Arsip Blog

Kamis, 17 Juli 2008

PUISI PUISI DEWI MAZLINA

KESETIAAN PAGI

embun pagi berkelana
menanti malaikat kecil bersahaja
tertutup racun dingin di selimut

ayam berkata,bangunlah sang dewi
lirikan memejamkan mata hati
nyenyak terus bermimpi

sang waktu tak henti bertanya
dalam penyebaran detik kepastian
tersentak terlambat diraih
kau telah pergi bersama pagi

Medan, Mei 2008


ALIRAN YANG TAK TERDUGA
air danau yang keruh
menganak sungai
menghapus segala dahaga

mendamaikan dunia
menbawa senyum bagi penyair danau
juru kunci pada anak sungai

ia juga haus rindu gemercik air
pada alam danau yang membawa sunyi
yang menghangatkan dan menyejukkan

pada setiap hati yang singgah di dermaga penantian

Medan. Mei 2008



KETEGARAN DI TENGAH BADAI

tenang,
ketakutan dalam dirimu: obat

kebimbangan yang kau cari?
biarkan kusutnya berlalu
coba lihat ke bawah

sakit terukir dalam pena kepedihan
keraguan dalam rindu bahagia tak diraih

tangislah
tertawalah
pahit perjalananmu akan berbuah manis

Medan, April 2008



KENANGAN LUMPUHNYA SOFA

tertimpa di atas jeritan diam
lemas di sekujur tubuh
persendian lapuk tercecer di atas lantai
rayap menerobos daging yang lembut

tolong
badan yang tak berdaya lagi
patah tulang merobohkan senyum manusia
pada kulit yang penuh debu terasing di gudang

Medan, April 2008



CINTA YANG TAK BERUJUNG MATI

terbujur layu
termenung diam
terbaring lemas

ayo bangun, hani
jangan hentikan langkahmu
tunjukkan kobaran semagat mu yang sempat hilang
biarkan kuning di kulit putihmu

tak usah terus kau resapi
betapa pahitnya butiran obat yang ada sakumu
raih terus dan kejar masa depanmu

inilah hidup
fatamorgana dunia
yang tak akan pernah usai

itu pasti
walaupun ku tak disisimu lagi
ku akan titipkan kata-kata indah
yang terbungkus di kotak obat

dalam setiap canda tawa pasrahmu
ku masih mengenang alunan
nyanyian sempurna di petikan gitarmu


Medan, Juni 2008

VIRUS KEMISKINAN

sesak nafas kematian
terhimpit pusat kehidupan
gumpalan kesengsaraan di kantong nasib

mampir di persendian ekonomi
berada diantara kulit dan tulang
tak pandang buluh siapa dirimu
melekat di jantung kota

Medan, April 2008


LUKISAN HIDUP NENEKKU

putih tak terhitung di kepalamu
keriput di sela-sela kulit halusmu

bungkuk
pincang
goyangan tarian tuamu

menginspirasikan aturan hidup
pada tangan-tangan akalmu

ku lihat hasil kreatifitasmu
lincah di kursi
keberhasilan anakmu

kau bentuk baju sutra yang membalut tubuh mereka
wagian parfum di selah pakaian mereka

kenangan saat kau susun istana kecil
mungkin kini kau sudah berada di istana nan megah

kau hapuskan kejayaan itu
demi anak-anakmu
isyarat kasih hati yang tak terhingga


Medan, Juni 2008



BERITA DI GELAP NAN SEJUK

wahai alam
dimana persembunyian intan
telah di cari kepingan emas di sudut dunia
tiada yang mampu menerangkan hidup

sapa tak terdengar oleh malam
riak air hempaskan kerikil kecil
pucuk daun dihembus angin
terbiarkan layu

isak tangis terhimpit sesak
dalam hitam penyesalan
bangkit bersama jeruji besi
inikah hikmah hidup di penjara?

Kau berikan air mata suci
seakan Kau beri aku oksigen murni
kesetiaan Mu di dingin malam ini

Medan, Juni 2008


TERLINTAS BAYANGAN DIRI

matahari menyinari bumi namun ku tetap dingin
sendiri menyelimuti hati, ku tetap ramai
karpet kesabaran terbentang
di tengah tamparan tangan kehidupan

angin memberiku kesejukan
api juga mengibaskan hawa panas
mungkinkah ku menjulurkan bisa kemaksiatan?

gunung letih bernafas yang mengeluarkan pesona lahar
laut bosan bergelombang menelantarkan anak pantai
bolehkah ku panjatkan kemelut kerinduan kepada Mu ?

tersangkut doa di kantong pikiranku
rindu terhampir di sudut pencarian diri

terimakasih Tuhan
tiada seorang jua yang bersukur tanpa Kau beri ia kebaikan
tiada yang mampu bertahan hidup tanpa Kau beri ia pandangan hidup
tiada yang sempurna tanpa Kau beri ia ketidaksempurnaan
pengetahuan tersembunyi dalam ilmu diri
yang dipersembahkan
bagi orang-orang yang berakal

Medan, Juni 2008


AKIBAT KEEGOISAN RAJA DUNIA
gagah di atas kursi merah
tangan palu menentukan jagad raya

menyesatkan sang pertualang hidup
bisakah aku juga egois?
untuk menyambung nafas keluargaku

yang tercecer di pinggiran kota
melihat grafik harga sembako
yang tak mungkin turun

air mata pun tak terbendung
kami hanya bisa bertahan
di rumah-rumah kemiskinan

Medan, Juni 2008

KAU TAK LAGI MENEMANI DUNIAKU
sejuk
kipasan tangan-tangan angin
saat kita bercerita tentang alam

pengalamanmu sumber inspirasi
kesehatan hidup kota
terlihat dari rambutmu yang menguning

kaulah pahlawan lingkungan
yang pantas mendapatkan
piala Adi pura


kenangan
setiamu melindungi kesegaran udara
untuk kehidupan dunia
yang bisa ku ingat

teriakmu pada dunia
“Global Warming”
sebagai pesan terakhir cintamu

Medan, Juni 2008

PERGERAKAN ANAK INDONESIA
merah putih berkibar di tubuhmu
melayang bebas di angkasa luas
tarian nusantara di panggung kejujuran

langkah peperangan terbentang
hilangkan benang hitam
yang nodai bendera pusaka

pada sang pemimpin generasi
perjuangkan kursi putih
inpian bangsa Indonesia

Medan, Juni 2008

TAK ADA YANG MENGAJARI MEKARNYA KECUALI ALAM
keadaan alam yang memakasa
bunga abadi seegois dan seanakis inikah?
ia hidup dengan liarnya
tak menyadarkan
ia pada pesona bunganya
hingga begitu banyak lebah

yang ingin mengentup pesona sarinya
ah,
isyarat tukang kebun pada pecinta alam
hidupnya tak menghambat percampuran serbuk sari lain
musim bunganya pun
tak ada hitungan waktu baginya
yang menghiasi pesona sudut taman
di balik keabadian dan keliarannya
ia menjadi bunga sempurna
Medan, Juni 2008

MENCARI CINTA DI KOTA METROPOLITAN
dimanakah cinta suci?
Kau turunkan
saat mereka sibuk dengan imaginasi nafsu
yang berputar di dasar hati dan pikiran
hingga tak hampir risau keagungan Mu
dosakah cinta ini?
saat air kehidupan
selalu mati sia-sia
di dinding jeruji kepuasan
pada hiruk pikuk kota
yang melepaskan kepenatan
data-data dunia yang selalu online
sudah begitu banyak tangisan malam di ranjang penyesalan
masih terbukakah pintu pengampunanMu
saat sapu tangan dosa selalu teteskan noda-noda hitam
merisaukan penghuni neraka
karena malaikat tidak pernah lupa mencatat
bau busuk di tangan kiri mereka
walaupun mereka tak menyadarinya.
Medan, Juni 2008

PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK

TOLONG TUAN

Kertas ini masih kosong, Tuan
Tolong isikan dengan beberapa hurufmu
Agar aku dapat rangkaikan kata-kata
Menempatkannya pada lukisan kalimat
Yang paling indah

Aku memohon



Masihkah

Masih juga kau tangisi huruf-huruf yang
Bertebaran itu, Kekasih
Apa sebenarnya yang kau cari?
Padahal begitu banyak kata yang terlontar
Begitu hibuk kalimat yang tergambar

Ah, kau

Tentang Hujan Daun dan Kau

sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
di setiap titik peron-peron lengang



baris-baris takdir menghadirkan bau amis
meranting sepanjang jalanan bercabang

dan daun-daun yang melayang rebah



sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas
sepenuh tangis memeluk risau



sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
dan daun-daun yang melayang berpeluh

membebaskan jejak-jejak perjalanan

Rabu, 16 Juli 2008

Untuk Ibu yang Entah Dimana

Puisi Djamal


Untuk Ibu yang Entah Dimana

Sederet tangis bayi pecah di deretan sampah
bersama resah yang semakin menusuk
bertemankan bau semakin membusuk

“dimana ibu” dalam tangis sang bayi
dalam kesunyian ibuku berkata
“ah, kau bukan anak yang tercipta dari seorang saja
sebab telah beribu perjaka yang pernah tidur tepat di sisiku
kau bukanlah anak yang kuidamkan

“ibu, aku tak ingin hadir ke dunia ini” kelak,
resah juga sunyi akan menggelayuti
juga malamku berselimutkan dedaun kering
berbantalkan asa yang tak pernah membasah

pernah aku bertanya kepada entah
dalam permbaringan kebusukan
“dari rahim siapa aku terlahir”

tapi, aku berharap
dari rahim yang suci aku terlahir

Medan, 2008


Menyimpan Resah

Tuhan, aku slalu menanti rembulan
bersinar setiap saat

pada resah aku memintal kata yang kian membuncah
berharap ada seorang gadis merajut angan
bersamaku, walau berdarah

Tuhan, kuharap hadirkan ia
dalam denyut gelisah malamku


Medan, 2008

Maaf, Hari Minggu Bulan Ketiduran

Oleh: Hujan

Pernah suatu masa
Ketika matahari begitu dipuja-puja
Semua alam begitu berharap pada sinarnya
Sekalian alam menjadi gelap dengan sirnannya

Masa itu, masa terang benderang, gilang gemilang
Matahari begitu disanjung semua orang
Peduli setan mereka di sahara, atau antartika
Semua punya salam takzim buat yang sama; surya

Pernah suatu masa
Ketika matahari menjadi satu-satunya sumber kekuatan mahluk bumi kita
Sinarnya dibagi rata, yang di timur maupun di barat, di selatan maupun utara, semua mendapat porsi, meski ala kadarnya

Suatu masa
Matahari jadi dua
Bukan bayangan cermin, atau pantulan di genangan sisa hujan,
Tapi benar-benar dua, kembar, meski tak identik.

Suatu masa kelak
Matahari pertama hanya akan menjadi dongeng bagi kanak-kanak
Tidak pernah terlihat, dan hanya hidup di dalam ingatan orang-orang yang mengenal persis matahari sebenarnya.

Kelak
Meski pada malam hari, manusia tetap bisa merasakan terang benderang, meski semua tumbuhan bisa berproduksi tanpa bantuan dan campur tangan matahari, tapi kehadirannya akan kembali dinanti-nanti

Suatu masa
Bu guru berkisah pada kami, generasi baru yang lahir dari jiwa-jiwa peragu, tentang legenda matahari

Di dalam kisahnya, bu guru berusia 40, menggambarkan wujud matahari; matahari itu bundar, warnanya kuning, sepasang matanya terus mengawasi manusia, serta bibirnya tersungging membagi sinarnya dengan iklas, tanpa berharap, suatu hari ada manusia yang akan membalas.

Suatu malam aku bermimpi
Di dalam mimpi, aku pun menggambar matahari. Tidak seperti yang dikisahkan ibu guruku, aku menggambar matahari persis seperti buah dadu.

Hari ini,
Yang kupahami
Matahari hanya satu
Tidak dua, tidak tiga, tidak empat
Tidak lima
Tidak pula enam

Pada siang hari di hari minggu
Dunia tetap gelap
Sebab matahariku ikut bertanggang, menonton piala Eropa di televisi.

Palmerah, 22 Juni 2008

Selasa, 15 Juli 2008

FARIDAH JAMILAN

FARIDAH JAMILAN

Di belokan bumi kuberhenti
Menatap waktu kian bergulir
pepohohonan bercerita kepada alam
atas kesakitannya
tak sedikit air matanya terurai
sesat raganya telah renta
cermin matanya tampak goyah
menghadapi ulah zaman
satu demi satu rambutnya gugur
diikuti hujan yang tak pernah mendarat di bumi
tanah retak dan jiwa manusia pun rusak

(2008)

Hari ini berselimut soal
nan tinggi harapan kugantungkan
ingin meraih cahaya
yang selama ini aku masih semu
ingin aku membuka lembaran
yang selama ini disembunyikan waktu
sekarang semua telah dimulai
pintu pembalasan telah dibuka
dan yang aku inginkan keberkahan
dari doa-doa orang yang aku sayang

(2008)

Senin, 16 Juni 2008

ESAY M.Raudah Jambak

Membaca "Rindu Kebisuan" Masril Habib

Oleh :M.Raudah Jambak

Itulah manusia. Kita. Hadirnya yang selalu mesti menjadi tempat yang di-hempas. Seharusnya mereka mengerti untuk tetap berada dalam nuraninya yang putih. Seputih warna bunga yang masih selalu mendo’akan mereka agar dapat keluar dari tekanan kehidupannya…
(Jerat:51)
Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut adalah ungkapan yang acap singgah di gendang pendengaran kita, sebagai makhluk Tuhan. Demikian juga dengan kesepian, kekecewaan, kerinduan, dan harapan nyaris selalu menyinggahi der-maga hati kita sebagai manusia. Dan bukan tidak mungkin kegilaan-kegilaan dari gemalau pikiran kita akan berlompatan ingin menjadi apa saja atau bero-bah menjadi siapa saja.
Kita bisa menjenguk letupan-letupan nuraninya Kahlil Gibran, Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Qurrat al-Ain, Tahir Ghani, Nasir-I Khusraini, Ham-zah Fansyuri, Sulaiman Celebi,Ahmad Syauqi,Ghalib, Firdausi, Sa’adi, Hafiz, atau mungkin Al-Hallaj.
Hal ini tidak akan pernah selesai dalam goresan di tiap halaman zaman. Akan terus berulang. Seperti hal-nya antara telur dan ayam, mana yang lebih dulu, pada akhir masa (mungkin) akan tetap menjadi rahasia Sang kala. Semua akan menjadi benar, atau semua akan menjadi salah pada akhirnya tergantung cara pandang kita masing-masing.
Peristiwa yang sama akan tetap terus berulang, seperti matahari yang mati berkali-kali, akan tetapi tetap hidup di pagi hari. Itu adalah rahasia-Nya, Sang Maha Rahasia.

Hanya saja peristiwa yang sama itu diperankan oleh pelaku yang berbeda. Dan itulah kita. Manusia.

Rindu "Kebisuan" yang Merindu

Membaca "Rindu Kebisuan"-nya Masril Habib dalam sejumlah prosa liris dengan tebal 104 halaman itu, seperti membaca peristiwa yang akrab hadir di sekitar kita. Pe-ristiwa itu sebenarnya sudah sering kita alami. Selalu kita baca. Selalu diperdengar-kan.
Hal itu sudah biasa. Biasa bagi orang-orang yang intens membaca, menulis atau menikmati berbagai peristiwa. Terutama yang dibungkus dalam bingkai sastra.
Bagi orang awam atau pemula persoalan itu tentunya tidak sekedar biasa, tapi jus-tru dianggap luar biasa. Kontemplasi semakin sarat makna. Apalagi dengan pem-bungkus sastra yang penuh dengan cita warna dan rasa.
Tema-tema kesepian, kegelisahan, dan kerinduan seperti tidak pernah habis-habis-nya. Tema-tema itu nyata jelas terungkap dalam prosa liris-nya Masril Habib. Hanya saja idiom-idiom digunakan belum menunjukkan warna yang berbeda.
Dalam sebuah seni pertunjukan drama, sang aktor dianggap berhasil ketika dia mampu memerankan tokoh dalam cerita. Bukan berperan sebagai dirinya sendiri. Lain halnya dengan karya sastra, sastrawan justru dianggap berhasil ketika dia mam-pu menuangkan karakter dirinya dalam bingkai karya. Sehingga pembaca yang bagai-manapun tidak akan pernah membayangkan karakter orang lain di dalam karyanya.

Fenomenanya masyarakat gembel, miskin dan serba ketidak berdayaan dalam pemenuhan kehidupan dalam potret yang senyata-nyatanya terpampang di depan mata kita.
Jika kita kaitkan dalam pemilihan kepala daerah (PILKADA), maka mengangkat harkat dan martabat masyarakat miskin ini merupakan menu pamungkas yang paling jitu untuk mengobral janji pada masya-rakat yang lemah tak berdaya. Pemimpin yang bijaksana tentunya akan menjadikan hal ini sebagai inspirasi yang mendedah nurani, lalu kemudian diterapkan ke kawasan lingkungan masyarakat prasejah-tera ini menuju masyarakat yang sejahtera.
Sementara para penyair hanya mampu mengangkat realitas ini ke dalam wadah bahasa, sebagai se-buah pilihan ketika ia tidak mempunyai kekuatan dalam strata penentu kebijakan. Sekaligus sebagai jawaban yang mesti dilakukan. Juga terapi dalam melakukan aktivitas untuk memperjuangkan nasib mereka sebagai warga juga sebagai manusia. Hanya saja hal ini menjadi pengganjal bagi para penguasa yang telah mencapai puncak kekuasaan. Janji-janji-pun jadi angin “buritan” yang hilang ditiup angin.
Barangkali, logika bahasa yang tertuang disebabkan potret buram itu semakin riuh memenuhi pusat- pusat kota (pemerintahan) yang menumpuk kebahagiaan di atas penderitaan-penderitaan rakyat ter-tindas. Ingin menyuarakan ketidakberdayaan , kemiskinan, dan mungkin sedikit menuntut haknya di tengah percaturan hegemoni kekuasaan. Dan ternyata, keinginan lewat logika bahasanya itu justru ha-rus berbenturan dengan wilayah “rahasia” yang sering mengedepankan eufemisme bahasa. Acap hadir dalam setiap orasi pemilihan kepala daerah (PILKADA) dan berakhir nonsense. Maka, terjadi kontradiksi penafsiran dengan dalih-dalih politis yang “menggugah” menghipnotis harapan kaum-kaum miskin sebagai wilayah tak berdaya. Bahkan sekali waktu acap juga dianggap sebagai “penentang” atas nama pembangunan, akhirnya.
Prototipe, penyair yang dituangkan lewat baris-baris puisi, mengabarkan keterwakilan kaum masya-rakat miskin dengan kesadaran yang penuh bahwa ekspresi kebebasan yang dimiliki bukanlah bahasa samar. Apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami adalah ekspresi bahasa itu sendiri, bukan bahasa reka-yasa. Ekspresi kelugasan merupakan indikasi kepolosan, sekaligus merupakan karakter yang tumbuh berkembang di kelas sosialnya.
Informasi dalam potret sosial masih dalam kawasan realita. Para penyair adalah pewarta informasi ini kepada masyarakat luas dari berbagai lapisan, termasuk para pemegang teguh kekuasaan. Juga sebagai juru bicara tentang suara masyarakat kebanyakan yang hidup dalam ketidak- berdayaan.
Informasi yang disampaikan-pun tanpa ada penyamaran dan rekayasa. Investigatif seporting dengan sungguh-sunguh telah dilakukan, sehingga kadar akurasi berita tidak perlu diragukan, baru dan actual.
Berita tentang kemiskinan, bukan hanya pemaparan kondisi budaya penyair dan kepenyairannya yang terlanjur identik dengan kehidupan kaum grassroot, namun telah mengglobal. Ketika kemiskinan men-jadi tema-tema actual, menjadi bahan diskusi, menjadi materi proyek pembangunan, bahkan menjadi harga diri suatu bangsa. Dan penyair pun mencoba berpartisipasi dengan membangun komunitas bahasa puisi kemiskinan dan ketidakberdayaan dengan inspirasi realitas keseharian.
Sayangnya, mayoritas orang awam mengatakan bahwa puisi hanya menawarkan secawan mimpi-mimpi penuh dusta. Sejak Plato, selalu saja anggapan itu menyatakan bahwa kegiatan menciptakan puisi melulu sebagai keisengan yang akan menjauhkan manusia dari kenyataan (Dahana,2001). Apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh sebuah (karya sastra)? Sebuah jawaban yang optimis barangkali juga hadir sejumput harapan dan realitas yang mendudukan puisi sebagai karya sastra penggerak. Bahkan, sastra juga dianggap sebagai sesuatu yang memiliki peran tertentu; sebagai agen perubahan (agent of change).
Padahal puisi hadir tidak akan terlepas dari realitas yang telah melingkupi kehidupan dan latar belakang yang menyebabkan kelahirannya dari sastra yang diciptakan oleh seorang penyair. Di sinilah kemudian muncul sebuah pretense yang kemudian menempatkan puisi sebagai sebuah media untuk memasukkan segala sesuatu yang menyebabkan puisi sarat dengan kepentingan. Padahal tidaklah demikian adanya. Meskipun puisi tidak akan pernah terlepas dari realitas kehidupan dan latar belakang serta kondisi-kondisi cultural pengarangnya, namun dalam kerangka yang lebih konkret, ia hadir dengan dua sisi: kenikmatan dan pendidikan (Mahayana dalam Isdriani, 2003). Dalam arti lain bahwa estetika tetap menempati posisi yang amat signifikan di dalamnya. Ia tidak bisa terlepas dan melepaskan diri begitu saja dari sastra (puisi).
Sebagai alat perjuangan tak berdarah, puisi hanya berusaha dan berupaya menyentuh atau “membu-nuh” hati yang paling dalam. Sebab kemiskinan memang hal yang menjadi persoalan dasar bangsa kita. Angka kemiskinan tiap tahun kian meningkat, sehingga perlu jarak renung dengan mencerna realitas untuk meraih keutuhan kemanusian bahwa kemiskinan yang menimpa masyarakat sudah sedemikian akut.
Pada bagian inilah sebenarnya tugas penyair, terus menerus secara sukarela memperjuangkan nasib kaum grassroot. Ikhlas dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya lewat karya-karya yang fenomenal. Jika memang hanya itu yang dapat dilakukan. Paling tidak memberikan semacam kesadaran, sumbang pikiran secara terus menerus kepada pihak calon penguasa di PILKADA atau penguasa yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Firman Allah: ‘Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (manusia), kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Mengapa kamu tidak mau berfikir?

Kaitannnya dengan perwajahan karya pengaruh tentu saja ada, itupun harus berhati hati. Jangan sampai terjadi pemindahan gaya, apalagi sampai tersekap di penjara plagiat.
Seperti yang tercatat pada bukunya "Nyanyian Kerinduan", disebutkan:

Tatkala seorang sastrawan hendak mengekspresikan dirinya, ia boleh memilih ben-tuk yang disukainya. Bentuk-bentuk yang lazim…Namun, kadang-kadang ia tak puas dalam salah satu bentuk itu, lalu terjadilah pengaburan batas, seperti halnya karya Masril Habib. Ia merupakan karya dari sastrawan muda yang mencoba bereksperimen dengan pembauran bentuk ini. Namun agaknya sebagai karya sastra, ia masih mendukung unsur estetik, etika, logika dan dinamika, walaupun bobot tersebut ku-rang seimbang. Tampaknya penulis mendahulukan estetika dari lainnya.

(Nyanyian Kerinduan)
Perkembangan yang tidak Berimbang

Masril yang terlahir di Rantau Prapat, 4 Maret 1975 telah berani meluncurkan dua buku sekaligus, masing-masing "Nyanyian Kerinduan" dan "Rindu Kebisuan". Rindu Kebisuan dengan tebal 103 halaman ini, mengingatkan saya dengan Javid Namah-nya Iqbal, Masnawi-nya Rumi, Sayap-sayap Patah-nya Gibran, Shah Namah-nya Firdausi Gulistan-nya Sa’adi, Diwan-nya Hafiz, dsb
Kebanyakan dari mereka sudah menjelajahi bentuk-bentuk ode, musaddas, gazal, maupun prosa liris.
Jhon L. Esposito, ada mengungkapkan bahwa pada abad –13 bentuk ungkapan pro sa liris untuk Nabis SAW muncul dan berkembang dalam berbagai bahasa-Gazal sebagai bentuk utama ekspresi putis. Bentuk ungkapan cinta dan kerinduan ini biasa-nya dipilih oleh para sufi, sejak abad –9 di jazirah Arab, yang dikumandangkan di bi-lik-bilik persinggahan (Khanaqah) dan dijadikan sarana latihan spritual, diantaranya bentuk Rubai’at, misalnya.
Cinta padamu menyisihkan tasbihku dan memberikan sajak dan nyanyian padaku .
(Kitab keabadian, Iqbal)
Masril terkesan ke arah itu, apakah Drama Manusia, Suara Penyair, Sayap-sayap Patah, Jangan Bercinta dengan Pujangga, dll,-nya Gibran. Atau Trilogi dari Iqbal, se perti Rahasia Diri (The secrets of the self), Misteri Diri (The Mysteries of Selfless-ness), dan Kitab Keabadian (Javid Namah), dsb.
Bukan berprasangka, tetapi mereka sudah lebih dulu mengenal dramatic poems ,narrative poems,dll.Hanya saja keberanian Habib perlu menjadi catatan tersendiri di bagian lembaran hati kita. Dan tidak heran jika kesimpang siuran pemikiran Habib bercampur aduk di dalamnya, apakah ini yang disebut membaptis Eksistensi?

Kita lihat dalam Melewati Malam:

Adapun jalan-jalanmu adalah tempat bumi mengukir arah, dan menjadikan tapak-tapak menjanjikan kesungguhan

Lalu:
Dan aku pun membenci
Dan kemudian:
Membenci do’amu pada ketika ini

Hal ini terasa juga pada Hidup Rindu Kekasih, Sepi Terhempas, Ratap Sungai Ke-ring, Gadis Kecil, Jerat, Dalam Kesempitan Gelap Nafas, Bisik Putik-Putik Berganti,Senyap Di Kampung Kumuh, Bulan Si Pengembara, Orang Gila dan Rindu Kebisuan.

Dalam Rindu Kebisuan ,misalnya:

Atau juga keletihan jiwa-jiwa berdo’a, menekuri jalannya dan mencari arahnya. Sebanyak matahari yang telah hadir menyinari bumi, dan sebanyak gubahan rembu-lan yang mencintai bumi.

Kemudian dia mengatakan:

Disisiku , yang selalu letih bila hari membentang, hidup di sini, mencari jalan per-tolongan, membiarkan cintaku tumbuh berkembang dan tetap berkembang.Memaha-mi Tuhan di antara semua tempat yang dilewati hidup siapapun.

Suatu ketika masril ingin seperti orang-orang zuhud (sufi), di lain waktu ia ingin menjadi orang biasa yang mencintai dan dicintai. Bebas dalam keterikatan. Setelah itu ia ingin bersunyi-sunyi dalam keramaian, ia ingin riuh dalam kesunyian. Anti-thesis, Analogi, dan berbagai ungkapan pertentangan makna berkembang hampir seluruh bagian (walau masih belum berimbang), sehingga konsistensi belum terjaga.
Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak. Bagiamanapun Habib sudah berusaha untuk mengungkapkan segala keinginan dalam hati dan kepala. Kita perlu mem-berikan ungkapan salut. Hanya saja, janganlah kapal berhenti abadi pada dermaga yang sama, dalam pengertian berkarya.Demikian.

Senin, 02 Juni 2008

KENANG KUKENANG AKAN KENANGAN

Saat kenangan ku kenang
Menjadi benang tergerang
Bersarang sarang
Menjadi kenang kunang pada ilalang
Kenangan ku kenang

Saat kenang akan kenangan
Berenang menepi seberang
Terjerat akan kekang
Berkarang tersarang
Kenang akan kenangan

Saat ku kenang kenangan
Terserang pilu menyerang
Berperang berpedang
Bagaimana tergerang
Ku kenang kenangan

Saat kenang kukenang
Belang tergelang
Pikiran berperang
Ego tersarang
Kenang kukenang

Kenangankukenang
Kenangakankenangan
Kukenangkenangan
Kenangkukenang
Kenangkukenangakank enangan

Ayujesa
B.Lampung,8 Maret 2008. 9:30PM

PUISI DEWI DAN SITI

Puisi-puisi Dewi Mazlina

DEWI MAZLINA, lahir di Medan, 8 Februari 1984. Mulai menulis sejak 2002 , kini aktif sebagai guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar Negeri 067774. Karya-karyanya mulai dikirimkan ke media massa setelah mengikuti pendidikan dan penulisan puisi yang dilaksanakan Komunitas HP bersama Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sumatera Utara. Puisi sebagai representasi kehidupan manusia baginya berarti mengenal diri dengan berbagai sisi persoalan yang melingkupinya dalam lingkungan kehidupan. Kini bergabung di Komunitas Home Poetry.


Tajamnya Petir di Sore Itu

berkumpul antara kabut putih di bubungan atap langit
membentuk pusaran angin
menembus terowongan tak berbatas
gelap di kulit alam

anak-anak bumi diintai cahaya menyambar
dicabik kilat menggelegar di kabut hitam
hangus di jalan kebimbangan
pada bingkai kenangan

yang terbungkus
dan yang berdiri di sana
terkejut dalam aroma
kematian jiwa

Medan, 2008

Pembohong Sejati

ucapan manis terurai dalam bait-bait indah
senyum tak sanggup lagi disentuh
karena sang hakim kehidupan telah memukul palu kepedihan
tertulis kaku di lembaran sejarah terputus di jurang kerinduan
cinta yang pupus kau tuliskan dalam luka

hanya kata yang kau pilih
pengorbanan pelangi tak berdiri di atas kabut hitam
pada perbedaan keyakinan hidup

samudera cinta pun terhenti di dermaga lain
luka terderai sempurna di pelaminan
air mata kalbu tinggal kenangan

Medan, 2008

Terindah

gemuruh gelombang kerinduan datang
tak tertahan dirasa detak cinta
perjalanan lewati rindu terpendam

harum bunga di taman asmara
dendangkan canda tawa pada jarum jam terhenti
dalam kemesraan kerinduan

pernah kukenal hidup mengelana
seorang penyair cinta
di pangkuan persahabatan yang kau tawarkan
dengan rahasia terukir di taman jiwa

Medan, 2008


Sahabat Malam

dingin udara malam gigilkan tulang
resah memahami dinamika cinta
rindu pada tarian temaram malam
terdiam di pusaran sujud abadi

malam itukah sunyi?
gemericik air riuh dalam hening
ramaikan panggung di lengang pesta
apa yang dicari dalam sepi?

merinding terbalut resah
terdengar lambaian suara tak pasti
memanggil segala ketakutan
pada temaram malam

biarkan aku sendiri
karena malam terusik bagi sang pengembara
mencari damai diri
dalam sanubari kerinduan

Medan, 2008


Selembar Air Mata Kalbu

sendiriku dihening pelarian
bimbang hati dalam penjara jiwa
diderai air mata kerisauan

rangkulan canda tawamu
bagai angin puncak gunung
takkan singgah di danau biru

rindu lagu untaian kata
bisikku dengar direlung jiwa
terabai disisa hidup lelah dirindu
tak kunjung hampiri diri
tak jua terobati keluh hati ini

kugapai sisi kesedihan
kau hapus tanda di jemari tangan
inikah hidup?
terlintas jawab pencarianku
terhenti di sujud ikhlas

Medan, 2008


















Puisi-Puisi Siti Khadijah
Dik
di penghujung sore mata kita bertemu pandang
ku dapati pijar bahagia di bening matamu yang polos
sumringah tak lepas dari bibir mungilmu
gegap gempita menyuara
coret moret mewarnai seragam putih biru yang kau kenakan

dik!
potret masa laluku tergambar didirimu
merasa bebas, terlepas
dengan harapan gelar dewasa

dik!
kedewasaan sangat tak dimengerti
tak seindah yang dihayalkan
tanggun jawab semakin menanatang
menuntut langkah nyata

Medan, 2008

Haruskah Aku Berdiam Diri

kadang aku merasa tak berarti
tak ada seni yang mengalir dalam darah ini
aku sendiri
berdiri di antara perbedaan

ingin aku mundur
berdiam diri
tak memikirkan puisi
tak merindu akan puisi

tapi, tak pernah bisa
bait-bait kata selalu tercipta
berhamburan dari hamparan hati
walau tak pernah indah
bait kata itu selalu tak ingin berlalu

Medan, 2008
Melati Membisu

tirai malam mulai tersingkap
melati masih memilih lelap
berselimut mimpi
merayu bayu merelakan tubuh
membawa asa menuju langit
kobaran mentari semakin menggila
menjilati tanpa belas kasih
kelopak melati masih mengatup
membisu......


Medan, 2008

Nirwana Suguhkan Dunia Baru

ku temukan kawah berbalut embun
nirwana menyuguhkan dunia baru
di sini dalam waktu
sisa-sisa pergelutan dengan ambisi
wajah-wajah sendu
mengisaratkan keteguhan hati

dalam detik tak seberapa
kutemukan mata air
membasuh dahagaku akan ilmu
senyum penuh semangat

bapak?
abang?
kakak?
guru?
kadang kebimbangan menghampiriku
apa yang pantas menyapa wajah-wajah sendu

tapi untuk apa mencari kata yang tepat
yang pasti
ku temukan dunia baru
dunia penuh warna


komunitashp,2008

Rabu, 28 Mei 2008

100 tokoh

Sejumlah komikus ternama Indonesia berasal dari Sumatera Utara. Ada juga komikus dari daerah lain memilih Medan sebagai tempatnya berkarir. Beberapa nama komikus ternama tersebut adalah: Nasroen As (dianggap sebagai perintis perkomikan Indonesia ), Taguan Harjo, Zam Nuldyn, Bahzar Sj, Djas, Masdar, Tino Sidin, M. Alis, Iwan Gayo, dan Sariaman Tarigan Silangit yang lebih terkenaldengan nama Troy Ts.

Medan sebagai kota pilihan para komikus bukan hal mengherankan, sebab pada masa itu Medan merupakan sentra perkomikan. Selain banyak media cetak yang bersedia memuat komik, kartun dan ilustrasi, banyak juga perusahan penerbitan yang menerbitkan buku-buku komik Seperti: Majalah Mingguan Loekisan Doenia, Pelangi, Cerdas Baru, surat kabar Mimbar Umum, Waspada dan Bintang Indonesia; Penerbit Fa Haris, Toko Buku Casao, Toko Buku Semesta dan CV Asia Tenggara. Pemasaran buku-buku komik tak hanya sebatas Sumatera Utara, namun menjangkau seluruh wilayah tanah air, bahkan sampai ke negara tetangga dan juga mancanegara.

Sebentuk Sikap Peduli Menggugah Hati

Acara “Temu 100 Tokoh Budayawan, Seniman dan Sastrawan Sumatera Utara” yang diselenggarakan Balai Bahasa Medan pada 21 Mei 2008 lalu, sesungguhnya merupakan sebentuk sikap peduli terhadap kesenian di daerah ini. Siapa pun atau instansi apapun yang menjadi penyelenggara acara, jika memiliki komitmen untuk lebih memajukan kesenian, pantas kita beri sambutan positif.

Kepedulian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Medan dalam penyelenggaraan acara “Medan Urban Arts Festival” hendaknya jangan dianggap sebagai “salah alamat”. Jika instansi lain atau dewan kesenian tak mampu? Tentu kita akan mencari yang mampu dan bersedia. Ketimbang menunggu waktu ke waktu. Di Taman Budaya Sumatera Utara sesungguhnya tak selalu sepi dari kegiatan. Sejumlah seniman dari berbagai komunitas atau sanggar tari, musik, teater dan sastra tetap bergiat. Setidaknya dalam bentuk latihan. Mereka “menggugah hati kita untuk lebih peduli”


Penulis, pegiat sastra

Selasa, 27 Mei 2008

Sajak Doel CP Allisah

LIMA PENGGAL SAJAK KANGEN

(sekaligus untuk ultah tik dan fanni)

I.
seperti yang lalu juga. aku kembali berjalan
kaca jendela berembun.
kali ini dan kemarinnya dalam bis yang seperti dulu juga.
To’et memainkan accordionnya
lalu dari mulutnya yang tua. Matanya. kacanya
dan tubuh kurus. menyatu dalam nyanyian didong sepi
bagai hatiku, sepi yang sepi merindukan dekapmu

II.
seperti yang dulu jua [sedikitpun belum beranjak]
engkau, wajahmu lalu dekapmu. hangat dan damai
hilang timbul dalam kenangan. matahari itu di atas pagar
embun melayang. jauh ke bukit-bukit. ke batas pandangan
di dadanya, senyummu memancarkan sejuta makna

III.
dalam bis kali ini. angin menerpa wajah
ada Taufik Ismail yang tertidur, Siti Zainon Ismail diam merekam [kerinduan kampung Malaya seberang]
lalu, rindu itu. menyeretku padamu, seperti bayangan
begitu perih dan aku mabuk lagi.
persis Sutardji Cholzum Bachri kemarin [di-Sigli]
meninggalkan peluh buatmu

IV.
tidak salah kita merindukan.
menghitung-hitung pertemuan atau hanyut sendiri dalam keharuan [bulan dibalik daun, membagi sinarnya di pangkuan]
lalu, siapa yang bisa mengatur undang-undang.
membuka pintu buat kita ?

V.
seperti juga nikmat mimpi. berjalan berdekapan!


Asean Writers Seminar
Jabal ghafur 1986.

Bundaku

Oleh : Rena Imelda Siregar


Senja menghampiri hidupmu
langkah tak lagi tegak
tatap pun tak lagi bersinar
telah hilang binar di masa muda

Lembayung sore kini hinggap dalam agendamu
telah penuh guratan-guratan
hitam, merah, putih
hanya tinggal beberapa lembar saja
masihkah punya waktu tuk hiasinya ?

Kerut di kelopak mata,
jadi saksi betapa dunia telah memberimu banyak cerita
rabun matamu telah memberi tahu seisi dunia
bahwa di sepanjang perjalanan engkau sering membasahi diari usangmu

Kelelahan kini menguasaimu,
apa yang kini ada dalam benakmu?
pergi melambai pada bumi yang telah memberimu nikmat asam garam?
jika boleh, desismu pelan

Tapi engkau tak boleh
keretamu belum tiba
belum saatnya sayonara didendangkan
langkahmu harus tetap melengkapi hitungan penghuni bumi

Walau rautmu telah berubah
tak lagi indah,
tapi satu milikmu abadi
tatap kasih di wajahmu.

REKAM JEJAK RAUDAH JAMBAK

REKAM JEJAK SEKUNDER

I. Aktivitas Kepenulisan/ Sastra
1. Instruktur Tetap tentang Penulisan Kreatif di Sanggar Generasi Medan (1995-sekarang)
2. Ketua Teater LKK IKIP Medan (1994-1995)
3. Ketua Komunitas Home Poetry (2008-sekarang)
4. Pembina/Instruktur Forum Lingkar Pena (FLP) Medan/Sumatera Utara (2004-sekarang)
5. Pengurus HISKI Sumatera Utara (2005-sekarang)
6. Koordinator Sastra SIAN SUMUT (2008-20013)
7. Anggota (Pengurus) LITBANG HSBI SUMUT (2009-2014)
8. Ketua MGMP Se-Perguruan Panca Budi (2008-2010)
9. Ketua AGBSI Medan (2009)
10. Anggota FKS (1999)
11. Ketua Forum Kontak Sastra (1999-sekarang)
12. Pembicara Sastra Tradisi (melayu) Pemko Medan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat (2010)
13. Program Penulisan Cerpen Mejelis Sastrawan Asia Tenggara (MASTERA) di Bogor (2003)
14. Dewan Juri dalam “Pergelaran Sastra” Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (2006)
15. Juri Lomba Drama Tingkat SD Perpustakaan Panca Budi (2006)
16. Juri Lomba Baca Puisi Tingkat SMP Perpustakaan Panca Budi (2006)
17. Dewan Juri dalam “Parade Teater SMA se-Kota Medan” (2006)
18. Dewan Juri Lomba Baca Puisi “Temu Ramah dan Kreasi” FBS-Universitas Negeri Medan (2007)
19. Dewan Juri Cipta Puisi dalam “Festival Lomba Seni & Sastra Nasional (FLS2N) SMP/MTs” Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2008)
20. Dewan Juri Cipta Puisi dalam “Festival Lomba Seni & Sastra Nasional (FLS2N) SMP/MTs” Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2009)
21. Dewan Juri Cipta Puisi dalam “Festival Lomba Seni & Sastra Nasional (FLS2N) SMP/MTs” Dinas Pendidikan Medan (2009)
22. Instruktur Seminar dan Workshop Penulisan Puisi “Medan Urban Arts Festival” (2008)
23. Dewan Juri Lomba Baca Puisi “The 2nd Medan International Poetry Gathering” DIKBUDPAR-Urban Arts Associates (2008)
24. Pemateri dalam “Pelatihan Menulis untuk Guru” Serikat Guru Indonesia Kota Medan (2009)
25. Dewan Juri dalam “Perlombaan Bahasa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia” FBS-Universitas Negeri Medan (2008)
26. Dewan Juri Cipta Cerpen dalam “Short Stories Competition (STROM) (2008)
27. Dewan Juri Lomba Pidato HUT Kejaksaan Tinggi Negeri Sumatera Utara (2008)
28. Dewan Juri Baca Puisi HUT kemerdekaan RI Departemen Perdagangan (2007)
29. Dewan Juri Cipta & Baca Puisi “Ajang Kreativitas Mahasiawa” Senat Mahasiswa Universitas Negeri Medan (2008)
30. Instruktur Workshop Penulisan Jurnalistik IAIN Sumatera Utara (2007)
31. Pembicara UU anti Pornoaksi/Pornografi di IAIN Sumatera utara
32. Mengikuti Festival Puisi Internasional di Medan (2007)
33. Mengikuti Temu Sastrawan Indonesia I di Jambi (2008)
34. Juri Lomba Pidato “Gelegar Bulan Bahasa” FBS Universitas Negeri Medan (2002)
35. Juri Lomba Baca Puisi “Gelegar Bulan Bahasa” FBS Universitas Negeri Medan (2002)
36. Juri Festival Drama se-Universitas Negeri Medan (1999)
37. Juri Festival Drama se-Universitas Negeri Medan (2000)
38. Juri Gemilang Prestasi Panca Budi I s/d V (2005-2010)
39. Juri/Pengamat Parade Teater Sekolah I-V Sumatera Utara (2000-2005)
40. JURI baca Puisi SMP se-Sumatera utara DISBUDPAR (2009)
41. Juri Karya Tulis Ilmiah Dinas Penataan Permukiman SMA sederjat (Tarukim) 2006-2010
42. Juri Karya Tulis Ilmiah Dinas Penataan Permukiman SMP sederjat (Tarukim) 2006-2010
43. Juri Bercerita Guru TK/SD sederjat Se-Sumatera Utara 2006
44. Juri Festival Anak Soleh BKPRMI se-Sumut 2000-2010
45. Juri Festival Anak Soleh BKPRMI Medan 2007
46. Juri Bercerita Dinas Penataan Permukiman SD sederjat (Tarukim) 2006-2010
47. Juri Lomba Baca Puisi SMP/SMA Piala Walikota se-SUBULUSSALAM (2009)
48. Pengamat tetap PARADE TEATER PELAJAR dari 2003 s/d 2006
49. Pelatih teater di beberapa sekolah sampai sekarang
50. Instruktur Acting D’WIN DOWS PRODUC TIONS sampai 2008
51. Tampil dalam TASSEMATA di TBSU 1994.
52. Aktor naskah ABRA KA DAB RA karya Suyadi San adaptasi cerpen Danarto di pentas tertutup TIM Jakarta, 1996 dalam rangkaian Pekan Seni Mahasis wa tingkat Nasional.
53. Aktor/Sutradara dalam naskah MENYIBAK TIRAI MASA DEPAN 1997 di Pardede Hall.
54. Aktor dalam naskah WA JAH KITA karya Suyadi San 1998 di hotel GARUDA PLAZA Konvention Hall.
55. Aktor dalam naskah TRAGEDI AL-HALLAJ karya Abdul Hadi WM di Hotel Tiara Konvention Hall 1999.
56. Aktor dalam PE TANG DI TAMAN karya Iwan Simatupang di TBSU 2000.
57. Aktor dalam Bulan Bujur Sangkar karya Iwan Simatupang 1996
58. Aktor Parodi PEJUANG 2000 di Departeman Pariwisata, Seni dan Budaya Pematang Siantar.
59. Aktor dalam naskah MARNI karya Amiruddin AR di TVRI Medan 2001.
60. Aktor dalam naskah TANAH GARAPAN karya Amiruddin AR di TVRI 2002.,
61. Aktor Monolog ANJING MASIH MENGGONGONG (2004).
62. Menyutra darai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Suma tera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki.
63. Aktor JODOH PARADE TEATER SUMUT 2006 di TBSU.
64. Menyutradarai PEREMPUAN TANPA KEPALA di TBSU 2007.
65. Aktor JODOH SABTU TERTAWA ALA KAMPUSI 2008 di TBSU.
66. Menyutradarai TIURMAIDA 08/09 di TBSU.
67. Di 2009 dalam CUBLIS di TBSU terlibat sebagai Co- Sutradara-bersama penulis/pemain Hasan Al-Banna, dalam rangkaian Jaringan Teater Se-Sumatera di LAMPUNG. Saat ini selain di FKS, HISKI, SIAN, AGBSI, HSBI dan GENERASI juga membidani Komunitas Home Poetry (Komunitas HP-1997) sekaligus sebagai Ketua Umum, juga bertugas di beberapa sekolah sebagai staf
II. Prestasi Kepenulisan/ Sastra 1. Juara II “Sayembara Menulis Puisi se-Sumatera” TELKOMSEL (2004)
2. Juara II “Sayembara Menulis Puisi Kemerdekaan se-Sumatera” TELKOMSEL (2004)
3. Juara II Sayembara Pantun dalam “Seminar Nasional Datuk Badiuzzaman Surbakti Sri Indera Pahlawan (2004)
4. Juara II Lomba Baca Puisi “Piala Kantata Bangsa I se-Sumatera Utara” Yayasan Kantata Bangsa (2004)
5. Finalis “Lomba Cerpen Tingkat Nasional Festival Kreativitas Pemuda” Departemen Pendidikan Nasional RI (2007)
6. Juara II “Sayembara Menulis Puisi” Dewan Kesenian Medan (2004)
7. Juara II Sayembara Menulis Puisi TELKOMSEL se-Sumatera (2005)
8. Nominasi Program Reguler Lomba Menulis Cerpen Guru Tingkat Nasional (2007)
9. Juara III Program khusus Lomba Menulis Cerpen Guru Tingkat Nasional (2008)
10. Mengikuti workshop Cerepen MASTERA, di Bogor (2003)
11. Mengikuti workshop MMAS, di Bogor (2007)
12. MENGIKUTI Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003)
13. MENGIKUTI workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003),
14. Seminar seni dan budaya pada Pameran dan Perge laran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh (2004)

III. Karya Kepenulisan di Surat Kabar 1. Mimbar Umum (Medan)
2. Analisa (Medan)
3. Waspada (Medan)
4. Sumut Pos
5. Harian Sumatra
6. Harian Warta Kita (Medan)
7. Andalas (Medan)
8. Radar Medan
9. Sinar Medan
10. Suara Medan
11. Portibi (Medan)
12. Analog (Medan)
13. Taruna Mandiri (Medan)
14. Harian Global (Medan)
15. Medan Pos
16. Majalah Gong (Yogyakarta)
17. Lampung Post
18. Suara Rakyat Merdeka (Jakarta)
19. Suara Karya (Jakarta)
20. Ben (Yogyakarta)
21. Banjar Masin Post
22. Majalah Srikandi
23. Majalah Horison (Jakarta)
24. Majalah Siasah Malaysia
25. Kompas Online (Jakarta)
IV. Karya Kepenulisan di Buku Antologi bersama Penulis Lain
1. Antologi Puisi MEDITASI (Sastra religius, 1999)
2. Antologi Puisi Seratus Untai Biji Tasbih (Sastra religius, 2000)
3. Antologi esay PARADE TEATER SEKOLAH (Aster, 2003)
4. Antolgi Esay 25 Tahun Omong-Omong Sastra (2004)
5. Antologi Puisi 50 Botol Infus (Teater LKK UNIMED:2002)
6. Antologi Puisi Amuk Gelombang (Star Indonesia Production:2005)
7. Antologi Puisi Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan:2005)
8. Antologi Puisi Jogja 5,9 Skala Richter (Bentang:2006)
9. Antologi Puisi Medan Puisi (2007)
10. Antologi Puisi Tanah Pilih (Disbudpar Jambi:2008)
11. Antologi Pusi Penyair Muda Malaysia-Indonesia (PENA Malaysia:2009)
12. Antologi Puisi, Cerpen, dan Naskah Drama Medan Sastra (TSS-TSSU:2007)
13. Antologi Puisi dan Cerpen Merantau ke Atap Langit (Teater LKK UNIMED:2008)
14. Antologi Cerpen 30 Terbaik Lomba Cerpen Tingkat Nasional Festival Kreativitas Pemuda 2007: LOKTONG (CWI:2007)
15. Antologi Cerpen Tembang Bukit Kapur (ESCAEVA Jakarta:2007)
16. Antologi Cerpen RANESI – RADIO NEDERLAND SIARAN INDONESIA (GRASINDO:2009)
17. Antologi Cerpen Denting (DKM:2006)
18. Antologi Cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Disbudpar Pangkalpinang:2009)
19. Antologi Cerpen Dari Pemburu Sampai Ke Teraupetik Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Pusat Bahasa:2003)

V. Aktivitas di Bidang Teater 1. Aktif di Teater LKK Universitas Negeri Medan (1993-1997)
2. Aktif di Teater Generasi Medan (1995-sekarang)
3. Instuktur Senior di Teater Generasi Medan (1995-sekarang)
4. Instruktur Tamu di Teater LKK Universitas Negeri Medan (1997-sekarang)
5. Instruktur Tamu di Teater Alif (2005-2007)
6. Aktor Tamu di Teater Nasional (1999)
7. Aktor Tamu di Teater Anak Negeri (2000)
8. Aktor Tamu di Teater Merdeka (1999/2007)
9. Aktor Tamu di Teater Nuansa (2000)
10. Aktor Tamu di teater Imago (1999/2003)
11. Aktor Tamu di Teater Patria (1993-2006)
12. Sutradara Tamu di teater BLOK (2008)
VI. Prestasi di Bidang Teater 1. Juara Harapan I Kelompok Teater Lomba Teater Mahasiswa se—Indonesia di Jakarta (1995)
2. Sutradara Teater Peraih Gelar Penampilan Terbaik II Parade Teater Sekolah II Sumatera Utara (2003)
3. Juara III Festival Teater Dewan Kesenian Medan (2000)
4. Juara III Parodi EXTRA VAGANZA SIAN SUMUT (2009)

VII. Peristiwa/ Pementasan Teater yang Pernah Diikuti 1. Mengikuti Pertemuan Teater Se-Sumatera di Aceh (2000)
2. Mengikuti Eksebisi Teater se-Indonesia di Medan (2001)
3. Mengikuti Festival Teater Alternatif GKJ Awards di Jakarta (2003)
4. Menyutradarai naskah Sang Penyair karya M. Raudah Jambak-TBSU (1994).
5. Menyutradarai naskah Perempuan Tanpa Kepala (2001)
6. Menyutradarai naskah Pelajaran karya Bakdi Soemanto (2002)
7. Menyutradarai Penjaja Kereta Sorong karya Murray Schisgal (2002)
8. Aktor monolog Tamu Terakhir karya M. Raudah Jambak (2003).
9. Aktor/Sutradara monolog TEROR karya M. Raudah Jambak (2008).
10. Menyutradarai monolog Indonesia Under Cover karya Suyadi San (2005).
11. Aktor dalam naskah Jodoh karya Ys. Rat (1996/2004)
12. Aktor dalam naskah RT Nol RW Nol karya Iwan Simatupang (2007)
13. Menyutradarai Bulu Dada Adaptasi Cerpen Ketiak Bakdi Soemanto (2005)
14. Mengikuti Workshop Teater “Festival Teater Alternatif GKJ” di TIM Jakarta (2004)
15. Sutradara TIURMAIDA naskah AFRION adaptasi Cerpen Hasan Al Banna (2008)
16. Mengikuti Parade Pertunjukan Teater “KALA Sumatera” di Bandarlampung (2009)
17. Co-Sutradara dalam monolog Cublis karya Hasan Al Banna (2009)

CAMPUR SARI JEJAK
No Judul Jenis)* Penerbit Tahun Terbit Keterangan
1) KECAMUK Antologi Puisi Sastra Leo Medan 1999
2) SERATUS UNTAI BIJI TASBIH Antologi Puisi Sastra Religius Medan 2000
3) MEDITASI Antologi Puisi Sastra Religius Medan 2001
4) TENGOK Antologi Puisi Arsas Medan 2002
5) 25 Tahun OOS Antologi esay Sastra Leo 2003
6) TEMBANG BUKIT KAPUR Antologi Cerpen katanya Escave 2007
7) RANESI Antologi Cerpen Grasindo 2007
8) DENTING Antologi Cerpen Dewan Kesenian Medan 2006
9) 6 Penyair Urban Antologi Puisi Laboratarium Sastra 2008
10) Tanah Pilih Antologi Puisi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi 2008
11) 5,9 Skala Richter Antologi Puisi Jogja 2006
12) 50 Botol Infus Antologi Puisi LKK Unimed 2006


No Mata Pelajaran / Bidang Studi Instruktur /Guru Inti/ Tutor/ Pemandu Tempat Keterangan
1) Bahasa Indonesia/cipta puisi Instruktur Taman Budaya Sumatera Utara
2) Bahasa Indonesia/Teori dan apresiasi puisi Instruktur Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
3) Bahasa Indonesia/Bedah buku Lasykar Pelangi Moderator Panca Budi Medan
4) Bedah Buku/Quantum Teaching Pemakalah (Ketua) Panca Budi
5) Diskusi LP3B Anggota/Peserta Panca Budi
6)



No Nama/ Jenis Diklat Tempat Waktu Pelaksanaan
(……..jam) Penyelenggara Keterangan
a. Diklat MMAS (membaca, menulis dan apresiasi sastra) Jakarta 26 Sep-1Okt 2005 (84 Jam) Dirjen Manajemen Pend. Dasar dan Menengah
b. Penulisan Mastera : Cerpen CisaruaBogor 9-15 Agustus 2003 (84 Jam) Majelis Sastra Asia tenggara dan Pusat Bahasa
c. Penelitian Tindakan Kelas Universitas negeri Medan 23 -25 Mei 2008(30 Jam) STAI Hikmatul Fadillah Medan
d. Pembelajaran Pakem dan CTL Panca Budi Medan 25-27 Desember 2007/2-7 Januari 2008 Perguruan Panca Budi Medan
e. Team Character Building Panca budi Medan 7 Juli 2007 Panca Budi Medan
f. Kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Dinas Pendidikan SUMUT 26-30 Desember 2006 (50 Jam) Dinas Pendidikan SUMUT
g. Uji coba Instrumen Penilaian Buku Teks Pelajaran Seni Budaya, Keterampilan, Penjasorkes, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi Hotel TIARA Medan 17 April 2008 Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
h.
i.


No Nama Lomba/ Kejuaraan Waktu
Pelaksanaan Tingkat Penyelenggara Keterangan
1) Menulis Cerita Pendek 18 Juni- 13 Desember 2007 Nasional Dirjen. Manajemen Pend. Dasar dan Menengah
2) Penulisan Cerita Rakyat 20 Agustus- 3 November 2006 Nasional Pusat Bahasa Jakarta
3) Penulisan Cerita Pendek 13 0kt 2004 Nasional Dirjen. Manajemen Pend. Dasar dan Menengah
4) Lomba Baca Puisi 28 Agustus-4 September 1995 Nasional Pan. Pekan Budaya, Pameran Buku dan Tekonologi Islam
5) Menulis Naskah Sandiwara Radio 11 September 2004 Nasional RRI Cab. Medan
6) Lomba Cipta Puisi 10 Agustus 2004 Lokal Dewan Kesenian Medan
7) Festival Teater Alternatif GKJ Awards 2003 13-20 Okt 2003 Nasional Gedung Kesenian Jakarta
8) Cipta Puisi Online II TELKOM 2004 8 Juli 2004 Provinsi TELKOM Medan
9) Menulis Pantun/Syair 25 Juli 2004 Nasional Mengenang 132 thn “Perang Sunggal”
10) Teater Sekolah 8 Okt 2002 Lokal Asosiasi Seni Teater Sumatera Utara
11) Baca Puisi 8 Mei 2004 Provinsi Piala Kantata Bangsa I
12) Baca Puisi Islami 28-30 Mei 1995 Lokal Renungan Muharram Seniman Medan
13) Baca Puisi 1996 Lokal Pekan Seni Anak Muda Medan
14) Baca Puisi 1 Juli 1996 Lokal Lembaga Kebudayaan Antar Bangsa dan Ikatan Mahasiswa Pemuda Pengarang Indonesia
15) Senam Kesegaran Jasmani dan Gerak Jalan 31 Maret 1995 lokal Dies Natalis Tri Dasawarsa IKIP Medan
16) Baca Puisi 13-28 Juli 1996 Lokal Milad Sanggar Remaja Islam II
17) Baca Puisi 18 Mei 1996 Lokal Renungan Muharram Seniman Medan
18)



No Nama Sekolah Bidang Studi/ Guru Kelas Lama Mengajar
(mulai tahun ……s.d. tahun……)
a. SD Kesatria Medan Guru Kelas/Bahasa Inggris 1992-1993
b. SMP Panca Budi Medan B. INDONESIA/ 1-3 1997 s/d 2008
c. SMP Budi Utomo Medan BAHASA INDONESIA/ 1 1999 s/d 2006
d. SMA Budi Utomo Medan BAHASA INDONESIA/1-3 1999 s/d 2008
e. SMK Swasta Panca Budi – 2 Medan BAHASA INDONESIA/2-3 1999 s/d 2008
As. Dosen IKIP/Unimed Ilmu Budaya Dasar 1999/2006
f. Dosen Fakultas Filsafat Panca Budi medan B.Indonesia/Ilmu Komunika si/Retorika/Kebudayaan Indonesia 2007-2010
g. Dosen Fakultas Agama Islam Panca Budi medan Bahasa Indonesia 2009/2010
h. .


Medan, 4 Februari 2010
Hormat Saya,


M. Raudah Jambak, S.Pd

Dalam Retak-Retak Doa Kami

Puisi Ashar Junanda

Di Dewan Surga Saja

rakyatku, rakyat di depan mikropon sajak ini,
aku bukan presiden kalian, tapi dengar angin
yang berseru dari balik tanda tanya larik ini

percayakah kalian pada lingkar cincin kata
yang kata mereka, mencinta?

bukankah perempuan sudah tertakdir jadi anak panah
setan?
dan mereka menembakkannya tepat ke jantung kalian

rakyatku, rakyat yang bersujud dengan muntahan
airmatanya,
gulunglah tikar hidup kalian,
atur pola makan, dan beryogalah

cari alur darah tersempit dan siagakan sumpit
minum dari titik embun saja,
dan jangan percaya pada petunjuk tetua desa
kau, aku dan kita akan sedang dikulum
di ujung lidah kelana,

di sudut-sudut yang bertanda neraka,
madu itu, kata-kata mereka di dewan surga saja

Rawamangun, Jumat 23052008

Dalam Retak-Retak Doa Kami
to SBY-Kalla
mungkin kau ingin rasakan degup gairah jantung lapar kami
yang berdetak kencang,
mungkin ingin kau rasakan lagi bah air mata itu mengepung
istanamu,
mungkin kau coba ingin mencoba ketangguhan benteng peluru
tentaramu yang berbaris,
dengan kepalan-kepalan kecil bocah-bocah kami
mungkin dengan pongah, kau sudah menantang
sambaran petir itu, yang kami pinta dalam retak-retak doa
kami,
meremukkan punggungmu di kesendirian kamar mandi
dalam doa retak-retak kami

Rawamangun, Jumat 23052008
Nb : Kalaulah benar hari ini BBM naik lagi, SBY-Kalla,

tuhan masih hidup dan melihat kalian

Cerpen Erwin Arianto,SE

aku sekeluarga telah mengabdi cukup lama dengan cih tjun dan koh Tjia, ayahku adalah buruh jahit dan ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga cih tjun dan koh tjia. aku hanya sebagai supir di empat koh tjia, seorang cina keturunan palembang. aku senang bekerja di tempat koh tjia, karena koh tjia ramah dan memperhatiakan semua pekerja yang ada

"prapto, lu tolong antar si meylin ke kampusnya lo pake, mobil accord hitam gue aja" begitu koh tjia meminta ku mengantar meylin anak perempuan bungsunya untuk ke kampus. "Iya koh.. begitulah jawabanku kepada koh tjia. hari itu tepat tangal 12 mai 1998, saat ini demo sedang marak di ibu kota jakarta, mereka meneriakan penurunan Presiden RI saat itu yang sudah berkuasa selama 32 tahun.

"Prapto, Gue minta tolong lo jagain meylin di kampusnya ya, gue khawatir dengan keadaan saat ini" cih tjun memintaku mengantarkan meylin, Tjih tjun memiliki dua anak Meylin dan Yunan, keduanya adalah wanita yang cantik, meylin sekarang sudah kuliah tingkat akhir di universitas di bilanga jalan semanggi. dan yunan masih duduk di bangku kelas 3 SMU.

"prap, kita makan dulu yuk" ajak mey sebelum pulang kuliah waktu itu, makan apa non may, begitu aku memangilnya. sebenarnya ada perasaan suka ku kepada maylin, dia seorang yang baik dan ramah, tapi aku tahu diri karena aku hanya sopir dari maylin. "stop sini prap, gue mau makan dulu, lo mo ikut engga, ini restoran kwe tiaw kesukaan gue lo ikut aja prap, halal kok, gue bayaran deh" ajay maylin kepadaku.

Kwetiaw sapi, halal Aku bisa baca kalau dua dari daftar menu menyediakan kwetiaw campur. Ada pula dikasih nama Kwetiaw campur Singapore. "lo pilih mana prap" ujar mayline. terlihat dirumah makan itu pelayan disana Berteriak-teriak menawarkan makanan "Hainam campur", "Bakmi…bakmi" , "Hainam campur", "Boleh…boleh, silahkan", "Kwetiau?", "Teh botol, fruit tea, atau apa?" ucap pelayan tersebut seperti mendesak kami untuk memilihnya.

"Tenang prap,gue pilihin lo yang halal, engga ada babi, karena gue tau lo tuh taat banget kan prap" begitu meylin menyodorkan semangkuk kwetiaw sapi. Jepitan-jepitan kwetiaw menunggu masukmulut tidak bertahan lama di udara terangkat dari piring. Sehitungan beberapa detik melucur keulut. Ujungnya kusedot dengan tarikan napas sambil memoyangkan bibir. Ujung lainnya yang masih tertinggal di piring kudorong pelan-pelan dengan sumpit. Bibir berminyak-minyak menambah lancar barisan mi itu meluncur ke rongga mulut lalu dikunyah lembut untuk menikmati lama-rama racikan bumbu yang nikmatnya luar biasa. Ingin aku punya istri pintar memasak mi senikmat ini. Mungkin tidak perlu lagi aku makan nasi. Tiga kali sehari hanya makan mi berminyak. dan kubayangkan ituadalah maylin.

Melelahkan, sebuah hari kerja yang menyebalkan berakhir sudah. Hari ini lalu lintas lebih macet dari biasanya. Jadinya sore ini lalu lintas diatur secara konvensional seperti puluhan tahun silam, dengan tenaga manusia, oleh polisi lalu lintas, . "Non May, bangun ,sudah sampai" ucapku melihat meylin yang cantik telah selesai tugas ku mengantarnya hari ini.

*********************

siang itu tanggal 13 may, kebetulan aku minta ijin cuti dari koh tjia, aku memilih beristirahat di rumah, sampai ibuku membangunkan ku "prato bangun nak," ucap ibu "kenapa bu lo tidak ada kerusuhan pagi ini jalan-jalan di blokir banyak rumah-rumah dijarah to, kita bantu Kok tjia dan cih tjun," ibu dan bapak sudah siap-siap membawa grobak kayu yang ditutup terpal. "ayo kita bantu koh tjia dan keluarganya, ibu takut mereka kenapa-kenapa" begitu kata ibu.

"memang ada apa bu, lo tidak tahu hari ini banyak penjarahan, ibu khawatir dengan koh tjia dan cih tjun.", kata ibu kepadaku, "kenapa khawatir?" tanya ku tidak mengerti, kerena koh tjun dan cih tjia bukan siapa-siapa kami. "sudah lah prapto lo bantu ibu dan bapak mencari koh tjia dan cih tjun" ujak ibu menarik tanganku.

Kulihat suasana sangat mencekam hampir setiap orang bertriak-teriak "jarah..jarah.
" "bakar.." "Kita bunuh cina.." Wajah-wajah yang kutemui saat berpapasan gelap semua. Memandang hanya luruske depan tidak peduli dengan aku yang menabrak alur arah mereka yang berjalan cepat di tengah kerumunan masa.

"ibu itu koh tjia dan cih Tjun" teriaku. Masih ada gurat kepedihan di wajahmeraka yang kuning pucat. Seperti bulan langsat yang berlayar di depan jendela. Melewati gelombang awan yang hitam, berarak menuju utara. "koh tjia, ayo masuk di grobak kami" ujar ibu, "cih tjun mana" tanyaku kepada koh tjia, "Dia di dalam prapto, lu tolong cari meylin dan yunan ya plapto" koh tjia memintaku mencari kedua anaknya., "mereka dimana koh tjia" tanyaku kepada koh tjia, "yunan masih sekolah, meylin masih kuliah"

"ini plapto.. lu pakai motor gue aja.. gue minta tolong ya plapto" ujar koh tjia" oke koh, aku berusaha mencari yunan terlebih dahulu, karena lokasi sekolahnya dekat dengan konveksi milik Ci
tjun dan koh tjia, dan aku dapati yunan sedang berdiri di pojok sekolahnya keakutan, "Yunan lo ikut gue, koh tjia dan cih tjun sedang diselamat kan ibu" tampaknya yunan masih shok, sepanjangjalan dia bercerita banyak teman-temannya sesama etnis cina di rampok, dan di todong, bahkan ada yang diperkosa.

"ibu..pak.." aku memangil ibu dan bapak " iya prapto. ini yunan, apakah koh tjia dan cih tjun ada sudah disini" tanyaku kepada ayah, "iya prapto, koh dan cih telah disini, meraka trauma dengan keadaan yang terjadi, rumah meraka banyak yang menjarah, habis semua yang ada di konveksi' cerita ayah kepadaku, "lo tolong cari meylin ya prap" ucap ibu, "bu tolong minta si joko, untuk bawa barang-barang di konveksi, untuk keperluan koh dan cih susatu saat untuk berusaha lagi.

"aku berangkat bu" kepada ibu mencari maylin, ku coba menjemput ke kampusnya, dan kucari erputar-putar di dalam kampusnya, yang ada hanya kosong, aku coba mencari wartel, tapi wartel yang ada tutup semua, suasana jalan terlihat lengang, dan hanya kulihat beberapa orang membawa bawaan yang banyak, ya kulihat orang habis menjarah. Sungguh biadab keadaanya, dimana terlihat kerakukaan dan sifat asli dari manusia yang serakah.

Dimana polisi saat ini, dimana aparat yang serahusnya melindungi kami para warga negara, meraka merangsuk masuk seperti seorang pengecut, disaat kami membutuhkan mereka, apakah polisi hanya bisa menilang orang, saat kerusuhan ini meraka menghilang, apakah kerusuhan ini ulah merek sempat aku berfikir seperti itu.

disaat aku kebingungan mencari meylin, aku melihat sebuah tas tangan seorang wanita yang terjatuh disana, dan sebuah Hp tergeletak, "Ya Allah maafkan aku mengambil hp ini dari orang yang tidak kuketahui.." aku berdoa kepada Allah, dan meminta maaf karena mengambil hp dari tas yang tergeletak itu, untuk menephone meylin.

Kutekan angka-angka yang menjadi nomer telp meylin, dan alhamdulillah telp tersebut diangkat oleh maylin. "May lu dimana, gue di jalan sudirman sekitar kampus lo" ucapku. "gue di daerah taman sari prap.., tolongin gue, mobil gue dicegat orang-orang, rame disini tolongin gue prap" begitu suara maylin dengan nada yang ketakutan itu, lalu, kupacu motor ini dengan aksi yang nekat dan gila menuju jalan taman sari.

"ini cina, dia cina, ayo kita rampok" kulihat situasi begitu mencekam, banyak orang cina pria yang ditelanjangin dijalan, ada yang dipukulim ada yang dijarah habis toko-tokonya, kebakaran dan suasana mencekam di sepanjang jalan. "Astagfirullahalazim" ungkapku, kenapa bangsa ku bisa seperti ini, mengapa bangsa ini menjadi liar, berutal, kenapa mesti membedakan etnis cina atau bukan, bukankah mereka tetap saudara kita satu tanah air.

Aku memacu motor koh tjia dengan kecepatan dibatas normal, karena di hatiku selalu khawatir dengan keadaan mayline, dan sebuah amanat yang aku emban untuk menyelamatkan myelin. Di lokasi belokan taman sari Kutemukan mobil meylin di pojok jalan, "meylin,.. may... lu dimana may.." teriku mencari maylin, mataku menerawang dan mencari maylin yang tampak hanya wajah-wajah beringas, dengan hasil jarahan ditangan mereka, aku tetap mencari kepojok-pojok ruko taman sari, kulihat beberapa orang sedang menyeret tubuh meylin kesana, tampaknya mereka berusaha memperkosa maylin.

ada beberapa orang yang berusaha membuka baju mayline, dan mayline yang memakai rok, sudah dalam keadaan terlepas sangat mengenaskan keadaanny saat itu, dan kulihat beberapa orang berusah memperkosa meyline, "astagfirullah. .. apa yang harus kulakukan, mereka berlima orang yang berusaha memperkosa mayline..." sambil celingak-celinguk kumencari sesuatu, tapi kalau aku maju itu nekat namanya.

Dan aku terus berpikir untuk menuju mobil tempat maylini, kulihat kunci mobil itu masih menyangkut disana, hanya dasboard mobil itu terbuka dan tas may yang berantakan, ku duga may di berhentikan di tengah jalan dan diseret kepojok ruko itu, karena terdapat sobekan rok may disana, kunyalakan mesin mobil may.. dan ku arahkan kepada orang-orang yang ingin memperkosa mayline.. dan meraka melompat semua, "alhamdulillah, aku datang saat may hampir di perkosa oleh orang-orang tersebut, ketika may hanya mengenakan bra dan celana dalam saja, ketika sempat kuliahat seorang dari kawanan pemerkosa itu ingin menurunkan celana dalam mayline.

aku berlari dan menggendong may yang dalam keadaan pingsan ke dalam mobil itu, aku berusaha bergerak cepat, sebelum orang-orang yang kutabrak sadar dan bagkit menyerangku. dan langsung ku pacau mobil mayline keluar ke arah sudirman, di perjalanan awal, orang yang mau memperkosa mayline tersebut menimpuki kami, dan beberpa penjarah juga berushaa menghalangi jalan kami,tapi aku berusaha menabrak meraka, karena kalau aku berhenti adalah konyol. ku tinggalkan motor koh tjia disana, karena aku memilih menyelamatkan mayline.

"may..may.." bangun tepuk ku membangunkan mayline ketika sudah berada di tempat yang aman, keadaan nya sungguh tragis hanya memakai bra dan celana dalam saja, "may.. aku menepuk pipinya" "jangan perkosa gue.. tolong jangan perkosa gue.. gue ini warga negara indonesia, gue memang cina, tapi gue cinta indonesia" begitu mey berteriak saat aku membangunkannya. "may ini gue. prapto.. may..." aku setengah berteriak memnangunkan mayline.

"prapto.." may berujar.. "iya gue prapto" jawab aku, "prap gue kenapa begini..seakan may sadar dengan keadaan dirinya. "ini may pakai jaket gue" aku kasih jaket itu ke mayline, "terima kasihprapto" ujar may sambil memeluk akku saat itu "terimaksih lo nolongin gue..." may mengucapkan terimakasih. 'sudah lah may.. ini permintaan koh tjia untuk nyari lo" ucap aku. "Baba dimana prap.." tanya may, "sudah bapak,ibu dan adik lo sudah aman di rumah aku.

"ayo may kita pulang" aku kembali menyalahkan mobil may menuju kerumah. dan dirumah ku kulihat oh tjia, koh tjun, dan yunan adiknya mayline sudah disana, dan beberapa barang berharga dari konveksinya sudah berhasil dirumahku.

************ ********* ********* *******

Beberapa malam dirumah, ku yangs sempit, keluarga koh tjia berada dirumahku, kulihat Mayline masih merenung akibat ketakutan yang amat atas tragedi dirinya hampir diperkosa, atau koh tjia yang selalu diam dan termenung memikirkan nasib konveksinya yang habis terbakar. begitupun koh tjia dan yunan. keluarga bosku semua dirumah kami yang sempit dan sederhana.

Aku mencoba menyalakan televisi kulihat dimana terjadi kerusuhan dan ada berita orang-orang cina anyak di jarah dan diperkosa, Tiba-tiba may menghampiriku dan menyapaku "Prap.. makasih ya lu dah nolongin gua dan keluarga gua " ucap mayline kepadaku, "sudah jadi tanggung jawab gue mayline, lu dan keluarga dulu yang menghidupi gue dan keluarga gue, sekarang saat nya gua bales budi may.." jawabku. "Menurut lo kenapa gue hampir di perkosaa orang apa salah gue" tanya mayline kepadaku, "karena lo cina.." jawabku, "memang kenapa kalau gue cina? mereka boleh memperkosa gue, apakah mereka lebih memiliki indonesia, tidak kah lu liat cina di indonesia bahu-membahu dengan pribumi membangun indonesia?, malah banyak cina yang lebih nasionalis dibanding pribumi...? Lo lihat pemimpin pribumi yang serakah...?" ungkap meyline tidak percaya dengan apa yang ku katakan.

"ya mungkin sejarah yang membedakan cina dan pribumi, bangsa lo tuh selalu bergelimangan harta, sedang pribumi itu selalu susah, mungkin mereka iri." ucap ku, "prap, lo tahu, bangsa gue cina selalu bekerja keras, hidup sederhana, dan selalu berjuang, kami tidak menjadi kaya karena turun dari langit" ucap may lagi. "lu bener, tapi cina kadang hidup dalam komunitasnya mereka terkesan ekskelusif, mereka tidak mau berbaur" aku menerangkan. "gimana engga mau berbaur, kami selalu dibedakan, kami selalu disulitkan, memang mata kami sipit, kulit kami berbeda, tapi hati kami indonesia" ucap may. "betul.. tapi lo engga bisa merubah persepsi orang disana, karena lo memang cina" ucapku. mayline menjawabku dengan sebuah senyum.

"prapto.. kenapa nolongin gua" tanya mayline, "karena di agama gue islam, kita harus tolong menolong, "…Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya" . begitu aku menjelaskan kepada Mayline. tampak meyline begitu menyimak perkataan ku tentang petikan surat al maidah. "prap bukanya orang yang membakar, menjarah, dan hampir memperkosaku juga islam" tanya Mayline kapadaku. "iya tapi mereka tidak menjalankan agama dengan baik mungkin". jawabku. "islam itu damai, islam itu ditakdirkan sebagai rahmat untuk alam" aku mencoba menjelaskan sebisaku.

"prap, orang tua gue tidak pernah memaksaku megikuti agama, tapi aku lihat dari keluarga lo begitu damai, sejuk, dan indah walau keluarga loe itu kekurangan mereka selalu bersukur" ucap mayline, "ya itu lah keluarga kami, karena ayah dan ibu selalu mengajarkan gua bersyukur atas apa yang gua terima" ucapku. "aku lihat lu tidak pernah melihat gua, dan sewaktu gua dalam keadaan hampir diperkosa, apa sebagai laki-laki lo tidak tertarik" tannyanya. "kalau aku mengikuti nafsu birahiku aku sangat tertarik dan tergoda tapi Allah melarangku" ucapku, "maksud melarang kamu bagaimana" tanya mayline kepadaku. "Janganlah kamu menghampiri zina , sesungguhnya zina itu amat keji dan jalan yang sesat, bunyi sebuah ayat alquran" jawabku, "sungguh aku terpesona dengan islam prap, maukah loe membimbingku menjadi islam prap" jawab mayline. "apakah kamu sungguh-sungguh may.." tanayaku terprajat.

Dan semenjak itu mayline dan keluarganya mulai menjadi islam, dan suatu hikmah yang besar tanpa pernah aku duga taetapi benar terjadi aku dan mayline melangsungkan pernikahan secara islam. enam bulan setelah pernikahan itu, aku bersama keluarga mayline kembali membangun lonveksi dari barang-barang yang dulu sempat kuamankan. walau terkadang Koh Tjia atau bapak mertuaku masih trauma setiap ada kerusuhan kok tjia memilih menutup konveksinya.

Satu pertanyaan dalam hatiku, mengapa kita bangsa indonesia selalu membedakan pribumi dan nonpribumi. bukankan ini tanah air kita, tanah air yang satu tanah air indonesia. bukankah kita hidup di bumi yang sama, di bumi indonesia. dan aku berharap bangsa Indonesia bisa memahami perbedaan. seperti perbedaan aku dan istriku mayline yang berbeda untuk dipersatukan. Semoga Allah menyatukan Indonesia, dan Menjadikan indonesia yang makmur, dan krisis 10 tahun yang lalu tidak akan pernah berulang lagi.

Tulisan ini hanya hayalan belaka, kesamaan nama,pristiwa adalah tidak disengaja, jika ada saran, tanggapan, kritik dapat dikirim langsung ke erwinarianto@ gmail.com

Depok 26 May 2008
Terinpirasi dari Nonton Bareng Film "may" bersama majalah femina (EA)

Senin, 26 Mei 2008

Setiawan Jodi

Snow

Ferit Orhan Pamuk atau Orhan Pamuk adalah novelis Turki yang sangat populer dalam sastra pasca-modernis. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa dan mendapatkan berbagai penghargaan di dalam negeri dan internasional. Puncaknya, pada tanggal 12 Oktober 2006, Pamuk menggondol Nobel bidang kesusastraan atas karya-karyanya. Ia menjadi pengarang Turki pertama yang memperoleh penghargaan ini. Untuk diketahui, Nobel Sastra diberikan pada pengarang yang "karyanya paling bagus dan memiliki idealisme yang maju" dan karya ini merujuk pada keseluruhan karya si pengarang, bukan kepada karya satuan.

Pamuk secara teratur mulai menulis sejak tahun 1974 dengan karya perdana bertajuk Karanlık ve Işık (Darkness and Light) yang menjadi salah satu pemenang Milliyet Press Novel Contest tahun 1979. Novel perdana ini diterbitkan pada tahun 1982 dengan judul Cevdet Bey ve Oğulları (Mr. Cevdet and His Sons) dan memenangkan Orhan Kemal Novel Prize. Selanjutnya ia menulis novel-novel pemenang berbagai penghargaan seperti Sessiz Ev (The Silent House, 1983), Beyaz Kale (The White Castle, 1985), Kara Kitap ( The Black Book, 1990), Yeni Hayat (New Life, 1995), dan Benim Adım Kırmızı (My Name is Red, 1998). Novel yang disebutkan terakhir di Indonesia telah diterbitkan Serambi sebagai Namaku Merah Kirmizi (2006). Novel inilah yang kian menjulangkan reputasi Pamuk dalam kancah literatur internasional.

Kar (2002) adalah novel ketujuh Pamuk yang diterjemahkan sebagai Snow (2004) oleh Maureen Freely, seorang penulis yang besar di Turki. Maureen Freely telah menerjemahkan karya Pamuk yang lain seperti The Black Book (novel, 2006), Istanbul: Memories of a City (memoar, 2005) dan Other Colors: Essays and a Story (esai, 2007). Untuk edisi Indonesia, Snow diterjemahkan sebagai Snow: Di Balik Keheningan Salju oleh Berliani Nugrahani, penerjemah dan editor yang antara lain telah menghasilkan karya terjemahan The Kite Runner (2006), The Hidden Face of Iran (2007), dan Middlesex (2007). Edisi Prancis novel ini, La Neige, memenangkan penghargaan Prix Medicis Etrange tahun 2005 dan oleh New York Times dinyatakan sebagai salah satu dari Sepuluh Buku Terbaik tahun 2004.

Tokoh utama Snow adalah Kerim AlakuÅŸoÄŸlu yang lebih suka dipanggil inisialnya, Ka, seorang penyair yang masih lajang dalam usianya yang ke-42. Ia meninggalkan Istanbul menuju sebuah kota bernama Kars , dalam sebuah perjalanan di tengah-tengah badai salju. Ka baru datang dari Jerman setelah 12 tahun meninggalkan Turki dan menjadi tahanan politik, kendati ia tidak pernah benar-benar menjadi aktivis politik. Ka adalah seorang pria yang jujur, beritikad baik, dan melankolis (hlm. 11). Ia bermasalah dengan kebahagiaan, menghindari kebahagiaan karena takut akan kepedihan yang mungkin mengikuti kebahagiaan itu.

Sebenarnya Ka datang ke Istanbul hanya untuk menghadiri pemakaman ibunya. Tetapi setelah 4 hari di kota itu, ia memutuskan mengadakan perjalanan ke Kars, kota yang ia pernah kunjungi 20 tahun berselang. Ia datang ke Kars dengan tujuan meliput pemilihan walikota yang akan segera berlangsung setelah walikota Kars tewas dibunuh. Selain itu ia bermaksud menguak misteri epidemi bunuh diri yang melanda sejumlah gadis di Kars, salah satunya, gadis dari kelompok 'gadis-gadis berjilbab'.

Seorang teman sekelas Ka dahulu di Istanbul, si jelita Ipek Yildiz, ternyata telah menetap di Kars bersama Turgut, ayahnya yang ateis, dan Kadife, adiknya, mantan model yang telah menjadi pemimpin 'gadis-gadis berjilbab'. Mereka mengelola Hotel Istana Salju. Ipek telah bercerai dari suaminya, Muhtar, yang berambisi menjadi walikota Kars. (Saya tidak setuju dengan sinopsis sampul belakang novel yang menyebutkan bahwa Ka berhasrat untuk menemukan cinta masa lalunya karena dalam novel tidak digambarkan jika Ka pernah jatuh cinta atau menjalin cinta dengan Ipek sebelumnya). Di Kars, Ka tinggal di Hotel Istana Salju sambil melakukan investigasi. Seiring dengan investigasinya, badai salju menutup jalan keluar dari Kars dan membuat kota ini terisolasi.

Kedatangan Kar dalam posisi sebagai jurnalis koran Republican membuat berbagai kalangan penasaran dan ingin tahu sebenarnya apa motivasi Ka. Hal ini membuat hidupnya mau tidak mau berpapasan dengan berbagai karakter seperti pengelola koran lokal Kars (Serdar), anggota kepolisian, prajurit pembela negara sekuler Turki, agen MIT, syekh karismatik bernama Saadettin Cevher, seorang lelaki cacat yang menganggap dirinya sebagai agen Islam tetapi bermental Casanova, murid-murid madrasah aliah yang tengah bergelut dengan cinta dan cita-cita serta seorang seniman teater yang mencoba bangkit dari kegagalan karier di masa lalunya. Kars yang terisolasi dalam selimut salju, ternyata bukan tempat yang damai dan bebas teroris seperti yang diungkapkan oleh Kasim Bey, asisten kepala polisi Kars.

Diawali dengan peristiwa pembunuhan direktur Institut Pendidikan Kars, Profesor Nuri Yilmaz, oleh seorang ekstremis Muslim yang disaksikan oleh Ka dan Ipek di sebuah toko kue, investigasi Ka berubah menjadi usaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Ia mesti melalui rangkaian peristiwa yang meledak dalam sebuah kudeta berdarah pada sebuah pementasan teater dan bermuara pada terbunuhnya seorang seniman teater yang ambisius.

"Sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama, seperti dalam teater, sejarah memilih siapa orang yang tepat untuk menjadi pemeran utama. Dan, sama seperti para aktor yang mengerahkan seluruh keberaniannya di atas panggung, sedikit orang yang terpilih sebagai pelaku sejarah juga harus melakukan hal yang sama," demikian keyakinan Sunay Zaim (hlm. 335-336). Keyakinan inilah yang memanaskan konflik yang memang merebak di Kars, kemelut antar agama dan sekularisme serta keruhnya suasana karena keputusan-keputusan negara sekuler Turki. Dan di tengah-tengah panasnya konflik ini Ka terjebak, berusaha memperjuangkan kebahagiaan yang ternyata hanya mengukuhkan keyakinannya sendiri bahwa kepedihan memang berpotensi membuntuti kebahagiaan.

Sebagian besar isi novel dituturkan dari perspektif orang ketiga, dari sudut pandang Ka, sang karakter utama. Tetapi, terkadang Orhan Pamuk, sang novelis, menggulirkan cerita dari sudut pandang orang pertama, yakni dari sudut pandang teman lama Ka. Teman Ka berkisah berdasarkan buku catatan Ka dan berbagai sumber yang ia temukan ketika menelusuri kehidupan Ka sampai di Kars, setelah 4 tahun berlalu dan tokoh utama ini tewas dibunuh. Ialah yang menulis novel berjudul Snow ini, menggunakan judul buku Ka yang belum sempat diterbitkan. Narator 'aku' ini yang kemudian diketahui bernama Orhan, tidak lain adalah Orhan Pamuk sendiri dalam novel. Hal ini diperkuat oleh keterangan di bab penutup novel bahwa si 'aku' telah menulis novel The Black Book dan memiliki seorang anak perempuan bernama Rüya, nama yang sama kepada siapa novel ini dipersembahkan Orhan Pamuk, sang novelis.

Dalam novel ini, Orhan Pamuk memperlihatkan dirinya sebagai novelis yang senang menggunakan narator spoiler. Narator yang ada dalam novel tak segan-segan menceritakan apa yang akan terjadi pada tokoh-tokoh yang ditemui Ka, sementara dalam ceritanya Ka sendiri belum tahu. Dan hal ini telah dimulai sejak bab pertama. Yang paling menonjol (dan bikin saya jengkel tetapi juga geli) adalah tentang kematian Necip dan salah satu matanya yang akan tertembus peluru.

Snow hadir bagaikan refleksi kehidupan bangsa Turki sendiri. Sebuah bangsa yang terbelah antara tradisi, agama, dan modernisasi. Terdapat kalangan yang membenci modernisasi dan pengaruh Eropa, tetapi juga ada kalangan yang menyukai dan mendukungnya. Eropa dianggap kafir dan menjadi impian yang membuat bangsa Turki mengabaikan kebudayaannya sendiri. Pertentangan dua kubu membuat terciptanya perseteruan yang merambat ke dunia politik antara kaum sekuler dan kaum islamis. Dalam novel ini pertentangan diperlihatkan secara jelas melalui kasus pelarangan pemakaian jilbab terhadap siswa-siswa perempuan di institusi pendidikan yang antara lain telah menyebabkan seorang gadis berjilbab memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Pelarangan ini merupakan keputusan negara sekuler Turki. Hal ini tentu saja mendatangkan kemarahan pada berbagai kalangan Muslim yang mendukung keras pemakaian jilbab dan mereka rela membela walau harus melakukan tindakan kriminal. Kenyataannya, di Turki, memang tidak leluasa warganya untuk memilih keyakinan yang diinginkan. Lihat saja apa yang menjolok Ka bertengger di ujung tanduk.

Secara tak terduga, Snow menjadi sebuah thriller politik berbumbu romansa percintaan yang cukup kental. Ka, yang dalam hidupnya berusaha menjauhkan diri dari dunia politik, tak menyangka keputusannya datang ke Kars justru memerangkap dirinya dalam intrik-intrik dunia politik sebuah kota kecil yang mencekam. Keterlibatan dirinya bahkan menjadi teori atas tewasnya dirinya pada suatu malam di jalanan Frankfurt dan dunia kehilangan puisi-puisi yang diraciknya di balik keheningan salju Kars.

Tetapi, meski Snow menjadi sebuah kisah thriller, Orhan Pamuk tidak bermaksud (atau tidak mampu?) membuatnya menjadi thriller yang mengundang penasaran pembaca. Orhan Pamuk menguak kematian Ka terlalu cepat. Saya lebih suka membayangkan kematian Ka baru disingkapkan di penghujung novel. Jika ketahuannya di penghujung novel pembaca akan terus-menerus bertanya nasib Ka di Kars, apakah ia akan tewas dalam situasi yang mencekam atau justru selamat dan meninggalkan Kars. Pada titik tertentu Orhan Pamuk menggambarkan betapa keberadaan Ka di Kars membuat Ka terjebak di antara hidup dan mati sehingga berpotensi menciptakan ketegangan. Sayangnya sudah ketahuan ia akan lolos dari Kars dan meninggal sekitar 4 tahun kemudian.

Sejatinya, Snow adalah novel yang baik, mengusung kisah lokal membumi yang tidak mengada-ada. Ceritanya juga tidak sulit untuk diikuti. Pantaslah kalau novel ini diisbatkan sebagai salah satu buku terbaik oleh media massa tertentu. Hanya, untuk bisa menikmati novel ini bagi yang tidak terbiasa dengan gaya penulisan Orhan Pamuk (atau pengarang internasional sejenis) perlu kesabaran untuk menuntaskannya. Kendati gemar spoiler, Orhan bukanlah penulis ringkas. Pembaca mesti bertahan membaca narasinya yang panjang-panjang dan dialognya yang pada beberapa tempat juga panjang-panjang dan terkesan sedang mengkhotbahi pembaca. Gaya penulisan seperti ini di sisi lain memang memberikan kontribusi yang baik bagi novel. Orhan Pamuk jadi memiliki ruang yang leluasa untuk mengeksplorasi karakter-karakter ciptaannya beserta dengan pikiran dan perasaan mereka. Hal ini berdampak pada eksistensi karakter-karakter yang terasa sangat kuat.

Hal yang mengundang penasaran saya adalah 19 puisi yang diciptakan Ka selama 3 hari berada di Kars. Orhan, sang 'aku' dalam novel, bisa menceritakan proses terciptanya puisi-puisi itu setelah 4 tahun Ka mengalami writer's block. Tetapi, tidak ada 1 pun puisi yang dikutip dalam novel (termasuk puisi yang diketahui Orhan dari sebuah video rekaman). Aneh juga jika Ka mencatat detail-detail kejadian yang ia alami beserta proses kreatif puisi-puisi tersebut, tapi tidak menulisnya dalam jurnal yang dijadikan salah satu sumber data oleh Orhan, bapaknya Rüya. Manuskrip kumpulan puisi Ka –kemudian- diceritakan, mungkin, dibawa pergi pembunuh Ka, sehingga Orhan tidak tahu isinya.

Snow (Salju) bagi Kadife dan Ipek adalah tentang 'betapa indah dan pendeknya kehidupan dan meskipun saling membenci, semua orang memiliki banyak persamaan. Karena itulah salju mempersatukan umat manusia. Salju seolah-olah menjadi selimut yang menyelubungi kebencian, keserakahan, dan kemarahan, dan membuat semua orang merasa berdekatan' (hlm. 191). Saya rasa inilah yang mau disampaikan oleh Orhan Pamuk pada pembaca. Keberadaan perbedaan di antara manusia bukanlah alasan untuk membuat orang bertikai dan saling membunuh.

Hasil terjemahan edisi Indonesia terbilang bagus sehingga secara pribadi saya bisa membacanya dengan lancar. Hanya, menurut saya nama-nama seperti Hotel Istana Salju, Kedai Teh Teman Bahagia, Pondok Bir Kegembiraan (ada juga Rumah Bir Kesenangan), Jalan Prajurit, Toko Kue Hidup Baru, dan Studio Foto Istana Cahaya sebaiknya tetap memakai bahasa asli. Karena edisi Indonesia ini diterjemahkan dari edisi Inggris, saya yakin pengalihan nama-nama itu dari bahasa Turki telah terjadi dalam proses translasi ke bahasa Inggris. Padahal, menurut saya, lebih tepat jika menggunakan bahasa Turki dan diberi terjemahannya.

Saya juga bertanya-tanya soal Lazuardi yang pada beberapa tempat menggunakan nama Biru dan Blue (hlm. 49 & 557). Karena saya tidak membaca edisi Inggrisnya, saya menduga Lazuardi adalah nama yang diterjemahkan oleh penerjemah edisi Indonesia , dan luput pada beberapa tempat. Hasilnya terkesan tidak konsisten. Selain itu, sepertinya novel terjemahan ini masih membutuhkan catatan-catatan tambahan untuk kesempurnaannya. Seperti yang dilakukan Anton Kurnia dalam novel terjemahannya, Lolita (Serambi, Maret 2008), terkadang catatan kaki memang dibutuhkan. Misalnya penjelasan sebutan Bey atau Ham1m, MIT, PKK, atau siapa itu Edward G. Robinson.

Sebelum masuk ke dalam novel, kita akan membaca sebuah kutipan yang mengatakan bahwa, "Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengah-tengah sebuah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil diabaikan" (Stendhal, The Charterhouse of Parma, hlm. 7). Orhan Pamuk telah menembakkan 'pistol' ke tengah-tengah novel Snow, sebuah konser penuh warna ala Orhan Pamuk, sang bintang yang telah terbit di Timur, yang sayang untuk diabaikan. Setidaknya, bagi saya.



Salam,
Jody

Jumat, 23 Mei 2008

Sumatera Utara: Ideologi Kepengarangan

Sumatera Utara: Ideologi Kepengarangan
(Suatu Tinjauan Sosiologis)



Oleh Suyadi San S.Pd. M.Si.



Di tengah mengglobalnya jagad perpuisian modern di Indonesia –apalagi dengan tumbuh suburnya media internet yang menampung sejumlah puisi para penyair, tidak menjadi satu alasan bagi penyair Sumatera Utara untuk lepas dari akar tradisi. Setidaknya, masih banyak penyair di daerah ini yang setia terhadap nuansa etnik dan identitas kulturnya. Lihatlah bagaimana penyair migran S. Ratman Suras "Suara Hati si Roro Jonggrang": "seandainya aku menerima pinangan itu/aku pasti seperti kalian/reguk embun cinta, lenyap bila matahari meninggi/aku seperti mendur pronocitro/merajut cinta dalam genangan darah//" (bait 1).

Sulaiman Sambas melalui sajak balada berjudul "Nandong Dinandong Ale Baya O Intan Payong" malah banyak mereduksi ucapan mantra : "//(o, mayong segala mambang/mambang angin puting beliung/merentang panjang tali arus/celupkan pelangi di pusat tasik)//" (bait 8) Begitu juga Thompson HS yang tak lupa pada "Tano Pasogit"nya: "masih kuingat sebuah kampung/di pinggir danau/tanahnya melahirkan ibubapa dan ompung/tapi hatiku sudah ditanam di sana/waktu horja, pesta hula-hula/bersama cerita tambo//" (bait 1).

Dan, tentu saja sajak saya yang terkena pengaruh Melayu Deli berikut : "pak ketipak ketipung/anak-anak bermain di teras tepi jalan/kehilangan tongkat gawang peninggalan/pak ketipak ketipung/jangan disentuh topi-topi tak berbusa/agar kau tak bisa berlena-lena//…//pak tipak tipung/kepak kepung pak titi/titipung kepak pak ke :/—begitulah aku bernyanyi-nyanyi/sendiri/di tengah troubador kotaku///" (Dendang Pakpung untuk Medan Bestari).

Di samping itu, kegelisahan kreatif para penyair Sumatera Utara juga tidak lepas dari semangat religiositasnya. Para penyair menyadari, sesungguhnya apa yang dilakukan manusia tidak terlepas dari ‘dukungan’ Sang Pencipta, sehingga patut disyukuri. Apalagi, jika ada yang merasa telah menampung banyak dosa, sehingga harus memohon ampunan dari Tuhannya. Simaklah bagaimana Shafwan Hadi Umry yang tak pernah berhenti berdoa dan mengakui kelemahannya di hadapan Sang Khaliq sebagaimana tergambar dalam sajaknya:

DOA
sehabis kisah, aku tak tahu di mana tamatnya
sehabis hujan, aku tak tahu di mana tumpahnya
sehabis ombak, aku tak tahu di mana hempasnya
sehabis jalan, aku tak tahu di mana batasnya
sehabis ayat, aku tak tahu di mana khatamnya
sehabis kisah sehabis hujan
sehabis ombak sehabis jalan
sehabis ayat sehabis tamat
doa sampai di batas makrifat

Teranyar ditegaskan penyair NA Hadian. "Sudah kugembok suaramu". Begitulah ungkapan batin penyair NA Hadian, dalam kumpulan sajak terbarunya Laut Mutiara (2005). Ungkapan yang sangat sederhana. Jujur dan tidak mengada-ada. Sudah kugembok suaramu. Ya, betapa miriskah nasib bangsa ini menghadapi segala fenomena kehidupan? Keprihatinan demi keprihatinan, itulah yang kita hadapi. Harusnya kita makin matang menghadapi berbagai persoalan. Tidak gagap atau kagok mencari jalan keluar setiap permasalahan. Apalagi sudah ratusan tahun diuji penindasan.

Namun, begitu ironi. Kita harus antre mendapatkan BBM. Padahal, mendapatkannya pakai duit. Duitnya sulit didapat. Didapat dengan susah payah. Banting tulang. Peras keringat, pikiran, dan tenaga. Penguasa dengan enteng meminta kita agar berhemat. Berhemat. Kencangkan ikat pinggang. Puasa Senin-Kamis. Wah! Bukankah sejak dahulu kita berhemat? Mengencangkan ikat pinggang? Ditambah lagi yang setiap saat puasa, tidak hanya Senin-Kamis.

Saking hematnya, saking menyempitnya pinggang, kita sampai cakar-cakaran. Berebut pekerjaan. Kehilangan pekerjaan. Sikut kanan, sikut kiri. Sikat kanan, sikat kiri. Jilat kanan, jilat kiri. Ujung-ujungnya, korupsi. Monopoli, oligopoli, manipulasi. Dan sebagainya. Yang penting happy. Tak peduli kanan dan kiri. Masing-masing cari selamat. Selamatkan diri masing-masing alias SDM.

Wah! Untuk itu, penyair NA Hadian bilang :
Sudah kugembok suaramu
jangan ucapkan lagi kata itu
kita saling berbohong
aku bohong kau pun bohong
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 1)

Bohong! Itulah yang sebenarnya. Aku bohong kau pun bohong. Apakah kita saling berbohong? Entahlah. Yang jelas, pada saat kita kehilangan tongkat, pada saat kita kesulitan sandang dan pangan, pada saat kita antre BBM, penguasa hanya mampu bilang kesulitan membayar minyak di luar negeri, apalagi utang piutang. Padahal sudah 60 tahun penguasa berkuasa. Diberi kesempatan mengolah hasil bumi, rempah-rempah; untuk keselamatan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat. Lihat saja, saat kita sudah sering berhemat, segala macam merek dan jenis kendaraan setiap hari mengalir deras ke bumi Pertiwi. Setiap saat berseliweran di depan mata kita. Booming. Dari mana datangnya? Dari luar negeri, tentu. Koq bisa? Siapa yang beli? Yang punya duit, tentu. Lho koq! Ya bisa, karena memang tidak ada ketentuannya. Tidak ada aturannya. Nah!

Mau apa lagi kita sekarang
bikin janji ke janji
janjimu bermata pisau
bicaramu tembaga berparuh ular
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 2)

Ideologi kepengarangan Sumatera Utara ini juga terlihat dalam sejumlah cerita pendek yang terdapat di dalam antologi sastra "Muara Tiga" (Indonesia-Malaysia). Buku kumpulan cerita pendek di Sumatera Utara memang kalah jauh berkembang dibanding puisi. Selain "Muara Tiga", ada juga kumpulan cerita pendek Danil Eneste "Pasar Mayat" (2000) dan "Monolog Hitam Putih" (2000) serta Idris Siregar dan S. Ratman Suras dalam "Perjalanan Yang Belum Tetungkap‘. Limabelas orang cerpenis penyumbang karyanya dalam "Muara Tiga’ tersebut, yakni, Abdul Jalil Sidin (alm), Baharuddin Saputra, Danil Eneste, Darwis Rifai Harahap, Harta Pinem, Hidayat Banjar, Maulana Syamsuri, M. Raudah Jambak, Ristata Siradt, Sulaiman Sambas, Supri Harahap, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, Yulhasni, dan Usman Al Hudawy (alfabetis).

Konflik kultural dan struktural hampir bersatu dalam setiap cerpen mereka. Misalnya terlihat dalam cerpen "Pistol"-nya Baharuddin Saputra, "Kere’ Hidayat Banjar, "Tanda ‘X’ di Kampung Kami" Raudah Jambak, "Marsekal Pertama di Bumi Indonesia" Ristata Siradt, "Menghalau ke Padang-padang Hijau" Sulaiman Sambas. Atau, cerpennya Syaiful Hadi JL "Rumah Seribu Lubang". "Rumah Seribu Lubang" senafas dengan "Tanda ‘X’ di Kampung Kami", seputar konflik berkepanjangan di Tanah Rencong, Aceh. Kecemasan dan ketakutan warga serta pembunuhan terhadap warga biasa, menjadi pemikiran dua penulis cerita pendek tersebut.

Sedangkan kekuasaan penguasa terhadap rakyat jelata tergambar jelas dalam "Kere" dan "Marsekal Pertama di Bumi Indonesia". Konflik pengarang terhadap batinnya dalam menghadapi realita kehidupan, terekam dalam "Pasar Mayat" Danil Eneste, "Ini Medan Bung" Darwis Rifai, "Kucing" Suyadi, dan "Lelaki Pencari Tuhan"-nya Yulhasni. Sementara persoalan rumah tangga terjadi dalam "Maraknya Kembali Api Diri" Jalil Sidin, "Rindu yang Menekan" Harta Pinem, "Gerbong" Maulana Syamsuri, "Suasana Ibadah" Supri Harahap, dan "Gerhana" Usman Al Hudawy. Pemikiran-pemikiran yang muncul dalam nafas kepengarangan sastrawan Sumatera Utara itu menjadi ideologi tersendiri guna membangun komunikasi personal dengan pembacanya. Ia tidak saja memberi nafas kehidupan bagi pembaca, sekaligus menohok bahwa mereka masih ada dan menyemai. Demikianlah. Amien. ***

PUISI DIJAH

HARUSKAH AKU BERDIAM DIRI

kadang aku merasa tak berarti
tak ada seni yang mengalir dalam darah ini
aku sendiri
berdiri di antara perpedaan

ingin aku mundur
berdiam diri
tak memikirkan puisi
tak merindu akan puisi

tapi..
tak pernah bisa
bait-bait kata selalu tercipta
berhamburan dari hamparan hati
walau tak pernah indah
bait kata itu selalu tak ingin berlalu

djah

Puisi – Puisi Djamal

Kami Mulai Buncit Dengan Janji-janji

Juga muak dengan celotehan kosong
dan bercumbu dengan luapan
yang meng-api-api

Jangan pernah kau melumat hati ini
sebab kami mulai buncit dengan janji-janji
karena kau pasti tak mampu memberi kami
sebutir vitamin

Tbsu, 2008


Deretan Senyum yang Terbuang


Irama angin mulai berdendang
di dalam ulu hati
pada bait-bait malam yang kian menajam

Ahoi, kenapa masih kudengar irama
angin, pada rindu yang masih saja hamil
di setiap sudut ruang jantungku

Alamak, sungguh kau adalah pengumbar kata
yang senang air mata
dari pada melihat deretan senyum

Ah, aku muak
sebab kau telah menggadaikan
abjad-abjad yang bergulir di bibir


Tbsu, 2008


Peluk Tubuhku Kasih


Peluk tubuhku kasih untuk melepas rindu kita
setelah kau peluk bisikanlah kata cinta di telingaku
peluk tubuhku kasih dan aku akan menjaga
kesucian cinta kita

Kasih, bangunlah istana cinta kita dalam
hatimu untuk selamanya
dan berbaringlah di sana, sambil mengeja
berapa tanjakan derita yang akan kita tempuh


Medan, 2008

Puisi Djamal

Negeri ini Milik Penguasa

Kemarilah, kau lihat aku yang telah tolol ini selalu termangu
Menunggu selembar buku
Amatilah aku dengan cermat

Aku adalah anak bangsa yang mempunyai cita-cita
Kini aku hany terduduk menunggu
Serta mengajukkan anak jari ke atas mentari
Mencari alpabet yang terserempet kerakusan

Matuku memerah, lelah mengoyak puing-puing rembulan
Bajuku kusut diterjang dasi penguasa negeri
Yang selalu memperindah diri

Aku buta
Oleh tajamnya aksara yang selalu melintas di bola mata
Dan tak pernah singgah

Ah, aksara itu hanyalah sebuah senjata
Bagi mereka

Tuan, lihat telapak tanganmu yang lembut
Telah menggenggam sapul buku kami

Tuan, lepaskanlah ia biarkan ia terpajang
Di etalase-etalase rumah kami
Seperti itupun jadi
Sebab kami tak ingin mati tanpa budi
Atau tak memiliki nurani


Medan, 2008

Jangan Menangis Nak

Puisi Djamal


Biarkan ibu mencari lubang-lubang yang telah lama tertimbun
bebatuan
biarkan ibu berdiri disepanjang jalan ini
menanti seliter minyak tanah yang kian laka

nak,
aku akan terus berdiri disepanjang jalan ini sambil mengais
butiran-butiran rezki yang takpasti
sebab telah dilahap pencuri yang tak mempunyai nurani

ah, sudahlah nak
kita cuma sekelompok orang yang terbuang
dari negeri yang telah berkembang ini

Medan, 2008-04-23

Meminta Kepadamu

Puisi Djamal


Dinda...
malam ini aku merindukan kehadiranmu
kau adalah kekasihku
rindu aku mencintaimu

dinda...
jika kau mencintaiku sebagai kekasihmu
rindukanlah aku seperti engkau merindukan Tuhan

kau adalah kekasih yang mempunyai semilir kerinduan
cinta-cinta yang kita tanamkan kuharap berbuah rindu

aku resah malam ini
menunggu belaian kata cinta darimu
yang meluncur dari bibirmu

dinda...
perjalanan cinta yang kita buka adalah duka
jangan kau kuak lubang yang telah ada

aku adalah kekasihmu yang selalu merindukanmu

hiduplah dalam hatiku
agar aku dapat menganyam cinta di hatimu
dan selalu mengenang namamu


Medan, 2008-05-14

Kamis, 15 Mei 2008

PANCA BUDI

Cerita Pendek Muara Tiga
Oleh: M. Yunus Rangkuti

Muara Tiga kini secara perlahan jadi perbincangan orang. Berawal dari cakap-cakap remaja sekitar lokasi, kini jadi perbincangan meluas di kalangan para turis domestik dan mancanegara. Muara Tiga kini menjadi daerah tujuan wisata di Sumatera Utara setelah Medan, Berastagi dan tentunya Danau Toba.
Sesungguhnya penduduk setempat tidak pernah terpikir Muara Tiga akan berubah. Dari kawasan sepi menjadi ramai. Bagi penduduk setempat, Muara Tiga dianggap angker. Dihuni mahluk-mahluk halus atau mahluk jadi-jadian. Keangkeran tersebut telah turun-temurun menyelimuti hati. Sejak kanak-kanak mereka telah dihantui cerita-cerita seram tentang mahluk-mahluk penghuni hutan, sungai dan tempat-tempat keramat kawasan Muara Tiga.
Kendati belum melihat atau bertemu secara langsung dengan mahluk-mahluk menyeramkan tersebut, penduduk sedemikian percaya akan hal itu. Simpang-siur cerita tentang wujud seram mahluk-mahluk tersebut, kian mengentalkan keangkeran Muara Tiga.
Siperos diyakini sebagai mahluk berwujud harimau berkaki tiga. Anggo, mahluk yang ke luar dari alam kubur. Sane, mahluk sungai yang selalu berubah wujud. Ada juga mahluk halus disebut jihin dan bunian. Menurut cerita, Siperos muncul sebagai petanda telah terjadi perbuatan maksiat, misalnya perzinahan. Oleh penduduk, mereka yang kedapatan melakukan perbuatan terkutuk itu segera diasingkan ke pedalaman hutan rimba.
Kaitan antara kemunculan Siperos dan hukum pengasingan, membuat penduduk tak berani melakukan perbuatan melanggar adat dan agama. Sekalli dua

Senin, 05 Mei 2008

DIKLAT

Pagi


Pagi masih terselimuti dingin kabut
Tak kuat mata menahan tangis yang tak tertahankan lagi
Terus di tahan selama perjalanan pulang
Belum jua masuk ke dalam rumah, sudah tak kuat lagi
mengalir air mata sembari berjabat tangan dengan keluarga duka
diam duduk sambil sesekali menyeka
wajah menunduk belinangan air mata
dan hanya menunduk
terdiam
mengalir air mata.
Keluar sejenak, beriringan linangan air mata.
Mandi, duduk, makan, minum bercucuran lagi
Berdiri mematung
tak kuasa lagi menahannya,
air mata tumpah.

Malam
Duduk di kursi usang, terbersit kenangan, mengalir air mata
Semakin deras
Semakin deras
Semakin deras
linanganku.
Malamku bertumpuk kesedihan mendalam kehilangan
kehilangan sahabatku ‘kakekku’.

Pagi
Mengalir lagi air mataku.
Kepulanganku kepulangannya


(Ahmad-diklat puisi)


KERTAS HITAM

Kertas hitam
yang tertinggal
di atas meja tadi pagi
Tak sempat kubaca
Hanya guratan kasar yang
sempat kupahat
sebagai jejak
Rindu yang terjebak

(Risdiana Liline-diklat puisi)

Jumat, 02 Mei 2008

Tidakkah Kau Rindu Padaku Sayang

Puisi Djamal


Tidakkah Kau Rindu Padaku Sayang /1/

Tidakkah kau rindu padaku, sayang
danauku biru terbentang
dikelilingi hutan yang hijau berdampingan dengan embun
di dasarnya ikan mas merayu
dengan wangi arsik berbulir butiran kacang koro

tidakkah kau rindu padaku
setelah kau memeluk tubuhku
juga belaian lembut bibirku

datanglah kau kepadaku sayang
aku masih menyediakan hidangan
gordang buat kita berdendang bersama malam
bangsi yang siap menemani kita untuk menepi

Medan, 2008

Tidakkah Kau Rindu Padaku Sayang /2/

Aku akan sabar menantimu
Di ujung malam yang semakin menajam
Hanya satu yang kuharapm darimu
Duduklah di muaraku

Jangan kau merasa takut !
Jangan kau menjauh !
Jangan kau berlari
Jangan kau menutup wajah !
Jangan !...jangan !

Medan, 2008-04-10



Puisi Djamal


Dialog Bulan

Entah kapan bulan akan bosan meminta sinar pada matahari
ketika malam datang bulan telah terang dengan senyuman
dan matahari selalu menyandarkan diri dengan penuh kelembutan
merah yang menyelimuti rembulan adalah matahari
keduanya saling bertatapan, “mengapa kita ditakdirkan bersama?”

kelak kita akan berpisah
“bulan, suatu saat kau akan rindu kehadiranku”

“aku tahu, aku butuh sinarmu”
“tapi aku ingin mandiri”

“kita takkan mampu hidup tanpa teman,
pasti kita saling membutuhkan !”

hujanpun mendayu dengan mesra
menumpahkan segala hasrat yang terpendam

“bulan,
rasakanlah belaian lembut hujan itu,
pasti kita kan merindukan sejuknya senandung hujan !”

Medan, 2008