Arsip Blog

Kamis, 21 Februari 2008

Puisi Puisi AFRION

PUISI PUISI AFRION



Pertikaian Tanah Deli

Sabanhari, sepanjang waktu di tanah Deli
pertikaian tak henti
waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam

Di sungai Deli
segala raung adalah segemuruh tubuh
menikmati air beracun limbah
tiada perahu tiada kapal berlayar ke laut bebas
sungai dengan kepurbaan riwayat
mengabur situs menjadi abu batu

Tak ada yang dapat dihalau
daulat tuanku; abdi tubuh abdi hidup di bumi

Tidak sesejuk angin sejernih mata gunung
mencium harum tubuhmu

Airmata keruh; menangis di tanah guguran daun daun
sejak lama diapit pohon kamboja
kepala suku empu dan datuk datuk
pulang menatapmu kini dengan tubuh pucat pasi
seperti awan langit senja
pulang menatapmu kini bagai ditenung segala dewa
jadi bangkai peradaban
dihuni belulang tulang

Abdi raja mengeluh luluh tengkurap
dilamun petaka tanah ulayat dijarah
digarap puluhan perantau

Tiada tempat menanam pangan
mendulang gabah
menambang batu tanah liat

Perantau menguasai laman rumah
membangun gedung gedung
membakar pohon pohon
alangkah tidak mengenakkan
tidak senyaman dulu mereka nikmati indah tubuhmu
merasakan hembusan angin turun

Sejak daun kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh, segemuruh napasmu
raja dalam istana tanpa tahta dan singgasana
tahun tahun gusar di tengah musim angin laut
lalu membiarkan langkah mencari suaka
meniupkan dupa untuk santapan dewa

Meneteskan airmata langit berkabut
lalu antara bayangan memanjang
melewati negeri gelap gulita
segala menghilang penuh khianat tanah huma
tanah ulayat negeri beradat
dijemput takdir kematian


Medan, 2008




Kampung Medan /1/

Berpuluh resahku menghambur ke pucuk kalbu
lahir berpuluh gundah berpuluh gelisah
berpuluh rumah dan kanak berselimut kain belacu

Hikayat urban guru Patimpus
membuka ladang kampung Medan
kini bertumbuhan kepalsuan
dilamun petaka bumi jejak perantau

Istana bagi semua mengalir airmata
menusuk jantung hati dan paru
menyesak menghantam tengkuk kepala
membawa pikiran di tanah tandus membayangkan
beratus duka perempuan-perempuan

Sisa kuli kontrak
dilibas rotan dihukum pancung revolusi
di tengah amuk manusia pinggiran
bangun dari tidur melihat jalanan terbakar
bertumpahan darah kematian

Prahara menghancurkan tanah dan air
menghentak langkah
menghilang arah


Medan, 2004 – 2007


Kampung Medan /2/

Mungkin aku lelaki yang tak pandai memutar lidah
tak paham berkelit menyelamatkan diri dari godaan
perempuan perempuan sepanjang lapangan mardeka
tak pernah diam memacu desah percintaan
kata ibu “hati-hati dengan perempuan”
tapi bukankah ibu perempuan juga? pikirku.

Perempuan cantik bagaimanakah ibu
menggoda ayah datang meminang
dengan kelicikan memperdaya
mengharap nasib baik

Seperti malam sepulang pengajian
bagaimana ibu bersikap
wajah manis menaburkan harum bunga
kemanjaan memesona datang penuh cinta
diantar ayah berkeliling dengan sepeda

Darahku penuh titisan ayah
dikejar perempuan perempuan manja
apakah itu artinya aku lelaki penggoda asmara


2008


Kampung Medan /3/

Jiwa berduka dalam perkabungan
jiwa terluka berlumur darah dikedalaman rongga
baru kurasakan sakitnya ketidaksetiaan dan khianat
baru kutahu kebanyakan dari mereka memperdaya
mengolok-olok penuh merayu
mengeluarkan kata-kata asmara dari mulutnya yang bergincu.
terlena dalam kebahagiaan semu

Seperti takdir yang mesti kuterima dengan lapang dada
bukankah semua itu hanya akal-akalan belaka?

Seperti batu yang membelah lautan darahku
gelombangnya membuat tubuhku kehilangan keseimbangan

Aku tidak mau gelombang lautan darahku menenggelamkan dirimu
biarkan mereka berkhianat

Menumbuhkan rasa percaya diri seharian bersamaku
setiap datang malam waktu dingin mengucapkan salam

Segala nikmat dan kenyamanan diri
datangnya dari serpihan cahaya bulan dan matahari
menerangi semesta dengan firman-firman yang mulia.
begitulah kuterima berkah hidup ini dengan rasa syukur nikmat

Diam yang sangat kubenci tapi senyummu menggugah hati
kau berdiri memandang sekeliling perlahan mendorong kursi
mundur sedikit ke belakang membetulkan letak switer merah jambu

“Hai...akan kemanakah kau pergi?”
“Pulang.”
“Menemui lelakimu di warung?”

Kulihat matamu memantulkan cahaya kemerahan
wajahmu tampak muram mengandung keinginan direbahkan
pelan tapi pasti seketika tubuhmu menghilang.
aku gelagapan mencari dalam kegelapan.


2008


Kampung Medan /4/

Perjalanan terasa panjang, jalan berliku bercecabang
bagai ranting dan batang pohon, akar menunjang kedalaman
sejak rindu menjelmakan aroma bunga

Dengan apa menyampaikan syair dan lagu
hikayat medan guru Patimpus
menidurkan lelah Hang Nadim
membaca kisah Hang Tuah
syair raja Ali Haji di kepulauan jauh
mendongeng kisah mata air
membentang usia jarak dan waktu
tak ada yang bisa bertahan dari takdir akhir
kembali ke rahim tanah
seperti dedaunan di ranting mengering
gugur pada musim

2008


Kampung Medan /5/

Seperti Batam tak habis kubandingkan
menikmati malam di kampung Medan
menari di bawah bayang masa lalu
kenangan melukis bulan
gerak pertama jatuh sehabis lekuk tangis
lonceng berdentang dua belas kali
bayangan karam
tenggelam ke dasar laut hitam
bahkan sampai ke lumpur paling dalam
tak menemukan apa-apa

Mungkin pula seperti kota besar lainnya
gagap pandangi hidup dan mati
didesak tumpukan pikiran
sehabis cahaya terbenam
mengaca diri mengukur kedalaman

Dalam kehampaan dan gumam
berlari mengejar bayangan
seperti angin membawa hujan, seperti badai
tengah kabut awan hitam
maut mencengkram
tubuh bergelimpangan


2008



Lintasan Waktu,
di Café Juanda



cahaya api memanjangkan bayangan tubuh
antara nibung raya dan gajahmada
desir angin menyapu rimbun dedaunan
membentuk pola irama mengalun panjang
melayang jauh sampai hilang di tikungan jalan.

di halaman antrium plaza medan fair
duduk termangu mencium harum rambutmu

merasakan basah daun dihujani embun
ditiup angin sampai tubuh membungkuk
menggenggam kedua telapak tangan
memanggil dirimu dengan desah yang panjang
kau tak juga datang tapi tetap kutunggu
sambil mengingat-ingat kenangan pertama
menikmati malam di cafe juanda

“hai...! kaukah yang berdiri itu?”
suaraku nyaris kaku membayangkan kau berdiri di depanku
mengulum senyum lesung pipit
menepati janji

diam yang kubenci tapi senyummu menggugah hati
kau melamun memandang sekeliling
perlahan mendorong kursi mundur sedikit ke belakang
membetulkan letak switer merah jambu

“hai...! dhian hapsari!”
aku ingin menikmati pesona lebih lama
seperti malam di jogjakarta menggigilkan persendian

2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih anda telah meninggalkan komentar yang kami butuhkan selanjutnya kami akan menghubungi anda atas apresiasi yang diberikan, Salam