Arsip Blog

Senin, 10 Maret 2008

S. Ratman Suras Poetry

S Ratman Suras, lahir di Desa Wringinharjo, Gandrungmangu, Cilacap, Jawa – Tengah, pada tanggal 8 Oktober 1965. Belajar bersastra secara otodidak. Tulisan-tulisannya berupa ; Puisis, Cerpen, Esai, banyak dipublikasikan di surat kabar terbitan Medan; Analisa. Waspada, Mimbar Umum, Sumatra, Portibi, Medan Pos, dan Mingguan Taruna Baru. Puisinya sekali terbit di Media Indonesia Jakarta.
Kreatifitasnya juga berkembang di Sanggar Budaya Gelanggang Kresi Seni Indonesia (Generasi) Forum Kreasi Sasta (FKS) Medan, dan Sanggar KSK Tanjung Morawa Deliserdang. Selain itu ia banyak menimba ilmu atau belajar dari para seniman Medan yang sering mangkal di kantin Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) di Jl. Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. Beberapa karyanya yang sudah dibukukan, Getar II kumpulan puisi Indonesia, diterbitkan Bulsas Kreatif Batu, (1996), Bumi, antologi puisis bersama 18 penyiar Sumur, diterbitkan SSI bekerja sama dengan FKS, Medan (1996), Gugur Gunung, kumpulan puisi tunggal, diterbitkan Sanggar KSK (1997), Dalam Kecamuk Hujan, diterbitkan Sanggar KSK, (1997) kumpulan puisi bersama penyair Sumut, Sri Putri Cermin (1998) Simbuyak-mbuyak (2000) legenda Cerita Rakyat Sumut, keduanya diterbitkan Perpustakaan Wilayah Sumut, sebagai bacaan murid-murid SD di Sumut. Perjalanan Yang Belum Terungkap (1999) Kumpulan Cerpen bersama Idris Siregar diterbitkan Sanggar KSK, Tengok 2 antologi puisi bersama Teja Purnama dan YS Rat, diterbitkan ARSAS Medan (2001). Muara Tiga, kumpulan Puisi dan Cerpen, diterbitkan Forum Dialog Utara IX (2001). Teluk Persalaman, antologi Puisi, Indonesia-Malaysia-Brunai Darusalam, diterbitkan Dialog Teluk Sampena V Negeri Sabah, Malaysia. (2001) Pernah diundang sebagai peserta Dialog Utara X di Yala Thailnd Selatan pada September 2003. Pada Agustus 2004 puisinya terpilih sebagai puisi terbaik pertama pada lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh Teater Blok bekerjasama dengan Dewan Kesenian Medan (DKM) dan Harian Analisa Medan. Aktifitas sehari-harinya selain berwiraswasta kecil-kecilan, juga sebagai Kepala Lingkungan XII Kel. Merdeka Medan Baru. Kini tinggal di Jl. Sei Belutu I No. 21 Medan 20154. HP. 081533121979


ELEGI BRASTAGI

Dalam kembara rindu kudaki elok tubuhmu yang licin dan biru
ada yang berbinar, pagi mekar di kelopak mawar
butiran embun pada pepucuk dedaun, adalah cermin para pecinta
wahai pengelana dunia, ini kesejukan yang merasuk rasa
pasar buah meruah segala buah, kedai bunga merekah indah
dan los sayuran segar memancar dari bumi cinta yang subur
saling memajang menantang segala hati yang singgah di kota ini
aku masih terngiang, Sibolangit yang makin menantang
memasang bentangan tenda kemah sunyi di tepi bukit
sambil menikmati ranum rembulan yang menyusup gigil kabut
pada setiap jengkal pendakian, tikungan dan tanjakan tajam
wajahmu selalu basah, sebab hujan terus turun semalaman
membangun rumahnya pada mata air terjernih kaki bukit hitam
dari kedalaman jurang terdengar, pepohonan tua terus berdzikir
ditingkah denting angin dan gemercik sungai bening
menjaga retak tanah dan batu-batu rindu yang terus menggebu
darahmu air jernih yang letih disedot pipa-pipa kota
setelah itu nafsuku diburu jajaran bungalaow Bandar Baru
kembang-kembang ungu liar dipaksa mekar, daun-daun biru muda layu
dibakar nafsu akar laki-laki berhidung sangar kantong tebal
sekejap mata luruh rinduku, lenyap di lembah Penatapan
oleh kepulan asap aroma jagung bakar
sepasang turis muda nampak lelah mengais kemolekan Sembahe
berkecipak pada dendang sungai rembang petang
puisi-puisi lembah tetap berdenyut di sudut-sudut kafe
menyangkut dan hanyut di muara hatimu yang mulai merintih
ketika lampu-lampu mulai dinyalakan, sinarnya tembusi sunyi
aku terkapar letih dalam kembara pendakian ini
di punggungmu ribuan semut terus menggapai hidup


Medan-Kabanjahe Mei 2006



NARASI DERMAGA TUA
kepada : Hasan Al Banna

Memasuki lorong rumahmu, matahari ikhtikaf di atas hamparan pasir
mendesir di anatara perahu-perahu tua yang parkir
aku mencium aroma keringat leluhur para nelayan
mengkristal pada anjungan hati anak-cucu mereka
: kalut tetap melaut
menjaga tungku kayu secang
menggarami rumah-rumah panggung petak
yang makin litak digerus geramnya ombak

Dari jembatan besi Sei Deli, kutatap sebuah potret buram
memantul-mantul dari cermin dermaga yang lelah
angin tak mau kalah, menampar-nampar wajah, dan perut jadi lapar
menggelepar terenggut nafas laut, waktumu merenggang ?
sebelum santap siang kita melumat berbaris-baris puisi segar
: peluit kereta api tangki menjerit
kota terhimpit, orang-orang tak merasa sakit
oseng-oseng kangkung ditemani goreng kembung
nasi putih panas mengepul, sesekali kita
bisa berkumpul sambil kombor-kombor
pepaya merah jingga, hasil jerih payah ayah
dari jaluran tanah tambak, teramat manis
Engkau rencanakan menggarami tangis

Kota sudah tua dan lelah dijejali gudang-gudang kaya
nelayan sunyi dan letih digarami nasib
jika laut pasang, lantai rumah mesti ditinggikan
jalanan bergelombang seperti tarian para mambang
: banjir bandang keringat kuli-kuli panggul
puisi kita tak bisa jadi tanggul
Sicanang masih meradang, mengokang nafsu
setelah ribuan hari digerayangi laut biru



Meninggalkan rumahmu, di siang yang berdebu
laut seperti mengkerut membuyarkan semadi matahari
rombongan nelayan pulang dengan wajah masam
tapi, dikening mereka tetap ada tanda rasa syukur
untuk keringat yang telah mengucur
usia menjinakkan badai, semalaman sampai dzuhur
: kita larungkan sebait puisi segar
walau nyangkut di mercu suar
lalu, terombang-ambing di lampu satu
dan kita terus memburu
wisata semerbak dermaga biru


Medan – Belawan April 2006

BALADA MARNI GADIS TEMBUNG

Matanya redup adalah sayap burung yang lelah
setelah terbang melintasi tanah jaluran kebun yang resah
berhari-hari menyulam nasib kain lusuh
disengat matahari terpercik gerimis tipis
yang menderas menjadi badai tangis

Ia lahir dari jaman serba bingung
Bapak ibunya Jawa generasi terkini
kakek buyutnya korban kuli kontrak kompeni
diperas keringatnya menanam tembakau deli
sampai bercucu-cicit di tanah ini

Sepetak kolam kangkung di tepi desa Tembung
harapan keluarga agar asap dapur terus membubung
walau hasilnya cekak ditilep harga yang terus melambung
sedang bapaknya cuma kenek kuli bangunan
bersepeda pancal menyusuri kota yang nyaman

Selepas SMP Marni berontak, saat ia ingin membeli bedak
ingin berpatut-patut di depan cermin yang telah retak
merias diri, merawat raga, sebab si Sarmin anak tetangga
perjaka muda sering mencuri wajahnya, dari balik rimbunan pisang
di suatu siang, ketika angin semilir mengalir

Jika berladang tak lagi memberi harapan
tanah-tanah kebun jadi rebutan dan hunian
kebutuhan hidup makin merenggut
Marni bingung tentukan tujuan
sekolah rendah patah di tengah jalan

Bersama Jirah teman kecilnya
yang telah gemilang meraih bintang
ia terpikat langsung berangkat, jadi tkw ke negeri seberang
gadis lugu nan ayu yang masih segar
ke Singapura menggapai mimpi mengais dolar
Ketika tiba di negeri singa, Marni terjebak hitamnya lumpur
ia tertipu sendikat gelap dipaksa jadi gadis penghibur
hatinya pedih tersayat-sayat, impiannya seketika hancur
pada saat yang mendebarkan, ketika tangan-tangan kuat dan kekar
mulai gerayangan di sekujur molek tubuhnya yang terkapar

Marni berontak mulut terkatup batin gemeretak
ia jadi gelap mata untuk mempertahankan mahkota sucinya
dipecahkannya sebuah botol minuman beralkohol
ditikamnya perut buncit toke asing berduit
darah segar muncrat menggenang di lantai kamar

Kini ia hidup heboh dalam cerita berita duka-lara
namanya menghias menyita media massa dua negara bertetangga
orang-orang saling lempar tentang kebenarannya
kerabat dan bapak ibunya di Tembung berpayung langit murung
anak gadisnya terancam hukuman gantung


Medan, 2005-2006

Pupuh Sepuluh Daun-Daun Cinta

aku sebutir embun pada selembar daun
kesepianku mengapung di pucuk badai malam yang berkobar
kerinduan pada pantai adalah untaian biji tasbih
yang mengundang angin melayarkan perahu kecilku
gelisah ombak melambai teduh, sebab laut sabar dalam doa
hingga menyentuh ubun-ubun sebutir pasir. di sini
akar-akar nyiur rindu musim basah yang selalu mendesah
sebab kemarau telah menguji kesabaran burung-burung pantai
dan langit tetap merengkuhnya dalam bahasa cinta-Mu

Medan, 2004-2006

Pupuh Empat Belas Daun-Daun Cinta
(mencari jejak para nabi)

di mana jejak-jejak Adam, setelah tercampak
dari rimbunnya sorga. akan kutelusuri kembali
untuk sebuah pertobatan yang panjang, dan mencari daun-daun
cintaku yang hilang. di mana bahtera Nuh bersandar
usai bumi umatnya tersapu banjir bandang, jiwaku ingin
berlayar menemukan daun-daun cahaya iman
pada birunya samudera ketentraman. di mana kapak Ibrahim tersimpan
akan kupinjam sebentar, untuk memenggal pohon-pohon berhala
yang menyemak di dada. di mana tongkat Musa terpacak
ingin kupinjam sesaat, untuk membelah laut kemelut
yang selalu menggemuruh dalam kalut hidup. di mana Isa akan
turun kembali ke bumi, akan kusambut dengan sepenuh hati
untuk mengobati luka dunia yang makin menganga, dan menghidupkan
daun-daun jiwa yang telah mati. di mana?
di mana Nur Muhammad bertahta, pada gemerlap gemintang, atau
pada pucuk-pucuk daun laut disaat gelombang menerjang
ingin kuraih, walau daun-daun jiwa kering merintih
betapa sujudku tertelikung badai, rakaat-rakaatku tergencet
antara cinta dan syahwat dunia yang merindang. di mana Nur Muhammad
memancar akan kugapai dalam setiap helai daun-daun cahaya
Dialah cahaya penyempurna iman

Medan, 2005-2006