Arsip Blog

Jumat, 27 Agustus 2010

Puisi-Puisi Jones Gultom

Deak Parujar


Awal mula mantra terbaca

pada pucuk-pucuk daun hariara

ketika langit koyak dan awan berpencar

oleh selendang Deak Parujar

sejak itulah nasib seperti layang-layang

terpancang di tanah terjulur ke langit

pada benang tiga warna



- sebatang hariara mulai tumbuh dari jantungku

akarnya menyesap dalam darah

dahannya menembus rongga-rongga

menyembul dari mulut dan mata

tangan menjelma ranting

yang di pundaknya bertengger manukmanuk hulambujati



di timur aku tertancap

menghadap barat Bakkara

sebagai prasasti, janjimu pada Yang Bermula-



kini retak sudah tanah ini

danaumu tak lagi berpenghuni

pulaumu miring ke kiri

adakah naga padoha menggaruk punggungnya

Medan 2010


Hutan dalam Kepala


Hutan telah tumbuh di kepala, menjelma mejadi mitos

Sebab kini hutan tak lagi kusaksikan rimbanya

Aku menciptakan hutan sendiri, dan melahirkan binatang

buas di dalamnya

Setiap malam serigala- serigala melolong tajam di sana

Juga ayam hutan yang menjerit, dikejutkan cahaya matahari waktu pagi

Kini aku menjadi pengembara di hutanku sendiri

Tak ada yang bisa mengusiknya

Tak ada pohon yang merintih karena deru gergaji

Tak ada bandang yang menyerang

Sebab kuciptakan hutan di kepala, alam raya berpijar di sana

Medan, Juni 2005

*

Laki- laki dan Gerimis

Tentang gerimis itu, barangkali dia yang lebih tahu

Karena sudah ditungganginya hujan yang berdentum, juga badai yang galau

Seperti membuka jendela tengah malam disibaknya rambutnya panjangnya yang basah

Ia tak pernah menyimpan gigil di kurus badannya

Selalu bersahabat dengan ngilu di tulangnya

Tentang gerimis pasti dia hafal betul

Karena di tubuhnya setiap tetes terakhir mengalir

Merembes di masam kulitnya

Barangkali setelah Gangga tak ada lagi sungai sebening hatinya!

Tentang gerimis itu pasti dia hafal betul baunya

ya, laki- laki itu!

Medan, Juni 2005

*

Akhir Musim Gugur

Mestinya di musim penghabisan ini, kita tak ikutan merontokkan kisah kita

Kutakut tak ada lagi yang memungut daun yang gugur di kebun

Mengalirkannya di samudera belakang rumah

Ketika pertama dulu kita menjadi penumpang di atas daun itu menembus laut samudera yang tak bermercusuar

Harusnya kita singgah di pelabuhan itu, membeli segala keperluan lalu kembali melaut

Bukan menurunkan jangkar lantas membalikkan kapal

Kini kukenangkan lagi laut itu, seperti mengingatmu mengapung di atas daun dan wajahmu penuh titik- titik gerimis!

Medan, Juni 2005

Kongres Sastrawan Sumatera Utara 2009 Jadikan Lokal sebagai Sentral


Kongres sastrawan digagas untuk membangkitkan semangat berkarya. Juga, menggugat peran pemerintah bagi berlangsungnya kesenian.

Sebagai ekspresi budaya, kehidupan bersastra mestinya tak lepas dari aspek pendukung lain, seperti filsafat, psikologi, sosial, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hubungan ini, sastra menjadi bentukan karya yang fleksibel. Kekuatan sastra justru ketika ia mampu bereduksi tanpa harus kehilangan jati diri. Dengan kata lain, integritas karya sastra menjadi “parsial.”
Karya semacam itu, biasanya justru mendapat tempat lebih lama dibanding karya yang hanya mengedepankan estetika secara tunggal. Kita bisa melihatnya pada masingmasing periode yang dibahasakan sebagai angkatan. Sebut saja ditandai dengan kelahiran angkatan 45 di mana sastra lahir sebagai satu bentuk perlawanan imajinatif terhadap kolonial.
Sastra di masa itu hadir dari referensi-referensi filsafat yang banyak bicara tentang eksistensi pribadi. Kebebasan yang dituntut sastrawan adalah pemerdekaan atas dirinya sendiri, bukan dalam kapasitas berbangsa. Teriakan ‘sendirisendiri’ itu lantas menggaung dan mempresentasikan diri sebagai teriakan bersama atas nama kemanusiaan. Namun esensi ‘teriakan’ itu masih mengawang dan baru terasa membumi pada angkatan 66 di mana para sastrawan menemukan bentuk kongkrit dari apa yang diteriakkan. Karya sastra menjumpai kontekstualitasnya. Hal ini berlangsung cukup lama—meski sempat diperdebatkan—sampai kelahiran angkatan 2000.
Semangat milenium yang menandai lahirnya angkatan 2000 itu, juga turut mempengaruhi psikologi masyarakat dalam memandang dan mencipta karya sastra. Nuansa silver telah mengusung lahirnya postmodern. Oleh sejumlah perempuan, melalui bahasa sastra, ide itu pun dikemas. Lahirlah, Dewi Lestari, Ratih Kumala, Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Dewi Sartika, dan Rieke Diah Pitaloka. Mereka lahir sebagai bentuk pemberontakan terhadap keterpasungan hak-hak perempuan. Mereka lahir tidak sebagai sastrawati, tapi sebagai perempuan yang memahami ideologi gender dan kesejajaran hak, lebih dahulu.
Psikologi masyarakat yang lepas-bebas dari tekanan politik dan ideologi, makin memberi ruang sebebas-bebasnya untuk berkarya. Lompatan-lompatan imajinasi terus berkembang melampaui batas ruang, estetika, dan makna. Tapi eforia itu kemudian menjadi perdebatan, ketika patriotisme para pengusung sastra lokal mencoba menegaskan jati diri Sastra Indonesia sebagai penanda kehadirannya di sastra dunia. Keinginan itu terkendala masalah regenerasi. Beberapa satrawan yang mencoba malah terjebak pemahaman yang dangkal terkait lokalitas itu.

Membangun Mental Intelektual
Agaknya perjalanan gelagat tema sastra itu merupakan hal terpenting untuk dibahas dalam diskusi-diskusi di tingkat lokal, termasuk pada Kongres Sastrawan Sumatera Utara yang berlangsung 28 Februari 2009 di Hotel Garuda Plaza. Sebagai daerah yang kerap melahirkan banyak sastrawan lokal, Sumatera Utara sudah saatnya tak terjebak dengan dinamika semu, tapi juga mesti cerdas mengemas sesuatu yang ‘berdenyut’ itu dengan kearifan lokal.
Di sisi lain, sentralisme yang dikhawatirkan itu, mesti dilihat sebagai publikasi yang menjanjikan, dengan tidak terjebak ke dalam jargon yang dibangunnya. Berbarengan dengan itu, penguatan mesti dilakukan di media-media lokal. Sudah saatnya menggunakan metode terbalik dengan menjadikan lokal sebagai sentral sembari melakukan maneuver (kepentingan publisitas) untuk skala yang lebih tinggi. Sentralisme tak akan terjadi, jika tidak dibudayakan sastrawannya sendiri, terutama yang di daerah.
Di samping itu, mental intelektual merupakan kebutuhan vital bagi sastrawan. Karya sastra harusnya hadir sebagai jawaban, atau setidaknya sebagai cerminan akan satu peradaban yang sedang terjadi. Maka sastrawan harus mampu memberikan pengertian dan pemaknaan terhadap situasi-situasi itu, sebagai hasil dari perenungan estetisnya. Untuk semua itu, sastrawan membutuhkan referensi.
Mental intelektual diperlukan sastrawan sebagai alat untuk menggali kedalaman intuisi tanpa harus mengabaikan estetika. Itulah yang membuat jago-jago sastra di tanah air ini tetap mendapat tempat. Di Sumatera Utara, jago-jago sastra yang kemarin hijrah ke Jawa itu, menggabungkan keduanya. Pada akhirnya mereka tak hanya dikenal sebagai sastrawan, tapi juga pemikir di zamannya. Toh sastra hanyalah sebuah pilihan dalam mengekspresikan segala pengetahuannya itu. Tak beda dengan para ilmuwan yang memilih metode try and error.

Peran Media dan Pemerintah
Saya kira media manapun akan sangat tertolong untuk menjadikan karya sastra sebagai kebutuhan bagi peningkatan marketing. Namun tema klasik yang merantai ini, akan terus mewacana bila karya yang diharapkan mampu mendobrak oplah itu, tak kunjung lahir. Juga tak menjadi alasan bagi sastrawan untuk mencipta karya berdasarkan perbedaan royalti di masing-masing media. Sejatinya, sama sekali tak ada hubungan kausalitas.
Karya yang baik tetap akan mendapat tempat sekalipun dihargai ala kadarnya. Peran media tak bisa dijadikan sumber nafkah sastrawan yang memiliki otoritas terhadap kelangsungan hidupnya sendiri. Yang dibutuhkan adalah tempat di mana dia bias ‘memamerkan’ karya-karyanya. Sama halnya dengan ilmuwan yang harus ‘bersusah payah’ mendapat halaman sebuah jurnal untuk mempublikasikan satu penemuan dan bahkan terkadang harus ‘membeli.’ Berapa kali ilmuwan harus menggelar demonstrasi semata-mata agar penemuan itu dilirik media. Dan ketika penemuan itu berguna bagi banyak orang, giliran media yang akan memberikan halaman sebebasnya—tentunya dengan royalti yang sudah diperhitungkan.
Kongres yang dihadiri ratusan sastrawan (seniman) Sumatera Utara dan diselenggarakan atas kerja sama Home Poetry, Ben M Pasaribu Institute, Laboratorium Sastra, dan Urban Arts Association ini, juga menyimpulkan perlunya menggugat peran pemerintah dalam pelestarian kesenian, seperti yang sudah dianggarkan dalam APBN maupun APBD daerah setempat.
Seperti disebutkan Sahril, selaku salah seorang pembicara, “Ada banyak peraturan yang bisa dijadikan rujukan, di antaranya: Permendagri No 52 tahun 2007 tentang penataan lembaga adat dan nilai sosial; Permendagri No 39 tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi kebudayaan, keraton dan lembaga adat; dan Permendagri No 40 tahun 2007 tentang pedoman bagi kepada daerah dalam pelestarian bahasa daerahnya.”
Lebih lanjut, Sahril mengungkapkan bahwa dia menyesalkan banyak seniman yang tak tahu menahu tentang peraturan itu. Karenanya Sahril mengajak peserta untuk bersama-sama menuntut pemerintah sembari selalu berusaha menghasilkan karya yang berkualitas.
Sementara Yulhasni, lebih menyoroti persoalan tanggung jawab lembaga-lembaga kesenian bentukan pemerintah, misalnya Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) dan Dewan Kesenian Medan (DKM). Mantan redaktur budaya ini beranggapan bahwa kedua lembaga tersebut dihuni bandit-bandit kebudayaan yang mengatasnamakan seniman, padahal lembaga-lembaga itu seharusnya bertanggung jawab terhadap kondisi kesenian Sumatera Utara.


Biodata Penulis

Jones Gultom lahir 26 Oktober 1982 di Perbaungan Sumatera Utara. Karya sastranya tersebar di sejumlah media cetak lokal maupun nasional, antara lain Harian Waspada, Analisa, Mimbar Umum, SIB, Global, Sumut Pos, Medan Bisnis, Kiprah (alm) Harian Sumatera (alm) Aplaus, Menjemaat, Suara Hati, Salus,Majalah MARGA Bianglala (Jakarta) Travel Club (Jakarta) Suara Pembaruan (Jakarta) Majalah TAPIAN (Jakarta) Trans Jakarta Majalah Seni dan Budaya GONG (Yogyakarta) serta di beberapa website sastra.

Karyanya terbit dalam beberapa antologi antara lain Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005) Jelajah (2006) Denting (2007) Medan Puisi (2007) Medan Sastra (2007) Menuai Hikma dalam Nestapa (2009)

Aktivitas kesenian yang pernah diikuti

Parade Teater Sumut 2002 dan 2003; Peksiminas VI di Yogyakarta 2002; Festival Teater Alternatif GKJ Awards di Jakarta 2003; Ekologi Art di Tuktuk, Samosir 2003; Peksiminas VII di Bandarlampung 2004; Kongres Cerpen Indonesia ke IV di Pekanbaru, Riau 2005 ; Pameran puisi penyair Sumatera Utara Harian Analisa 2006; International Poetry Gathering bersama penyair se ASEAN di Medan 2007 ; Temu Sastrawan Se- Sumatera di Taman Budaya Sumtera Utara, Desember 2007; Kongres Sastrawan Sumut 2009;.

Saat ini bekerja sebagai Redaktur Budaya di salah satu media Medan.

Alamat Taman Budaya Sumatera Utara Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan

No HP 0815 3328 8476