Arsip Blog

Jumat, 18 Maret 2016

Tumor karya M. Raudah Jambak

Tumor karya M. Raudah Jambak
PENTAS BISA DIMANA SAJA. BISA MENGGAMBARKAN APA SAJA. LAMPU BRMAIN SUASANA. MUSIK BERMAIN SITUASI. TERSERAH. TAPI YANG JELAS SEORANG LELAKI TERLIHAT SIBUK. DENGAN BERPAKAIAN YANG TERSERAH. MEMBOLAK-BALIKKAN LEMBAR KORAN. SEOLAH MENCARI SESUATU. MEMBUKA HALAMAN DEMI HALAMAN BUKU. MENCARI DI FILE KOMPUTER. MENULISKAN SESUATU DIKERTAS. MEMBUANGNYA. MENULIS SESUATU DI KERTAS, LALU MEROBEK-ROBEKNYA. MENGACAK-ACAK RAMBUT. MENYERUPUT KOPI. KEMUDIAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK. MENYALAKANNYA. MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. PENUH KENIKMATAN.
LELAKI ITU TIDAK BERAPA LAMA BERGERAK MONDAR-MANDIR SEOLAH SEDANG MENCARI INSPIRASI BARU DAN TERKEJUT KETIKA IA MENGINJAK SESUATU DAN TERPELESET.
Aduh....! sialan ! Siapa yang membuah sampah sembarangn ! Binatang ! Jin tanah, jin api, jin air, jin udara. Jin segala jin ! Setan ! Sumpah ! Eh, maaf. Ada kalian. Dan mumpung ada kalian, aku mau bertanya. Ah, tak usah kuatir. Aku masih bisa kontrol. Ya, iyalah. Sebab kontrol adalah nama lain dari nama asliku. Nama asliku? Aku Syaiful. Hehehe. Tenang. Boleh aku bertanya kan? Boleh? Oke. Trims. Siapa ya kira-kira yang membuah sampah sembarangan ini? Tak apa-apa. Aku mau kasih sesuatu. Kalau dia laki-laki akan kuajak diskusi. Bukan konfrontasi. Nah, kalau dia perempuan akan kujadikan ... hus, bukan istri, tapi inspirasi ... hehehe,,, ah, masak!? Kalian menuduh. Aku!? Ya, sudahlah. Kalau memang aku, berarti tidak ada persoalan. Walaupun sebenarnya aku sering bermasalah dengan diriku sendiri. Ya, sudahlah. Ooo, anu... tunggu sebentar.
LELAKI ITU SECEPAT KILAT MENCARI-CARI SESUATU DI LACI. DI ATAS MEJA DAN DITUMPUKAN-TUMPUKAN SAMPAH. LALU TERTAWA SUMRINGAH KETIKA MENEMUKAN SEBUAH KERTAS YANG SUDAH REMUK. KEMUDIAN MENARI-NARI KEGIRANGAN.
Ah, ini dia. Hahaha. Aku sedang melakukan riset dan menjadikannya cerpen. Bukan begitu. Ini contoh keseriusanku. Aku menulis karena itu aku ada. Aku ada karena itu menulis. Hehehe. Ah, coba kalian simak. Ya, simak. Tidak. Aku tidak akan terlihat sentimentil. Aku akan membaca cuplikannya berapi-api. Ya. Begitu. Nah, begini.
LELAKI ITU LALU MULAI MEMBACA. SEPERTI SEORANG DEKLAMATOR
Diruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Di antara semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tepat diatas daun yang yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya sangat perlahan, seperti seekor ulat yang merayap dipatahan-patahan ranting. Ini bulan yang kesekian.
LELAKI ITU BERHENTI MENYERUPUT KOPI. LALU MELIRIK KE PENONTON. ADA PERASAAN MALU.
Hehehe. Sebenarnya, cerita ini hampir seratus persen bercerita tentang aku. Apa!? Tidak percaya!? Ya, sudahlah, kalian dengarkan saja. Aku tulis nama tokohnya. Kubaca ya!? Terimakasih.
LELAKI ITU MENCARI BARIS-BARIS DALAM TULISAN DAN MELANJUTKAN MEMBACA LAGI.
Lelaki itu tercenung. Tatapan mataya menahun. Tak lepas memandang ranting, daun, semut, ulat, maupun aliran air yang mengalir. Hari masih sekuning cahaya. Pada dahi lelaki itu telah tercatat baris-baris beban. Begitu buram. Pikirannya kembali terbang di pinggir ranjang. Perempuan itu, istrinya, mengangis tersedu-sedu. Lelaki itu seperti kehilangan kata. Tak mampu harus berbuat apa.
MENATAP KE ARAH PENONTON. WAJAHNYA AGAK SEDIKIT KECEWA.
Mengapa kalian diam? Tak enak ya? Wah, pikiran kalian sama dengan pikiran istriku. Hanya mungkin lebih beringas. Malah tanpa sebab, ia pernah meminta cerai padaku.”Pokoknya, aku mau pisah. Aku minta cerai. Titik!” aku Cuma bisa diam. Hatiku serasa kelam. Katanya lagi, “ Kalau abang tidak mau, jangan salahkan kalau nati rumah ini penuh dengan nisan!”
LELAKI ITU MERAS TUBUHNYA SEKETIKA LEMAS. IA JALAN PERLAHAN MENGAMBIL. KURSI LALU DUDUK DENGAN WAJAH YANG MURAM.
Waktu itu aku hanya terduduk di pinggir ranjang. Bibirku masih tetap terkatup.
LELAKI ITU PERLAHAN MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DARI SAKUNYA MEMBAKARNYA, LALU MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. MENERAWANG JAUH.
Tatapan mataku mamaku di dinding. Pada sebuah foto perkawinan yang tergantung. Ada kebahagiaan yang tergurat jelas di sana. Bingkainya yang keemasan itu, menambah lengkapnya kebahagiaan kedua tokoh, foto pernikahan kami, yang tergambar abadi disana. Aku waktu itu masih terdiam. Hanya tatapan mataku yang menyebar kesetiap sisi dan sudut ruangan kamar. Aku masih ingat, betapa kamar kami telah menjadi saksi yang paling layak dipercaya. Demi mengingat itu hatiku memanas. Kalian tahu, demi perempuan itu segelanya rela kukorbankan. Tetapi apa yang kudapatkan. Lacur dasar lacur. Perempuan yang katanya istriku, yang paling kucintai melebihi segalanya itu, telah menghancurkanku kebahagiaan rumah tangga yang kami bina begitu rupa.
LELAKI ITU BERDIRI. ROKOK YANG BELUM HABIS ITU DICAMPAKKAN BEGITU SAJA DILANTAI. LALU LELAKI ITU MENGINJAK-INJAKNYA DENGAN PENUH KESAL.
Awalnya, aku berfikir. Ia sering marah-marah, karena aku selalu larut dalam tulisan. Kemudian, lupa menemaninya tidur. Lupa mengajaknya berbicara dan bercanda. Lupa segalanya. Kupikir itu. Kalian tidak percaya!? Ah, jangankan kalian istriku saja selalu menaruh curiga padaku. Lupakan. Lupakan saja. Aku hanya ingin menceritakan tentang istriku pada kalian. Isteriku yang selalu memarahiku kalau terlambat pulang kerumah. Isteri yang selalu memarahiku kalau aku sedang menerima telepon atau sms dari seorang perempuan yang sebenarnya belajar menulis kepadaku. Isteri yang kuanggap setia. Eh, ternyata...?
LELAKI ITU TERDIAM. DIA MENGAMBIL SESUATU DI SAKU CELANANYA. SEBUAH SAPU TANGAN. KEMUDIAN MENGHAPUS AIR MATANYA.
Bukan. Aku bukan menangis. Mataku erasa sedikit gatal saja. Mungkin terlalu lama menulis. Sehingga mataku terasa lelah. Sumpah. Aku tidak menangis. Aku marah. Coba kalian pikir. Disini. Ya disini, ditempat ini. Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu, tiba-tiba datang memelukku. Sambil berteriak kegirangan ia menyamaikan sesuatu, “aku hamil, bang.” Isteri yang kusebut perempuan itu memelukku penuh gembiri. Aku segera melepaskan pelukan itu dengan tiba-tiba. Dia terkejut dan bertanya, “kenapa, bang?” mata isteri yang kusebut perempuan itu mulai berkaca. Kebahagiaan yang paling diimpikannya seolah raib begitu saja. “apa ada yang salah?” isteri yang kusebut perempuan itu bertanya lagi. Puih! Dia lalu menerorku dengan bebagai pertanyaan-pertanyaan yang paling tidak aku suka. “abang tidak bahagia dengan kehadiran anak kita?” isteri yang kusebut Perempuan itu menggoncang tubuhku. “Atau Abang berpikir yang tidak-tidak tentang aku?”
LELAKI ITU BANGKIT. IA MERASA BERSEMANGAT DAN PENUH KEMENANGAN.
Tahukah kalian apa yang kulakukan selanjutnya. Tidak!? Aku hanya diam. Ya, hanya diam. Ada beban dan sesuatu yang tak perlu kuucapkan. Ada kata-kata yang terbelah menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Sejak itu, aku lebih memilih mengakrabkan diri dengan tulisan-tulisanku dan sebatang pohon jarak yang tumbuh tepat dipinggir parit di belakang rumah kami. Eh, maaf rumahku. Kenapa? Karena aku yang membelinya. Ya. Pada sebatang pohon jarak itu aku berdialog dengan kesunyian. Bercengkrama dengan kesepian. Karena aku merasa hatiku kosong begitu kosong.
LELAKI ITU BERGERAK MENGAMBIL GITAR BERNYANYI DENGAN SUARA YANG SETELAH GALAU. BERHENTI. MENYERUPUT KEMBALI KOPI KENTAL. YANG TERLALU LAMA DINGIN ITU
Mungkin hanya kalianlah yang mengerti perasaanku saat ini. Betapa sakitnya dikhianati. Bagaimana aku bisa bergembira dengan kehamilan isteriku. Tidak. Tidak samasekali. Aku tidak akan memberitahukannya pada kalian. Karena itu adalah aib. Mungkin pada saat yang tepat aku akan berbagi pada kalian. Aku lebih memilih diam. Termasuk pada isteri yang sekarang kusebut perempuan itu. Berhari-hari, bahkan sudah melewati bulan kedelapan, aku selalu seperti itu, jika tidak ada kesibukan lain yang memaksaku untuk berburu dengan waktu. Lalu teriakan, jeritan, tangisan isteri yang sekarang kusebut perempuan itu selalu membakar segala ketidakberdayaanku menjadi sebuah kekuatan. Adakah dari kalian yang cintanya dikhianati. Ya, persis. Akupun begitu! Sepakat!
LELAKI ITU TIBA-TIBA MENUJU KEARAH SUDUT-SUDUT RUANGAN. ADA PERASAN CURIGA. IA MERASA SEDANG DIAWASI. TETAPI KETIKA MERASA SEMUANYA AMAN IA KEMBALI LAGI. MENYERUPUT KOPI LAGI. DAN BERBISIK.
Aku sebenarnya begitu mencintainya. Tapi, aku malu mengakuinya. Pernah satu kali ia memaksaku untuk memeriksakan diri ke dokter. “Ayo kita ke dokter, periksa DNA,” ujar isteri yang sekarang kusebut perempuan itu terbata. Aku masih juga terdiam. Lalu isteri yang sekarang kusebut perempuan itu histeris, “Aku tidak akan pernah memeriksa kandungan ini.” Air matanya menderas.” jika Abang tidak mau ikut memeriksakan diri juga” Plak! Kata-kata itu seperti menamparku bertubi-tubi. Tapi, aku juga tetap diam, tidak mau bicara. Rasa malu, marah dan kecewa serasa berganti-ganti. Isteri yang kusebut perempuan itu berteriak lagi,”Abang tidak bisa selamanya terus begini,” ujar isteri yang sekarang kusebut perempuan itu sambil menyeka air mata,” Diam tidak akan pernah menyelesaikan segalanya!”
LELAKI ITU KEMBALI KE MEJA KERJANYA MENCARI-CARI SESUATU. DAN DIA SEPERTINYA TIDAK MENEMUKAN SESUATU.
Coba kutanya pada kalian. Jika kalian menerima musibah yang serupa dengan apa yang kalian lakukan? Marah? Benci? Atau diam? Nah, nah, nah. Akupun seperti tu. Aku hanya diam. Tetapi, isteri yang kusebut perempuan itu terus meracau. “Bicara!” isteri yang kusebut Perempuan itu berteriak sekuat-kuatnya, “Bicara!” isteri yang kusebut perempuan itu terus meracau. Berteriak. Menjerit. Berlari kesana kemari. Ia terus dan terus menjambak-jambak rambutnya. Menangis sejadi-jadinya. “jika kehamilan ini yang menjadi persoalan, maka aku akan menggugurkannya. Walau usia kandunganku ini sudah termasuk bulan kelahiran. Atau kita sebaiknya bercerai!” isteri yang kusebut Perempuan itu terus berteriak, “Pengecut! Banci! Kita cerai! Dengar! Aku mintai cerai!”
WAJAH LELAKI ITU TIBA-TIBA MENEGANG. ADA GEJOLAK YANG SEAKAN MENDESAK HENDAK MELEDAK
“Diam!” Aku mengerang. Gundahku meledak. Rokok yang sedari tadi bergantung disela-sela jariku, terloncat begitu saja. Nyaris mengenai isteri yang kusebut perempuan itu. Isteri yang kusebut Perempuan itu meradang. “Aku minta cerai! Titik!” Aku membalas. “Diam! Kalau aku bilang diam, diam!” Dia tak mau kalah, “Aku tidak akan pernah diam, jika Abang tidak jelaskan kepadaku tentang sikap Abang selama ini. Kebencian Abang yang begitu tiba-tiba kepadaku, terutama kepada calon anak kita. Dan Aku tidak akan pernah diam, kecuali Abang menceraikan aku. Aku minta cerai!” Aku tak mau kalah. “Aku benci padamu!Aku benci pada anak yang dikandunganmu! Aku benci diriku sendiri!” Kami terdiam beberapa saat. Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu coba melunak. “Kenapa? Apanya yang salah?” desak perempaun itu,”seharusnya Abang bangga. Bangga dengan kehadiran anak kita. Anakmu, Bang?.” Aku menggeleng dan menghindar. Pandanganku jauh. Kukatakan padanya dengan suara berat dan tertahan. “Itu bukan anakku. Dengar itu bukan anakku!” Isteri yang sekarang kusebut perempuan itu berusaha untuk terus melunak. “Jadi, secara tidak langsung aku melakukannya dengan orang lain. Abang pikir, aku telah berzinah, aku selingkuh?!” Aku marah. Ya, aku marah terutama pada diriku sendiri. Kukatakan padanya. “Pokoknya anak itu bukan anakku. Titik!” aku lalu pergi begitu saja. Jiwaku mengerang. Waktu itu aku pergi dengan berjuta kekalahan, meninggalkan isteri yang sekarang kusebut perempuan itu. Isteri yang sekarang kusebut Perempuan itu ditumpuk-tumpuk amuk.
LELAKI TU TIBA-TIBA MENGMABIL KURSI DAN MELETAKKANNYA DIATAS MEJA. KEMUDIAN MENGAMBIL SESUATU DI TUMPUKAN KERTAS. BERDIRI DI SAMPING KURSI KEMUDIAN BERTERIAK-TERIAK SEOLAH DEKLAMATOR HANDAL.
Diruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Diantara semut yang beriringan, seekor diantaranya, terpeleset jatuh. Tpat diatas daun yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya kadang deras, kadang sangat perlahan , seperti seekor ulat yang merayap di patahan-patahan ranting. Angin berhembus disela-sela daun. Melintas begitu saja. Hari semakin beranjak jingga. Sayup dari kejauhan suara seseorang mengundang cemas.
LELAKI ITU BERHENTI. MENURUNI MEJA. LALU MENYERUPUT KOPI YANG TINGGAL AMPASNYA. MENGAMBIL SEBATANG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. TATAPANNYA MENERAWANG.
Lama aku merenung. Tidak. Aku hanya merenung. Aku sadar. Aku tidak perlu egois. Sebenarnya aku malu. Tapi, aku harus tahu diri. Apalagi ketika tetanggaku datang tergesa-gesa menemuiku. “Kakak pingsan, Bang. Cepat. Operasinya lagi berjalan!”. Secepat angin, begitulah aku terbang. Menembus segala kegelisahan. Rasa maluku menjalar. Betapa tidak, sudah lama aku ingin mengatakan bahwa aku sudah tidak mampu memberikan keturunan kepada istri yang sekarang sudah kusebut isteriku. Batinku terus berontak. Rasa senang tidak ingin memiliki anak sudah kubuang jauh-jauh. Tetapi, istriku hamil? Isteriku tengah dioperasi. Istriku, ah. Dan isteriku tidak menyadari betapa aku ternyata begitu mencintainya. Aku juga merasakan rasa takut sekaligus rasa malu yang bukan kepalang, jika ketahuan. Secepat angin, begitulah aku datang. Menyambut dokter yang keluar dari ruang operasi seperti takut dan senang. “Selamat!” kata dokter itu. “Terimakasih, Dok. Apa anaknya, Dok. Sehatkan, Dok?” tanyaku hati-hati. “Anak siapa?”dahi dokter berkerut. Ia lantas tersenyum, “ooo, bukan. Istri Bapak tidak mengandung. Istri bapak terkena tumor. Dan kami berhasil mengangkatnya. Sekarang sedang beristirahat.” Aku was-was sekaligus puas, “Tapi katanya...hamil?” Aku merasa melayang ketika dokter itu menggelengkan kepala. Aku gembira. Bahagia! Aku ingin menari dan berpuisi!
LELAKI ITU LALU MELENGGAK-LENGGOKKAN TUBUHNYA. IA MENARI. IA BERPUISI.
Secepat arus air mengalir, begitu ia tergelincir. Secepat datang, secepat itu pula ia pergi. Senang dan benci begitu saja hadir silih berganti. Dan ini memang ramadhan kesekian.
LELAKI ITU TERUS MENARI DAN SEOLAH PEJUANG YANG MENANG DARI GELANGGANG PERANG IA NAIK KEATAS MEJA DAN BERTERIAK SEKUAT-KUATNYA
Istriku aku cinta padamu!
LAMPU PERLAHAN PADAM. MUSIK PERLAHAN DIAM. PADAM
SELESAI

Medan, KOMUNITAS HOME POETRY, 06-12-14
BIODATA

M.Raudah Jambak, S.Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersingguangan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indoneisa, Seniman Indonesia Anti Narkoba, dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto Km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Hp 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pingan. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan denan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se Indonesia di Bogor (2008), work shop cerpen MASTERA, di Bogor(2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta, TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pingan. Nominasi cipta puisi nasional Bentara, Bali, dll.