Teduh!
Satu kata di Baitullah

Tepat di bawah kubah mewah
Bangunan yang berdiri megah
Dituju langkah kaki para jama’ah
Nan terpaut ikatan akidah

Lihatlah! Masukilah!
Sajadah dibentang luas teratur
Akur dengan nuansa syukur

Resapilah!
Tiap sujud kan jernihkan ruh
Membasuh keluh dan peluh
Teduh!
Suatu rasa di Baitullah

(Mesjid Agung, 15 Nov 2011)

Kala Hujan dari Teras


Kala hujan deras
Ku nikmati di sudut teras
Semakin deras
Rintik-rintik terasa semakin khas
Terasa mengecup ku di paras

Seolah tak puas
Ku tarik kursi lebih menepi
Jauh lebih menikmati
Lepas penat duduk santai

Biarkan gerah terbilas lekas
Rasakan bebas…

(Teras, 17 Nov 2011)

Penghuni Taman


Kemarilah!
Amati penghuni taman ini
Seolah miliki jemari
Mereka berdansa bersama angin
Saling berkusik seolah tengah bercanda
Sungguh menarik mata
Menikmati peraduan di bawah terik matahari
Sebelum senja merengkuh nanti

(Halaman rumah, 19 Nov 2011)

Dipelukan Bunda


Bunda…
Begitu nyaman ku rasa
Hangat pelukan bunda
Membuai aku penuh manja
Bunda…
Di pelukan bunda
Bibir ini lepas tertawa
Sepasang mata terpana pada bunda
Garis ceria itu begitu nyata
Nyata sampaikan bahagia

(Medan, 3 Nov 2011)


Sungai Berazam


Suram timbulkan muram
Rupa pun kian seram
Aliran mengarah kelam

Seolah semua mata terpejam
Abaikan ku begitu kejam
Harapkan manusia paham
Cegahku ke arah kelam

Namun…
Tetap aku sang sungai berazam
Meski hingga akhir manusia tiada paham
Ku tetap abdikan diri pada semesta alam

(Pinggiran sungai, 3 Nov 2011)

Cahaya Sang Surya


Cahaya sang surya
Bertahta penuh wibawa
Berperangai raja di tata surya
Jabatan jaya
Sumber energi utama
Memberi terang pada semesta
Abdikan pelita pada dunia

(Medan, 19 Nov 2011)

Toilet Umum

Rp 500,00 terpampang lantang
Di bagian depannya
Peduliku seolah menerawang
Keadaan rumpang begitu senjang
Derap langkah tergesa panjang
Masuki toilet umum
Benar nyatanya
Tak tahan tuk dipandang
Ingin segera membuang lalu bergegas pulang
Begitulah, kuman dan kotoran berebahan disana

(Toilet umum, 19 Nov 2011)

Raja Siang dan Putri Malam

Fajar menjelang
Raja siang bertandang
Kian waktu kian menantang
Hingga senja pulang
Berganti putri malam berkunjung datang
Ribuan tahun berselang
Tiada ubahnya hingga sekarang

(Teras malam, 20 Nov 2011)

Tengah Malam


Tengah malam
Kala mata terpejam
Lelap datang menyelimuti
Bertamukan mimpi menghampiri
Nikmati fiksi dunia mimpi

(Kamar tidur, 24 Nov 2011)

Anak Jalanan

Sebakal kitab usang
Syarat kaku diambang usang
Sebab akibatnya hanya kita
Namun dia jadi tersangka
Lisan mencerca penuh prasangka
Lihatlah tanggungannya
Mengemis meminta-minta
Tiada berbisa jinak merata
Tiada upaya ubah nasibnya
Seperti kayu di belantara
Ayo,kita bangkit
Ayo,kita rakit
Bakal bibit yang akan terbit

(Taman Budaya, 25 Nov 2011)

Pelajar

Pelajar..
Kini hanya sebatas gelar
Tinggi nilai dapat disamar
Pelajar..
Bukan hanya ia yang harus belajar
Bukan pula ia yang tengah diajar
Pelajar..
Ia tuntas dengan kata bayar!

(Kamar belajar, 26 Nov 2011)

Tirai Hujan


Gemuruh datang disusul gerimis
Angin kian kencang pakaian serasa menipis
Hujan pun hadir bersama petir
Semakin lebat dan lebat
Dingin..
Terasa rintik air di tangan
Tak puas ku lalu memandang
Ternyata tirai!
Lihat hujan membentuk tirai
Dari tepi genting bangunan

(Teras Samping Bangunan, 26 Nov 2011)


body Ungkapan Cermin
Karya : Tri Utami Raudani

Kejujuran, hanya itu yang kukatakan
Jangan marah, aku memang begitu
Itu semua demi kebaikanmu
Agar kau paham akan kekurangan

Sungguh, aku ini teman yang jujur
Selalu jujur tentang rupamu
Wujud yang terkadang kau ubah
Dengan perantaraank

Yah, aku ini terlalu sabar
Kau selalu menuduh, menyalahkan
Seakan tidak peduli pada kenyataan
Kenyataan yang berasal dari kejujuranku

Medan, November 2011

Pengabdian Tong Sampah Tua
Karya : Tri Utami Raudani

Telah lama mengabdi pada dunia
Menampung segala bentuk jenis
Lihat aku si tong sampah tua
Begitu amanah meskipun hina

Sedikitpun tak pernah mengeluh
Menahan nafas bau sampah
Melekat di sekiujur tubuh ini
Di hinggapi ribuan lalat nakal

Akulah tong sampah tua
Tolong hargai aku

Medan, November 2011
Rayuan Pohon
Karya : Tri Utami Raudani

Ayo, mendekatlah kepadaku
Akulah tempat yang sejuk itu
Kemari, melangkah ke arahku
Aku yakin, dirimu tak menyesal

Jujur, aku kesepian
Temani aku sejenak saja
Agar hilang kesendirianku
Yang aku alami setiap hari

Medan, November 2011

Pinta Selimut Kusam
Karya : Tri Utami Raudani

Rawat aku dengan baik ya
Jangan biarkan aku terlantar
Terbuang sia-sia begitu saja
Tidak dipakai, bagai bangkai

Izinkan aku terlelap tidur bersamamu
Mengarungi mimpi indah denganku
Mampu hangatkan suasana
Pelindungmu dari dinginnya sang kegelapan

Medan, November 2011
Bantal yang Kesepian
Karya : Tri Utami Raudani

Segera peluk aku
Lau, mendekap menujuku
Cukup satu pintaku
Kau tetap bersamaku

Kembalilah kepadaku
Jangan biarkan aku sendiri
Menahan sepi tanpa dekapmu
Aku berharap
Aku yakin kau tak akan tega

Medan, November 2011

Untaian Kata Surat Cinta
Karya : Tri Utami Raudani

Aku ini bukti nyata perasaanmu
Kau beri sajak indah di tubuhku
Sekumpulan kata penuh rayuan
Aku sendiri saja geli

Aku ini secarik kertas indah
Begitu istimewa yang kau ukir
Lalu, kau persembahkan untuknya
Agar dia paham gejolak di dadamu

Medan, November 2011


Kebencian Si Tembok pada Lumut
Karya : Tri Utami Raudani

Kau mulai merajai sekujur tubuh
Penguasa seutuhnya sang kendali
Penjajah kejam, bengis dan sadis
Kotori kebersihan
Merusak, mengotori keelokan diri

Sekarang, aku ingin kau pergi
Terbebas dari belenggumu
Kembali indah seperti awal
Tidak ada kau lagi

Medan, November 2011

Cermin dan Tokoh
Karya : Tri Utami Raudani

Segala terlihat selalu kutiru
Akan ku coba walau sulit
Tanpa kusadari aku jadi sepertimu
Berganti sepertinya

Dikata senang
Aku tokoh beribu penampilan
Bisa menawan, bisa rupawan
Atau bahkan sebaliknya

Medan, November 2011



Keanggunan Jilbab
Karya ; Tri Utami Raudani

Mahkota terindah wanita
Penutup aurat nan elok
Pelindung kesucian diri
Bawa nuansa penuh islami

Bukti keimanan hamba
Berlanjut keikhlasan
Jiwa-jiwa bersih
Pembawa ketenangan

Medan, November 2011

Sepasang Merpati Bijak
Krya : Tri Utami Raudani

Banyak cerita kita hari ini
Tentang keseharianmu
Sampai aku tak mengingatnya lagi
Ribuan kisah telah kita lewati
Bisa bahagia bahkan sebaliknya

Nikmat berbincang denganmu
Ingatkah kawan
Selepas mengarungi sungai nil itu
Kau tampak lelah

Aha..
Saat bersamaan sepertimu
Letih menghampiri diri
Hilang seketika saat bersamamu

Medan, November 2011

Rokok Si Pembunuh Lihai
Karya : Tri Utami Raudani

Membunuh lewat kebodohan
Berteman sesosok aku
Teman pembawa derita
Penghancur masa depan

Dalam diam kau beraksi
Tanpa sadar atau tidak
Misi kemudian terlaksana
Si teman tewas mengenaskan

Medan, November 2011

Isi Hati Diary
Karya : Tri Utami Raudani

Tertuang semua kisah
Cerita saja semua denganku
Mulai hal kecil sampai besar
Aku tetap menanggapi
Melayanimu dengan baik

Ada banyak cerita
Tersimpan rapi padaku
Berbungkus kepercayaan
Tertancap di memoriku

Medan, November 2011

Bendera di Hati
Karya : Tri Utami Raudani

Pemerdeka bangsa terjerat
Musnahkan kau di pertiwi ini
Terbebas dari belenggu
Penghalang kebebasan

Hai pemuda-pemuda bangsa
Beri penghormatan
Setidaknya mengenangku
Menancapkan aku dalam hati

Medan, November 2011

Pelangi
Karya : Tri Utami Raudani

Aku amat indah
Hadir sesudah sang penyubur
Anggun dan elok dilihat
Warna warni cemerlang

Sengaja diciptakan
Agar memberimu kebahagiaan
Di sela-sela kesedihan
Hari-hari penat

Medan, November 2011

Kamar Mandi
Karya : Tri Utami Raudani

Hening
Tidak ada suara sumbang
Tapi, hanya ada satu suara indah
Itu berasal dari raja air

Sunyi
Sungguh sangat khusyuk
Terasa nikmat sekali
Dirasa dengan baik

Medan, November 2011

Dapur
Karya : Tri Utami Raudani

Harus hidangan yang sedap
Beri racikan mantap
Agar makan dengan lahap
Sajian yang hebat nikmat

Cukup hanya kaum hawa saja
Selain itu tak perlu ikut
Karena ini takdirku
Melayani baik dengan masakan

Medan, November 2011

Desakan Sang Angkot
Karya : Tri Utami Raudani

Sesak sekali
Juga mual sepertinya
Sangat bau
Tidak sanggup menahannya

Cukup ramai
Sakit berdesakan
Kecilkan tubuh
Agar semua kebagian

Medan, November 2011

Kamarku
Karya : Tri Utami Raudani
Tidak sembarangan
Ini wilayah pribadi
Hanya beberapa saja
Boleh masuk dengan izinku

Selalu rapi dan bersih
Dipenuhi pernak-pernik
Cermin terpampang
Jam dinding yang berdenting

Medan, November 2011

Kerumunan di Panggung
Karya : Tri Utami Raudani

Dinanti jutaan jiwa
Ingin menyaksikan langsung
Penampilan sangat dahsyat
Dari makhluk cukup hebat

Sorak lanjut teriakkan
Sudah pecah keheningan
Berganti jadi keributan
Di malam yang tenang

Medan, November 2011

Pesimis Curi Sang Ahli
Karya : Tri Utami Raudani

Curi ilmu dari sang ahli
Menangkap setiap sinyal positif
Lalu, berandai-andai sepertinya
Itu jadi penyemangat diri

Si pesimis pun jadi optimis
Menata impian dengan cemerlang
Melangkah sedikit jauh
Tahapan menuju kesuksesan

Medan, November 2011

Becak Pilihan
Karya : Tri Utami Raudani


Sudah banyak melintas
Namun tak satupun berkenan di hati
Tidak sedikit yang berhenti
Tetap saja menolak

Cukup hanya seorang
Pendamping jelas arah tujuan
Agar tidak tersesat di jalan
Melewati perjalanan panjang

Medan, November 2011


Penguasa yang Angkuh
Karya : Tri Utami Raudani

Lepaskan saja mahkota itu
Sudah selayaknya berganti
Jika kau tak ingin malu
Pada kesombongan diri

Lebih pedulilah terhadap kami
Anak-anak yang terlantar
Si penerus bangsa terhambat
Butuh pendidikan layak

Medan, November 2011

Kemunafikan Polisi
Karya : Tri Utami Raudani

Cukup adilkah
Beri sanksi keras pada kami
Masalah kecil diperbesar
Tapi, masalah besar diperkecil

Pernahkah koreksi diri
Kesalahan fatal tak termaafkan
Kami tak mengetahui
Dan kau tutupi itu

Kelas yang sunyi, November 2011

Hartawan yang Kikir
Karya : Tri Utami Raudani

Kami hanya makhluk biasa
Mungkin tak sehebat kau
Memiliki segudang emas
Ribua hektar lahan

Tak pernahkah
Terniang di benakmu
Menolong kami
Makhluk-makhluk yang lemah

Kelas yang sunyi, November 2011

Kebusukan Sang Hukum
Karya : Tri Utami Raudani

Sebuah pembelaan yang sia-sia
Sampai mulut ini berbuih pun
Tidak digubris sama sekali
Dasar tak ada hati

Berpakaian rapi
Tapi hati busuk
Cari sesuap nasi
Dari jalan sesat

Di angkot, November 2011

Koruptor yang kotor
Karya : Tri Utami Raudani

Perut itu pasti buncit
Terisi ribuan dosa
Darah itu pasti terhambat
Tersumbat perilaku tak terpuji

Cepat kembalikan uang kami
Atau pakai pada tempatnya
Bukan kau konsumsi sendiri
Untuk kau berpoya-poya

Di Angkot, November 2011

Si Perokok Sialan
Karya : Tri Utami Raudani

Darimu kami jadi penyakitan
Awalnya hanya menghirup
Namun, tak tau akhirnya nanti
Mungkin kami bisa mati

Taati peraturan
Kau anggap itu semua
Sudah di larang tetap di kerjakan
Kau manusia atau hewan

Kelas yang suci, November 2011

Parkir Liar Membabi Buta
Karya : Tri Utami Raudani

Percuma saja peraturan terpampang
Larangan keras ditegakkan
Tapi, tak seorangpun menjalankan
Hanya jadi alasan

Tak takut akan sanksi
Segala cara dihalalkan
Tak tersangka pun jadi korban
Kelakuan tak menaati peraturan