Arsip Blog

Jumat, 27 Agustus 2010

Hoesnizar Hood

Tak Kuasa Berpuasa atau Tak Puasa Berkuasa
15 Agustus 2010 09:58

“Pening kan membaca judulnya?” kawan saya Mahmud dengan enteng mengatakannya kepada saya. Dengan enteng pula saya jawab, “Di zaman memeningkan seperti ini, mana ada yang tak membuat pening. Kalaupun ada sesuatu yang tak memeningkan tapi bisa dipening-peningkan maka akan jadi peninglah dia”. Kening kawan saya itu serta merta berkerut, saya tahu dia pasti pening mendengar kalimat yang saya ucapkan tadi. Jangankan dia yang mendengarkannya saya yang mengucapkannya juga pening.

“Tak kuasa berpuasa itu artinya di bulan penuh berkah ini ternyata kita adalah golongan orang-orang yang dirugikan, Ramadhan itu seperti kapal besar yang menyinggahi dermaga dengan membawa tong-tong yang seharusnya kita isi dengan ibadah, seperti puasa, tadarus, sadaqah. Ternyata kita tak mampu, tak kuasa kita isi, kosong, hampa dan kapal itu akan berlayar lagi hingga tahun depan untuk menyinggahinya kembali, kalau kita masih bertemu dengannya, “ Mahmud menyampaikannya dengan fasih, dengan mimik serius. Saya pikir kawan saya itu memang punya potensi untuk menjadi seorang penceramah, seorang da’i nantinya. Saya terkagum-kagum dibuatnya.

“Macam orang-orang yang kata anak saya tak ada kepala tu ya Mud, “ saya mencoba mengajukan pertanyaan yang sebetulnya bukan pertanyaan tapi hanya untuk mempertegas saja. Kawan saya itu menganggukkan kepalanya. “Ya, ya, ya…betul Tok. Nampak kaki di warung kopi karena pintunya ditutup tirai, jadi kepalanya hilang, separuh badan saja, “ Mahmud berucap setengah tertawa.

Soal orang tak ada kepala itu memang sudah menjadi pemandangan umum di bulan Ramadhan ini, saya pikir sebaiknya tak usah ada kebijakan pemerintah yang mengharuskan untuk menutup tempat makanan itu apalagi ditutup dengan tirai, biar di buka saja. Kalau nanti ada ternampak kawan atau tetangga itu anggap saja tontonan, bukan cobaan atau godaan dan jangan dianggap pula tak menghormati orang yang puasa, karena puasa tak perlu dihormati, karena puasakan ibadah yang jalurnya khusus kepada Allah SWT.

“Dah tua tapi masih tak kuasa berpuasa, “ keluh Mahmud. Saya tak bertanya kepadanya, dengan siapa ingin disampaikannya keluhan itu tapi rasa-rasanya masih banyak juga yang mesti mendengarkan keluhan yang diucapkan Mahmud kawan saya itu.

“Tapi yang lebih menggerunkan lagi adalah tak puasa berkuasa, Tok. Macam tak sudah-sudah selalu saja dia ingin kekuasaan itu ada di tangannya dan kalau sudah berkuasa segala apa yang ada dilahapnya, “ Mahmud dengan suara paraunya mencoba memberikan pemahaman kepada saya. Dalam bayangan saya dengan cepat tergambar wajah-wajah penguasa negeri ini yang dalam bulan Ramadhan ini dilantik dan diangkat sumpahnya.

“Hebat ya Mud, ada 3 Bupati dan Wakil Bupati serta 1 Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan diambil sumpah dan janjinya di bulan Ramadhan ini. Mudah-mudahan negeri ini akan diberkahi, seperti peristiwa-peristiwa lain yang bertepatan dengan bulan Ramadhan yang rasanya selalu membawa kebaikan itu, “ ujar saya kepada Mahmud. Kawan saya itu memandang jauh ke hadapan kami. Hamparan laut terbentang, bayangan di bentangan laut Cina Selatan sana beberapa hari kemarin kabupaten Anambas telah memiliki kepala daerah yang definitif, meskipun dalam pelantikan itu tak sampai separuh hadir anggota DPRD-nya.

“Padahal itu sidang Istimewa Tok, peristiwa istimewa, peristiwa bersejarah sebuah kabupaten baru dan termuda di negeri ini mereka memiliki bupati definitif untuk pertama kalinya. Harusnya disambut dengan suka cita, bukan silang sengketa, “ Mahmud mulai meninggi nadanya.

“Sebaiknya angota DPRD-nya yang terhormat itu, tetap datang dan berbesar hati dengan kelapangan dada meskipun yang jadi Bupati dan Wakil Bupatinya bukan dari partai mereka, “ kata saya kepada Mahmud. “Ya, Tok, setuju, apalagi itu adalah hari pertama puasa, katanya kemarin kita sibuk berkirim SMS meminta maaf kepada semua orang, harusnya pintu maaf kita juga harus dibuka untuk semua orang , “ Jawab Mahmud bersemangat. “Mungkin kalau dosa politik agaknya beda dengan dosa biasa, Mud tak bisa di maafkan pakai SMS, “ tanya saya lagi. Mahmud kawan saya itu menggelengkan kepalanya, bukan pertanda dia tak tahu tapi mungkin ia ingin mengatakan “Entahlah…”.

Seperti saya juga menjawab “Entahlah, “ ketika Mahmud bertanya; “Katanya pada pelantikan itu pangkat yang disandang pak Bupati terjatuh karena kesalahan teknis perekatnya?”. Saya tak mau menjawab karena ternyata terlalu banyak jawaban yang telah keluar dari kejadian itu, mereka berandai-andai dan menganggap itu pertanda yang tak baik. “Ini bulan baik hari baik jangan berpikir yang tak baik, “ sergah Mahmud tiba-tiba. Terasa juga miris di hati, kabupaten muda, negeri yang kaya, dimulai dengan sengketa.

Kemudian Bintan, ini kabupaten paling tua dari seluruh kabupaten yang ada di negeri ini. Dulu namanya Kepulauan Riau, tempat orang-orang heroik yang bersandar dengan falsafah biar mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Meskipun kabupaten ini terasa seperti malu-malu laju pembangunanya. Beberapa hari kemarin di dalam bulan maghfirah ini dilakukan pelantikan juga. “Saya melihat wakil bupati lamanya dengan besar hati berdiri tegak di dalam dewan pelantikan itu, “ ucap Mahmud agak terburu-buru. “Meskipun mereka sempat jadi seteru, “ tambah saya. “Karena dia seniman makanya baginya tak menjadi beban, “ tambah Mahmud penuh keyakinan. Mendengar itu saya hanya terheran-heran.

Setelah itu kabupaten Lingga, negeri yang dulu kami beri tajuk Bunda Tanah Melayu, ketika pada saat itu orang hanya memandang sebelah mata kepadanya. Hutan tempat perburuan kayu, diisi para cukong yang bermulut manis dengan alasan membuka perkebunan tapi kayu habis lahan ditinggalkan. Padahal tidak hanya itu, negeri itu adalah negeri paling wibawa yang sesungguhnya, takkan ada Penyengat jika tak ada Lingga. “Apakah hari ini para cukong itu masih berkeliaran di sana atau ada cukong lain kini yang siap akan memporak-porandakan alam negeri yang dalam sejarahnya dulu memang selalu jadi rebutan dari berbagai kalangan, “ Mahmud berkisah.

Tapi saya pikir kini ia masih saja jadi rebutan juga, karena paling tidak, itu tampak ketika ada empat pasang calon kepala daerahnya bertarung di Pilkada beberapa waktu lalu. Dengan segala cara dan helah mereka, suka atau tidak suka tetap saja Pilkada hanya melahirkan pemenang sepasang pemimpin dan kemarin di dalam bulan penuh berkah ini juga mereka diambil sumpahnya. Bukan hanya bersumpah pada diri mereka dan Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan karena jabatan dan kekuasaanya tapi tanggung jawab menjaga warisan sejarah dan budayanya mestilah mereka lakukan juga. Jika tak ingin negeri itu menjadi Bilik 44 yang tak sudah dan Istana Damnah yang rebah.

Tanggal 19 nanti di 9 Ramadhan 1431 Hijrah akan dilantik Gubernur dan Wakil Gubernur negeri ini. Ini Gubernur kali kedua setelah lima tahun lalu negeri ini mendapatkan Gubernur pertamanya yang pada penghujung masa bhaktinya harus berakhir duka di penjara. 9 Ramadhan itu di tahun 1945 dulu adalah tanggal 17 Agustus hari kemerdekaan kita itu. Kawan saya Mahmud ingin sekali menitip pesan kepada Gubernur dan Wakil Gubernurnya nanti.

“Setelah dua hari kita merayakan detik-detik kemerdekaan, Bapak-bapak dilantik dan diambil sumpahnya, bukankah bapak-bapak juga yang selalu berteriak “merdeka, “ semoga kelak kita bisa lebih merdeka dari apa yang kita rasakan hari ini. Bukan lagi merdeka dari penjajah tapi merdeka dari kemiskinan, merdeka mengecap pendidikan, merdeka dari tekanan untuk mensia-siakan amanah itu. Merdeka dari tangan-tangan kotor birokrasi, merdeka untuk menjadikan Melayu payung sebenar-benar payung negeri ini. Bukan sekadar peneduh panas dan hujan saja, bukan untuk simbol arak-arakan saja. Merdeka dari kekalahan untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dan merdeka dari pemahaman mereka bahwa di mana bumi yang mereka pijak itu ada langit yang harus mereka junjung, bukan mereka jual”.

Siaran radio yang menyampaikan bahwa sebentar lagi pembacaan ayat suci Al-Quran membuat kami berpisah untuk sama-sama kembali ke rumah berbuka puasa. Senja turun memerah, saya masih ingat dengan empat wajah yang akan berkuasa itu, bayangan wajah yang saya dan Mahmud yakin mereka sadar bahwa kelak mereka akan puasa berkuasa juga. ***