Bunda Djibril;
senja mulai tetaskan gelisah, akh retak merajam jembanku, dan aku terhenyak menyentuh hatiku sendiri
Muktir Rahman Syaf;
hingga kubagan jiwa makin dalam perihnya. dan aku tersungkur pada peradaban birahi yang menelan senja itu sampai mati
Bunda Djibril;
setelah aku mati,apa akan kau cari birahi yang lain di ujung-ujung senja yang sepi, lalu kembali menelannya sampai mati?
aku tak ingin mengerti bahwa arti mu adalah sebuah abadi
Muktir Rahman Syaf;
tak ada birahi yang bisa ku abadikan dalam diri
setelah penelanjangan dalam sunyi
karena hanya satu senja di musim sekali semi
Bunda Djibril;
dan senja itu mungkin bukan aku saja, hanya jelmaan jingga yang mantap duduk di sisi jendela, lantas malam berhianat, dan memancungnya di tengah bulan , hingga pelataran kamar tak kunjung berarah, gelap membara dan puing laknat tak berkesudahaan selalu berkata cinta,...
Muktir Rahman Syaf;
karena itulah aku menjelma siang
agar aku bisa menikmati senja sebelum malam tiba
dan malampun kuserahkan paksa
pada rembulan yang terus gerhana...
untuk kutunggu gembala cahaya lain
darinya
Bunda Djibril;
rembulan sedang mendustaimu sayang, dia saja berbisik padaku, wajah nya saja gerhana tapi hatinya setengah tengadah, dan tak ada yang bisa membca cahaya selain dia yang mengembalanya,..
sampai di padang manakah kita bertandang, apakah ada seseorang yang akan menghidangkan petang..
aku sudah lama tak mengunyahnya, aku jadi buas ingin melahapnya bulat-bulat.
mari kita berburu petang, sayang
Muktir Rahman Syaf;
kenapa harus berburu petang?
bukankah lahirku adalah petang
jadi, burulah diriku yang semakin gelap
menunggu senja tak kunjung datang
Bunda Djibril
apa umpan yang kau mau, sang perang?
Muktir Rahman Syaf;
kasih yang tak pernah hilang
Bunda Djibril;
kusiapkan di meja makan, mari... kita nikmati dulu lalu kita bercinta di tengah kota, biar seluruh priyayi saling iri, dan telanjangi diri mereka sndiri
Muktir Rahman Syaf;
kemudian bersama senja aku mati
*percakapan di facebook dengan Indah Zuhairani Siregar pada 01 Juni 2009
KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)