Arsip Blog

Senin, 09 November 2009

SEORANG ANAK MUDA MASA KINI MENULIS PUISI TENTANG PAHLAWAN DAN KEMERDEKAAN

MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA?
M. Raudah Jambak

Masih merdekakah kau Indonesia
setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya
dalam kaleng rombeng
recehan angka milik pengemis belia
yang mendendangkan kidung lara
bersama hembusan dupa dari opelet tua
asih merdekakah kau Indonesia
ketika musyawarah berubah dari mufakat
menjadi siasat
ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat
ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan
dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa
Masih merdekakah kau Indonesia
dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya
karena matamu telah dibutakan
dan mulutmu disekat rapat-rapat
serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa
Masih merdekakah kau Indonesia
padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata
dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka
Masih merdekakah kau Indonesia?

Matahari Tepi Pantai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta di sela-sela pegunungan
merambat pelan-pelan dalam bias cita-cita

di puncak musim angin begitu landai
pada pelepah pohon kelapa
:terdengar anak mengaji alip ba ta
riak-riak biasa dalam sebuah pemahaman
debur ombak hanya menerjang karang
seperti piatu, mengetuk pintu mimpi membuka
telapak kaki ibu
ia pun menemukan buih
yang meretas sepanjang jarak sepanjang waktu
lalu, langkah lenyapkan buih yang gaduh
di bubungan rumah jiwa kita
menetes tes sebutir embun
menetes tes sebutir keringat
menetes tes sebutir air mata
: biru itu harus tergapai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta disela-sela pegunungan
meski badai, biru itu harus tergapai

medan,5-Januari-2005

Bismillah

bismillahirrohmanirrohiim
demikian kumulakan segala permulaan

sesungguhnya segala perbuatan
dimulai dengan niat

bismillahirrohmanirrrohiim
mulailah dengan langkah kanan
bismillahirrohmanirrohiim
mulailah dengan tangan kanan
bismillahirrohmanirrohiim
perkuatlah dengan husnuzon
bismillahirrohmanirrahiim
enyahkanlah segala suuzon

bismillah adalah ucapan yakin melangkah
hapus segala hujjah, hapus segala resah
anak yang mengerahkan segala pada ibu
pertiwi yang selalu gelisah
lantas, alhamdulillahirobbil'alamiin,
pertanda syukur sepanjang umur
demikianlah, sejak lahirnya anak manusia
polos dan tanpa ikatan, tak ada sepotongpun
yang terbawa dibawah nisan
lantas, mengaca pada masa lalu perlu
tetapi bertindak untuk lebih maju, justru fardhu
dari tanah akan kembali ke tanah
dari air akan kembali ke air
dari angin akan kembali ke angin
innalillahi wa innailaihi roji'un
untuk apa lagi kita saling berbantah
niat ikhlash atas ridho dan rahmat
itu pencapaian memperoleh syafa'at

mari yakinkan langkah dengan bismillah
tanamkan segala pujian hanya pada Allah
semoga segala niat memperoleh rahmah

medan-2004/2005

Indonesia Berkaca

telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa


Nama : Maya Ramadhani
Alamat : Jl. Pelita I Gg. Saudara No. 4 Medan
Sekolah : SMUN 6 Medan
Puisi :

Derita Wanita Merdeka
dipungutnya jejak-jejak yang tertinggal
di atas granit-granit hati
yang tercipta dari kebekuan rasa
inikah derita wanita merdeka ?
tanya mereka pada nestapa
yang selalu bayangi tiap langkah kaki mereka
yang selalu terhembus dari tiap helaan nafas mereka
inikah derita wanita merdeka ?
yang terseret arus dunia
dan menjadi pemungut dosa-dosa
dijalanan khatulistiwa ibu kota
dimana katanya merdeka ?
bila kami para wanita harus terjajah
inikah derita wanita merdeka ?
hanya menjadi rayap malam
lalu terhempas oleh pagi
dalam keterasingan
inikah derita wanita merdeka ?
yang terbebas dari kolonial penjajah
namun,terjajah oleh miskinnya negara

Nama : Dian Khairani
Alamat : Jl. STM no. 9 Medan 20219
Sekolah : SMK Negeri 3 Medan
Puisi :

Belawan Kita
Kami mengungsi lagi, saat dua geng ribut-ribut di tengah kampung
Dua orang geng barusan mati, teriak pemuda tanggung
Bukan dua, tiga, kamu salah dengar
Cepat, kita harus bergegas, sebelum rumah kita dibakar
Sebelum si Ujang dibantai dan si Butet diperkosa
Ujar seorang bapak yang suaranya serak
Menahan linangan air mata.
Tidur ya?
Sambung si ibu dan anaknya mengangguk dipangkuannya
Tetapi matanya tetap saja menyimpan telaga
Ada apa, mak?
Mengapa darah harus ditumpahkan?
Ternak kita mereka tombak?
Warung nasi kita mereka bakar?
Hanya karena telinga mereka tak bisa mendengar
Atau Hati mereka tak dapat bersabar?
Jangan berduka !
Besok sore, kita bangun lagi rumah kita
Dan lusanya, belawan kita pasti aman
Karena hari itu 17 Agustus, 59 Tahun sudah negara kita merdeka

ama : Ahmad Fajar
Alamat : Jl. Laboratorium No. 9 Medan
Sekolah : SMU Plus Muhammadiyah Medan
Puisi :

KUBAYANGKAN
Kubayangkan menulis puisi
tuk Ibu tercinta
Hingga akhirnya putus ujung kalam lidahku
karena tajamnya kata dan panasnya hati
Kubayangkan sedang membuat surat cinta
tuk kasihku sayang
sampai habis kertas di dunia
tuk tumpahkan isi hatiku
Kubayangkan kiniku terbaring dihamparan
lautan emas dan perak dunia
Namun,ku bermandi di kubangan darah
dan airmata,di dalam rebusan nanah iri,
dengki yang kusemai dendam padanya
Kubayangkan isi penaku habis
di saat kubuat puisi ini
yang hancurkan hati meregang jiwa dari raga
mengembara di jagat raya mencari Tuhannya
Kubayangkan pabila aku
tak lagi perlu hidup di dunia ini
menyemai dosa
menuai azab
Kubayangkan semua manusia lenyap
tak berbekas
hingga hilang angkara murka
dari atas muka bumi ini
Kubayangkan jadi elang
yang punya sorot mata tajam
dan kekuatan lahir
tapi ia tumpul mata hatinya,
lemah batinnya
Kubayangkan jadi pembunuh yang haus darah
dan tangisan korban
yang memohon agar tak dibunuh
Kubayangkan aku adalah bom
yang guncang Legion & Mariot
yang bungkam keriuhan dunia sesaat,
mengundang derai tangis
banjiri tanah dewata dan metropolitanku
Kubayangkan aku tak lagi
berkhayal tentangku,tentangmu,
tentangnya dan tentang mereka
Namun,ku kan terus menulis hatiku,
hatinya,dan hati mereka
di prasasti yang kuukir
dengan darah aneka bangsa
Nama : Pandapotan MT Siallagan
Alamat : Perumahan Mutiara Permai Jl. Serai Blok B No. 25 Sp. Panam, Pekanbaru Riau 28293
Puisi :

Setelah Bambu Meruncing Lagi Diraut Airmata
: a/
setelah bambu-bambu itu meruncing lagi diraut airmata, kami menugal tanah-tanah yang telah terbakar di dalam jantung kami. kami tanami harapan-harapan, dan membesar jadi pohon-pohon di sepanjang usia kami. lalu hutan-hutan membentang lagi di dalam mimpi-mimpi kami. tapi, setiap kali kami terjaga dihentak doa-doa, kami selalu menemukan bambu dan pohon-pohon itu meranggas lagi. ranting dan daun-daun beterbangan jadi asap, menyesaki nafas kami. tapi kami perintahkan anak-anak kami mengibarkan bendera pada bambu dan pohon-pohon itu, agar kami bisa lagi membaca angin, dan bernyanyi:
indonesia raya...merdeka...merdeka...
b/
setelah pada bambu dan pohon-pohon yang terbakar itu kami kibarkan bendera, kampung kami memancarkan warna merah dan putih. kami takjub, dan berpawai merayakan kemenangan itu. tapi kami tiba-tiba tersentak. kami ternyata sedang berjalan di atas genangan darah, tulang-tulang saudara kami berserakan di halaman. kami ternyata tidak sedang mengibarkan bendera untuk memugar hutan, tapi melukis tanah dengan darah. dan menyusun serakan tulang-tulang jadi jalan raya.
c/
lalu kami berjalan di atasnya, mencoba membunuh ketakutan dengan ketajaman doa-doa. kami jelajahi jalan-jalan menuju kebebasan. tapi kami tersesat. jalan dan gang-gang tak cukup panjang menampung dosa-dosa kami. kami tersesat di tubir tebing, gagap menemukan peluh kami telah menjelma jadi lautan gelap. mimpi-mimpi kami mengapung, mengintai sejarah perjalanan kami, lalu menerkam kami di jurang yang mencuram digali luka kami.
d/
akhirnya kami putuskan untuk rehat, lelap memeluk duka sendiri, tidur di kamar yang kami tukangi dengan airmata kami sendiri. dan di dalam mimpi kami, anak-anak bernyanyi:
indonesia raya...merdeka..merdeka...
e/
kami menghayati nadanya dengan jiwa yang berdarah,
dan menjadi kian tak paham memaknai kemerdekaan
kamarpilu, pekanbaru, 11-08-04
Nama : Prakoso Bhairawa
Alamat : Jl. Bambang Utoyo Lr Sianjur I No. 584 rt 05 Lemabang Palembang
Puisi :

Bercerita Sekawanan Camar; episode 2
Malam berganti
sekawanan camar kembali memecah bayangan matahari
memulai cerita pagi tentang hidup generasi Adam-Hawa
yang selama dimensi waktu menjiarahi peradaban
dengan dongeng cinta, mimpi klasik, harapan
dan memainkannya pada panggung bernama dunia
lewat dialog rangkaian kata sarat makna
keluar melalui rongga diafragma dari tiap hembusan nafas
Sekawanan camar asyik memainkan angin
menangkap butir partikel cerita
dari pemuaian ekosistem pasir putih
di mana riak laut senantiasa mencumbui bibir pasir
dan bercanda bersama anak-anak pesisir
meski habitat mereka mulai kehilangan
ketika tiap jengkal pasir diperdebatkan
dan orang-orang ramai meninabobokkan cemara
dengan syair gergaji mesin bahkan
berani menguji keperkasaan karang dengan peledak
Camar-camar bercerita bergantian satu sama lain
camar besar tak mau kalah dengan camar kecil
si kecil tak mau diremehkan
ia punya cerita tentang air mata
anak pesisir selatan yang terlahir karena nestapa
di mana setelah semalaman melaut Bapaknya tak kembali
lantaran malamnya jadi korban bajak laut
dari utara camar besar membawa kisah tragis
tentang Rama yang tenggelam terseret ombak
dan Shinta hanya melihat lambaian terakhir
Sekawanan camar kembali berputar
memainkan angin bersama matahari yang terus meninggi
dan camar tertua mulai menutup cerita
“Utara – Selatan selalu punya cerita bagi
kita yang mendiaminya dari musim ke musim
sebagai sebuah catatan panjang kehidupan”

Catatan: Kemerdekaan dapat diartikan sebagai sebuah kebebasan. kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi. begitu juga hal yang diinginkan dalam puisi ini. semua memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat biar dia kecil maupun besar, karena kebebasan, kemerdekaan milik kita semua
Nama : Hasan Al Banna
Alamat : Jl. Balai Desa Gg. Antara No. 84 Timbang Deli Medan Amplas
Puisi :

BELUM JUGA, NAK
maka selamat jalan, anakku. selamat berjuang
sebab hari ini
kita belum juga merdeka
bukan, bukan belanda yang datang menyerang
tidak, tidak jepang yang kembali menerjang
tapi sanak sendiri yang mengangkang
menghadang
dengan senjata terkokang
tapi jangan takut, anakku. jangan surut
sebab kulahirkan kau
bukan sebagai pengecut
itu terik yang memanggang
itu hujan yang merajang
itu peluru yang mendesing-melintang
adalah buai-sayang yang membawamu pulang
ke rumah atau bahkan ke liang?
lantas jangan menyerah anakku, jangan kalah
sebab sepercik doa
telah kusulut di sumbu darahmu.
Medan, 2003-2004
Kategori : Pelajar
No Peserta : 335
Nama : Nurazizah daulay
Asal Sekolah : SMU sultan iskandar muda
Puisi

biarkan jemariku memilihmu
ketika gemericik dedaunan mengalunkan nada seindah dawai yang dipetik para dewi
izinkan jemariku memilihmu
ketika semilir angin melenggok, meliuk lalu mengelus pipi-pipi perawan
izinkan jemariku memilihmu
ketika para setan berpesta, meminum tuak kebobrokan etika
ketika para wayang saling sikut, menyulam kemelut jadi benang kusut
ketika air bah menyapu rumah-rumah reot di negri yang juga reot
hingga
ketika kamboja akan jatuh di atas kepalaku
jika mungkin,
tetaplah izinkan jemariku memilihmu
"puisiku"

Medan, akhir juni 2004
Kategori : Pelajar
No Peserta : 328
Nama : Maya Rahmadhani
Asal Sekolah : SMUN 6 MEDAN
Puisi :
Oase Sabana
Aku lara dipenghujung hunusan
pedang sang pendusta
Aku lemah diantara oase jiwa-jiwa padang sabana
Lelah aku mengendapkan bermil laut
laraku di dasar amazon terdalam,
dijulangan kebekuan everest teringgi,
dan digersangnya angin gunung sahara
Jiwaku terus mengembara tak tentu arah
diantara ombak-ombak laut,
badai-badai gurun dan
dinginnya gletser-gletser es yang mencair

Kategori : Pelajar
No Peserta : 232
Nama : MHD. HENDRIANTO
Asal Sekolah : SMUN4 MEDAN
Puisi

USANG
Ku buka peta perjuangan bangsa
usang dan penuh debu
sebagian rusak dan termakan jaman
ku buka peta perjuangan bangsa
ada pemuda berjuang
membanggakan ibunda
Indonesia...
ku buka jendela kamarku
di sana tak kulihat lagi
pemuda yang cinta kepada ibunda
Indonesia
Kategori : Pelajar
No Peserta : 314
Nama : FITRIANI RAMBE
Asal Sekolah : SMK.S.TELKOM SANDHY PUTRA

Nyanyi kecil

Lelah bermain lalu tidur
lupakan kekalahan tadi, saat bermain
lelapkan semangat sedikit berbunyi
kekalahan tadi tangis buat ibunda
bocah kecil berlapang dada,
mengisi tetes air mata,
dalam nyanyi kecilnya.
Bocah kecil mengurai waktu
suasana sama, batas tak terlihat
kekalahan dari segalanya
juga tangis buatnya
mengisi nyanyi kecilnya
pada permainan yang tak tertuntaskan
pada segala kecewanya.
Kategori : Pelajar
No Peserta : 69
Nama : Sholahuddin
Asal Sekolah : SMK 1 BATAM
Puisi:

Penghancur Bangsa
kabut surya telah menggepar di atas awan
tumpahan darah yang bergelinang dimana-mana
diamkah dia ??
diamkah dia ??
aroma kematian telah mendatangi tubuh kami
hingga mau merenggut apa yang kami telah dapati.
wahai saudara sadarlah engkau
sebelum engkau diteriaki maling oleh pengikutmu sendiri.
janganlah engkau menghancurkan putra-putri bangsa yang telah mekar dan berkembang
bunyikan saja loncengnya biar terdengar semua orang pertanda ajal insan akan lenyap.
kala sang surya tak ceria lagi seperti dahulu

Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 327
Nama : ELIDA WANI LUBIS
Asal Sekolah : UNIMED
Puisi

Perempuan Monalisa
Sebutir nilam menggelinding
Menjelma perempuan monalisa
Berdiri di tengah kobaran api
Menarik perhatian
Pemimpin
Pengkhotbah
Pengembara
Penipu
Pemerkosa
Hingga total memacetkan lalulintas.
Perempuan monalisa
Memberontak dari kepungan penelanjangan
Satu persatu ia tanggalkan pakaiannya
Semua mata terbelalak
Sekian nafsu berlompatan ingin menerkam
Gemuruh guntur meledak ditengah arena
Perempuan monalisa
Hanya dia yang mampu pertaruhkan nyawa
Demi satu benih cahaya bangsa
Anak keseratus,keseribu
bahkan kesejuta ribu anak bangsa
Perempuan monalisa
Pandanglah ia sebagai seorang ibu
Bukan pemuas nafsu
Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 248
Nama : Nur Hilmi Daulay
Asal Sekolah : Unimed
Puisi

Ibu, Aku Ingin Merah Putih Reinkarnasi
Pernah Ibu,
seduku merayu
ketika awan-awan itu kelabu
ketika bening yang harusnya berjabat tangan
berubah jadi roda-roda elmaut menggilas
lawang di perbukitan tinggal kenangan
Pernah Ibu,
lukisan yang kutoreh di atas kanvas
kusobek-sobek hingga letihku
karna setiap kali kuas kugerakkan
yang terlukis hanyalah kelam
yang terlukis hanyalah perang
yang terlukis hanyalah keranda-keranda kusam
lalu tak sengaja,
tinta merahku tumpah dan semua hanya darah
Pernah Ibu,
nuraniku tak mampu membendung sesal
sedih yang menikam teredam dengan serapah
aku marah !
ketika merah putih yang kau jahit hanya jadi penutup mayat seorang Ersa
tak cukup Ibu !
kali lain kulihat kain berwarna sama menutupi seorang Ferri
merah putih itu ikut terkubur mati
ada apa dengan anak-anak Ibu ?
tak cukupkah hanya seorang jurnalis?
lalu jaksapun harus melengkapi catatan kelam museum peradaban kita
hhh...
untung saja ada Ferri lain yang enggan mencatatkan dirinya pada museum yang sama
tahukah Ibu?
ketika itu sungguh
aku ingin merah putih reinkarnasi
Ibu,
aku berhasrat, suatu hari membeli kanvas baru lagi
melukis merah putih berkibar jauh lebih tinggi
mewarnai merahnya jauh lebih berani
mewarnai putihnya jauh lebih suci
aku
ingin
merah putih reinkarnasi !

Tanah Air, akhir juni '04
Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 209
Nama : Dian Trisna Sari
Asal Sekolah : UNIMED
Puisi :

Kerinduan
Merayu lagu rindu terbenam dalam sepi
Menikam siang dan malam di celah tebing hati
Lukisan kisah lalu terlintas kembali
Kala akhir berjabat kian menusuk diri
Menggumpal ku pendam asa ‘tuk bertemu
Mencari detik indah dalam salam membatu
Menggunung rasa kepada nama penuh cinta
Merajut senyum di langit jiwa
Terbungkam membisu, adakah ia tahu ?
Pohon kerinduan terus tumbuh subur di dinding galau
Terhanyut dalam nikmatnya nada rindu
Riang merajut mimpi, bilakah bertemu ?
Bergayut meninggi mencari hari
Meronta menggenggam tiang hati
Menitipkan asa di balik daun bertemankan matahari
Mengharap tunas rindu memucuk datangnya hari
Kategori : Mahasiswa
No Peserta : 351
Nama : Soni Harianto
Asal Sekolah : Politeknik LP3I Medan
Puisi

Untaian Kata Buat Maya
pinjami aku bahasa...
kan ku ungkai menjadi kata...
tuk uraikan luhur budi, agung pekerti
anugarah Ilahi Rabbi untukmu, seorang putri
pinjami aku mimpi...
kan ku bangun istana syurgawi
dikelilingi nirwana dan rerimbunan bunga
dan jadikan engkau ratu bidadari
pinjami aku waktu
kan ku pahat rindu yang syahdu
yang jernih sebening cahaya surya pagi
yang putih sesuci embun di kelopak daun
pinjami aku pena
tuk goreskan lagi tinta
karena ku t'lah kehabisan kata
karena aku bukanlah penyair itu
yang pandai simpulkan kata lewat irama
yang pandai lembutkan batu yang t'lah beku
aku hanya penyair amatiran
yang ciptakan puisi dari kenyataan
dan kau adalah kenyataan itu
yang terus bersinar seiring waktu
Kategori : Mahasiswa
No Peserta: 143
Nama : Muharijal
Asal Sekolah : Politeknik Negeri Medan
Puisi :

Kemana Hilangnya
Malam itu langit tertunduk
Bulan dengan kedua matanya terbelalak
seakan terkejut ketika gaungan suara
menghambur keatas.
Dentuman suara tembakan itu
tak sedikit pun menggeser tapak kaki kami
yang sejak matahari terjaga
telah menyentuh pipi bumi.
Kami hanya berteriak
teriakan yang selama ini dicekik ketidakadilan
mulut kami terbuka lebar memuntahkan
keperihan kami.
Dor..,rebah dari kaum kami
membelakangi langit yang sedih
menetes darah perjuangan dikulit pertiwi
meresap hingga menyuburkan semangat
untuk tetap berjuang.
Kilat menangkap gambaran malam kelam
bayu menerpa daun warna - warni
digundukan tanah hunian penyampai lidah.

Kategori : Umum
No Peserta : 338
Nama : damayanti
Puisi

aku seorang janin
kegelapan ini membuatku akan lelap,
tapi bingar membuatku terjaga
hanya sakit yang pahit
karna bibirku tertohok jariku
"ibu aku akan sumbing"
bingar itu memporak-porandakan impiku
gelegar itu pada siapakah bertuan?
seorang tuan majikan melontar maki pada perempuan yang oroknya kutumpangi
"ibu, suara papaku melengking"
kegelapan ini membuatku akan lelap,
tapi gontai yang tercipta membuatku terjaga
ada tangis meraung
kecewa mengapung
sesal membubung
lalu kulihat perempuan ini berhenti di sebuah rel tua yang banyak menyimpan cerita tentang yawa-nyawa tak berasa
kegelapan ini membuatku akan lelap, gundah benar-benar membuatku terjaga
perempuan ini menjajakan dirinya di depan kereta
aku meronta, histeris
"ibu, kereta itu tak bermata"
tapi aku sumbing, yang terdengar hanya desis
kegelapan ini membuatku akan lelap,
lelap dalam gelap yang panjang
biarkan !
dalam terang nanti akan kutulis cerita buat tuhan tentang episode ini
"aku seorang janin "
Kategori : Umum
No Peserta : 247
Nama : M.Raudah Jambak
Asal Sekolah :
Puisi

Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana, di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang
Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan
Medan,03-04
No Peserta : 206
Nama : Yusrizal S Siregar
Asal Sekolah :
Kategori : Umum
Puisi

Sebuah Keberangkatan Sunyi
tak henti-hentinya angin mengirimkan dingin
kebekuan serta kebisuan telah menyelimuti
wajah-wajah batu
melukis sepi tanpa tepi di bola mata
menghujamkan belati sunyi
jauh ke dalam rasa kesendirian berabad
melayangkan ruh-ruh
mengiris bentangan hening yang purba
helai-helai rambut gugur
tatapan-tatapan patah berkabut
laksana antrean panjang sebuah keberangkatan
tanpa stasiun
tanpa kereta
di atas rel-rel waktu menuju keabadian
hanya doa dan air mata, mengantar keberangkatan
ini
di bawah sunyi kamboja.
Tanah Air, Juni 2004.
Yusrizal S. Siregar.
Kategori : Umum
No Peserta : 235
Nama : Zakir
Asal Sekolah:
Puisi

Kau Akan Menjemput Puisi Ini
mungkin hanya tetes hujan yang tahu
kalau telah kulengkapkan tangismu
pada daun-daun yang berjatuhan
kita harus tampung air hujan
seperti kita menampung kemiskinan
telah kulengkapkan puisi ini dengan sepi
ada juga airmata, sedikit senyum kecu
aku masih menunggu di gubuk ini
dari jendela kutatap langkahmu
mungkin kau akan menjemput puisi ini
Medan, 2004
ategori : Umum
No Peserta : 274
Nama : Hasan Al Banna
Asal Sekolah : Medan

Fragmen Sajani
tidak ada yang diwariskan bapakmu untuk kau anakku
selain matamu yang sipit
sedang hitam kulitmu seperti kulit ibumu ini
seperti kebanyakan warna kulit orang pribumi
(entah istilah apa itu, nak ?)
jika kau besar nanti, jangan sulutkan api dendam
kematian ayahmu kepada siapapun
sebab ia hanya terjebak kerusuhan hebat ketika itu
jangan, jangan kau kobarkan amarah durja
nanti para ibu-bapak, istri-suami dan anak-anak
menangis tersedak kehilangan para sanak
jangan belajar menyenangi darah dan luka
nanti sulit kau menafsir airmata; sedih pedih duka dan lara
bahagia atau hampa ?
maka pandanglah hidup ini lewat mata telaga
bertuturlah dengan wangi bunga
sehingga rumah mungil yang kelak kau huni
menjadi persinggahan ribuan rama-rama
yang menelurkan mutiara
dan bukan tempat serigala
memburu mangsa
maka demi bapakmu yang mendekap bumi
menyanyilah dengan gembira, anakku
menarilah kau seriangnya
biar darahmu tak sembarang gelegak
biar amarahmu tak gampang meledak.
Medan, 2003

No Peserta :
1061
Nama Peserta:
Praben Gusti Purnama Sari
Asal Sekolah :
SMAN 1 Pemali-Bangka
Posting :
28122004 , 14:36:58 WIB
Puisi :
Sajak tentang Seekor Camar

Sekawanan camar mengumandangkan lagu perih
lantaran gitar tempat seekor camar bersarang
dipetik jari-jari terluka dan
bulan dimalamnya pun menyanyikan
lagu sunyi dalam kekecewaan
bersama ombak yang meneriaki gelegarnya
membelah karang di tepian
perih terasa sampai ke hati
tapi ledakan baru bermula

Seekor camar berteriak
memanggil harinya dalam keadilan
sepanjang tahun menangis
meratapi luka di pulaunya bersarang
tiap putaran waktu hanya ada
kour dari mesin tambang
membuat kepala sesak
udara panas dan melebarkan luka

Dari tepian bibir pantai camar masih
melihat sebentuk harapan pagi yang mungkin
datang bersama matahari dimensi baru
karena ia yakin cerita duka lalu
tak akan terlihat di hari paginya
No Peserta :
1442
Nama Peserta:
Hardy Okuli
Asal Sekolah :
SMA N 1 Onan Runggu
Posting :
07012005 , 19:35:46 WIB
Puisi :
Menyulut Angan

seusai kuputar waktu
searah tanjak arus usia remajaku dan seusai kukemas mimpi
menjadi kenangan kumuh,
aku akan menguapkan segala
juntal keruh air mata lapukku, akan kujerang
dengan senyum yang memparah
sampai lukisan sedih yang terukir dari terik rinduku
akan terbakar, hangus bersama kedip-kedip hari

sesudah itu,
akan kudaki bukit-bukit awan
meskipun hanya dengan tapak lamban yang belum pasti jadi.
bulan tetap akan kujangkau.
dan dari sana,
bintang tembaga akan kulekang
sampai senyumku kembang seranum purnama

dan dengan bersampankan mimpi,
masih akan kudayung pelayaran senjaku
ke dermaga beku yang hampa tangis
tempat di mana akan kuperamkan tungguku di atas kasur luka
hingga laju kereta anganku
tiba di depan peron waktu yang berpeluh-peluh
sampai senyum kita
benar-benar dapat melingkup telaga gelap
yang meluapkan bau keringat jalanan kemana-mana
agar kelak kita bersama mencicipi adonan waktu
dengan liur yang berulur-ulur pada lumbung cita
sehingga tak akan pernah ada raga berpeluh sia-sia

rembulanpun telah panik menyaksikan ringkasan mimpi kering ini
dan terdengar bisiknya seolah saat ini akan tuntas sebait celoteh bocah
yang berjudulkan bara derita yang akan segera padam oleh hujan malaikat
yang akan menyayat akar-akar lukaku.

No Peserta :
2736
Nama Peserta:
Suryani
Asal Sekolah :
SMPN 1 Sy.Bayu
Posting :
31012005 , 11:55:22 WIB
Puisi :
Nyanyian Pengungsi

Tanah kering rerumputan
Terik hujan permainan
Malam pekat ketakutan
Perut kosong kelaparan

Inilah nyanyian kami
Baitnya lahir dari lara di jiwa
raga dengan duka meranggas
masuk lewat celah bilik sempit,
menghimpit,membusuk,muak!

Kami makan lapar
Kami minum haus,
Air mata kami karamkan pilar sejarah ini

Kini, kami adalah gagak
yang mencakar kuburan sendiri
berharap temukan sisa bangkai
pengganjal nafsu sesaat.
Tak ada lagi tempat berpijak selain gemuruh menampar rejam bumi

Jangan,simpan saja reportase itu
Luka lama kami masih membiru
Belatungnya pun belum usai menari.

Wahai tuan pemilik merah putih!
Terimakasih kami ucapkan
Telah kau beri kami harga
dengan sebungkus mie
Telah kau bawa kami bertamasya
hingga kenal penjuru negeri ini

Tapi, kami lihat...
sayap kemerdekaan negeri ini telah patah
Tak mungkin menerbangkan kami lebih jauh lagi.
Biarkanlah kami menabur benih di puing cinta kami

Ladang gersang kami minta disirami
Ilalang rumah kami minta disiangi
Bocah kecil kami minta disekolahi
Tak perlu kami jadi turis di negeri sendiri!

Tanah kering rerumputan
Terik hujan permainan
Malam pekat ketakutan
Perut kosong kelaparan

No Peserta :
1934
Nama Peserta:
hannanur
Asal Sekolah :
SMUN 2 Pemko lhokseumawe
Posting :
19012005 , 15:02:14 WIB
Puisi :
Bait do'a

Doa masih melengking di busung lapar anak kami.
Matahari memecahkan tangisnya dalam pelukan cahaya
Syair kami dicabik,tapi...
alinianya masih melolong dalam rimba sujud kami

Di panggung...
zaman mengigirkan liang lahat harapan kami
angan meremang dalam telaga air mata
tapi,tetap saja pundak tegak itu memikul keringat yang melaut dalam darah.

Biar kujaring kesucian lisanmu,
yang menyulutkan rangkuman lidah api.
Agar tak pecah lagi kesunyian tarian kita

Di serambi waktu...
doaku masih menggali harapan yang terpahat pada siluet langit tahun depan.

No Peserta :
2792
Nama Peserta:
Nur hilmi Daulay
Asal Sekolah :
universita Negeri Medan
Posting :
31012005 , 14:49:57 WIB
Puisi :
MUHASABAH

Dan bukit-bukit mengecap sunyi pada keheningan terpekat,
Menunggu satu detik yang mengantarkannya pada satu tahun berikutnya

Dan detak jantung yang berjalan menggandeng jarum jam itupun bersaksi,
Pada ingatan yang teracik menjadi catatan kecil terbesar tahun ini.

Tahmidnya menggema menyibak malam,
Saat memorynya menghadiri pesta rakyat, kali ini tanpa darah
Karna Negri ini telah lama lelah, lidahnya tak ingin lagi latah menjilati tinta merah yang berkali-kali tumpah dari jiwa-jiwa penghuninya

Lalu bulu kuduknya berdiri,
Dengan enggan diketuknya memory tragis yang menyaksikan dirinya tertimbun pada puing-puing bangunan dengan airmata menembus lumpur, menyetubuhi air bah.
Dan jantungnya masih berjalan bergandengan dengan jarum jam
walau entah berapa ratus ribu jantung telah diam, bungkam

Ia terpekur,
Menengadahkan kepala menatap lurus menembus jantung cakrawala,
Tapi bulanpun terlihat keruh
dan bibirnya
dan hatinya
dan jiwanya
berpeluk erat pada muhasabah yang nyaris hanyut dalam laut yang gemeretak dengan amarah membirahi

Dan..
helaan nafasnya bertasbih menggaung tembus ke bukit-bukit yang mengecap sunyi pada keheningan terpekat.
Pada satu detik yang berlalu beberapa puluh detik yang lalu, mengantarnya duduk dalam I'tiraf membuka tahun berikutnya

Matanya nanar menatap bulan yang kian keruh-
Dan pemiliknya tak pernah keruh,
Ia luluh

SURAT KEPUTUSAN DEWAN JURI
LOMBA CIPTA PUISI ONLINE V 2005
Kami Dewan Juri Lomba Cipta Puisi Online V yang telah diselenggarakan oleh PT. Telkom Divisi Regional I Sumatera, telah melakukan penilaian terhadap karya-karya Puisi dari para peserta, terhitung mulai tanggal 01 Maret 2005 hingga tanggal 16 April 2005 di situs www.isekolah.org.
Respon peserta masih tetap menggembirakan dengan jumlah yang cukup lumayan, terutama sambutan dari berbagai daerah yang selama ini belum ikut serta. Di samping itu masih ada sebagian pengirim yang berdomisili di luar Sumatera, sehingga statusnya gugur sebagai peserta. Khusus untuk Kategori Umum, di antara pesertanya terdapat beberapa nama penulis yang sudah “jadi”. Jumlah karya yang diterima sebanyak 2610 Judul Puisi, dan sebanyak 332 Judul Puisi yang tidak memenuhi syarat, dinyatakan batal.
Kriteria Penilaian meliputi 3 (tiga) unsur, masing-masing:
1. Unsur Bahasa: Idiom, pilihan kata (diksi), citraan (imaji) dan gaya bahasa.
2. Unsur Tema: Kepaduan tema, termasuk relevansi isi puisi dengan judul.
3. Unsur Orisinalitas (keaslian): Kemandirian dalam menggali dan mengungkapkan tema.
Perlunya ditetapkan Pemenang Lomba Cipta Puisi Online V sesuai dengan Kategori yang terdiri dari: Kategori Pelajar, Mahasiswa, dan Umum.
Maka dengan ini memutuskan: Pemenang Lomba Cipta Puisi Online V sebagaimana tercantum di bawah Surat Keputusan ini. Dewan Juri tidak bertanggung jawab apabila di kemudian hari puisi para pemenang ternyata adalah saduran, terjemahan, atau plagiat. Tanggung jawab tersebut terletak pada peserta itu sendiri.
Surat Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Medan, 24 April 2005
Dewan Juri Lomba Cipta Puisi Online V 2005
Ketua : A. Rahim Qahhar
Sekretaris : Damiri Mahmud
Anggota : Ys. Rat
Pemenang Lomba Cipta Puisi Online 2005 Juara I, II, dan III beserta Juara Harapan I, II, dan III adalah sebagai berikut :
1. Kategori PELAJAR
JUARA I
No.Peserta : 484
Judul : Karena Alam Bersabda dalam Sajak Kita
Nilai : 480
Nama : Hannanur
Domisili : Lhokseumawe
Sekolah : SMUN 2
JUARA II
No.Peserta : 972
Judul : Senandung Pagi
Nilai : 450
Nama : Lego Sitinjak
Domisili : Rantau Prapat
Sekolah : SMA Negeri 1 Rantau Prapat
JUARA III
No.Peserta : 1199
Judul : Karena Aku Penari Cahaya
Nilai : 375
Nama : Suryani
Domisili : NAD
Sekolah : SMPN 1 Bayu
HARAPAN I
No.Peserta : 798
Judul : Cukuplah Merasa Kecil
Nilai : 350
Nama : Syakhrawil Fadli
Domisili : NAD
Sekolah : SMPN 1 Bayu
HARAPAN II
No.Peserta : 1087
Judul : Orang-orang di Bebatuan
Nilai : 300
Nama : Feizal Al Kholik
Domisili : Kep. Babel
Sekolah : SMKN 1 Pkp
HARAPAN III
No.Peserta : 779
Judul : Harap
Nilai : 275
Nama : Ariesty Kartika
Domisili : Kep. Babel
Sekolah : SMUN 1 Pemali
2. Kategori MAHASISWA
JUARA I
No.Peserta : 766
Judul : Mengangon Badai
Nilai : 485
Nama : Januari Sihotang
Domisili : Sumut
Universitas : Fak. Hukum USU
JUARA II
No.Peserta : 876
Judul : Percakapan di Balik Reruntuhan
Nilai : 475
Nama : Rifaul Fanani
Domisili : Riau
Universitas : UIN Suska Pekanbaru
JUARA III
No.Peserta : 976
Judul : Pada Laut Kita Selalu Diam
Nilai : 450
Nama : Muhalib
Domisili : Riau
Universitas : Univ. Islam Riau
HARAPAN I
No.Peserta : 1124
Judul : Sajadah Laut
Nilai : 375
Nama : Ade Efdira
Domisili : Sumbar
Universitas : Univ. Andalas
HARAPAN II
No.Peserta : 449
Judul : Cut, Kuntum Jeumpa Mulai Mekar
Nilai : 350
Nama : Prakoso Bhairawa
Domisili : Palembang
Universitas : Univ. Sriwijaya
HARAPAN III
No.Peserta : 1167
Judul : Talqin Aceh Dan Nias
Nilai : 325
Nama : Aisyah
Domisili : Sumut
Universitas : USU Medan
3. Kategori UMUM
JUARA I
No.Peserta : 803
Judul : Perahu Fansuri, Suatu Pagi
Nilai : 500
Nama : Jimmy Maruli Alfian
Domisili :Lampung
JUARA II
No.Peserta : 187
Judul : Musa yang Membelah Gelombang
Nilai : 475
Nama : M. Raudah Jambak
Domisili : Medan
JUARA III
No.Peserta : 60
Judul : Aceh 1
Nilai : 455
Nama : Isbedy Stiawan ZS
Domisili : Bandar Lampung
HARAPAN I
No.Peserta : 1085
Judul : Ini Riwayat Kami, Bukan Kiamat Kami
Nilai : 400
Nama : Hasan Al Banna
Domisili : Sumut
HARAPAN II
No.Peserta : 878
Judul : Perahu Kita Masih Bersayap
Nilai : 375
Nama : M. Badri
Domisili : Riau
HARAPAN III
No.Peserta : 1163
Judul : Kasidah Bulan
Nilai : 350
Nama : Pandapotan MT Siallagan
Domisili : Riau




SEORANG ANAK MUDA MASA KINI MENULIS PUISI TENTANG PAHLAWAN DAN KEMERDEKAAN

Oleh :
Husni Djamaluddin

Bagaimana kalian mengendap dalam gelap malam
di lereng strategis sebuah bukit kecil
menghadang konvoi nica

bagaimana jantung kalian deras berdebar
ketika iring-iringan kendaraan itu semakin mendekat

lalu bagaimana tubuhmu ditembus peluru
dan kau rebah ke tanah berlumur darah
terbaring beku
di rumput ilalang
dalam lengang yang panjang
kami tak tahu
ketika itu kami belum tumbuh dirahim ibu


bagaimana kalian dalam seragam kumal
baju compang-camping
menyandang karaben Jepang
di front-front terdepan

bagaimana kalian terpelanting
dari tebing-tebing pertempuran

bagaimana kalian menyerbu tank
dengan bambu runcing

bagaimana kalian bertahan habis-habisan
ketika dikepung musuh dari segala penjuru

bagaimana kalian terbaring
di dinding-dinding kamar pemeriksaan nefis

bagaimana kalian mengunci rapat rahasia pasukan
dalam mulut yang teguh membisu
walau dilistrik jari-jarimu
dan dicabuti kuku-kukumu

bagaimana kesetiakawanan yang menulang-sumsum
bagaimana kaum ibu sibuk bertugas di dapur umum
bagaimana kalian sudah merasa bangga
kalau ke markas bisa naik sepeda

bagaimana semua itu sungguh-sungguh terjadi
dan bukan dongeng
dan bukan mimpi
kami tak alami
kami belum hadir di bumi ini

bagaimana peristiwa-peristiwa itu berlangsung
pastilah satu memori yang agung
tapi adalah memori kalian
dan bukan nostalgia kami

kemerdekaan
telah kalian rebut

kemerdekaan
telah kalian wariskan
kepada negeri ini
kepada kami anak-anakmu

kemerdekaan
menjadikan kami
jadi generasi
yang tak kenal lagi
rasa rendah hati
seperti yang kalian rasakan
di zaman penjajahan

kemerdekaan
ke sekolah naik sepeda
bukan lagi segumpal rasa bangga
seperti kalian dulu
di tahun tiga puluh
kami anak-anakmu
telah kalian belikan
sepeda motor baru
untuk sekolah, ngebut dan pacaran

tetapi
kemerdekaan
yang juga bahkan
menyadarkan kami
tentang peranan yang harus kami mainkan sendiri
dengan tangan sendiri dengan keringat sendiri
sengan bahasa kami sendiri
dalam lagu cinta
tak bersisa
pada tumpah darah
Indonesia

Kemerdekaan
kami tahu
tak hanya dalam deru
sepeda motor
tak cuma meluku tanah dengan traktor

kemerdekaan
bukan hanya langkah-langkah kami
ke gedung-gedung sekolah

kemerdekaan
bukan hanya langkah-langkah petani
ke petak-petak sawah

kemerdekaan
alah pula pintu terbuka
bagi langkah-langkah pemilih
ke kotak-kotak suara

kemerdekaan
adalah ketika hati nurani
bebas melangkah
dengan gagah
bebas berkata
tanpa
terbata-bata

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tapi bukan Tidur sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata kita sedang perang

Dia tidak tahu kapan dia datang
kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
dunia tambah beku
ditengah degup suara yang menderu

Hari itu 10 November
Hujanpun mulai turun
orang-orang ingin kembali memandangnya
sambil merangkai karangan bunga
tapi yang nampak,
wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang
Senyum bekunya mau berkata:
Aku sangat muda

(Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Subagyo Bachtiar)

AKU TULIS PAMPLET INI
Oleh :
W.S. Rendra

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng - iya - an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


Ingredients:
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh :
W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku


Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25 /18 Juni 1960


Directions:
GERILYA
Oleh :
W.S. Rendra

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Siasat Th IX, No. 42/1955


GUGUR
Oleh :
W.S. Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
" Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang."
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :
"Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!"

Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

HAI, KAMU !
Oleh :
W.S. Rendra

Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.


Jakarta, 29 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


LAGU SEORANG GERILYA
(Untuk puteraku Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra

Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata

Jakarta, 2 september 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi


LAGU SERDADU
Oleh :
W.S. Rendra

Kami masuk serdadu dan dapat senapang
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk mati
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di rumah


Siasat
No. 630, th. 13/Nopember 1959


NOTA BENE : AKU KANGEN
Oleh :
W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


ORANG-ORANG MISKIN
Oleh :
W.S. Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi


PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa



DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA

Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidup di rumah tangga

Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- horison yang selalu biru bagiku -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua


RAKYAT
hadiah di hari krida
buat siswa-siswa SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman


Rakyat ialah kita
jutaaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang beringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949


MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957



KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954
________________________________________
Thursday, April 03, 2003

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943




PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.


DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949