Arsip Blog

Selasa, 15 Maret 2016

PROSES BELAJAR PROSES MENCIPTA DAN PROSES BERKARYA SENI SASTRA DAN TEATER

M. Raudah Jambak---------

PROSES BELAJAR PROSES MENCIPTA DAN PROSES BERKARYA SENI SASTRA DAN TEATER

Apabila saya ingin mengubah keadaan, saya harus mengubah diri saya lebih dahulu, dan untuk mengubah diri saya secara kreatif, saya lebih dahulu harus mengubah persepsi saya (Stephen R. Covey)

Proses kreatif seorang pengarang dengan pengarang lain berbeda. Setiap sastrawan memiliki proses tersendiri. Latar belakang kehidupan, pendidikan, dan lingkungan turut "membentuk" pengarang itu. Seorang Pram atau Hemingway, atau Gunter Grass, pemenang Nobel Sastra 1999, yang hidup di zaman peperangan memiliki pengalaman kreatif yang berbeda dengan yang hidup di zaman damai.
Ada yang mengatakan bahwa faktor bakat adalah dominan dalam proses kreatif seorang pengarang. Benarkah demikian? Bukankah tanpa semangat, kerja keras, dan latihan, bakat tinggallah sebagai bakat.
Menulis karya fiksi tidak bisa diajarkan, tapi bisa dipelajari. Karena itulah tiap sastrawan memiliki cara sendiri-sendiri dalam proses kreatifnya. Dan, tulis Pramoedya Ananta Toer, "... proses kreatif tetap pengalaman pribadi yang sangat pribadi sifatnya. Setiap pengarang akan mempunyai pengalamannya sendiri, sudah terumuskan atau belum."

Sebanyak 12 sastrawan Indonesia terkemuka mengisahkan proses kreatif mereka dalam buku ini - kisah-kisah yang sangat menarik dan inspiratif. Bagaimana Pramoedya menciptakan novel PerburuanKeluarga Gerilya? Bagaimana Umar Kayam melahirkan cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" dan "Bawuk"? Bagaimana Sapardi Djoko Damono menggubah sajak-sajaknya yang manis dan seolah bercerita? Bagaimana Hamsad Rangkuti merangkai cerpen-cerpennya hingga murid kelas lima sekalipun dapat memahaminya? Itulah sebagian kisah yang menarik kita ikuti.
Manusia memiliki potensi jiwa, yaitu manusia tidak begitu saja melupakan pengalaman. Bahkan, pengalaman dalam hidupnya mengendap dalam dirinya. Endapan pengalaman itu ditempatkan di lubuk batin yang dalam. Manusia memiliki potensi yaitu mampu memproses pengalaman itu dalam proses imajinasi. Jadilah, jadilah, jadilah karya sastra. Karya sastra terlahir dari proses kreatif pengarang. Puisi lahir dari proses kreatif pengarang.

Apakah tidak ada yang patut dijadikan bahkan diskusi? Tampaknya, proses imajinasi yang berlangsung di ladang imajiner pengarang menjadi biang keladi terciptanya karya sastra. Pengaranglah yang bertanggung jawab terhadap sebuah karya sastra. Pengaranglah yang menjadi pelahir sebuah karya. Pengaranglah yang menjadi titik awal pengkajian setiap ada karya sastra.

Proses kreatif ini bisa dipaksakan. Proses kreatif ini terjadi dengan ”suasana harmonis dalam diri pengarang”. Pemaksaan akan menghasilkan karya sastra, unsur kejiwaan seorang pengarang memegang peranan dalam proses pelahiran karya sastra.

Pengarang selalu pandai membawakan diri di ladang imajiner. Karya sastra diproses dalam diri pengarang. Setelah terlahir puisi pengarang telah selesai melakukan kewajibannya. Dunia karya sastra dipenuhi oleh orang-orang yang mengedepankan proses kreatif. Proses kreatif menulis puisi yang dialami oleh penyair pada akhirnya menghasilkan puisi. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra. Puisi sebagai karya sastra telah lahir dari orang-orang pengabdi proses imajinasi. Kata-kata dalam puisi akan memiliki kekuatan. Kekuatan kata dalam puisi timbul karena kata itu sendiri sudah membawa potensi. Potensi inilah yang harus dimengerti oleh penulis puisi.

Menulis puisi apakah mudah? Bila ada yang mengatakan mudah, maka perlu dikaji lebih teliti. Orang tersebut punya pamrih yaitu tidak membuat takut kepada calon penulis. Orang yang mengatakan tidak mudah juga perlu diselidiki. Orang ini pasti belum pernah menulis puisi. Orang ini belum pernah mengalami kebahagiaan yang dinikmati setelah tercipta sebuah puisi.

Apakah benar menulis itu mudah? Jika dijawab pertanyaan itu, maka bisa ya dan bisa tidak. Sebaiknya, untuk urusan ini yang perlu dilakukan adalah mencoba. Menulis, menulis, menulislah, akhirnya diri sendiri yang bisa memberikan jawaban yang pas untuk pertanyaan seperti itu. Menulis puisi juga bisa dikatakan mudah dan bisa dikatakan sulit.

Manakala seseorang sudah mencoba menulis. Orang akan merasakan bahwa menulis puisi yang seperti itu. Puisi bukan karya yang lahir tanpa rencana. Puisi bukan karya yang lahir tanpa pergulatan batin. Lama dan sering memakan waktu yang cukup lama untuk bergumul dengan sebuah keinginan melahirkan sebuah bentuk puisi.

Sebagai bahan renungan, beranikanlah diri menulis puisi. Menulis itu mudah. Menulis itu menyenangkan, Apakah diri akan menjadi seorang peziarah di dunia ini? Syarat pertama adalah bahwa diri menjadikan diri sendiri rendah seperti debu dan abu. Apakah diri akan menjadi seorang kreator di dunia ini? Syarat pertama adalah bahwa diri menjadikan diri sendiri berbuah manis seperti pohon pisang yang berani di bawah terik matahari.

Kita bisa menulis dengan metode apa saja, misalnya, ada metode menulis “opening up”-nya psikolog Pennebaker, freewriting-nya Bobbi De Porter, dan mind mapping-nya Tony Buzan, dan banyak lagi
Menurut Sthephen King “Ketika seorang penulis hanya menunggu, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya sendiri,”. “Kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu, kita sendirilah yang menciptakannya,” katanya. Maka untuk menjadi penulis, dibutuhkan kesungguhan, keseriusan dan kerja keras. Tidak ada alasan untuk tidak ada ide, karena kemandekan kita itu adalah ide, ketidak tahuan kita itulah juga ide, maka tulislah kemandekan itu. mengapa mandek, tulislah karena nantinya akan menjadi solusi kemandekan ide tersebut.
Bila dalam proses kreatifnya Afrizal Malna menyatakan bila ia seorang yang negatif, maka kita akan mencoba untuk positif. Tentu kita berpositif terhadap tulisan yang saat ini sedang berada di hadapan para pembaca sekalian. Positif dalam arti kita tak ingin berumit-rumit dan beraneh-aneh dalam tulisan ini. Artinya kita mencoba untuk berbincang gamblang dan membuka perihal mengenai proses yang kita alami. Meski kita tahu, jika gamblang dalam kacamata kita belum tentu bagi para pembaca.
Maka membincang mengenai proses kreatif adalah hal yang bersifat personal. Setiap orang memiliki dunia, latar belakang dan ”kecelakaan” masing-masing. Bahkan secara ekstrim Sutardji Calzoum Bachri hanya membubuhkan titik-titik pada proses kreatifnya. Bisa jadi proses kreatif adalah sebuah hal yang tak terkatakan. Lalu bagaimana dengan beberapa tulisan pada buku antologi tunggal beberapa penyair yang pernah kita baca? Bisa jadi beberapa penyair sedang mengurai alur mundur proses kepenyairannya.
Sebutlah beberapa nama yang pernah kita nikmati perihal “proses kreatif”nya : Afrizal yang tergerak untuk membahasakan energi benda-benda yang bersliweran di sekitarnya, Mardiluhung yang menemu titik temu antara eksotisme masa kanak-kanak dalam komik dengan puisi-puisi Tardji serta kehidupan khas pesisir, atau mungkin Warih Wisatsana yang digoda oleh perasaan tersisih karena tak memunyai lingkungan dominasi yang jelas. Juga beberapa penyair semacam Faisal Kamandobat, Pranita Dewi, Mochtar Pabotingi maupun Indra Tjahyadi.
Yang jelas, ada satu motif yang mengikat mereka dalam mendedahkan proses kreatifnya : obsesi pada masa lalu. Seperti seorang penulis yang saat ini “menjabat” sebagai paus sastra facebook, Heru Susanto yang menulis puisi sebagai upaya untuk menebus kesalahan di masa lalu, yakni alpa menulis perihal kehidupannya pada buku harian.
Psikoanalisis menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya) karya sastra ke dalam dua cara.

1. Sublimasi
Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.

Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi.

Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia. Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.

2. Asosiasi
Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya. Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu.

Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.

Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya dengan melakukan “ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.

Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah ide yang berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi

“Mutu karya puisi tidak tergantung pada gaya (style) atau aliran (movement), melainkan pada kesejatian (authenticity) dan keaslian (originality)-nya.”
(Catatan Saini K.M. dalam rubrik Pertemuan Kecil)

Sejumlah kalangan menilai, karya (sastra) yang baik adalah karya yang bisa menginspirasi pengarang lain untuk berkarya. Jika menggunakan cara pandang demikian, maka secara tidak langsung hal itu mengisyaratkan, gejala kemiripan atau keterpengaruhan bisa dipandang biasa dan wajar adanya. Bahkan ada yang menganggap, gejala seperti itu merupakan salah satu bagian kecil dari sebuah jejak panjang kepengarangan seseorang. Di sinilah ia bisa berproses, sebagai sarana tempat ia menempa dan mencari jati dirinya, sekaligus berlajar terhadap karya-karya pendahulunya.
Diakui atau tidak, sebagian besar pengarang agaknya sempat melalui tahap ini. Tidak terkecuali penyair besar seperti Chairil Anwar, misalnya. Dalam sebuah penelitiannya, Abdul Hadi WM (Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan Tradisi Puisi Indonesia, Horison No.6/1983, hal.273-282) memandang, selain terpengaruh oleh Shauerhoft dan Marsman, Chairil pun banyak belajar pada tradisi penulisan puisi Amir Hamzah. Bahkan, tidak sedikit puisi-puisi Amir Hamzah yang digali oleh Chairil sebagai inspirasi untuk puisi-puisinya. Puisi-puisi karya Chairil seperti Doa, Syorga, Penghidupan, Taman, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Suara Malam, secara berurutan bisa dibandingkan dengan puisi-puisi Padamu Jua, Doa Poyangku, Barangkali, Taman Dunia, Berdiri Aku, dan Ibuku Dahulu yang ditulis Amir Hamzah. Sebagai contoh, dalam analisis perbandingan antara puisi Doa dengan puisi Padamu Jua, Abdul Hadi menulis demikian:
“Kalau bagi Chairil Tuhan ‘tinggal kerdip lilin di kelam sunyi’, bagi Amir Hamzah Tuhan adalah ‘Kaulah kandil kemerlap/pelita jendela di malam gelap’. Bukankah pilihan imaji simboliknya sama? Apakah Chairil tak terpengaruhi Amir Hamzah dalam hal ini?”
Demikianlah, kepenyairan Chairil Anwar pun ternyata mengalami keterpengaruhan juga. Akan tetapi, kita bisa melihat jika Chairil tidak semata-mata terpengaruh. Ia tetap bisa menghadirkan otentisitas dalam karya-karyanya. Hal ini tampaknya penting untuk kita catat: meskipun buah karya kita merupakan hasil inspirasi dari karya orang lain, kita harus tetap bisa menjaga jarak dengan karya yang menginspirasi kita itu. Pertimbangan ini sangat penting agar karya yang kelak lahir dari tangan kita akan tetap bisa menampakkan keaslian dan kesejatiannya.
Dari sekian banyak penyair yang karya-karyanya terpengaruhi oleh penyair lain, sejumlah dari mereka memang ada yang berhasil dalam menjejaki proses kreatifnya itu. Keaslian dan kesejatiannya masih tam-pak bisa terbaca dalam karya-karyanya. Selain Chairil Anwar, boleh disebut pula, misalnya saja, Sanusi Pane yang terpengaruh oleh Noto Suroto (penyair Jawa yang menulis dalam bahasa Belanda), B.Y. Tand yang banyak mendapat pengaruh dari Sapardi Djoko Damono, Ibrahim Sattah yang esensi puisinya hampir menyerupai puisi-puisi mantranya Sutardji Colzoum Bachri, ataupun Gunoto Saparie yang mengikuti jejak sajak-sajaknya Goenawan Mohamad.
Di luar keterpengaruhan (epigonitas) itu, hanya ada satu hal yang benar-benar harus bisa kita hindari dalam kaitannya dengan perjalanan proses kreatif kita: menjadi seorang plagiator, penjiplak karya orang! (terutama untuk karya-karya kreatif, semacam puisi, cerpen, atau novel). Tindakan ini tentu sungguh sangat memalukan. Selain diri kita tidak akan mendapatkan apa-apa, buah kar-ya kita pun boleh dipastikan tidak akan pernah dihargai sama sekali.
Kasus penjiplakan ini sebenarnya banyak juga ditemui dalam sejarah kesusastraan kita. Chairil Anwar pun sempat disebut-sebut sebagai plagiator karena puisi Antara Kerawang-Bekasi yang sebenarnya puisi terjemahan (adaptasi) itu diakui sebagai karya aslinya.
Dalam kasus-kasus penjiplakan tersebut, paling tidak ada dua jenis kasus yang bisa kita identifikasi. Pertama, penjiplakan secara terang-terangan. Pada jenis ini, si pengarang menjiplak secara utuh karya pe-ngarang lain untuk kemudian diakui jika karya itu adalah hasil kreasinya. Sedangkan jenis penjiplakan yang kedua adalah penjiplakan sebagian. Di sini si pengarang hanya melakukan “pencontekan” pada bagian-bagian yang dirasanya bagus dari karya orang lain untuk kemudian ditempatkan pada karyanya.
Pada jenis penjiplakan yang kedua ini, ada satu contoh yang kiranya menarik untuk dikemukakan. Kasusnya menimpa cerpen Iwan Simatupang yang berjudul Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu (ditulis pada tahun 1961) yang dijiplak bagian pembukanya oleh Gimien Artekjusi untuk cerpen yang judulnya pun hampir sama, Tunggu Aku di Bawah Pohon Itu (dimuat di majalah Anita Cemerlang, No.284, 1988, h.76).
Pada bagian pembuka cerpen Iwan itu, tertulis demikian:
“Tunggu aku di pojok jalan itu,” katanya. “Aku membeli rokok dulu ke warung sana.”
Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota itu. Dilihatnya istrinya masih menunggu di pojok jalan itu.
Sedangkan pada cerpennya Gimien, paparan pembukanya itu adalah demikian:
“Tunggu aku di bawah pohon itu,” katanya. “Kucarikan kau bunga-bunga di bukit.”
Ia pergi. Sejak itu Lia tak pernah melihatnya kembali. Tapi setiap sore dengan setianya ia menunggu di bawah pohon itu.
Dari contoh tersebut, bisa terlihat jika ada upaya dari Gimien untuk “mencontek” paparan pembukanya cerpen Iwan. Kendatipun pada beberapa bagian Gimien mencoba untuk mengubahnya, namun tetap saja esensi dari paparannya itu adalah paparan Iwan. Paling tidak, struktur naratif yang terjalin dalam cerpen Gimien serupa benar dengan struktur naratif dalam cerpen Iwan. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Sebagai konsekuensinya, biarpun Gimien sendiri sebenarnya mempunyai gagasan lain yang ingin disampaikan dalam papar-an-paparan selanjutnya, hal ini sudah lebih dulu tercoreng dengan tindakan menconteknya itu. Keaslian dan kesejatian yang boleh jadi sebenarnya bisa muncul dalam cerpen Gimien, dengan sendirinya menjadi tidak murni lagi.
Memang, sebelum bisa menarik kesimpulan seperti itu, pada kasus pencontekan ini kita sebenarnya bisa menelusuri dugaan-dugaan yang mungkin saja terkait di dalamnya. Dugaan pertama, Gimien memang dengan sengaja dan sadar bahwa dirinya mencontek bagian pembuka cerpen Iwan itu. Jika demikian halnya, Gimien sudah bisa diklasifikasikan sebagai plagiator. Sedangkan dugaan kedua, boleh jadi sebenarnya Gimien tidak pernah membaca, bahkan tidak pernah tahu cerpen Iwan Simatupang itu. Segala kesamaan yang tersimpan di kedua cerpen tersebut, hanyalah kebetulan belaka. Nah, jika begitu kejadiannya, lantas bagaimana?
Boleh jadi jawabannya akan sangat rumit, meskipun akan bisa diselesaikan dengan sederhana. Yang jelas, Gimien bukan plagiator dalam konteks kebetulan semacam itu, hanya saja Gimien tetap berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dalam hal ini, publik pembaca boleh jadi tidak akan pernah mau tahu dan seterusnya bisa menolelir konteks kebetulan semacam itu. Kenyataan yang ada di hadapan mereka hanyalah, paparan pembuka cerpen Gimien serupa dengan cerpen Iwan, yang notabene telah terlebih dulu diterbitkan.
Dengan demikian, dalam proses kreatif pun sebenarnya menuntut ketelitian dan kehati-hatian. Ketika kita ingin menjejaki proses kreatif, selain adanya motivasi dan rasa cinta terhadap sastra, alangkah akan baiknya pula jika kita sedikitnya memiliki wawasan dan pengetahuan tentang tradisi sastra (baik lokal, nasional, bahkan mungkin dunia), dan begitu pula dengan perkembangannya (Hal ini sebenarnya berlaku pula untuk para redaktur sastra di media massa agar mereka tidak kecolongan.). Dengan memiliki wawasan dan pengetahuan itu, setidaknya kita akan mempunyai bekal yang bisa diandalkan. Selain akan bisa lebih membantu kita dalam pencarian bentuk dan jati diri dalam proses kreatif kita selanjutnya, dengan ada-nya pengetahuan itu pun segala sesuatu yang harus dan ingin kita hindari akan bisa terdeteksi secara dini.
Akan tetapi, semua itu pada akhirnya akan berpulang pada diri kita sendiri. Apakah ruang kreatif kita hanya akan diisi sebatas menjadi epigon, mencontek karya orang (plagiator), atau belajar untuk “percaya diri”, akan sangat tergantung pada pilihan yang kita lingkari. Pilihan ini menjadi penting, karena akan bisa menentukan langkah kita selanjutnya. Dengan pilihan itu pula, kita sekaligus akan bisa menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan dan konsekuensi yang pada akhirnya harus kita terima.
Nah, dari beberapa pandangan di atas kita juga tak perlu kaku dalam memahami proses kreatif kepengarangan. Secara pribadi, saya bukan berasal dari keluarga penulis, tetapi keluarga pedagang. Awal saya menulis justru didasarkan oleh saya suka dengan kesendirian.
Kesendirian saya pun disebabkan karena rasa sensitif yang mengalir dari lingkungan dan kehidupan keluarga. Berasal dari keluarga pedagang (kaki lima), kondisi ekonomi keluarga yang lebih seirng di bawah rata-rata. Serta lingkungan tempat tinggal “pencemeeh”.
Dari enambelas bersaudara, sepuluh yang hidup, memungkinkan saya memiliki tingkat sensitivitasnya terlalu tinggi. Kesibukan saya selain sibuk mengurusi hewan peliharaan (ayam), menanam tanaman (apasaja) di halaman rumah, menonton di rumah tetangga, mendengarkan lagu-lagu dari radio tap dua band, berlama-lama duduk di puncak pohon memperhatikan burung gereja yang bercanda, berlama-lama duduk di loteng rumah, saya lebih sering menyulam imajinasi tentang apa saja. Lalu teman curhat saya adalah buku diary sederhana yang saya dapatkan dari tempat-tempat sampah (dimulai dari SD menulis).
Karena rasa kesendirian itu membuat saya termasuk sulit bergaul dan cenderung mudah curiga, sehingga menjadikan saya yang pendiam. Teman dialog saya yang paling intens justru Bapak saya yang senang bercerita dan membahas apa saja. Sampai pada tingkat Mahasiswa baru saya belajar membuka diri walaupun karakter lama sering terbawa dalam kehidupan pribadi.
Akhirnya, saya terjebak juga di dunia jungkir balik (teater mahaiswa-lkk ikip). Terpilihnya saya sebagai ketua Teater ketika itu memberikan pembelajaran sendiri. Di mulai dari diri sendiri. Saya inging mengajak teman-teman teater saya (ketika itu) menulis, tapi bagaimana saya mengajak kalau saya tidak bisa menulis?
Pun, termasuk ketika saya mengajak siswa-siwa maupun mahasiswa saya menulis. Saya harus menunjukkan pada mereka (secara halus maupun terang-terngan) tulisan-tulisan saya. Termasuk seluruh aktivitas saya walaupun tidak ada kaitannya dengan menulis. Saya mengajak bagaimana kita bisa bermanfaat bagi orang lain, sebelum kita mampu menunjukkan potensi yang kita miliki.
Latarbelakang yang demikian membuat saya harus memaksa diri belajar. Belajar menyimak, belajar membaca, yang akhirnya menulis, bahkan menjadi pembicara. Start is difficult but the end is easy. Sebelum saya menulis tentang ‘sesuatu’, maka saya membaca tentang ‘sesuatu’ itu dari beberapa referensi. Hal ini proses kreatif pertama yang saya lakukan. Setelah beberapa kali membaca ‘sesuatu’ itu berulang-ulang, maka saya mencoba menulis awal, apakah tema, alur, amanat atau latar belakang yang sama. Lalu, saya endapkan. Baca, baca, baca lagi. Pada titiknya saya tulis lagi (lanjutan) sebagai revisi, termasuk persoalan ejaan. Titik yang lain, endapkan. Tulis lagi (akhir), kemudian baca dan simpan atau publikasikan.
Kebiasaan itu tentu saja tidak kita biarkan berjalan di tempat, kalau awalnya dengan model peniruan membaca tulisan, maka saya mencoba meningkatkan diri dengan melepaskan ketergantungan dari karya yang sudah lahir. Saya bertekad untuk ‘melahirkan’! Maka saya membaca lingkungan, peristiwa, dan hal-hal yang aktual. Prosesnya sama baca, baca, baca, tulis, baca, revisi, baca, simpan atau publikasikan. Walau terkadang ada karya yang langsung lahir maupun menunggu waktu yang lama untuk dilahirkan.
Persoalan berikutnya muncul, gaya atau style penulis lain ikut terbawa-bawa. Selanjutnya proses berikutnya adalah bagaimana menjadi diri sendiri. Tentunya dengan gaya dan penulisan kita sendiri. Memang ada proses pemaksaan, tetapi yang perlu diingat adalah selama pemaksaan itu bermakna positif, apa salahnya. Persoalan waktu, mood, dan sebagainya termasuk mempengaruhi wilayah proses kreatif kita dan hal itu merupakan bagian yang lumrah. Proses yang sempurna tentunya akan melahirkan kesempurnaan, dan kita harus tetap sadar kesempurnaan itu adalah milik Tuhan.
Dan di bagian akhirn adalah bagaimana kita mampu bertahan untuk tetap berkarya. Bagian ini yang paling sulit, MEMPERTAHANKAN kebiasaan menulis, tidak hanya sekadar kebisaan menulis. Sebab, jika kita berhenti, mau tidak mau kita harus memulai dari awal lagi. Walaupun tidak sesulit pertam kali kita memulai belajar menulis. Di sini kita hanya mengulang kebiasaan menulis yang pernah kita jalani. Bukankah akan menyenangkan sekali jika orang-orang (pembaca) menikmati (membaca) hasil pikiran kita lewat tulisan? Lantas mengapa kita tidak menulis? Selanjutnya dengan produktivitas menulis kita yang terus menerus akan mendamparkan kita menjadi PMBICARA, dan hal ini tentu akan jauh lebih menyenangkan, sebab berbagi referensi-berbagi ilmu adalah bagian yang paling nikmat. Maka, menulislah! Ingat ! Jadilah dirimu sendiri maka itu engkau ada. Karya akan membuatmu terkenal dan dikenal, rendah hati akan menjadikannya abadi, kesombangan akan mengahncurkannya perlahan. Salam.
*Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry






M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta 2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Ikut membidani Cublis di Lampung (2009). Membacakan Puisi di Gedung Idrus Tintin Riau (2010),dll. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar/maja lah Indonesia-malaysia. Saat ini bertugas sebagai guru sastra dan dosen filsafat Panca Budi Medan. Asyik membidani Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Kemerdekaan No.33Medan.HP.085830805157.E-Mail: mraudahjambak@yahoo.com. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya juga sudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malay sia), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi pui si penyair Medan), Antologi Puisi MEDITASI (Sastra religius, 1999), Antologi Puisi Seratus Untai Biji Tasbih (Sastra religius, 2000), Antologi esay PARADE TEATER SEKOLAH (Aster, 2003), Antolgi Esay 25 Tahun Omong-Omong Sastra (2004), Antologi Puisi 50 Botol Infus (Teater LKK UNIMED:2002) , Antologi Puisi Amuk Gelombang (Star Indonesia Production :2005), Antologi Puisi Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan:2005), Antologi Puisi Jogja 5,9 Skala Richter (Ben tang:2006), Antologi Puisi Medan Puisi (2007), Antologi Puisi TSI 1 Tanah Pilih (Disbudpar Jambi:2008), Antologi Pusi Penyair Muda Malaysia-Indonesia (PENA Malaysia:2009), Antologi Puisi, Cerpen, dan Naskah Drama Medan Sastra (TSS-TSSU:2007), Antologi Puisi Medan Internatio nal Poetry Gathering (2008), Antologi Puisi dan Cerpen Merantau ke Atap Langit (Teater LKK UNIMED:2008), Antologi Cerpen 30 Terbaik Lomba Cerpen Tingkat Nasional Fes tival Kreativitas Pemuda 2007: LOKTONG (CWI:2007), Antologi Cer pen Tembang Bukit Kapur (ESCAEVA Jakarta:2007), Antologi Puisi FLP Indone sia (2008), Penyair Urban Antologi Puisi Laboratarium Sastra (2008), Antologi Cerpen RANESI – RADIO NEDERLAND SIARAN IN DONESIA (GRASINDO: 2009), Antologi Cerpen Denting (DKM:2006), Antologi Cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Disbudpar Pangkalpinang:2009), Antologi Cerpen Dari Pemburu Sam pai Ke Teraupetik Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Pusat Bahasa: 2003), Novel Putri Run duk (Pusat Bahasa Jakarta, 2008), Antologi Cerpen LMCP Guru (2007-2008-2010), Antologi Cerpen TSI 2 Jalan Menikung ke Bukit Timah (Disbudpar Pangkal Pinang-BABEL,2009), Antologi Cerpen TSI 3 UJUNG LAUT PULAU MARWAH (Disbud par Tanjung Pinang : 2010),Antologi Puisi Narasi Tembuni- KSI Award, The Rocker (mengenang Murtidjono), dll, Unggulan I Tarung Penyair se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang. Alamat Rumah : Jl. Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E. 10 – sei Sikambing B – Sunggal – Medan – SUMUT – Indonesia 20122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih anda telah meninggalkan komentar yang kami butuhkan selanjutnya kami akan menghubungi anda atas apresiasi yang diberikan, Salam