Arsip Blog

Jumat, 23 Mei 2008

Sumatera Utara: Ideologi Kepengarangan

Sumatera Utara: Ideologi Kepengarangan
(Suatu Tinjauan Sosiologis)



Oleh Suyadi San S.Pd. M.Si.



Di tengah mengglobalnya jagad perpuisian modern di Indonesia –apalagi dengan tumbuh suburnya media internet yang menampung sejumlah puisi para penyair, tidak menjadi satu alasan bagi penyair Sumatera Utara untuk lepas dari akar tradisi. Setidaknya, masih banyak penyair di daerah ini yang setia terhadap nuansa etnik dan identitas kulturnya. Lihatlah bagaimana penyair migran S. Ratman Suras "Suara Hati si Roro Jonggrang": "seandainya aku menerima pinangan itu/aku pasti seperti kalian/reguk embun cinta, lenyap bila matahari meninggi/aku seperti mendur pronocitro/merajut cinta dalam genangan darah//" (bait 1).

Sulaiman Sambas melalui sajak balada berjudul "Nandong Dinandong Ale Baya O Intan Payong" malah banyak mereduksi ucapan mantra : "//(o, mayong segala mambang/mambang angin puting beliung/merentang panjang tali arus/celupkan pelangi di pusat tasik)//" (bait 8) Begitu juga Thompson HS yang tak lupa pada "Tano Pasogit"nya: "masih kuingat sebuah kampung/di pinggir danau/tanahnya melahirkan ibubapa dan ompung/tapi hatiku sudah ditanam di sana/waktu horja, pesta hula-hula/bersama cerita tambo//" (bait 1).

Dan, tentu saja sajak saya yang terkena pengaruh Melayu Deli berikut : "pak ketipak ketipung/anak-anak bermain di teras tepi jalan/kehilangan tongkat gawang peninggalan/pak ketipak ketipung/jangan disentuh topi-topi tak berbusa/agar kau tak bisa berlena-lena//…//pak tipak tipung/kepak kepung pak titi/titipung kepak pak ke :/—begitulah aku bernyanyi-nyanyi/sendiri/di tengah troubador kotaku///" (Dendang Pakpung untuk Medan Bestari).

Di samping itu, kegelisahan kreatif para penyair Sumatera Utara juga tidak lepas dari semangat religiositasnya. Para penyair menyadari, sesungguhnya apa yang dilakukan manusia tidak terlepas dari ‘dukungan’ Sang Pencipta, sehingga patut disyukuri. Apalagi, jika ada yang merasa telah menampung banyak dosa, sehingga harus memohon ampunan dari Tuhannya. Simaklah bagaimana Shafwan Hadi Umry yang tak pernah berhenti berdoa dan mengakui kelemahannya di hadapan Sang Khaliq sebagaimana tergambar dalam sajaknya:

DOA
sehabis kisah, aku tak tahu di mana tamatnya
sehabis hujan, aku tak tahu di mana tumpahnya
sehabis ombak, aku tak tahu di mana hempasnya
sehabis jalan, aku tak tahu di mana batasnya
sehabis ayat, aku tak tahu di mana khatamnya
sehabis kisah sehabis hujan
sehabis ombak sehabis jalan
sehabis ayat sehabis tamat
doa sampai di batas makrifat

Teranyar ditegaskan penyair NA Hadian. "Sudah kugembok suaramu". Begitulah ungkapan batin penyair NA Hadian, dalam kumpulan sajak terbarunya Laut Mutiara (2005). Ungkapan yang sangat sederhana. Jujur dan tidak mengada-ada. Sudah kugembok suaramu. Ya, betapa miriskah nasib bangsa ini menghadapi segala fenomena kehidupan? Keprihatinan demi keprihatinan, itulah yang kita hadapi. Harusnya kita makin matang menghadapi berbagai persoalan. Tidak gagap atau kagok mencari jalan keluar setiap permasalahan. Apalagi sudah ratusan tahun diuji penindasan.

Namun, begitu ironi. Kita harus antre mendapatkan BBM. Padahal, mendapatkannya pakai duit. Duitnya sulit didapat. Didapat dengan susah payah. Banting tulang. Peras keringat, pikiran, dan tenaga. Penguasa dengan enteng meminta kita agar berhemat. Berhemat. Kencangkan ikat pinggang. Puasa Senin-Kamis. Wah! Bukankah sejak dahulu kita berhemat? Mengencangkan ikat pinggang? Ditambah lagi yang setiap saat puasa, tidak hanya Senin-Kamis.

Saking hematnya, saking menyempitnya pinggang, kita sampai cakar-cakaran. Berebut pekerjaan. Kehilangan pekerjaan. Sikut kanan, sikut kiri. Sikat kanan, sikat kiri. Jilat kanan, jilat kiri. Ujung-ujungnya, korupsi. Monopoli, oligopoli, manipulasi. Dan sebagainya. Yang penting happy. Tak peduli kanan dan kiri. Masing-masing cari selamat. Selamatkan diri masing-masing alias SDM.

Wah! Untuk itu, penyair NA Hadian bilang :
Sudah kugembok suaramu
jangan ucapkan lagi kata itu
kita saling berbohong
aku bohong kau pun bohong
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 1)

Bohong! Itulah yang sebenarnya. Aku bohong kau pun bohong. Apakah kita saling berbohong? Entahlah. Yang jelas, pada saat kita kehilangan tongkat, pada saat kita kesulitan sandang dan pangan, pada saat kita antre BBM, penguasa hanya mampu bilang kesulitan membayar minyak di luar negeri, apalagi utang piutang. Padahal sudah 60 tahun penguasa berkuasa. Diberi kesempatan mengolah hasil bumi, rempah-rempah; untuk keselamatan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat. Lihat saja, saat kita sudah sering berhemat, segala macam merek dan jenis kendaraan setiap hari mengalir deras ke bumi Pertiwi. Setiap saat berseliweran di depan mata kita. Booming. Dari mana datangnya? Dari luar negeri, tentu. Koq bisa? Siapa yang beli? Yang punya duit, tentu. Lho koq! Ya bisa, karena memang tidak ada ketentuannya. Tidak ada aturannya. Nah!

Mau apa lagi kita sekarang
bikin janji ke janji
janjimu bermata pisau
bicaramu tembaga berparuh ular
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 2)

Ideologi kepengarangan Sumatera Utara ini juga terlihat dalam sejumlah cerita pendek yang terdapat di dalam antologi sastra "Muara Tiga" (Indonesia-Malaysia). Buku kumpulan cerita pendek di Sumatera Utara memang kalah jauh berkembang dibanding puisi. Selain "Muara Tiga", ada juga kumpulan cerita pendek Danil Eneste "Pasar Mayat" (2000) dan "Monolog Hitam Putih" (2000) serta Idris Siregar dan S. Ratman Suras dalam "Perjalanan Yang Belum Tetungkap‘. Limabelas orang cerpenis penyumbang karyanya dalam "Muara Tiga’ tersebut, yakni, Abdul Jalil Sidin (alm), Baharuddin Saputra, Danil Eneste, Darwis Rifai Harahap, Harta Pinem, Hidayat Banjar, Maulana Syamsuri, M. Raudah Jambak, Ristata Siradt, Sulaiman Sambas, Supri Harahap, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, Yulhasni, dan Usman Al Hudawy (alfabetis).

Konflik kultural dan struktural hampir bersatu dalam setiap cerpen mereka. Misalnya terlihat dalam cerpen "Pistol"-nya Baharuddin Saputra, "Kere’ Hidayat Banjar, "Tanda ‘X’ di Kampung Kami" Raudah Jambak, "Marsekal Pertama di Bumi Indonesia" Ristata Siradt, "Menghalau ke Padang-padang Hijau" Sulaiman Sambas. Atau, cerpennya Syaiful Hadi JL "Rumah Seribu Lubang". "Rumah Seribu Lubang" senafas dengan "Tanda ‘X’ di Kampung Kami", seputar konflik berkepanjangan di Tanah Rencong, Aceh. Kecemasan dan ketakutan warga serta pembunuhan terhadap warga biasa, menjadi pemikiran dua penulis cerita pendek tersebut.

Sedangkan kekuasaan penguasa terhadap rakyat jelata tergambar jelas dalam "Kere" dan "Marsekal Pertama di Bumi Indonesia". Konflik pengarang terhadap batinnya dalam menghadapi realita kehidupan, terekam dalam "Pasar Mayat" Danil Eneste, "Ini Medan Bung" Darwis Rifai, "Kucing" Suyadi, dan "Lelaki Pencari Tuhan"-nya Yulhasni. Sementara persoalan rumah tangga terjadi dalam "Maraknya Kembali Api Diri" Jalil Sidin, "Rindu yang Menekan" Harta Pinem, "Gerbong" Maulana Syamsuri, "Suasana Ibadah" Supri Harahap, dan "Gerhana" Usman Al Hudawy. Pemikiran-pemikiran yang muncul dalam nafas kepengarangan sastrawan Sumatera Utara itu menjadi ideologi tersendiri guna membangun komunikasi personal dengan pembacanya. Ia tidak saja memberi nafas kehidupan bagi pembaca, sekaligus menohok bahwa mereka masih ada dan menyemai. Demikianlah. Amien. ***