Arsip Blog

Senin, 09 November 2009

Puisi-puisi Ilham Wahyudi

Puisi-puisi Ilham Wahyudi



Ilustrasi
/
Minggu, 19 Juli 2009 | 03:54 WIB
KORAN ESOK
aku masih diam. ia kesepian di ruang sempit seperti kotak lemari es yang sangsi. ada lelaki berkumis lele melotot di televisi layar datar. dia tertawa mulutnya penuh popcorn asin. anakku menangis minta sebotol bir bintang. aku kian diam. ia menuangkan rindu ke dalam mangkuk merah yang sejak tadi kedinginan di lantai. “hari inikan ada siaran langsung pelantikan presiden kulit hitam?” dia memencet-mencet remote hitam itu. “ah, tau apa kau tentang rindu!” ia berteriak. tapi anakku bukan setan minum susu siluman.
di luar. suara-suara serak berserak. juga kaca-kaca ruko retak. ia menggigil padahal hari panas terik. seseorang mendekatinya – dengan senyum paling manis; di punggungnya ular-ular mendengus kelaparan – memberinya selimut dari kain spanduk yang sering tergantung di jalan-jalan. gambar-gambar orang-orang di pokok-pokok kayu dan tembok-tembok kusam itu tersenyum. “jangan lupa pilih saya lagi!”
di dalam. anakku tegang menggenggam belati…
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
PEMABUK
Oia, akukan pemabuk
Hantu malam dari lubang jahanam
Anjing liar dari kebunkebun pembantaian
Tolong tuangkan lagi luka itu, kawan!
Gelasku sudah kosong, lagi pula lambungku masih lapang
Memendamnya.
Cengeng!
Jangan kau habiskan air mata itu, tolol!
Besokkan film horornya masih diputar
Apa?
Kau bilang film komedi yang membuat kau menagis?
Hahahaha…puji tuhan!
Lantas mengapa kau menangis?
Kau menangisi mereka – orangorang suci itu?
Hahahaha…ternyata kita sama rupanya, kawan
Hantu malam dari lubang jahanam.
Taik kucing!
Aku melihat taik mata di bulan
Kau mengajakku begadang?
Dendang lagu dendang rindu
Akh…pilu!
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
PREDIKSI
“Ayo kocok lagi batu dadu itu!” ia berteriak.
Ia merogoh saku celananya; meraba keberuntungan yang mungkin masih tersisa.
Di seberang jalan seorang pengemis berlari menggendong ketakutan;
segerombolan polisi pamong praja menggenggam pentungan.
“ Cepatlah. Kau masih mau main apa tidak?” ia mendidih.
Lelaki itu mengocok batu dadu tapi mulutnya menyemburkan mantra-mantra.
Dia mengirim doa ke langit sebab anak-istrinya kelaparan di rumah.
“ Satu. Tiga. Dua. Kecil. Hahaha …” suara lelaki itu membuncah ke langit.
Lagit gelap. Hujan turun tak beraturan.
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
GADIS LEMBAH SEBERANG
kalau langit mengijinkan
bulan purnama ini aku akan menyuntingmu
gadisku
gadis terang dari lembah seberang
pikat sukma jiwaku melayang
katakan pada seluruh tetua di sana
tak usah menyembelih binatang ternak
aku telah memotong sembilanpuluhsembilan
kerbau putih
tigapuluhtiga jenis rempah-rempah dari tanahku
sembilan daun sirih macam rasa
serta tiga kilo emas putih
sebagai maharku
gadisku,
kelak masaklah apa yang kita tanam dari kebun-kebun pengharapan
suapi si bungsu dengan senyum yang kau pamerkan saat pandanganku terbentur matamu
pegang juga pundakku sebab aku akan menggosok rasa letih yang menempel di kaki jenjangmu dengan seluruh keringat yang kutampung dari sekujur tubuhku
mengendongmu ke ranjang yang dipenuhi bunga-bunga mawar
gadisku,
gadis terang dari lembah seberang
bersiap-siaplah aku akan segera datang
mencurimu dari kedua orang tuamu
orang-orang yang memperdulikanmu
tanah yang selalu merindukanmu – sepertiku –
selalu
Medan. Maret 2009
Ilham Wahyudi
SAMPAI BATAS SENJA
Kekasihku ingin aku menggendongnya sampai batas senja
sehingga ia dapat melihat matahari berendam di perut bumi
burungburung pulang dengan perut kenyang
bulan cemas sebab awan sedang bersedih
mendengar rintih katak yang kesepian di pinggir kolam
dan mana tahu gerimis kali ini sudikiranya turun membasahi
pipi merahnya seperti purnama
kekasihku juga memintaku menyayikan lagulagu rindu
agar suasana hatinya yang kacau berangsur normal
sejak pertemuannya tempo hari dengan seekor ular
semuanya tibatiba jadi berubah
seolah ular itu adalah isyarat tentang usianya
tapi kekasihku, ia tidak percaya pada katakataku
bahwa semua itu tak ada hubungannya samasekali
pada usia yang telah tuhan tetapkan batas ujungnya
kekasihku semakin erat memelukku, sangat erat sehingga
aku sulit sekali bernafas dan berbicara kalau aku sepenuhnya
setia bersumpah takkan meninggalkannya, walau sedetik
tapi kekasihku makin kuat memelukku dengan kedua lengannya yang beku
lalu kurasakan pundakku hangat menampung gerimis yang pelanpelan turun
aku mencoba menoleh ke pundakku; apakah ia menyaksikan gerimis ini turun?
sebab sudah sejak lama ia ingin sekali menyaksikan gerimis turun di batas senja
tapi apa yang kusaksikan bukanlah wajah bahagianya
melainkan mata kekasihku terpejam lekat
di batas senja yang pekat
dan gerimis, benarbenar gerimis
Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi
CINTA KIAN MEMBENTANG
– untuk kawan kawan di pabrik kopi
mereka tak menemukanku lagi di sana:
kebahagian adalah senyuman
cinta yang menyembur dari mata
menyelinap di katakata kami;
kini dulu
aku ini batu kata karung goni
sahabat luka kata kopi
tawa canda kami memekik
pada mesinmesin penimbang berat
dan diamdiam telah kami curi kebahagian
dari celah celah butir keringat
(satu awan gelap memandang sinis
teh manis kami tumpah – kadang juga kopi
baju kami basah
akh, lupakan saja, kita gulung lagi tawa
hahahaha)
roda waktu mengejar nafas
senyum anak kami; ingin disuap
lonceng berdentang:
sayur dari dagingku; ikan dari darahku
makanlah, nak
rinduku makin gila:
pun tak kusangka
acap kali aku tergoda
menjual lambungku
kau pisau tumpul tapi tajam
ada logam tikamlah
sampailah pada ujung perjumpaan:
seluruhnya menjadi kenang
kunangkunang malam yang terang;
cintaku kian membentang – samudera
Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi
KAPAL BUAT IBU
Ibu, kelak aku besar nanti
aku akan membuat sebuah kapal, untukmu
kapal yang lebih besar dari yang pernah dibuat nuh
untuk istrinya, anakanaknya, umatnya
dan seluruh binatangbinatang hidup di dunia saat itu
kapal yang akan membawa kita mengelilingi
pulaupulau selatselat samuderasamudera
bahkan benuabenua yang belum pernah kau bayangkan
atau kau dengar namanya selama hidupmu
kapal yang akan menampung segala keluhkesah kita yang abad
sehingga wajah kita yang pucat tak lagi mengenal kemurungan
aku tahu ibu, engkau ingin sekali pergi ke ujung dunia
kau percaya kalau di sana tuhan menyembunyikan tulangtulang
ayah yang tenggelam saat bertarung melawan gelombang
yang sinis pada ketangguhannya menakluki laut membelokkan angin
percayalah ibu, aku anakmu lakilaki yang kau besarkan dengan kepal tinju
dengan keringat yang mengucur dari dindingdinding dahimu bagai hujan lebat
akan mewujudkan seluruh mimpimimpimu yang selama ini mengantung
di langitlangit kamar kita yang bocor dilumat usia
sekalipun aku harus menghabiskan seluruh sisa hidupku membuat kapal itu
ibu, tak ada di dunia ini yang lebih membahagiakan bagi seorang anak lakilaki
selain ia dapat melihat senyuman mengembang bangga di wajah ibunya
senyuman yang nyata surga di dalamnya
senyuman yang menumbuhkan bungabunga harum
sungaisungai yang jernih dari kedalaman cinta
senyuman abadi yang tak luntur usianya di hati, selamanya

Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi

LEMARI
setiap kali,
aku memandangi lekuklekukmu
selalu kutemukan masa kecil
memanggilmanggil seperti azan subuh
syahdu berbisik di telingaku yang tenggelam
dalam mimpi
pinggang lurusmu berwarna cokelat
dengan dua pintu besar dan satu pintu kecil
ada juga lubang besar di lambungmu
tempat biasa aku meletakkan buku buku
kadang juga sepatu
seolah sedang menyambut kedatanganku
yang kadang buru buru
tapi kau,
kau tak sekalipun pernah buru buru
mengabarkan lukamu
luka dari waktu
rayap lapar
tangan tangan jahil
juga kecerobohan
di kaki pincangmu itu,
dulu sering kusembunyikan uang logam
setiap akhir pekan
uang itu kubelikan permen karet
sisanya selalu kutempelkan, di sana
di perutmu
ada sebuah cermin retak;
buram, kusam
seperti sebagian kisahku
kini,
ibu ingin membuangmu di jalan;
agar orang orang mengutipmu
tapi aku tak ingin membuang kenang..
Ibu: ini sudah usang, nanti biar pak kumis letakkan di pojok jalan
Aku: jangan dibuang, bu…
Ibu: kalau begitu jangan pergi lagi, tinggallah di sini
Kupandangi lagi kau tak jemu
tak jemu
tak
jemu.. tak
Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi
BIODATA PENULIS
Nama : Ilham Wahyudi
Lahir : Medan, 22 November 1983
Alamat : Jalan Puri Gg. Repelita No:18b Medan, Sumatera Utara
Pendidikan : Alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Sosial & Politik, Jurusan Komunikasi
No Kontak : 085297480535
Saat ini bergabung dengan D’lick Theatre Team di Taman Budaya Sumatera Utara, dan aktif di salah satu komunitas film di medan (Lt2 Art Community)