Arsip Blog

Kamis, 21 Februari 2008

Puisi Puisi S. Ratman Suras

S. RATMAN SURAS
Sembilan Pupuh daun-daun Cinta
Seperti rerumputan aku pasrah pada musim
berkali-kali kuledakkan dzikir
meniti riwayat rahasia takdir
membaca keikhlasan bumi, menampung hujan dan
cahaya
sambil menunggu mekarnya bunga-bunga di dada
Engkau Maha Cinta, samudraMu samudra cinta
di pucuk ombaknya kujinakkan badai
yang menyergap dari balik kehitaman kabut
aku terkapar jauh sendirian, selembar daun imanku
kering
dipermainkan angin, perih mata batinku meraung-raung
memanggil gunung, gemetar terkulai aku di bibir pantai
Telah kuciptakan sepi pada lembar-lembar daun turi
angin mengendus nafasmu yang bergemuruh
gumpalan-gumpalan kisah mengapung, aku tak bisa
menampung
pergumulan cinta yang tak pernah rampung
seperti tarian kupu-kupu di ladang bunga
di sini di dada ini menjelma gua hitam
tak ada siapa-siapa, masuklah mari kita mabuk
panas cahayamu mencairkan penjara cintaku
Pagi yang berdarah, di ujung musim pancaroba
sebelum perjamuan embun dan daun-daun usai
aku menatap ribuan gagak melesat ke Utara
di bibir jurang tanah merah akar-akar sangsi menggapai
cinta yang tersisa, menampung nafas embun yang
terakhir jatuh
di ufuk timur, matahari baru bangkit tiba-tiba mandadak
redup
Sebutir embun membangun rumah cinta di selembar
daun
laba-laba menjerat rindu di reranting layu
angin berpusar memanah matahari
daun-daun berkibar bagai layar, di samudera embun
perahu kecilku penuh muatan cinta yang merintih
di sela-sela gesekan duan-daun, keping-keping rinduku
tumpah di belukar duri
ada yang menggelepar, di ujung malam yang berat
mungkin embun di urat dedaunan. atau doa-doa yang
tersumbat
namun, bulan masih mekar mendendangkan kidung tolak
bala
cinta yang luka pun sirna ditelan rimbamalam
yang menggantung sampai ke awang-awang sunyi
Untuk mengambar cintamu, tak cukup
walau semua dedaunan jadi kertasnya
seluruh reranting jadi penanya, tujuh samudra jadi
tintanya
sebab cintamu tak terhingga. sedang aku di perindu sunyi
yang kesepian. sujud di urat daun yang menguning
yang selalu diterjang angin
Daun-daun terus berkisah tentang cinta
matahari mekar kembali, angin berhembus, embun pun
jatuh
seperti kisah cinta biasa, seandainya embun itu puisi tentu ada taman, pepohonan, belukar,
burung-burung bebatuan dan sungai kecil yang selalu mengalirkan madu
bermuara pada lautan kata-kata sunyimu
yang kau larungkan ke dasar samudra paling hening
Medan, 2003 – 2004
S. Ratman Suras :
Nareswari
Kepingan rembulan itu jatuh di rimbunan
selangkangan Sang Dewi. Cahaya api suci
sukma panas kobaran asmara yang membiru
beku malam gigil yang terkutuk
pamor keruis haus darah. darah muncrat dari lambung
pembuatnya, sukma melayang dari ranjang birahi
sang Akuwu dan tembok-tembok dingin Singasari
cinta ditanam dalam tanah dendam. kesumat berkobar
hangus tinggal puing-puing
setiap ganti penguasa, tanah jiwa banjir darah.
Sei Deli
:Tuan Guru Patimpus
Perahu kayu engkau tambatkan ke tepian
tiang layar cinta terus berkobar.
mengarus bening dada hening
pusaran waktu menjemput laut rindu
kabar dari gunung. hujan dan angin begitu akrab
menabur mantra jiwa pengembara sebait mantra
berdebur di air bening pada leladang senyap
telah tertanam biji-bijian, merambat belukar subur
warisan para leluhur.
“serupa juga, aku di sini atau di sana,
sebab kita punya tanah sampai ke laut, “katamu
lembut
tanah bumi langit, sungai gunung
angin menyahuti sejuk
padi dituai, jerami dan sekam jadi pupuk.
dari rumah panggung Engkau membangun kampung,
sambil memeluk erat dada Datuk Kota Bangun.
Kapal kerta kulayarkan ke laut emas
cinta menciut di tepian.sampah-sampah hanyut
sampah-sampah nyangkut. ada yang menggelepar
di bantaran seperti keriuhan pasar yang terbakar.
rumah-rumah kardus berjejal anak-anak panah
telanjang melesat dari busurnya
ada yang memanah matahari yang tersembunyi
di rimbunan gedung cintamu telah terjerat hutan beton
menyemak sesak di bundaran Petisah.
ku tatap patungmu gagah
kibaran jubahmu nampak goyah
kini tinggal kisah dilumuri sejarah.
Medan, 2005
S. Ratman Suras
PROSESI
aku embun pada daunmu
aku daun dalam pohonmu
aku pohon dalam bumi kasihmu
aku kasih dalam cintamu
aku cinta menujumu
medan, 2002
PUPUH SEPULUH DAUN-DAUN CINTA
aku sebutir embun pada selembar daun
kesepianku mengapung di pucuk badai malam yang berkobar
kerinduan pada pantai adalah untaian biji tasbih
yang mengundang angin melayarkan perahu kecilku
gelisah ombak melambai teduh, sebab laut sabar dalam doa
hingga meyentuh ubun-ubun sebutir pasir. di sini
di tanah batinku yang kering kerontang
akar-akar rerumputan rindu musim basah yang mendesah
sebab kemarau telah menguji ketabahan beburung
dan langit merengkuhnya dalam bahasa cinta
Medan, 2004
S. Ratman Suras
INDONESIA
Sesaat setelah ledakandahsyat menggema
kami tairap.nurani tercecer, luka menganga gosong
darah mengering di jalanan, jeritan pilu terdengar
darah mengering, korban berjatuhan, kita gali lagi kubur-kubur
baru
kami kibarkan merah putih setengah tiang di dada
untuk sebuah dendam kesumat yang entah
dialamatkan kepada siapa?
Ledakan dahsyat itu merontokkan kota
sebuah lubang tercipta. Orang-orang menangis
di depan pesawat tivi, keluarga korban meratap
sambil mendekap peti mati.pata petinggi kita berkata negeri ini
aman sentosa
Sepertinya engkau menghilang dari peta jiwaku
ibu? Sesobek sengketa demi sengketa hanya menambah luka
paling pedih.di mana lagi menikmati hujan dan matahari
dengan nyaman di negeri ini?
Medan, 9 Sept, ‘04
KEMARAU
Maka berhembuslah angin
menyetakkan daun-daun. ia pun rontok
di keheningan tanah merah yang kesekian
bebatuan kepanasan pasrah memuji kebesaranmu
ada suara tanpa rupa, terurai di pucuk-pucuk ilalang
yang membentuk gelombang api
Maka berhembuslah angin
mematahkan reranting hati yang mati
tergeletak di tanah yang retak
matahari tajam mengiris musim
ada rupa tanpa suara, terpacak di ladang yang haus
mengenduskan gelombang sangsi
Maka berhembuslah angin
gelombang api membakar apa saja
gelombang sangsi menggulung siapa saja.
Medan, 2003
S. Ratman Suras :
SEPUCUK SURAT BERDARAH
: Panglima Meng-Chi
Telah kutemukan negeri
tanahnya subur semerbak wangi
rakyatnya ramah, raja betahta kencana
hai, akulah saudara tuamu:
mari kita jalin salam
berniaga sampai ke utara
Kami butuh rempah-rempah dan Ciu
jangan gentar, seribu serdadu
perahu naga di laut jawa
bukan untuk perang !
kami ingin membagi cinta
dunia dengan segala isinya
Namun, kalian salah terima
Telah kukorbankan satu telinga
darah menetes, luka mengaga
ingatlah, saudara muda
kami akan kembali
ke tanah jawa ini
biar banjir darah banjir peti
sebagian semang kami
telah terkubur di sini !
Medan, 2005
K E S A W A N
:Ttjong Afie
Menyusuri Kesawan
aku teringat tuan
toke sukses yang dermawan
di gerbang istanamu
dua ekor singa menatapku pilu
sebab matanya penuh denu
Tak ada lagi sado
tak ada lagi helicak
kota melaju sangat cepat
gedung-gedung tua telah disulap
toke-toke tanpa keringat
Jika malam turun di Kesawan
aku ingin mengundang tuan
makan malam di trotoar
menu sea food dan pecal lele
dibawah lampu warna warni
yang lincah indah sekali
Menatap Kesawan
aku teringat tuan
kerja kerasmu telah terpatri
anak cucumu di tanah Deli ini
Data Diri
S Ratman Suras, lahir di desa Wringinharjo, Cilacap 8 Oktober 1965. Belajar menulis puisi secara otodidak. Semua penyair Indonesia terkenal dianggap sebagai gurunya. Puisi-puisinya banyak dimuat di media massa Medan, antara lain waspada, Analisa, Mimbar Umum dan Medi Indonesia jakarta. Selain antologi tunggalnya Gugur Gunung (1997) juga turut berpartisipasi dalam antologi bersama. Busmi (SSI 1996) Getar II Bulsas, Batu, Malang (1997) dalam Kecamuk Hujan (SKSK 1997) Tengok 2 ( Arsas Medan 2001) Muara 3 (Forum Dialog Utara Indonesia Malaysia 2001) Teluk Amuk Gelombang (Star Indonesia, 2005 Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Sumut, 2005).Persalaman Dialog Teluk V Sabah 2001) Kini tinggal di Jl. Sei Belutu I No. 21 Medan 20154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih anda telah meninggalkan komentar yang kami butuhkan selanjutnya kami akan menghubungi anda atas apresiasi yang diberikan, Salam