Arsip Blog

Kamis, 21 Februari 2008

Puisi Puisi AFRION

Perburuan Rumahitam

di batam
puluhan pasang bayangan karam
tenggelam ke dasar laut
sampai dilumpur paling dalam
tak menemukan apa-apa

seanyir nafas perempuan
tubuh mengawang dibawa angin
selalu jalang selalu tak ingin pulang
dihanyut gelombang memabukkan

selain ranting mengering
daun gugur ke rahim tanah
mendongeng kisah mata air
mengikis wajah kemerahan

perjalanan yang panjang
mengukir jalan berliku bersimpang
dihempang ranting dan batang pohon
akar menunjang kedalaman

sepanjang bentangan jalan
perempuan merenda pertumbuhan
deru angin membawa hujan
lalu geram mengusik rumahitam
sehabis gumam
pertarungan memangsa desah percintaan
lonceng berdentang dua belas kali
perburuan pun dimulai
setajam pedang hang nadim
waktu mencengkram
dosa dibenci anak-anak sorga


Batam, 2007

Pertikaian Tanah Deli

sepanjang mata
kering dan cemas
mengayuh perahu ke samudera
tak jelas arah dan batas

memburu ladang pertikaian
medan yang tak pernah bangun
disesaki perantau sepanjang tahun

barisan pelayat tanpa suara
berpantun pantun syair melayu
saling mendekap berharap

tak ada yang dapat mencatat
kota bagai tubuh ditenung segala dewa

kubur menganga ditunggui pedang pancung
raja dan datuk tak berdaya
hidup di kepung amarah
dikebiri sampai wajah pucat pasi

bangsawan melata melilit batang jati
rawa dangkal menghibur tulang belulang
tertanam setengah tubuh
dicekik laskar revolusi

di tanah deli pertikaian tak henti
guru patimpus meratapi sungai deli dan babura
medan putri di tanah wakaf, menjadi asing menjadi melata
menjadi selembar sajak

sejak kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh
segemuruh napas pertarungan
memandang istana tanpa tahta dan singgasana

geram meradang dalam pikiran
menunggu angin laut cina selatan
lalu tubuh dibayangi legenda purba
jatuh dari angkasa

seperti burung jatuh
arwah terbang dan melayang
mata mengambang
pandangan terlunta jauh mengembara
sampai tak menemukan kata

wajah kerut didetak waktu
membuka jendela membiru
dijemput takdir jejak tubuh
menghiba
meremas dada
mengharap nasib baik



gemuruh tubuh membentuk cakram
cahaya menampar sudut kota
menunggu waktu berubah

waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam

Medan, 2007


Mengenangmu


kata ibu “pergilah merantau karena tanah seriau telah kehilangan payung
tak ada batas ujung sepanjang pandang - selain labuh tanker
jiwa kering telentang mengejang”

menyisir bakau pulau kecil, tambang timah dan ladang minyak
dikikis matahari melengkung, rapuh dibelah beratus lorong
amuk dan kapak puluhan tahun membelah tanpa lelah
badai tercipta dari daun berguguran
air mengalir ke semenanjung
di semenanjung manapun kita melabuh menjelma segala riuh
jika riuh serisau tanah riau apatah hendak hentikan tangis
lalu bandar menjadi makam menembus dinding rahim
makam yang memanjang dari hulu ke hilir
ke muara mana ia berhenti kesetiap risau sepilu perempuan
menanti suami membawa seikat kembang pewangi
angin bertiup menggali kubur yang panjang

setengah telanjang dada lelaki berkeringat menggulung gelombang
dalam sekejab membentuk laut garang
merangkai kemudi patah ditelan ombak petang
mengigaukan amarah karena kegersangan tanah pusaka
pohon dan air kecoklatan meraungkan tangis di ujung bukit
bau amis dan udara yang tipis
kampung yang tak pernah rampung menulis kisah paling resah
tanah yang kejang sepanjang debar dirundung gelisah

“mestikah memenung di tepian sungai
menyerah sebelum ajal memanggil pulang
lalu rubuh tengkurap di pusaran arus
nikmati muara mengalirkan limbah berwarna air kecoklatan
menghapus rindu pada laut” kataku

mestinya ibu berhenti mengeja huruf dari kegamangan petuah para datuk
karena di sungai menggelepar anak ikan tertikam begitu dalam
kampung yang lengang kehilangan sejarah bersama adab yang terkikis
mengenang sebatang pohon diukir wajah sembilan wali
raja tanpa tahta dan mahkota tanpa janggut dan keris sakti
di pedalaman lelaki tua memungut kerinduan
dihanyutkan arus sungai ke muara terlunta-lunta
semacam jejak kehitaman menyapu kabut di bukit
makin berbaris makin habis

“di bukit mana tersiar kabar dengan raung halilintar
angin menggulung akar pohon
sekalipun tanah kelahiran dilindung mantra segala doa
hidup akan semakin singkat saja”

sesingkat riau kehilangan kecipak air - minyak bumi dan rimbun pohon
untuk hidup dengan semestinya di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi menggantungkan lampu waktu subuh
pada pohon berbaris memanjang ke belakang
sepanjang gugusan lembah – tanah merekah
tubuh melayang terbang menjelang sembahyang
diamuk cuaca saat azan tiba

sesingkat itu
kukenang tubuhmu sepanjang badai dan hujan

Batam, 2007

Lelaki dan Sebilah Pisau


“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara“ katamu

bau tubuh yang garang dengan sebilah pisau di pinggang
mengukir makna tanah makam

“mainkanlah kisah para nabi” kataku menikam perut bumi

perahu nuh merayapkan sepasang belatung
kunang kunang menerbangkan cahaya

di tengah antara dinding dan lorong panjang
lelaki berambut ikal bertubuh kurus
dengan apakah kau tuliskan kisah malin kundang dan joko tingkir
sedang langit hitam langit menyempit udara pengap
setelah empat puluh tahun tubuh rapuh tak bertenaga

lelaki aneh dengan sebilah pisau di pinggang
tak peduli tempat berteduh
sekedar hinggap atau melepas lelah.
angan-angan melantunkan nyanyi pilu yang panjang
tidak jelas suaranya
selain desir angin di daun
memberi kabar tentang tangis anak istri
suara kesiasiaankah yang datang dan pergi?

“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara
mestikah kumainkan kisah para nabi” katamu

“apa yang tak ada padaku – ada padamu.
yang tidak ada padamu – ada padaku
kita saling mengisi memenuhi kebutuhan
mempertahankan hidup tenggelam dalam lamunan
menyesalkah?
ah barangkali tidak” kataku

ladang di tanah petak persegi panjang
di tengahnya gundukan pasir membentuk bukit
menanam ubi habis dijarah puluhan pemain sandiwara lain
hidup yang tak lebih sama
menjadi melata dengan taring yang panjang

tenang seperti tanpa dosa tanpa beban
memamah rakus ubi-ubi yang kutanam
hidup menggantung di pundak orang lain
begitu tidak peduli, merambah hutan
sampai perut menggelembung seperti perempuan bunting
masuk angin ataukah kenyang sebenarnya kenyang
dan tidak pernah saling memahami.

lelaki itu
bahkan kini menahan kutukan menjadi sebilah pisau
sementara aku tak henti mengagumi ketololan
menjadi aktor paling bejat
tak peduli dengan sebilah pisau membunuh hidup keluarga
hidup anak istri yang saban hari menanti beras dan ikan
bertahan hidup selamanya atau memilih mati
demi memenuhi ambisi suami.

2007


Sunyi Batu Pantai Air Manis


menelusuri cahaya demi cahaya
adalah kisahmu di pinggiran pantai
merambah rumput hitam memekat
membujur simpuh meneteskan keringat

berabad-abad berjatuhan dari bayangan masa lalu
adakah kau mengetuk takdir kuburmu
meremas tasbih mengeja huruf demi huruf
pada waktu berjatuhan dari hempasan angin
di balik celah seperti yang sudah-sudah

tetes hujan kian basah
merangkai tanya pada tiang patah; doa bundakah itu
yang memainkan randai malin kundang
merindukan anak di perantauan
yang tak pulang-pulang?

maka pulanglah
sebelum senja menutup usia
selagi mata mengurai bunga-bunga mekar
merambat hingga ranting ke pucuk daun
menguat pada akar

di tengah musim, saat badai melepas gelombang ke pantai
menghanyutkan perahu, membawa petaka
kukira inilah negeri maut menuliskan cerita
lalu bersimpuh menekuk lutut pasir berkerikil
merasai keganjilan terburai
di tengah nasib

bahwa kita telah lama hidup
dalam usia waktu berkelebat membuka rahasia perjalanan
menelusuri cahaya demi cahaya
mengenangkan percakapan
di tengah takdir paling sunyi
dan paling batu dari makna nasibmu


Medan, 2006


Di Tengah Pekuburan


lalu hening bayangmu dalam tubuhku
menjejak telapak, menemukanmu di tepian
setiap kali waktu mendendangkan pilu perempuan
entah itu ibuku atau ibumu menghentakkan kaki
dengan sengaja tidak mengajakmu kembali dan seterusnya pergi
bagai dua kekasih bercumbuan lalu sunyi kita dalam hening
melumat geram berabad-abad lama
mengigau di celah batu membelah musim
didesak waktu tiba pada malam hitam

dan bayangmu dan tubuhku
gemetar didera cambuk malaikat

angin mengempas ditingkahi tiupan seruling
barangkali juga, tuhan akan datang menjenguk
seperti dosa membatu di dinding kalbu
ah, celaka membiarkan ia menangis
atau sendirian memilin kusut benang
wajah sesekali menghilang
dibuai resah digeram malam tanpa cahaya
menyembul tanpa warna
hitam mengigau di antara gemuruh angin
di tubuhku
luka darahmu
bibir yang selalu kelu
membaca kisah


2006


Deksarah


jika risaumu serisau tahun berganti, dek
akan kukirim syair pelepas dahaga

jika ingatan melabuhkan tubuh yang luka sepanjang hari lalu
perjalanan menghempas rasa luka dukamu diam seketika
ditinggal hidup sendiri tapi kali pertama dirimu datang menjengukku
akan kukirim harum hawa sorga

(hidup yang patah hanya sementara
maka jangan biarkan dirimu dirundung duka)

raibkan kisah angin itu, dek
bayang luka senantiasa mengganggu jiwa
mengembaralah keangkasa maha, malaikat membawa cahaya
bagi diri yang senantiasa percaya

(ulangtahunmukah kini datang membawa kabar ke tanah melayuku, dek?)

jika risau tahunmu jika igau tak kunjung padam
maka layarkan bahtera nuh menyusuri kalut jiwa
jika risau tubuh dihantam bayang mengebiri sepanjang hari lalu
maka layarkan keyakinan firman dan hadist


Medan, 2007



Mihrab


tubuh yang kau tidurkan di semesta bumi
sebelum subuh menggeliatkan kabut
menepi di ujung ruang
menanti kabar memagut cemas penghabisan

setelah maut menyelimut di tangan berkeriput
doa di pusaran lubuk menggelinding berputar-putar membawa tubuhmu gemetar

berhentilah langkah menyusuri pasir dan gurun
di seberang bukit berbatu lelah
menghitung hari-hari penantian
menjelmakan kalut

setiap kali akan ada saja yang datang dan pergi
mengintai dari balik jendela
menghirup bau tubuhmu
yang selalu jalang selalu pulang
membanam cinta pada perseteruan angka-angka

waktu subuh menggigil ngilu pada siku
aku bersekutu menjelajah ruang angin pada musim
dingin bersendiri
menyeka debu pada dinding dan seketika raib
mengenang percakapan kita
rindu berpantun-pantun membawa tiga pucuk daun
gugur di putik bunga

waktu cemas melepas sakit dalam lumpur berbatu
sesaat mengalirkan tetes embun
mengucap salam ke paru-paru.
menggigil dalam lipatan cahaya
bersaksi bersujud simpuh menyusun kata-kata
jika makna nasibmu hitam di lumut batu
abadikah ia?


Medan, 2005 – 2006


Samsara


kalau hidup dikebiri
gairah apa yang melenggang ke pelupuk mata
segala samar, senyum kehilangan cahaya

berlapis-lapis geram bersandar di dermaga, kapal tak berlayar
sejak laut dirundung badai, dan kita terbang mengambang
setelah hening memeluk peluh, angin mengirim kabar
dari syair-syair yang tak laku di pasar

lumpuh tempat berteduh
rumah-rumah rubuh
lalu ikhlas luluh tengkurap di tepian makam

aku, syair, dan buku-buku
membisikkan takdir itu
dengan sekumpulan sajak abadi
menjelaskannya padaku; tentang jalan berliku
pada ranjang maha luas, pada nasib
berpayung di dedaunan pucuk pohon

bahwa kita sudah lama tak bertegur
menerjemahkan nafas, perlahan menggemakan percakapan
dan menghitung hening setiap persimpangan jalan

maka, datanglah berkunjung
kusiapkan tempat duduk berdua
menyusun arah layaknya buku syair-syairku
bertumpuk di atas batu

samsara, pada ruang memucat
ini masa menjadi kering tanpa jejak
tinggal sederet kata bisu di ruang tamu

aku begitu gagap tinggal di rumahmu
mungkin salah memilih takdir, lahirlah waktu
aku tak sabar menunggu


Medan, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih anda telah meninggalkan komentar yang kami butuhkan selanjutnya kami akan menghubungi anda atas apresiasi yang diberikan, Salam