Arsip Blog

Senin, 14 April 2008

yunus

Tidada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati.
Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan.
Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya.
Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.”
Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana. “Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah.
Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu. Saat berdiri, seseorang tiba-tiba saja telah berada di hadapannya. “Yuri!” seru Tia kaget.
Yuri tersenyum tipis. Mengulurkan tangan dan berkata, “Abang sebegitu merindukanmu.” Dingin angin berkelebat seketika. Tia merasakan kedinginan itu pada genggaman Yuri. Betapa Tia ingin menyahut mengungkap kerinduan yang juga ia rasakan. Entah mengapa bibirnya justru terkatup.
Yuri tau dan menyadari apa yang Tia rasakan. “Tak perlu menjawab, dik. Abang mengerti, waktu telah tiba. Satu permintaan abang, jangan sesekali adik berpaling. Melangkahlah.”
Bel berbunyi, ketika Tia berada di depan gerbang lembaga pendidikan tempatnya mengajar. Hatinya tertanya akan ucapan Yuri. Apa yang dimaksud Yuri, jangan sesekali berpaling? Tia menoleh, tapi Yuri tak lagi ada dilihatnya. Secepat itukah Yuri pergi? Seperti sekelebat angin. Tia seakan merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa?
Hampir sepenjang jam mengajar gelisah menderanya. Tia kehilangan konsentrasi. Selalu saja ia teringat Yuri. Yuri seperti hadir di hadapannya. Tia meraih hp coba menghubungi telepon rumah Yuri. Dua kali yang terdengar hanya nada sibuk. Tia menunggu beberapa saat, lalu mencoba kembali. Lagi-lagi nada sibuk terdengar.
Tia memutuskan menghubungi Sujadi, sahabat Yuri sesama penulis. Menceritakan sekilas pertemuannya dan kegelisahan yang tengah dirasakannya.
“Kemarin kami masih bertemu. Selepas magrib Yuri beranjak pergi tanpa mengatakan hendak ke mana. Hanya ‘Ada janji yang mesti kutepati,’ sahutnya. Hanya itu, dik.”
“Coba abang upayakan menghubunginya. Jika ada khabar, sampaikan pada Tia ya.”
Dalam ruangan terjadi keriuhan. Murid-murid berteriak bukan lantaran mendengar bel usai jam pelajaran. Mereka heboh mengerumuni Bu Tia yang tiba-tiba terkulai tak sadarkan diri. Sebelum bunyi bel mereka mendengar bunyi hp dan melihat Bu Tia mengeluarkan hp dari tas. Seorang staf pengajar yang meraih hp itu dan membaca pesan singkat yang tertera.
****
Tia berupaya tegar melangkah memasuki rumah duka yang disesaki pentakziah. Ia terisak dan matanya sedemikian sembab. Jenazah Yuri berlapis kain kafan terbujur di hadapannya. Tangis sanak keluarga pecah tak tertahan saat diberi kesempatan terakhir melihat wajah Yuri. Tia merasa tubuhnya sedemikian ringan. Bagai mengambang. Nyaris tak dirasakannya jemari mungil gadis kecil menggamit lengannya.
“Ibu Tia, ya? Papa pernah memperlihatkan photo ibu. Papa berjanji akan mempertemukan ibu pada Yuni. Kata papa….”
Tia sontak merangkul gadis itu. Membelainya dalam tangisan. Keharuan kian menjalari ruangan. Prosesi pelepasan dan keberangkatan jenazah Yuri kini tiba pada penyampaian kata-kata takziah. Penawar duka bagi sanak keluarga yang yang ditinggal. Namun duka adalah sebentuk perasaan yang sebegitu cepat menjalari hati, lalu mengendap di dasar paling dalam. Itu yang dirasakan segenap pentakziah. Apalagi di saat Sujadi yang mewakili sahabat Almarhum, membacakan puisi: “terhenyak di duka menyentak/ kita baru saja bersama/ bercerita hingga lelangit malam memuram/ kita beranjak/ pagi tiba bersama sepenggal berita:/ kau telah tiada/ tiada pertanda, meski berkali/ puisimu menuang rindu abadi// sehelai kain merah terpacak/ perkabungan pun merebak// sahabat,/ menatapmu dalam diam/ duka ini kian mendalam/ kini kau pergi penuhi janji abadi/ selamat jalan sahabat/ di hati kami,/ kau tetap dekat/ karyamu selalu melekat/