Arsip Blog

Jumat, 18 Maret 2016

SEMOPGA TUHAN MEBETHT

KORUPTOR BUDIMAN









Pinangan








Drama Satu Babak
Karya Anton Chekov Saduran Suyatna Anirun

© 2010









RUANG TAMU DI RUMAH RADEN SUHANDOYO SALIMUN. MUSIK SELENDANG DELIMA MENGIRINGI RATNA SALIMUN YANG RUSUH HATINYA MEMASUKI RUANGAN.

Syair :
Bermula kisah di hamparan tanah Medan
Ratna binti Salimun dan Togar Margolang
Hendak saling mencari pasangan
Namun selalu banyak penghalang

(RATNA MENGHENTAK-HENTAKKAN KAKINYA, SEMBARI NGOMEL TAK JELAS. KEMUDIAN DUDUK MENYEPAK-NYEPAK KAKINYA SEPERTI ANAK KECIL YANG LAGI KESAL. BEGITU AYAHANDANYA, SUHANDOYO SALIMUN, MASUK KE RUANGAN, RATNA JUSTRU PERGI DENGAN WAJAH KESAL),
(WAJAH SUHANDOYO SALIMUN TENTU SAJA TERHERAN-HERAN MELIHAT KELAKUAN PUTRI SEMATA WAYANGNYA. UNTUNGNYA TOGAR MARGOLANG DATANG).

SALIMUN : Eee ... ada orang rupanya. O ... Togar Margolang Sinambela, aduh, aduh, aduh ... Sungguh di luar dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA BERSALAMAN).

TOGAR : Baik, baik, terima kasih, macammana dengan Bapak?

SALIMUN : Baik, baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik melupakan tetanggamu, lae Togar. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian? Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi ke mana?

TOGAR : Oh, tidak. Aku hanya akan mengunjungi Pak Suhandoyo Salimun yang baik.

SALIMUN : Lalu mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.

TOGAR : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi Pak Suhandoyo Salimun yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Salimun? Segelas air!

SALIMUN : (KE SAMPING MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan memberinya.
(KEPADA TOGAR) Apa soalnya, lae Togar?

TOGAR : Terima kasih, Pak Salimun... Maaf ... Pak Suhandoyo Salimun yang baik, aku begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak.
SALIMUN : Akh, lae Togar jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?

TOGAR : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak.

SALIMUN : (DENGAN GIRANG) Anakku Togar, Togar Margolang Sinambela, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak percaya.

TOGAR : Saya merasa terhormat untuk meminang ... ...

SALIMUN : Anakku sayang, aku sangat gembira, dan seterusnya ... (MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu lama sekali. Memang itulah keinginanku. Aku selalu mencintaimu, nak Togar. Seperti kau ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta, kasih yang baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di sini seperti tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen seluruh hatiku. Alangkah baiknya aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ...

TOGAR : Pak Suhandoyo Salimun yang baik, bagaimana Pak, bolehkah saya mengharapkan dia untuk melamar saya?

SALIMUN : Bagi seorang yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu. Aku yakin sekali, ia sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR)

TOGAR : Bah! Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. O Amang, kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Salimun gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SMK... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup. (MINUM)
Alamak... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali. (RATNA MASUK)

RATNA : Ooo ... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli mau mengambil barangnya? Apa kabar lae Togar Margolang Sinambela?

TOGAR : Apa kabar Ratna Salimun yang baik?

RATNA : Maafkan bajuku jelek. Aku sedang mengiris buncis di dapur, mengapa sudah lama tak datang? Duduklah.
(MEREKA DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali sehingga petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya terlalu serakah memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk nantinya. Dan aku seharusnya menunggu.
(MEMANDANG SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana, bang Togar? Huu ... kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa?

TOGAR : (GUGUP) Begini Ratna Salimun yang baik. Sebabnya ialah: aku sudah memastikan bahwa ayahmu ingin agar kau mendengarkan langsung dari aku. Tentunya kau tak mengharapkan hal ini. Dan mungkin kau akan marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM)

RATNA : Ada apa? (HENING)

TOGAR : Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Salimun yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal kau dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui, diwarisi tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan keluarga Sinambela, ayahku, dan keluarga Raden Salimun, ayahmu, selalu rukun dan boleh dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau masih ingat Lapangan “Simalingkar B”-ku yang dibatasi oleh pohon-pohon, yang tidak jauh dari kebun binatang ...

RATNA : Maaf, saya memotong. Abang katakan Lapangan “Simalingkar B“ apa benar itu milik Abang?

TOGAR : Ya, itu milikku.

RATNA : Jangan keliru. Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami. Bukan milik Abang.

TOGAR : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Salimun yang manis.

RATNA : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi milik Abang.

TOGAR : Bah, tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona ... Aku sedang berbicara tentang Lapangan “Simalingkar B” yang terbentang antara Medan dan Brastagi.

RATNA : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami.

TOGAR : Tidak, Ratna Salimun yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami.

RATNA : Pikirlah apa yang kau ucapkan, Bang Togar Margolang Sinambela... Sejak berapa lama tanah itu menjadi milikmu?

TOGAR : Bah! Apa yang kaumaksud dengan “beberapa lama“? Selamanya aku punya ingatan, tanah itu adalah milik kami.

RATNA : Mana bisa ... ?

TOGAR : Aku mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna Suhandoyo Salimun. Lapangan “Simalingkar B” dulu memang milik yang dipersoalkan. Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa tanah itu milikku dan hal itu sekarang sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pikirkanlah baik-baik. Opung-Namboruku mengizinkan tanah itu dipakai oleh petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa selama lebih dari dua ribu tahun. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menganggap tanah itu menjadi milik mereka. Tapi sesudah perjanjian itu habis, yaitu sesudah Pak SBY naik ...

RATNA : Semua ucapanmu sama sekali tidak benar. Ayah Kakekku dan kakek kakekku, keduanya menganggap bahwa tanah mereka memanjang sampai arah Brastagi. Jadi Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami. Ooo ... aku tidak mengerti apa yang menjadi persoalan. Ini merusak suasana Togar Margolang Sinambela.

TOGAR : Akan kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna Salimun...

RATNA : Kau akan melucu atau akan menggoda saya? Itu tidak lucu sama sekali. Kami memiliki tanah itu hampir tiga abad, dan tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku. Maaf, Togar Margolang Sinambela. Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu itu. Saya tidak tergila-gila pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari empat puluh hektar dan harganya paling tinggi tiga ratus juta rupiah. Tetapi saya terpaksa memprotes karena ketidak-adilan. (TOGAR BERAKSI INGIN BICARA)
Kau boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan ketidakadilan.

TOGAR : Saya mohon agar kau suka mendengarkan aku. Petani-petani Kakek-Ayahmu seperti kukatakan tadi membuat batu bata untuk Opung-Namboruku. Dan karena Opung-Namboroku ingin membalas kebaikan ini ...

RATNA : Kakek-Opung-Namboru, aku tak mengerti semua itu. Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami ! Itulah !

TOGAR : Milikku ... ! ..., Milikku ... !

RATNA : Milik kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas jas, Lapangan “Simalingkar B“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka!

TOGAR : Aku juga tidak tergila-gila pada lapangan itu, Ratna Salimun. Kalau kau mau akan kuberikan tanah itu padamu sebagai hadiah.

RATNA : Aku yang bisa memberikan tanah itu kepadamu sebagai hadiah. Karena itu adalah milikku. Semua ini merusak suasana, Togar Margolang. Percayalah. Sampai sekarang aku masih memandangmu sebagai sahabat yang baik. Tahun yang lalu kami meminjam mesin penggiling padi hingga bulan November dan sekarang kau berani menganggap kami sebagai kaum melarat. Menghadiahi aku dengan tanahku sendiri. Maafkan saya, lae Togar Margolang. Ini bukan sikap tetangga yang baik. Terlebih-lebih lagi ini dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan.

TOGAR : Aih Mak, kalau begitu menurut anggapanmu aku ini lintah darat? Alebaya, aku belum pernah merampas tanah orang lain, Nona. Dan aku tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku dengan cara yang demikian! (MINUM) Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami.

RATNA : Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di lapangan itu.

TOGAR : Akan kulempar mereka semua keluar!

RATNA : Awas kalau kau berani!

TOGAR : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Lapangan “Simalingkar B” adalah milikku.

RATNA : Jangan kau menjerit! Kau boleh berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena marah bila di rumahmu sendiri. Tapi di sini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti adat.

TOGAR : Kalau aku tidak sakit napas, Nona, kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak akan berteriak-teriak seperti ini.
(BERTERIAK) Lapangan “Simalingkar B“ milikku.

RATNA : Punya kami!

TOGAR : Punyaku!

RATNA : Kami!

TOGAR : Punyaku! (SUHANDOYO SALIMUN MASUK)

SALIMUN : Ada apa dengan kalian? Mengapa berteriak-teriak?

RATNA : Ayah, coba terangkan pada orang ini. Siapa yang memiliki Lapangan “Simalingkar B“. Dia atau kita?

SALIMUN : Togar, Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami.

TOGAR : Masya Allah, Salimun! Bagaimana bisa menjadi milikmu?
Cobalah sedikit adil. Opung-Namboru meminjamkan Lapangan “Simalingkar B“ tersebut kepada petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua ribu tahun. Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka. Tapi ketika perjanjian selesai, maka tanah itu adalah milik kami.

SALIMUN : Maaf, Togar. Kau lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa kepada Opungmu dan seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama kemudian, ... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang memilikinya. Mungkin kau belum memiliki petanya, Gar.

TOGAR : Akan aku buktikan bahwa akulah pemiliknya!

SALIMUN : Akan tidak bisa, Nak ...

TOGAR : Tentu saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT)

SALIMUN : Mengapa kau berteriak-teriak, Gar? Kau tidak usah membuktikan apa-apa dengan menjerit-jerit. Aku tidak menginginkan kepunyaanmu. Dan akupun tidak akan menyerahkan kepunyaanku. Untuk apa? Kalau kau, Togar ... Kalau kau sudah berani mencoba untuk bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu kepada petani-petani, dari pada kepada orang seperti kamu.

TOGAR : Itu kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak menghadiakan hak orang lain?

SALIMUN : Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namamu: “Tuan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua kali umurmu, Tuan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa berteriak-teriak, dan seterusnya ...

TOGAR : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan menertawakan aku? Katamu ... Tanahku adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Suhandoyo Salimun... Kau bukan tetangga yang baik. Kau lintah darat!

SALIMUN : Apa katamu, Togar? Lintah darat?

RATNA : Ayah, suruhlah buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera.

TOGAR : Apa katamu, Nona?

RATNA : Lapangan “Simalingkar B“ adalah milik kami dan kami tidak akan menyerahkan kepadamu. Aku tidak mau, tidak mau ...

TOGAR : Oh ... persoalan ini akan berlarut-larut nantinya. Akan kubuktikan di depan pengadilan bahwa akulah pemiliknya.

SALIMUN : Di depan pengadilan boleh saja, Tuan Muda, dan seterusnya ... Boleh saja ... Kamu memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini ke pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik!
Memang semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... !

TOGAR : Alamakjang! Bapak jangan menghina keluargaku. Semua keluarga Sinambela selalu orang yang dapat dipercaya, dan tidak seorangpun yang muncul di pengadilan karena melarikan uang, seperti amangborumu. (KEPADA RATNA)

SALIMUN : Semua keturunan Sinambela keturunan gila !

RATNA : Yaaaaa ... Semuanya, semuanya ... ... !

SALIMUN : Opungmu seorang pengadu ayam, namborumu yang termuda melarikan diri dengan mandor PU, dan seterusnya ... (LEMAH)

TOGAR : Dan namborumu seorang yang bongkok.
(MEMEGANG JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ... Demi Allah ... Air ...

SALIMUN : Dan ayahmu seorang yang mata keranjang!!!

RATNA : Dan tak ada lagi selain Namborumu yang mulutnya latah dan judes ...

TOGAR : Oooohh ... Aih Amang !!! Kakiku sudah lumpuh! Kalian orang-orang berkomplot! Tukang komplot! Oh ... Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintunya?! Aku mau pulang ... !!

RATNA : Jahat!, Licik!, Memualkan!!

SALIMUN : Dan kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar malapetaka, itulah kau!

TOGAR : Mana pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana saya harus keluar...? Mana pintunya? ... (KELUAR)

SALIMUN : Selangkahpun kamu jangan lagi memasuki rumah ini!
RATNA : Bawa saja ke pengadilan, kita lihat nanti. (TOGAR KELUAR MERABA PINTU)

SALIMUN : Persetan dia ... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH)

RATNA : Orang sial, bagaimana kita bisa percaya lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah ini?, penjahat!, orang tolol!, berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina pemiliknya. Sialan!!!

SALIMUN : Dan si Konyol itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ... Pikirlah ... Melamar.

RATNA : Hhhaaaahhh ... ?, Melamar Apa?

SALIMUN : Dia datang ke sini untuk melamarmu ...

RATNA : Melamar saya? Mengapa ayah tidak memberitahu terlebih dahulu? (MENYESAL)

SALIMUN : Karena itu dia berpakaian necis. Bagus! Si Bulus!

RATNA : Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia kembali lagi.

SALIMUN : Aduh, bawa dia kembali?

RATNA : Lekas ... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

SALIMUN : Aduh ... segera, jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah ... ! (LARI KELUAR)

RATNA : Oh, Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

SALIMUN : (MASUK LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku, kami hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau.

RATNA : Tidak. Ayah yang salah!

SALIMUN : Ha ... ? Salahku? Begitukah? (TOGAR MASUK) Nah, bicaralah sendiri dengan dia! (SALIMUN KELUAR)

TOGAR : (MASIH TERENGAH-ENGAH) Hatiku berdebar-debar, kakiku lumpuh, pinggangku sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.

RATNA : Kami minta maaf, bang Togar. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru, abangku Togar Margolang Sinambela, sekarang aku ingat Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikmu. Sungguh-sungguh ...
TOGAR : Oh ... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya, Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikku. Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut.

RATNA : Ya ... milikmu, betul milikmu. Duduklah, (MEREKA DUDUK) Kami tadi salah.

TOGAR : Aku bertindak menurut prinsip. Aku tidak menghargai tanah lapangan itu. Yang aku hargai adalah prinsipnya.

RATNA : Betul, prinsipnya. Mari kita bicarakan soal lain saja.

TOGAR : Terutama aku mempunyai bukti-buktinya, Ratna Salimun. Opung-Namboruku memberikan izin kepada petani-petani ayahmu ...

RATNA : Cukup, cukup tentang hal itu. (KE SAMPING) Saya tidak tahu bagaimana memulainya. (KEPADA TOGAR) Apakah kita akan berburu rusa, pada suatu hari?

TOGAR : (MULAI HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku berharap berburu ayam liar setelah panen selesai, Ratna Salimun yang baik. Tapi sudahkah kau mendengar betapa jeleknya nasib si Belang, kucingku, kau kenal dia? ... Kakinya lumpuh ...

RATNA : Kasihan, bagaimana terjadinya? ...

TOGAR : Entahlah, mungkin otot kakinya terkilir. Tapi, kucingku adalah yang terbaik. Lagi pula belum kusebutkan berapa harga yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa aku membayar kepada Haji Ramli sebanyak dua juta rupiah untuk si Belang?

RATNA : Terlalu mahal, Abangku.

TOGAR : Kukira jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia kucing yang lucu dan cerdas.

RATNA : Ayah hanya membayar lima juta rupiah untuk si Manis, dan si Manis jauh lebih cerdik daripada si Belang.

TOGAR : Si Manis lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Manis lebih cerdik dari si Belang?

RATNA : Ya, tentu saja. Si Manis masih muda sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat sifat-sifatnya dan cerdiknya, Amang Sinambela tidak mempunyai satu ekor-pun yang menyamai dan yang bisa mengalahkannya.

TOGAR : Maaf, Ratna Salimun. Tapi kau lupa bahwa si Manis berkumis pendek. Dan, ooo ... Kucing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit.

RATNA : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang hal itu.

TOGAR : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya.

RATNA : Sudah kau ukur?

TOGAR : Oh ya, kucingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.

RATNA : Tetapi pada kucing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia sudah tua dan jelek seperti anjing yang hampir mati.

TOGAR : Oh ... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh ekor kucing seperti si Manis. Dan si Manis itu tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai berpuluh-puluh kucing, seperti si Manis itu. Dan lima puluh ribu rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia.

RATNA : Tampaknya hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Togar Margolang. Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan “Simalingkar B“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau mengatakan si Belang kucingmu lebih cerdik dari si Manis. Aku tidak suka pada lelaki yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti tahu bahwa kucing kami seratus kali lebih bagus dan berharga daripada kucingmu yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang sebaliknya?

TOGAR : Sekarang sudah jelas, Ratna Salimun. Bahwa kau buta dan tolol. Insyaflah kau, bahwa kucingmu berkumis pendek.

RATNA : Bohong ... !

TOGAR : Betul ... !

RATNA : Bohoooooong ... !

TOGAR : Alahmak! Mengapa menjerit-jerit? Mengapa pula kau berteriak-teriak?

RATNA : Mengapa kau berbicara omong-kosong? Ingin membuat aku marah. Sudah masanya bahwa si Belang harus ditembak mati. Tapi coba kau bandingkan dengan si Manis.

TOGAR : (SAKIT LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan soal ini. Hatiku berdebar-debar.

RATNA : Aku sudah berpengalaman bahwa laki-laki yang biasanya ngomong besar tentang perburuan biasanya tidak mengetahui tentang soal itu.

TOGAR : Nona, kuminta agar kau jangan bicara. Kepalaku akan pecah. Diamlah!

RATNA : Aku akan diam sebelum kau mengakui bahwa si Manis seratus kali lebih baik dari si Belang.

TOGAR : Seribu kali lebih jelek ! Persetan dengan si Manis. Oh, kepalaku ... Oh, mataku ... Pundakku ...

RATNA : Belangmu yang bodoh tidak memerlukan ucapan persetan, ia boleh dianggap mati saja.

TOGAR : Diam! Hatiku mau pecah! Oh.

RATNA : Sekarang apa lagi? (SALIMUN MUNCUL) Ayah, katakan dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran sehat Ayah, kucing mana yang lebih baik, si Manis atau si Belang?

TOGAR : Pak Salimun, saya hanya meminta jawaban atas pertanyaanku, apakah si Manis berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak?

SALIMUN : Mengapa kalau ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apa-apa? Tidak ada lagi kucing yang baik di seluruh daerah kita ini.

TOGAR : Tetapi kucing si Belang lebih baik dari si Manis, bukan?

SALIMUN : Jangan terburu-buru, nak Togar. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-sifat yang baik. Dia kucing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ... Tapi kucing itu Gar, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ...

TOGAR : Maaf, hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau fakta-faktanya. Kalau kau insyaf, di rumah Abah Wahab, kucing Raden Abdillah dikalahkan si Belang, sedangkan kucing Bapak, si Manis, setengah kilo di belakang mereka.

SALIMUN : Bohong, Gar. Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau menghentikan perdebatan ini. Ia dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat kucing orang lain. Misalkan saja kau menemukan bahwa kucing kami lebih pandai dari pada si Belang. Kau mulai mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Gar?

TOGAR : Kuingat juga ...

SALIMUN : (MENIRUKAN) Kuingat juga. Apa yang kau ingat?

TOGAR : Hatiku berdebar-debar. Kakiku sudah hilang perasaannya. Aku tidak bisa ...

RATNA : (MENIRUKAN) Hatiku berdebar-debar. Huh ... Itukah seorang pemburu ? Kau seharusnya tinggal di rumah saja daripada terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak apalah. Tapi kau cuma ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikut-ikutan campur tangan kucing orang lain. Kau seharusnya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat daripada berburu serigala. Huh ... hatiku berdebar-debar. Huh ...

SALIMUN : Ya! Itukah seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau seharusnya tinggal di rumah daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu, tak apalah, tapi kau cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan seterusnya ... ... Aku orangnya cepat marah, lae Togar. Lebih baik kau hentikan saja perbantahan ini. Kau bukan seorang pemburu!

TOGAR : Dan kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau ikut hanya untuk korupsi dan menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku, kau ikut orang yang berkomplot!

SALIMUN : Apa? Aku orang yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu!

TOGAR : Tukang komplot!

SALIMUN : Pengecut! Anak liar!

TOGAR : Tikus tua! Rentenir! Lintah darat!

SALIMUN : Tutup mulutmu, atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar. Goblok!

TOGAR : Setiap orang mengetahui ..., ooo hatiku ..., bahwa istrimu dulu suka memukuli kau. Ooo ... hatiku ... bahuku ... mataku ... aku pasti mati, ooooh ... ... ...

SALIMUN : Dan kau suka menggoda babu-babu tetanggamu.

TOGAR : Ooo ... hatiku ... Pasti hancur, pundakku sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ... Aku pasti mati ... (JATUH KE KURSI)

SALIMUN : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang hawa.

RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... !

SALIMUN : Siapa mati? (MELIHAT TOGAR) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter! (MELETAKKAN AIR DI BIBIR TOGAR)
Minum ... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau!
(TOGAR BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah, Gar...

TOGAR : (BERKUNANG-KUNANG) Di mana aku?
SALIMUN : Sebaiknya kau segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia menerima lamaranmu dan akan kuberikan anakku kepadamu.

TOGAR : Ah, siapa? (BANGUN) Siapa?

SALIMUN : Ia menerima kamu dan persetan dengan kalian.

RATNA : (HIDUP) Ya, kuterima lamaranmu.

SALIMUN : Jabatlah tangannya, Nak. Dan seterusnya ...

TOGAR : Hah? Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa sebenarnya? Oh ya, aku mengerti. Hatiku berdebar-debar, kepalaku pusing, aku senang Ratna yang manis.

RATNA : Saya ... saya juga senang Togar Margolang.

SALIMUN : Nah ... Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku.

RATNA : Tapi harus kau terima sekarang. Si Belang lebih bodoh dari si Manis.

TOGAR : Dia lebih cerdik, Ratna.

RATNA : Ia kurang cerdik!

TOGAR : Ia lebih cerdik.

RATNA : Kurang!

TOGAR : Lebih!

RATNA : Kurang!

TOGAR : Lebih!

SALIMUN : Wahhhh, inilah permulaan hidup bahagia sepasang suami-istri! Mari kita berpesta!

(SAAT MEREKA STATIS. MUSIK SELENDANG DELIMA KEMBALI BERKUMANDANG)

Syair :
Begitulah sepenggal kisah tentang anak manusia
Yang hendak menghabiskan masa berumah tangga
Meski diselimuti malapetaka
Namun tetap aman sentosa



F a d e I n (L a y a r T u r u n)