Arsip Blog

Rabu, 27 Februari 2008

TAMAN SASTRA RAUDAH JAMBAK

Takdir 1

Semut semut membariskan kesabaran
Mengangkut serpihan daging yang
Menempel di dinding
Tapi, di ujung tikungan seekor ciciak dengan
Rakusnya melahap setiap serpihan
Yang melintas pintas


Takdir 2

Seorang lelaki terduduk dibangku
Melumat setiap kepulan asap dimulutnya

Seorang gadis berambut gerimis sedang
Menari-nari di kaca jendela matanya


Takdir 3

Gerimis lirih di jendela kaca
Membayang dalam samara-samar cuaca
Tapi, kata-kata terkunci
Mengigil di depan pintu
Lalu terbenam pada kubangan luka
Yang tergenang di ruang tamu

Takdir 4

Telah lama kusembunyikan api
Di rimbunan hujan yang menari
Tapi, angin menamparnya bertubi-tubi
Bersama sepi kupeluk dirimu
Bersama dingin kurayapi dirimu
Namun, ragumu seperti peluru
Membabi-buta luruhkan tangisku

Takdir 5

Jangan kau pahat sungai pada tebing hatiku yang curam
Takkan pernah ada camar yang terbang rendah
Kecuali gagak yang mendongak
Tapi, ukirlah telaga
Tempat kita membasuh cinta

Takdir 6

Aku hanya sepotong penis di atas kompor
Sekali waktu dapat kau rebus, kau bakar atau kau goring
Makanlah, hanya itu yang dapat kuberikan
Untuk penambal perutmu
Dan anak-anak kita

Aku hanya sepotong penis di atas kompor
Jika kau tak berkenan sebab penyesalan
Bakarlah, dan hanguskan sampai riwayat penghabisan
Untuk sebuah kesetiaan
Atau pengkhianatan

Takdir 7

Hari ini Tuhan mingkin lupa menyinggahi kita
Memenuhi isi piring-piring di atas meja
Sebaiknya kita penuhi saja dengan koma koma
Di cangkir-cangkir yang menganga
teguklah bersama kemarau lambung kita

Takdir 8

Ah,
Biarlah

Takdir 9

Dengan menyebut nama Tuhan
Kusahkan kalian menjadi pabrik
Penghasil setan-setan

Takdir 10

Tuhan,
Telah kusaksikan begitu banyak rimbunan air mata
Yang patah terkulai jatuh di kerontangnya tanah
Meranggas dari ranting-ranting jiwa
Yang lelah

Medan, 00-07

Sepasang do’a
Sepasang do’a terbang menembus jendela kaca
Sementara angin tersedu-sedu dalam rindu
Pada monument luka ini kupahatkan selembar daun
Yang gugur, rebah di atas tanah yang pasrah
Satu persatu usia gugur, rebah di atas pusara basah
Tombak itu menghunjam ke dada berkali-kali
Duri-duri terus-menerus menempel di kaki
Ah, betapa waktu tak pernah sudi menunggu
Harum lembut aroma kenanga berganti bau gelora
Aroma kamboja, dan sebelum waktu menjemputku
Di atas sajadah, bersama untaian zikir yang merindu,
Dan air mata segala duka, kulepaskan segera
Sepasang do’a terbang menembus jendela kaca
2007
Iqra’
:bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan
Pada masa yang penuh benalu seluas tanpa batas
Allah,izinkan aku untuk tetap bernaung dalam asma-Mu
Setegar zikir rerumputan menyulam suara azan
Yang bergema di lingkaran semesta tak terhingga
Sebab dalam ketenangan yang mengambang
Dingin terasa meluluhlantakkan
Sebab dalam keheningan yang mengawang
Bisu begitu membekukan
Sebab dalam kehampaan yang menerawang
Api berkobar-kobar menghanguskan
Aku telah mengunyah-kunyah
Segala tipu daya yang meledakkan kebenaran
Dalam kesumat dan tak jelas batasnya
Dalam sujud aku arungi lautan taubat
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi
Tuhanku,
Pada masa yang berwarna abu-abu membekas
Di kanvas jiwa, perhelatan telahpun dikunjungi
Deraian air-mata yang mencekik nurani,
Menulikan telinga dari lantunan ayat-ayat cinta-Mu
Tentang sepotong pesawat bagai burung-burung yang
Menggapai-gapai makrifat di bandara surga-MU
Tentang sebongkah kapal, bagai lumba-lumba yang
Menelusuri maqom di pulau penuh sungai susu
Tentang sekeping kereta-api, bagai kura-kura yang
Bermunajat sepanjang stasiun hati ber-aura biru
Atau tentang muntahan, debaran, deburan, dan
Zikir dari perut-perut bumi
Bukan tak tersulam niat membungkus
Bongkahan syahwat dan karang muslihat
Membesar-memadat, membesar-memadat
Dalam sujud panjang tak berkesudahan
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Amboi,
Pada masa yang penuh belatung, virus
Dan kuman-kuman ini ajarilah kami meneguk
Setetes demi setetes embun keikhlasan dari
Segelas derai air-mata kami, derai air-mata
Kecintaan sepenuh nurani
Jangan lenakan kami dalam kebatilan
Yang membutakan
Jangan mabukkan kami dengan khamar
Yang meluluh-lantakkan
Jangan hilangkan segala kesadaran
Yang melenyapkan-tanpa bekas
Selalu kukayuh sampan sajadah
Mengarungi lautan penuh ombak,
Penuh onak, menghindari bongkahan
Karang-karang keangkuhan yang teramat tajam
Dalam sujud yang beringsut-ingsut
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Maka,
Setelah kubaca masa-masa penuh benalu
Berwarna abu-abu yang penuh belatung,
Virus dan kuman-kuman, dengan nama-Mu
Yang menciptakan: naungilah dan peluk kami
Dari teror kemaksiatan, serta persekutuan kesesatan
Agar tetap taffakur dalam syukur, dalam membaca
Rasa cinta sesama
Kutubul amin, 22 Januari 2007
M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972
Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar,
Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED .Alamat kontak-Taman Budaya
SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP.
085830805157.
no. rek; Mandiri cabang mdn balaikota,
106-00-04699933