Arsip Blog

Senin, 25 Februari 2008



Lintasan Waktu,
Sedingin Hawa Jogja



1

udara basah
sepanjang lamun dihias kerut wajah
ditunggu waktu cahaya purnama
dicambuk senar kecapi menuntunmu

kota disapa gunung api
seperti keledai di jalanan tugu dan lempuyangan
perempuan gentayangan
berkelana dengan perantau

masih sedingin dulu
tubuh ranummu

2

air mata menjadi saluran bagi hujan
rindu pada daun pohon
batang meranggas mencari pelindung udara basah.
halilintar membelah kabut tipis
di atas bukit

aku meminangmu dengan angin
di tempat sepi bersama dingin
merayapi nafas sampai ke seberang
pulau tanpa bakau, batu cadas dan karang laut.
menatap langit kabut dan merasakan hujan

air mengguyur tubuhmu
mengalir ke samudera

3

sambil membaca bahasa tubuh
kemanakah akan kau lepas ayam betina berbulu tipis
menulis puisi sampai ke pasar, mall dan supermarket
pekik yang tercekik, melepaskan syair kesia-siaan
tidak dimengerti dan penuh misteri

aku akan selimuti tubuh dengan harum bunga
meniduri kota dilipatan hawa malioboro
menunggu daun gugur

kukecup keningmu
kau diam membisu

4

semalaman ini tubuhmu menggumam desah
melambaikan kisah masa lalu
syair pertama dibayangi nyeri kesedihanku
berpusar dari rindu kembali ke waktu mula kita bertemu

tapi kesedihanku telah membatu
seperti bukit dilalap ketandusan
hanya ada sebatang pohon tanpa daun
ranting meranggas ke batas paling ujung
menjadi purba menjadi legenda

5

pipin yuli dhian hapsari
di sudut kota ini aku tak ingin kembali
kisah lama yang pahit ditikam keris mata dewa
aku membenci suara seperti menyumpahi ketololan

entahlah dimana ketenangan dan batas kejujuran
dengus nafas seperti ketandusan padang pasir dihembus desir angin
begitu panas
begitu cemas

6

tak ingin kuketuk rumahmu karena keluguanku
meski sapa dan bisu bersatu dalam gumam rindu
seperti elang melayang di tengah laut
jaring para nelayan menuju batas yang tak jelas

di antara keberanian dan ketulusan
menantang badai melawan maut
gelombang tak takut pecah di pantai
ketololan dan keluguan menjadi cermin

7

sekali waktu kita bertemu
kau sapa diriku terburu-buru

“kapan kau pulang, jam berapa dan naik apa
kereta kencana tidak untuk dibawa bersuka ria
itu milik raja dijaga sepuluh kesatria”

kupandangi wajahmu
jauh ke dalam hati

“apa yang kau pikiri?”

medan yang lantang membawamu ke seberang
tak ada ombak dan gelombang memecah karang
tak ada sapa sekedar bercanda
hanya mata kelilipan disapu pikiran

inilah terakhir kali kita bertemu
godaan bau tubuhmu membuat iri lelaki
juga perempuan lain yang datang dan pergi

8

wajahmu membuat kisah baru
sekeras karang tak pecah karena gelombang
tapi ingin kunikmati dengan tenang
seperti malin kundang di pantai padang
sujud di pasir buritan kapal

kukecup keningmu
kau diam membisu

Jogjakarta, 2007