Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka.
Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa kembali melupa di saat Suka telah kembali. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?”
Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha pun murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.
“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?” “Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi Tanya.
KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)
Jumat, 18 April 2008
Selasa, 15 April 2008
PENYAIR INDONESIA
kawan, bagimu mungkin aku sekadar sekrup
untuk mesin ambisi yang setiap saat
dapat kau putar arahnya sesuka hati
tidak kawan, aku manusia berjiwa
yang bersetia dengan beragam cuaca
tak pantas kau tujukan
kata-kata itu padaku: pengkhianat!
Medan, Pertengahan September 2005
Hidayat Banjar
Rumah Impian
rumah impian, rumah ketenangan
disusun dari tetes keringat dan air mata
satu-satu tetes keringat berubah jadi bata,
semen, dan atap
satu-satu tetes air mata berubah jadi fondasi,
tiang, pagar, dan jendela
rumah impian, rumah ketenangan
sendiri saja dirangkai
dengan tali kasih memayungi anak-anak
suami terkapar di jalanan
ditinggal begitu saja
dalam peristiwa tabrak lari
malam-malam ditampungnya air mata
dimasukkan ke dalam botol dot
paginya disedot sebagai susu
oleh keenam anak sibiran tulang
kini anak-anak sudah dewasa
dan membangun rumah impiannya masing-masing
jadilah wanita itu sebatang pohon di tengah gurun
dalam kemesraan sepi yang panjang
Medan, Akhir November 2006
Hidayat Banjar
Demo Negeri Alpabet
suatu hari di negeri alpabet
berhimpun para huruf dari a sampai z
dengan aneka jenis: times new roman, arial,
palatino, book antique, dan lain sebagainya
“mari mogok! manusia sudah sangat keterlaluan
memanfaatkan kita dengan beban makna
sesuka hati serta semau mereka,” tandas a
“apakah tidak akan terjadi chaos?” tanya s yang santun
“bukan urusan negeri alpabet,” sergah b
akhirnya diputuskanlah
penduduk negeri alpabet harus melakukan demo
agar manusia tidak sembarangan
memanfaatkan mereka dengan beban makna
sesuka hati dan semaunya saja
negeri alpabet harus terbebas dari beban makna
yang tersusun dalam rangkaian kata
manusia, bukanlah manusia
kalau tak mampu menghadapi demo
negeri kerdil yang bernama alpabet
negeri itu ada di jemari, lidah,
otak dan hati manusia
sehigga dengan sangat mudah
dipermainkan begitu saja
maka adalah sangat wajar
pada titik tertentu
kata kehilangan makna
Medan, Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Rekanku dan Dunia Maya
ada rekanku yang sepanjang usianya
nyaris habis di depan kotak kaca
berselancar di dunia maya
dalam kesendirian meretas ruang dan waktu
hanya dengan jari telunjuk
diselusuri labirin-labirin
dari gedung putih hinga bursa seks
dari ulama hingga penjahat
dari ibu suci sampai pelacur
kadang terkekeh-kekeh sendiri
waktu yang lain mengerutkan kening
sesekali orgasme dan tertidur pulas
adakalanya menangis tersedu-sedu
antara realitas dan semu
bersimpangasiuran di batok kepalanya
higga sukar membedakan celana atau pantat
tercampak ke dunia nyata
gemetar kakinya menjejak bumi
silau mata menangkap cahaya sebenarnya
Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Kisah dari Negeri Semut
seekor nyamuk terkapar di sudut rumah
kekenyangan usai menghisap darah manusia
dalam sekejab beramai-ramai semut mengerubungi
nyamuk tak dapat melawan
dibawa ke gudang penyimpanan makanan
yang tak terlihat dari jendela dunia
di tengah perjalanan melelahkan
cicak mengendap-endap menyaksikan
sedapnya santapan dihedangkan para semut baik hati
dengan satu juluran lindah, nyamuk dan beberapa semut
yang coba mempertahankan makanan mereka
berpindah ke rongga mulut cicak
selanjutnya masuk ke dalam lambung
ribuan semut lainnya tak dapat berbuat apa-apa
menyaksikan perampokan
yang tak terlihat dari jendela dunia itu
beberapa lama kemudian
saat cicak menunggu mangsa
di kosen pintu rumah manusia
seorang bocah menutupkan daun pintu
terjepitlah cicak dan mati seketika
bangkainya lengket di kosen
namun tak terlihat dari jendela dunia
seketika ramai-ramai semut mengerubungi
“ayo seret makanan lezat ini!
dulu perampok makanan
sekarang sudah jadi makanan kita!”
bangkai reptil raksasa, menurut ukuran semut
dengan mudah diseret beramai-ramai.
Akhir Desember 2005
Hidayat Banjar
Sungai Waktu
sungai waktu yang mengalir
lembut maupun keras
mengantar kita ke kinian
sedetik kemudian semua jadi kenangan
sekuat apa pun keinginan kembali ke hulu
adalah sekadar menapak sejarah
dulu, di sini pernah terjadi ini dan itu
sungai waktu yang di dalamnya kita berenang
semula bening, hening
kitalah yang berkecipak tak tentu
membuat air keruh dan keheningan pecah
jadi hiruk pikuk
kita meraba-raba
mencari kesejatian sejarah
sungai waktu mengalir
mengikuti arus penciptaan
dengan kepongahan kita rombak alurnya
sesuai selera atas nama kuasa
pertikaian kabil dan habil
terus berlanjut memercik noda merah
sungai waktu terus mengalir
beraneka cabang
dan ke kinian adalah benang kusut
akankah kita dan anak cucu
mampu mengurainya?
Medan, akhir November 2006
Hidayat Banjar
Lelaki, Rembulan dan Proyek
(untuk Tuan YZ dan lelaki pemburu daging)
lelaki terhormat menatap rembulan
semua sudah ia pasrahkan
rembulan menari-nari
anak negeri tak mengerti
nafsu, rembulan dan proyek
di antaranya adalah kebinatangan
terbuka katup
bebayang terus mengikuti
dan membawanya bercakap-cakap
semula di dalam goa
lalu hadir di pentas kehidupan
sudah terlanjur membias
lelaki, rembulan dan proyek
kenaifan di antaranya
cinta dan rindu yang sebatas daging
memamah lelaki terhormat tanpa sisa
ampasnya membusuk di septic tank
andai saja bukan lelaki terhormat
sudah kulumat kejahanaman ini
dengan kejahanaman yang lebih besar lagi
rembulan ngakak di atas proyek
selangkangnya berbau nanah.
Medan, Medio Desember 2006
Hidayat Banjar
I b u
mengenang ibu
tataplah bumi yang tak pernah lelah
menyapih pepohonan dari fajar merekah
hingga ke peraduan malam
mengenang ibu
tataplah matahari yang tak pernah lelah
menghangatkan seluruh isi bumi
sampai malam memeluk
dan mengirimnya mimpi-mimpi indah
apakah ibumu seperti itu?
kawan, jika kehilangan kasih ibu
sesungguhnya kau telah kehilangan
separuh jiwamu
22 Desember 2006
Hidayat Banjar
Pantai-pantai Itu
demikianlah pantai-pantai itu
memanggil para pejalan untuk singgah
bersidekap akrab asinnya laut
dan garangnya ombak
putih-putih kwarsa
putih-putih buih
hati yang tulus menerima kehadiran
wahai nakhoda merapatlah
lemparkan jangkar
ikatkan temali pada tiang-tiang
di pelabuuan
pantai jombalng lhokseumawe
16 september 2006
Hidayat Banjar
Jomblang
jomblang kembali dikenangnya
sosok serupa pantai yang putih-putih airnya
sosok serupa kwarsa yang putih-putih berkilau
duhai dara
kenapa demikian menggoda
membuat nakhoda oleng
dan dalam ragu bertanya:
benarkah kau pelabuhan itu?
Januari 2007
untuk mesin ambisi yang setiap saat
dapat kau putar arahnya sesuka hati
tidak kawan, aku manusia berjiwa
yang bersetia dengan beragam cuaca
tak pantas kau tujukan
kata-kata itu padaku: pengkhianat!
Medan, Pertengahan September 2005
Hidayat Banjar
Rumah Impian
rumah impian, rumah ketenangan
disusun dari tetes keringat dan air mata
satu-satu tetes keringat berubah jadi bata,
semen, dan atap
satu-satu tetes air mata berubah jadi fondasi,
tiang, pagar, dan jendela
rumah impian, rumah ketenangan
sendiri saja dirangkai
dengan tali kasih memayungi anak-anak
suami terkapar di jalanan
ditinggal begitu saja
dalam peristiwa tabrak lari
malam-malam ditampungnya air mata
dimasukkan ke dalam botol dot
paginya disedot sebagai susu
oleh keenam anak sibiran tulang
kini anak-anak sudah dewasa
dan membangun rumah impiannya masing-masing
jadilah wanita itu sebatang pohon di tengah gurun
dalam kemesraan sepi yang panjang
Medan, Akhir November 2006
Hidayat Banjar
Demo Negeri Alpabet
suatu hari di negeri alpabet
berhimpun para huruf dari a sampai z
dengan aneka jenis: times new roman, arial,
palatino, book antique, dan lain sebagainya
“mari mogok! manusia sudah sangat keterlaluan
memanfaatkan kita dengan beban makna
sesuka hati serta semau mereka,” tandas a
“apakah tidak akan terjadi chaos?” tanya s yang santun
“bukan urusan negeri alpabet,” sergah b
akhirnya diputuskanlah
penduduk negeri alpabet harus melakukan demo
agar manusia tidak sembarangan
memanfaatkan mereka dengan beban makna
sesuka hati dan semaunya saja
negeri alpabet harus terbebas dari beban makna
yang tersusun dalam rangkaian kata
manusia, bukanlah manusia
kalau tak mampu menghadapi demo
negeri kerdil yang bernama alpabet
negeri itu ada di jemari, lidah,
otak dan hati manusia
sehigga dengan sangat mudah
dipermainkan begitu saja
maka adalah sangat wajar
pada titik tertentu
kata kehilangan makna
Medan, Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Rekanku dan Dunia Maya
ada rekanku yang sepanjang usianya
nyaris habis di depan kotak kaca
berselancar di dunia maya
dalam kesendirian meretas ruang dan waktu
hanya dengan jari telunjuk
diselusuri labirin-labirin
dari gedung putih hinga bursa seks
dari ulama hingga penjahat
dari ibu suci sampai pelacur
kadang terkekeh-kekeh sendiri
waktu yang lain mengerutkan kening
sesekali orgasme dan tertidur pulas
adakalanya menangis tersedu-sedu
antara realitas dan semu
bersimpangasiuran di batok kepalanya
higga sukar membedakan celana atau pantat
tercampak ke dunia nyata
gemetar kakinya menjejak bumi
silau mata menangkap cahaya sebenarnya
Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Kisah dari Negeri Semut
seekor nyamuk terkapar di sudut rumah
kekenyangan usai menghisap darah manusia
dalam sekejab beramai-ramai semut mengerubungi
nyamuk tak dapat melawan
dibawa ke gudang penyimpanan makanan
yang tak terlihat dari jendela dunia
di tengah perjalanan melelahkan
cicak mengendap-endap menyaksikan
sedapnya santapan dihedangkan para semut baik hati
dengan satu juluran lindah, nyamuk dan beberapa semut
yang coba mempertahankan makanan mereka
berpindah ke rongga mulut cicak
selanjutnya masuk ke dalam lambung
ribuan semut lainnya tak dapat berbuat apa-apa
menyaksikan perampokan
yang tak terlihat dari jendela dunia itu
beberapa lama kemudian
saat cicak menunggu mangsa
di kosen pintu rumah manusia
seorang bocah menutupkan daun pintu
terjepitlah cicak dan mati seketika
bangkainya lengket di kosen
namun tak terlihat dari jendela dunia
seketika ramai-ramai semut mengerubungi
“ayo seret makanan lezat ini!
dulu perampok makanan
sekarang sudah jadi makanan kita!”
bangkai reptil raksasa, menurut ukuran semut
dengan mudah diseret beramai-ramai.
Akhir Desember 2005
Hidayat Banjar
Sungai Waktu
sungai waktu yang mengalir
lembut maupun keras
mengantar kita ke kinian
sedetik kemudian semua jadi kenangan
sekuat apa pun keinginan kembali ke hulu
adalah sekadar menapak sejarah
dulu, di sini pernah terjadi ini dan itu
sungai waktu yang di dalamnya kita berenang
semula bening, hening
kitalah yang berkecipak tak tentu
membuat air keruh dan keheningan pecah
jadi hiruk pikuk
kita meraba-raba
mencari kesejatian sejarah
sungai waktu mengalir
mengikuti arus penciptaan
dengan kepongahan kita rombak alurnya
sesuai selera atas nama kuasa
pertikaian kabil dan habil
terus berlanjut memercik noda merah
sungai waktu terus mengalir
beraneka cabang
dan ke kinian adalah benang kusut
akankah kita dan anak cucu
mampu mengurainya?
Medan, akhir November 2006
Hidayat Banjar
Lelaki, Rembulan dan Proyek
(untuk Tuan YZ dan lelaki pemburu daging)
lelaki terhormat menatap rembulan
semua sudah ia pasrahkan
rembulan menari-nari
anak negeri tak mengerti
nafsu, rembulan dan proyek
di antaranya adalah kebinatangan
terbuka katup
bebayang terus mengikuti
dan membawanya bercakap-cakap
semula di dalam goa
lalu hadir di pentas kehidupan
sudah terlanjur membias
lelaki, rembulan dan proyek
kenaifan di antaranya
cinta dan rindu yang sebatas daging
memamah lelaki terhormat tanpa sisa
ampasnya membusuk di septic tank
andai saja bukan lelaki terhormat
sudah kulumat kejahanaman ini
dengan kejahanaman yang lebih besar lagi
rembulan ngakak di atas proyek
selangkangnya berbau nanah.
Medan, Medio Desember 2006
Hidayat Banjar
I b u
mengenang ibu
tataplah bumi yang tak pernah lelah
menyapih pepohonan dari fajar merekah
hingga ke peraduan malam
mengenang ibu
tataplah matahari yang tak pernah lelah
menghangatkan seluruh isi bumi
sampai malam memeluk
dan mengirimnya mimpi-mimpi indah
apakah ibumu seperti itu?
kawan, jika kehilangan kasih ibu
sesungguhnya kau telah kehilangan
separuh jiwamu
22 Desember 2006
Hidayat Banjar
Pantai-pantai Itu
demikianlah pantai-pantai itu
memanggil para pejalan untuk singgah
bersidekap akrab asinnya laut
dan garangnya ombak
putih-putih kwarsa
putih-putih buih
hati yang tulus menerima kehadiran
wahai nakhoda merapatlah
lemparkan jangkar
ikatkan temali pada tiang-tiang
di pelabuuan
pantai jombalng lhokseumawe
16 september 2006
Hidayat Banjar
Jomblang
jomblang kembali dikenangnya
sosok serupa pantai yang putih-putih airnya
sosok serupa kwarsa yang putih-putih berkilau
duhai dara
kenapa demikian menggoda
membuat nakhoda oleng
dan dalam ragu bertanya:
benarkah kau pelabuhan itu?
Januari 2007
PENYAIR INDONESIA
Hidayat Banjar
Negeri Alpabet Porak-poranda
kitalah penyayang sekaligus pemerkosa
warga negeri alpabet
mempermainkannya di perut
dan melompat ke mulut
kitalah sang penguasa negeri alpabet
yang demi menegakkan panji keakuan
menjungkirbalikkan seluruh makna
dan Tuhan terheran-heran
makhluk ciptaan mengaku pencipta
negeri alpabet porak-poranda
oleh tangan dan mulut-mulut yang merasa tuhan
Akhir Januari 2007
Hidayat Banjar
Rumah Pura-pura
rumah yang dibangun
dengan pondasi pura-pura
hanya melahirkan cerita duka
cinta-cinta yang hambar
anak-anak yang samar
bagai pelaut terkutuk
nakhoda lupa daratan
kapal tak dapat sandar
terus berputar
dari samudra satu ke samudra lain
sekali waktu aku bertanya:
apa yang kau cari kawan
berlayar dengan tubuh dibalut topeng
nakhoda menjawab
hanya dengan kepala menggeleng
Medan Awal Mei 2006
Hidayat Banjar
Rindu Memayungi Hari-hari
dibiarkannya rindu memayungi hari-hari
dalam nestapa daun-daun berharap
sentuhan embun
setelah malam larut sekali
tak tersisa sedikit pun mata air
semua menguap ke angkasa
meninggalkan parau
dari dahaga teramat panjang
entah kenapa kenangan di pantai itu
jadi titik kian mengabur
burung-burung pantai pun bernyanyi sendiri
Akhir Januari 2007
Hidayat Banjar
Bebayang dari Negeri Entah
sipongang hewan malam sesayup
sampaikan kabar sesuatu yang mengabur
dari negeri entah berkelebat bebayang
membawa rasa yang sudah berabad tak dikenalinya
berkeloneng jualah sang hati
di jomblang
pantai itu memanggilnya kuat
untuk berpaut memeluk harap
sampai di medan, ia seperti edan
bebayang terus berkelebat memanggil
ketika disahut, wujud menghablur-hablur
duh
Awal Februari 2007
Hidayat Banjar
Menanti Waktu
berlapis-lapis rindu tumpah di dermaga
kapal tak berlayar
laut dirundung badai
dan kita terbang mengambang
hening memeluk peluh sendiri
angin mengirimkan kabar
dari syair-syair lapuk
tak laku dijual
meski di pasar loak
lumpuh lah lumpuh sandaran jiwa
di mana tempat berteduh
rumah-rumah rubuh
lalu ikhlas di tepian malam
perindu, syair dan buku-buku
memang sahabat sejati
ada bisikan dari sekumpulan sajak abadi
mengisahkan tentang jalan berliku
ranjang maha luas
berpegang pada arus nasib
dedaun dan pohon-pohon
menanti waktu
Awal Februari 2007
Hidayat Banjar
Fatamorgana
pernahkan kau menatap tanah menghitam
itulah hati dendam rindu
bumi yang berharap siraman hujan
dermaga tak lagi disinggahi, bernyanyi sendiri
pasir terombang-ambing dihempas ombak
riwayatkan gelora mengambang pasang
sebermula di jomblang
hanyut dalam debar jantung
dalam pertemuan sekejab
cahaya jauh mengembara
ke tengah samudra hindia
badai menghantam segala rasa, beku
menggamit tangan sedekap
hanya fatamorgana
Awal Februari 2007
Hidayat Banjar
Valentino Tak Kan Menangis
valentino tak kan menangis
air matanya habis
terbawa banjir dan tanah longsor
seketika manusia jadi bangkai
yang hidup tinggal papa
mata air dari air mata para papa
mengalir ke bak-bak penampungan sang cukong
kemudian berubah jadi istana, permata dan betina
pemuas syahwat kaum hedon
valentino tak kan menangis
kasih sayang adam pada hawa
bukannya diwarisi hingga ke anak cucu
kabil si pejantan merenggut
dan mengubahnya jadi nafsu hewani
yang mengalirkan darah dan nanah
ngakaklah setan-setan di cakrawala
jakarta, medan dan kota-kota besar tergenang
membawa kabar tentang pohon terluka
darah... darah... darah amis dan kecut
sejarah terus berulang
sejak kabil membaui daging
dan melupakan habil sebagai saudara
valentino tak kan menangis
tak kan berteriak
air mata dan suaranya diredam
gemuruh bah dan balok-balok kematian
duka apalagi saudara
yang akan diwariskan para kabil
di negeri yang penuh bencana ini
Medan, Awal Maret 2007
Hidayat Banjar
Ke Mana Saja
entah di mana muaranya
akankah sampai ke pelabuhan
aku tak kan bertanya lagi
kedangkalan manusiaku menjelajah
makna kasih-Nya Maha Luas dan dalam
adalah utopia
ya, yang terbaik bagiku
bersandar pada arus yang membawa
perahu kecil dan oleng ini
ke mana saja
Medan Akhir Mei 2007
Hidayat Banjar
Kesasar
pertemuan ini cukuplah membasuh
dahaga teramat panjang
meski tak tuntas
biarkan jadi riwayat burung-burung malam
yang kesasar mencari sangkar
gelap memang kerap
membuat pekat segala harap
Akhir Mei 2007
Hidayat Banjar
Kenagan
telah kubiarkan kenangan memosil
tapi kau buka katup kebekuan
akhirnya meleleh
menggenangi jalan-jalanku
dan kau terkekeh menontonnya
berkali-kali kumohon sudilah membantu
menutup rapat semua pori
agar kenangan yang menggiring kita
pada cinta anak sekolahan
tak menjadikan kau dan aku pendosa
tapi tak kau hiraukan
sepi jualah yang mengantarkan
hari-harimu ke pelabuhan waktu
gosong jualah jiwaku
terpanggang api rindu
Akhir Mei 2007
Negeri Alpabet Porak-poranda
kitalah penyayang sekaligus pemerkosa
warga negeri alpabet
mempermainkannya di perut
dan melompat ke mulut
kitalah sang penguasa negeri alpabet
yang demi menegakkan panji keakuan
menjungkirbalikkan seluruh makna
dan Tuhan terheran-heran
makhluk ciptaan mengaku pencipta
negeri alpabet porak-poranda
oleh tangan dan mulut-mulut yang merasa tuhan
Akhir Januari 2007
Hidayat Banjar
Rumah Pura-pura
rumah yang dibangun
dengan pondasi pura-pura
hanya melahirkan cerita duka
cinta-cinta yang hambar
anak-anak yang samar
bagai pelaut terkutuk
nakhoda lupa daratan
kapal tak dapat sandar
terus berputar
dari samudra satu ke samudra lain
sekali waktu aku bertanya:
apa yang kau cari kawan
berlayar dengan tubuh dibalut topeng
nakhoda menjawab
hanya dengan kepala menggeleng
Medan Awal Mei 2006
Hidayat Banjar
Rindu Memayungi Hari-hari
dibiarkannya rindu memayungi hari-hari
dalam nestapa daun-daun berharap
sentuhan embun
setelah malam larut sekali
tak tersisa sedikit pun mata air
semua menguap ke angkasa
meninggalkan parau
dari dahaga teramat panjang
entah kenapa kenangan di pantai itu
jadi titik kian mengabur
burung-burung pantai pun bernyanyi sendiri
Akhir Januari 2007
Hidayat Banjar
Bebayang dari Negeri Entah
sipongang hewan malam sesayup
sampaikan kabar sesuatu yang mengabur
dari negeri entah berkelebat bebayang
membawa rasa yang sudah berabad tak dikenalinya
berkeloneng jualah sang hati
di jomblang
pantai itu memanggilnya kuat
untuk berpaut memeluk harap
sampai di medan, ia seperti edan
bebayang terus berkelebat memanggil
ketika disahut, wujud menghablur-hablur
duh
Awal Februari 2007
Hidayat Banjar
Menanti Waktu
berlapis-lapis rindu tumpah di dermaga
kapal tak berlayar
laut dirundung badai
dan kita terbang mengambang
hening memeluk peluh sendiri
angin mengirimkan kabar
dari syair-syair lapuk
tak laku dijual
meski di pasar loak
lumpuh lah lumpuh sandaran jiwa
di mana tempat berteduh
rumah-rumah rubuh
lalu ikhlas di tepian malam
perindu, syair dan buku-buku
memang sahabat sejati
ada bisikan dari sekumpulan sajak abadi
mengisahkan tentang jalan berliku
ranjang maha luas
berpegang pada arus nasib
dedaun dan pohon-pohon
menanti waktu
Awal Februari 2007
Hidayat Banjar
Fatamorgana
pernahkan kau menatap tanah menghitam
itulah hati dendam rindu
bumi yang berharap siraman hujan
dermaga tak lagi disinggahi, bernyanyi sendiri
pasir terombang-ambing dihempas ombak
riwayatkan gelora mengambang pasang
sebermula di jomblang
hanyut dalam debar jantung
dalam pertemuan sekejab
cahaya jauh mengembara
ke tengah samudra hindia
badai menghantam segala rasa, beku
menggamit tangan sedekap
hanya fatamorgana
Awal Februari 2007
Hidayat Banjar
Valentino Tak Kan Menangis
valentino tak kan menangis
air matanya habis
terbawa banjir dan tanah longsor
seketika manusia jadi bangkai
yang hidup tinggal papa
mata air dari air mata para papa
mengalir ke bak-bak penampungan sang cukong
kemudian berubah jadi istana, permata dan betina
pemuas syahwat kaum hedon
valentino tak kan menangis
kasih sayang adam pada hawa
bukannya diwarisi hingga ke anak cucu
kabil si pejantan merenggut
dan mengubahnya jadi nafsu hewani
yang mengalirkan darah dan nanah
ngakaklah setan-setan di cakrawala
jakarta, medan dan kota-kota besar tergenang
membawa kabar tentang pohon terluka
darah... darah... darah amis dan kecut
sejarah terus berulang
sejak kabil membaui daging
dan melupakan habil sebagai saudara
valentino tak kan menangis
tak kan berteriak
air mata dan suaranya diredam
gemuruh bah dan balok-balok kematian
duka apalagi saudara
yang akan diwariskan para kabil
di negeri yang penuh bencana ini
Medan, Awal Maret 2007
Hidayat Banjar
Ke Mana Saja
entah di mana muaranya
akankah sampai ke pelabuhan
aku tak kan bertanya lagi
kedangkalan manusiaku menjelajah
makna kasih-Nya Maha Luas dan dalam
adalah utopia
ya, yang terbaik bagiku
bersandar pada arus yang membawa
perahu kecil dan oleng ini
ke mana saja
Medan Akhir Mei 2007
Hidayat Banjar
Kesasar
pertemuan ini cukuplah membasuh
dahaga teramat panjang
meski tak tuntas
biarkan jadi riwayat burung-burung malam
yang kesasar mencari sangkar
gelap memang kerap
membuat pekat segala harap
Akhir Mei 2007
Hidayat Banjar
Kenagan
telah kubiarkan kenangan memosil
tapi kau buka katup kebekuan
akhirnya meleleh
menggenangi jalan-jalanku
dan kau terkekeh menontonnya
berkali-kali kumohon sudilah membantu
menutup rapat semua pori
agar kenangan yang menggiring kita
pada cinta anak sekolahan
tak menjadikan kau dan aku pendosa
tapi tak kau hiraukan
sepi jualah yang mengantarkan
hari-harimu ke pelabuhan waktu
gosong jualah jiwaku
terpanggang api rindu
Akhir Mei 2007
PENYAIR URBAN
Hidayat Banjar
Kata-katamu Lepas
entah kenapa
ketika cerita dari negeri angin
bersimpangsiuran di ruang kerja
kau tak dapat memilah
antara kabar burung
dan cahaya tanpa bias
dengan kegarangan laut
kata-katamu lepas jadi tsunami
menampar nuraniku
hingga tercampak ke sudut-sudut gelap
kawan, bagimu mungkin aku sekadar sekrup
untuk mesin ambisi yang setiap saat
dapat kau putar arahnya sesuka hati
tidak kawan, aku manusia berjiwa
yang bersetia dengan beragam cuaca
tak pantas kau tujukan
kata-kata itu padaku: pengkhianat!
Medan, Pertengahan September 2005
Hidayat Banjar
Rumah Impian
rumah impian, rumah ketenangan
disusun dari tetes keringat dan air mata
satu-satu tetes keringat berubah jadi bata,
semen, dan atap
satu-satu tetes air mata berubah jadi fondasi,
tiang, pagar, dan jendela
rumah impian, rumah ketenangan
sendiri saja dirangkai
dengan tali kasih memayungi anak-anak
suami terkapar di jalanan
ditinggal begitu saja
dalam peristiwa tabrak lari
malam-malam ditampungnya air mata
dimasukkan ke dalam botol dot
paginya disedot sebagai susu
oleh keenam anak sibiran tulang
kini anak-anak sudah dewasa
dan membangun rumah impiannya masing-masing
jadilah wanita itu sebatang pohon di tengah gurun
dalam kemesraan sepi yang panjang
Medan, Akhir November 2006
Hidayat Banjar
Demo Negeri Alpabet
suatu hari di negeri alpabet
berhimpun para huruf dari a sampai z
dengan aneka jenis: times new roman, arial,
palatino, book antique, dan lain sebagainya
“mari mogok! manusia sudah sangat keterlaluan
memanfaatkan kita dengan beban makna
sesuka hati serta semau mereka,” tandas a
“apakah tidak akan terjadi chaos?” tanya s yang santun
“bukan urusan negeri alpabet,” sergah b
akhirnya diputuskanlah
penduduk negeri alpabet harus melakukan demo
agar manusia tidak sembarangan
memanfaatkan mereka dengan beban makna
sesuka hati dan semaunya saja
negeri alpabet harus terbebas dari beban makna
yang tersusun dalam rangkaian kata
manusia, bukanlah manusia
kalau tak mampu menghadapi demo
negeri kerdil yang bernama alpabet
negeri itu ada di jemari, lidah,
otak dan hati manusia
sehigga dengan sangat mudah
dipermainkan begitu saja
maka adalah sangat wajar
pada titik tertentu
kata kehilangan makna
Medan, Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Rekanku dan Dunia Maya
ada rekanku yang sepanjang usianya
nyaris habis di depan kotak kaca
berselancar di dunia maya
dalam kesendirian meretas ruang dan waktu
hanya dengan jari telunjuk
diselusuri labirin-labirin
dari gedung putih hinga bursa seks
dari ulama hingga penjahat
dari ibu suci sampai pelacur
kadang terkekeh-kekeh sendiri
waktu yang lain mengerutkan kening
sesekali orgasme dan tertidur pulas
adakalanya menangis tersedu-sedu
antara realitas dan semu
bersimpangasiuran di batok kepalanya
higga sukar membedakan celana atau pantat
tercampak ke dunia nyata
gemetar kakinya menjejak bumi
silau mata menangkap cahaya sebenarnya
Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Kisah dari Negeri Semut
seekor nyamuk terkapar di sudut rumah
kekenyangan usai menghisap darah manusia
dalam sekejab beramai-ramai semut mengerubungi
nyamuk tak dapat melawan
dibawa ke gudang penyimpanan makanan
yang tak terlihat dari jendela dunia
di tengah perjalanan melelahkan
cicak mengendap-endap menyaksikan
sedapnya santapan dihedangkan para semut baik hati
dengan satu juluran lindah, nyamuk dan beberapa semut
yang coba mempertahankan makanan mereka
berpindah ke rongga mulut cicak
selanjutnya masuk ke dalam lambung
ribuan semut lainnya tak dapat berbuat apa-apa
menyaksikan perampokan
yang tak terlihat dari jendela dunia itu
beberapa lama kemudian
saat cicak menunggu mangsa
di kosen pintu rumah manusia
seorang bocah menutupkan daun pintu
terjepitlah cicak dan mati seketika
bangkainya lengket di kosen
namun tak terlihat dari jendela dunia
seketika ramai-ramai semut mengerubungi
“ayo seret makanan lezat ini!
dulu perampok makanan
sekarang sudah jadi makanan kita!”
bangkai reptil raksasa, menurut ukuran semut
dengan mudah diseret beramai-ramai.
Akhir Desember 2005
Hidayat Banjar
Sungai Waktu
sungai waktu yang mengalir
lembut maupun keras
mengantar kita ke kinian
sedetik kemudian semua jadi kenangan
sekuat apa pun keinginan kembali ke hulu
adalah sekadar menapak sejarah
dulu, di sini pernah terjadi ini dan itu
sungai waktu yang di dalamnya kita berenang
semula bening, hening
kitalah yang berkecipak tak tentu
membuat air keruh dan keheningan pecah
jadi hiruk pikuk
kita meraba-raba
mencari kesejatian sejarah
sungai waktu mengalir
mengikuti arus penciptaan
dengan kepongahan kita rombak alurnya
sesuai selera atas nama kuasa
pertikaian kabil dan habil
terus berlanjut memercik noda merah
sungai waktu terus mengalir
beraneka cabang
dan ke kinian adalah benang kusut
akankah kita dan anak cucu
mampu mengurainya?
Medan, akhir November 2006
Hidayat Banjar
Lelaki, Rembulan dan Proyek
(untuk Tuan YZ dan lelaki pemburu daging)
lelaki terhormat menatap rembulan
semua sudah ia pasrahkan
rembulan menari-nari
anak negeri tak mengerti
nafsu, rembulan dan proyek
di antaranya adalah kebinatangan
terbuka katup
bebayang terus mengikuti
dan membawanya bercakap-cakap
semula di dalam goa
lalu hadir di pentas kehidupan
sudah terlanjur membias
lelaki, rembulan dan proyek
kenaifan di antaranya
cinta dan rindu yang sebatas daging
memamah lelaki terhormat tanpa sisa
ampasnya membusuk di septic tank
andai saja bukan lelaki terhormat
sudah kulumat kejahanaman ini
dengan kejahanaman yang lebih besar lagi
rembulan ngakak di atas proyek
selangkangnya berbau nanah.
Medan, Medio Desember 2006
Hidayat Banjar
I b u
mengenang ibu
tataplah bumi yang tak pernah lelah
menyapih pepohonan dari fajar merekah
hingga ke peraduan malam
mengenang ibu
tataplah matahari yang tak pernah lelah
menghangatkan seluruh isi bumi
sampai malam memeluk
dan mengirimnya mimpi-mimpi indah
apakah ibumu seperti itu?
kawan, jika kehilangan kasih ibu
sesungguhnya kau telah kehilangan
separuh jiwamu
22 Desember 2006
Hidayat Banjar
Pantai-pantai Itu
demikianlah pantai-pantai itu
memanggil para pejalan untuk singgah
bersidekap akrab asinnya laut
dan garangnya ombak
putih-putih kwarsa
putih-putih buih
hati yang tulus menerima kehadiran
wahai nakhoda merapatlah
lemparkan jangkar
ikatkan temali pada tiang-tiang
di pelabuuan
pantai jombalng lhokseumawe
16 september 2006
Hidayat Banjar
Jomblang
jomblang kembali dikenangnya
sosok serupa pantai yang putih-putih airnya
sosok serupa kwarsa yang putih-putih berkilau
duhai dara
kenapa demikian menggoda
membuat nakhoda oleng
dan dalam ragu bertanya:
benarkah kau pelabuhan itu?
Januari 2007
Kata-katamu Lepas
entah kenapa
ketika cerita dari negeri angin
bersimpangsiuran di ruang kerja
kau tak dapat memilah
antara kabar burung
dan cahaya tanpa bias
dengan kegarangan laut
kata-katamu lepas jadi tsunami
menampar nuraniku
hingga tercampak ke sudut-sudut gelap
kawan, bagimu mungkin aku sekadar sekrup
untuk mesin ambisi yang setiap saat
dapat kau putar arahnya sesuka hati
tidak kawan, aku manusia berjiwa
yang bersetia dengan beragam cuaca
tak pantas kau tujukan
kata-kata itu padaku: pengkhianat!
Medan, Pertengahan September 2005
Hidayat Banjar
Rumah Impian
rumah impian, rumah ketenangan
disusun dari tetes keringat dan air mata
satu-satu tetes keringat berubah jadi bata,
semen, dan atap
satu-satu tetes air mata berubah jadi fondasi,
tiang, pagar, dan jendela
rumah impian, rumah ketenangan
sendiri saja dirangkai
dengan tali kasih memayungi anak-anak
suami terkapar di jalanan
ditinggal begitu saja
dalam peristiwa tabrak lari
malam-malam ditampungnya air mata
dimasukkan ke dalam botol dot
paginya disedot sebagai susu
oleh keenam anak sibiran tulang
kini anak-anak sudah dewasa
dan membangun rumah impiannya masing-masing
jadilah wanita itu sebatang pohon di tengah gurun
dalam kemesraan sepi yang panjang
Medan, Akhir November 2006
Hidayat Banjar
Demo Negeri Alpabet
suatu hari di negeri alpabet
berhimpun para huruf dari a sampai z
dengan aneka jenis: times new roman, arial,
palatino, book antique, dan lain sebagainya
“mari mogok! manusia sudah sangat keterlaluan
memanfaatkan kita dengan beban makna
sesuka hati serta semau mereka,” tandas a
“apakah tidak akan terjadi chaos?” tanya s yang santun
“bukan urusan negeri alpabet,” sergah b
akhirnya diputuskanlah
penduduk negeri alpabet harus melakukan demo
agar manusia tidak sembarangan
memanfaatkan mereka dengan beban makna
sesuka hati dan semaunya saja
negeri alpabet harus terbebas dari beban makna
yang tersusun dalam rangkaian kata
manusia, bukanlah manusia
kalau tak mampu menghadapi demo
negeri kerdil yang bernama alpabet
negeri itu ada di jemari, lidah,
otak dan hati manusia
sehigga dengan sangat mudah
dipermainkan begitu saja
maka adalah sangat wajar
pada titik tertentu
kata kehilangan makna
Medan, Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Rekanku dan Dunia Maya
ada rekanku yang sepanjang usianya
nyaris habis di depan kotak kaca
berselancar di dunia maya
dalam kesendirian meretas ruang dan waktu
hanya dengan jari telunjuk
diselusuri labirin-labirin
dari gedung putih hinga bursa seks
dari ulama hingga penjahat
dari ibu suci sampai pelacur
kadang terkekeh-kekeh sendiri
waktu yang lain mengerutkan kening
sesekali orgasme dan tertidur pulas
adakalanya menangis tersedu-sedu
antara realitas dan semu
bersimpangasiuran di batok kepalanya
higga sukar membedakan celana atau pantat
tercampak ke dunia nyata
gemetar kakinya menjejak bumi
silau mata menangkap cahaya sebenarnya
Awal Desember 2005
Hidayat Banjar
Kisah dari Negeri Semut
seekor nyamuk terkapar di sudut rumah
kekenyangan usai menghisap darah manusia
dalam sekejab beramai-ramai semut mengerubungi
nyamuk tak dapat melawan
dibawa ke gudang penyimpanan makanan
yang tak terlihat dari jendela dunia
di tengah perjalanan melelahkan
cicak mengendap-endap menyaksikan
sedapnya santapan dihedangkan para semut baik hati
dengan satu juluran lindah, nyamuk dan beberapa semut
yang coba mempertahankan makanan mereka
berpindah ke rongga mulut cicak
selanjutnya masuk ke dalam lambung
ribuan semut lainnya tak dapat berbuat apa-apa
menyaksikan perampokan
yang tak terlihat dari jendela dunia itu
beberapa lama kemudian
saat cicak menunggu mangsa
di kosen pintu rumah manusia
seorang bocah menutupkan daun pintu
terjepitlah cicak dan mati seketika
bangkainya lengket di kosen
namun tak terlihat dari jendela dunia
seketika ramai-ramai semut mengerubungi
“ayo seret makanan lezat ini!
dulu perampok makanan
sekarang sudah jadi makanan kita!”
bangkai reptil raksasa, menurut ukuran semut
dengan mudah diseret beramai-ramai.
Akhir Desember 2005
Hidayat Banjar
Sungai Waktu
sungai waktu yang mengalir
lembut maupun keras
mengantar kita ke kinian
sedetik kemudian semua jadi kenangan
sekuat apa pun keinginan kembali ke hulu
adalah sekadar menapak sejarah
dulu, di sini pernah terjadi ini dan itu
sungai waktu yang di dalamnya kita berenang
semula bening, hening
kitalah yang berkecipak tak tentu
membuat air keruh dan keheningan pecah
jadi hiruk pikuk
kita meraba-raba
mencari kesejatian sejarah
sungai waktu mengalir
mengikuti arus penciptaan
dengan kepongahan kita rombak alurnya
sesuai selera atas nama kuasa
pertikaian kabil dan habil
terus berlanjut memercik noda merah
sungai waktu terus mengalir
beraneka cabang
dan ke kinian adalah benang kusut
akankah kita dan anak cucu
mampu mengurainya?
Medan, akhir November 2006
Hidayat Banjar
Lelaki, Rembulan dan Proyek
(untuk Tuan YZ dan lelaki pemburu daging)
lelaki terhormat menatap rembulan
semua sudah ia pasrahkan
rembulan menari-nari
anak negeri tak mengerti
nafsu, rembulan dan proyek
di antaranya adalah kebinatangan
terbuka katup
bebayang terus mengikuti
dan membawanya bercakap-cakap
semula di dalam goa
lalu hadir di pentas kehidupan
sudah terlanjur membias
lelaki, rembulan dan proyek
kenaifan di antaranya
cinta dan rindu yang sebatas daging
memamah lelaki terhormat tanpa sisa
ampasnya membusuk di septic tank
andai saja bukan lelaki terhormat
sudah kulumat kejahanaman ini
dengan kejahanaman yang lebih besar lagi
rembulan ngakak di atas proyek
selangkangnya berbau nanah.
Medan, Medio Desember 2006
Hidayat Banjar
I b u
mengenang ibu
tataplah bumi yang tak pernah lelah
menyapih pepohonan dari fajar merekah
hingga ke peraduan malam
mengenang ibu
tataplah matahari yang tak pernah lelah
menghangatkan seluruh isi bumi
sampai malam memeluk
dan mengirimnya mimpi-mimpi indah
apakah ibumu seperti itu?
kawan, jika kehilangan kasih ibu
sesungguhnya kau telah kehilangan
separuh jiwamu
22 Desember 2006
Hidayat Banjar
Pantai-pantai Itu
demikianlah pantai-pantai itu
memanggil para pejalan untuk singgah
bersidekap akrab asinnya laut
dan garangnya ombak
putih-putih kwarsa
putih-putih buih
hati yang tulus menerima kehadiran
wahai nakhoda merapatlah
lemparkan jangkar
ikatkan temali pada tiang-tiang
di pelabuuan
pantai jombalng lhokseumawe
16 september 2006
Hidayat Banjar
Jomblang
jomblang kembali dikenangnya
sosok serupa pantai yang putih-putih airnya
sosok serupa kwarsa yang putih-putih berkilau
duhai dara
kenapa demikian menggoda
membuat nakhoda oleng
dan dalam ragu bertanya:
benarkah kau pelabuhan itu?
Januari 2007
GENERASI BARU
NIRWANA SUGUHKAN DUNIA BARU
ku temukan kawah berbalut embun
nirwana menyuguhkan dunia baru
disini dalam waktu
sisa-sisa pergelutan dengan ambisi
wajah-wajah sendu
mengisaratkan keteguhan hati
dalam detik tak seberapa
kutemukan mata air
membasuh dahaku akan ilmu
senyum penuh semangat
bapak?
abang?
kakak?
guru?
kadang kebimbangan menghampiriku
apa yang pantas menyapa wajah2 sendu
tapi untuk apa mencari kata yg tepat
yg pasti
ku temukan dunia baru
dunia penuh warna
komintasHp,2008
dijah
ku temukan kawah berbalut embun
nirwana menyuguhkan dunia baru
disini dalam waktu
sisa-sisa pergelutan dengan ambisi
wajah-wajah sendu
mengisaratkan keteguhan hati
dalam detik tak seberapa
kutemukan mata air
membasuh dahaku akan ilmu
senyum penuh semangat
bapak?
abang?
kakak?
guru?
kadang kebimbangan menghampiriku
apa yang pantas menyapa wajah2 sendu
tapi untuk apa mencari kata yg tepat
yg pasti
ku temukan dunia baru
dunia penuh warna
komintasHp,2008
dijah
Senin, 14 April 2008
yunus
Tidada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati.
Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan.
Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya.
Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.”
Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana. “Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah.
Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu. Saat berdiri, seseorang tiba-tiba saja telah berada di hadapannya. “Yuri!” seru Tia kaget.
Yuri tersenyum tipis. Mengulurkan tangan dan berkata, “Abang sebegitu merindukanmu.” Dingin angin berkelebat seketika. Tia merasakan kedinginan itu pada genggaman Yuri. Betapa Tia ingin menyahut mengungkap kerinduan yang juga ia rasakan. Entah mengapa bibirnya justru terkatup.
Yuri tau dan menyadari apa yang Tia rasakan. “Tak perlu menjawab, dik. Abang mengerti, waktu telah tiba. Satu permintaan abang, jangan sesekali adik berpaling. Melangkahlah.”
Bel berbunyi, ketika Tia berada di depan gerbang lembaga pendidikan tempatnya mengajar. Hatinya tertanya akan ucapan Yuri. Apa yang dimaksud Yuri, jangan sesekali berpaling? Tia menoleh, tapi Yuri tak lagi ada dilihatnya. Secepat itukah Yuri pergi? Seperti sekelebat angin. Tia seakan merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa?
Hampir sepenjang jam mengajar gelisah menderanya. Tia kehilangan konsentrasi. Selalu saja ia teringat Yuri. Yuri seperti hadir di hadapannya. Tia meraih hp coba menghubungi telepon rumah Yuri. Dua kali yang terdengar hanya nada sibuk. Tia menunggu beberapa saat, lalu mencoba kembali. Lagi-lagi nada sibuk terdengar.
Tia memutuskan menghubungi Sujadi, sahabat Yuri sesama penulis. Menceritakan sekilas pertemuannya dan kegelisahan yang tengah dirasakannya.
“Kemarin kami masih bertemu. Selepas magrib Yuri beranjak pergi tanpa mengatakan hendak ke mana. Hanya ‘Ada janji yang mesti kutepati,’ sahutnya. Hanya itu, dik.”
“Coba abang upayakan menghubunginya. Jika ada khabar, sampaikan pada Tia ya.”
Dalam ruangan terjadi keriuhan. Murid-murid berteriak bukan lantaran mendengar bel usai jam pelajaran. Mereka heboh mengerumuni Bu Tia yang tiba-tiba terkulai tak sadarkan diri. Sebelum bunyi bel mereka mendengar bunyi hp dan melihat Bu Tia mengeluarkan hp dari tas. Seorang staf pengajar yang meraih hp itu dan membaca pesan singkat yang tertera.
****
Tia berupaya tegar melangkah memasuki rumah duka yang disesaki pentakziah. Ia terisak dan matanya sedemikian sembab. Jenazah Yuri berlapis kain kafan terbujur di hadapannya. Tangis sanak keluarga pecah tak tertahan saat diberi kesempatan terakhir melihat wajah Yuri. Tia merasa tubuhnya sedemikian ringan. Bagai mengambang. Nyaris tak dirasakannya jemari mungil gadis kecil menggamit lengannya.
“Ibu Tia, ya? Papa pernah memperlihatkan photo ibu. Papa berjanji akan mempertemukan ibu pada Yuni. Kata papa….”
Tia sontak merangkul gadis itu. Membelainya dalam tangisan. Keharuan kian menjalari ruangan. Prosesi pelepasan dan keberangkatan jenazah Yuri kini tiba pada penyampaian kata-kata takziah. Penawar duka bagi sanak keluarga yang yang ditinggal. Namun duka adalah sebentuk perasaan yang sebegitu cepat menjalari hati, lalu mengendap di dasar paling dalam. Itu yang dirasakan segenap pentakziah. Apalagi di saat Sujadi yang mewakili sahabat Almarhum, membacakan puisi: “terhenyak di duka menyentak/ kita baru saja bersama/ bercerita hingga lelangit malam memuram/ kita beranjak/ pagi tiba bersama sepenggal berita:/ kau telah tiada/ tiada pertanda, meski berkali/ puisimu menuang rindu abadi// sehelai kain merah terpacak/ perkabungan pun merebak// sahabat,/ menatapmu dalam diam/ duka ini kian mendalam/ kini kau pergi penuhi janji abadi/ selamat jalan sahabat/ di hati kami,/ kau tetap dekat/ karyamu selalu melekat/
Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan.
Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya.
Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.”
Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana. “Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah.
Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu. Saat berdiri, seseorang tiba-tiba saja telah berada di hadapannya. “Yuri!” seru Tia kaget.
Yuri tersenyum tipis. Mengulurkan tangan dan berkata, “Abang sebegitu merindukanmu.” Dingin angin berkelebat seketika. Tia merasakan kedinginan itu pada genggaman Yuri. Betapa Tia ingin menyahut mengungkap kerinduan yang juga ia rasakan. Entah mengapa bibirnya justru terkatup.
Yuri tau dan menyadari apa yang Tia rasakan. “Tak perlu menjawab, dik. Abang mengerti, waktu telah tiba. Satu permintaan abang, jangan sesekali adik berpaling. Melangkahlah.”
Bel berbunyi, ketika Tia berada di depan gerbang lembaga pendidikan tempatnya mengajar. Hatinya tertanya akan ucapan Yuri. Apa yang dimaksud Yuri, jangan sesekali berpaling? Tia menoleh, tapi Yuri tak lagi ada dilihatnya. Secepat itukah Yuri pergi? Seperti sekelebat angin. Tia seakan merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa?
Hampir sepenjang jam mengajar gelisah menderanya. Tia kehilangan konsentrasi. Selalu saja ia teringat Yuri. Yuri seperti hadir di hadapannya. Tia meraih hp coba menghubungi telepon rumah Yuri. Dua kali yang terdengar hanya nada sibuk. Tia menunggu beberapa saat, lalu mencoba kembali. Lagi-lagi nada sibuk terdengar.
Tia memutuskan menghubungi Sujadi, sahabat Yuri sesama penulis. Menceritakan sekilas pertemuannya dan kegelisahan yang tengah dirasakannya.
“Kemarin kami masih bertemu. Selepas magrib Yuri beranjak pergi tanpa mengatakan hendak ke mana. Hanya ‘Ada janji yang mesti kutepati,’ sahutnya. Hanya itu, dik.”
“Coba abang upayakan menghubunginya. Jika ada khabar, sampaikan pada Tia ya.”
Dalam ruangan terjadi keriuhan. Murid-murid berteriak bukan lantaran mendengar bel usai jam pelajaran. Mereka heboh mengerumuni Bu Tia yang tiba-tiba terkulai tak sadarkan diri. Sebelum bunyi bel mereka mendengar bunyi hp dan melihat Bu Tia mengeluarkan hp dari tas. Seorang staf pengajar yang meraih hp itu dan membaca pesan singkat yang tertera.
****
Tia berupaya tegar melangkah memasuki rumah duka yang disesaki pentakziah. Ia terisak dan matanya sedemikian sembab. Jenazah Yuri berlapis kain kafan terbujur di hadapannya. Tangis sanak keluarga pecah tak tertahan saat diberi kesempatan terakhir melihat wajah Yuri. Tia merasa tubuhnya sedemikian ringan. Bagai mengambang. Nyaris tak dirasakannya jemari mungil gadis kecil menggamit lengannya.
“Ibu Tia, ya? Papa pernah memperlihatkan photo ibu. Papa berjanji akan mempertemukan ibu pada Yuni. Kata papa….”
Tia sontak merangkul gadis itu. Membelainya dalam tangisan. Keharuan kian menjalari ruangan. Prosesi pelepasan dan keberangkatan jenazah Yuri kini tiba pada penyampaian kata-kata takziah. Penawar duka bagi sanak keluarga yang yang ditinggal. Namun duka adalah sebentuk perasaan yang sebegitu cepat menjalari hati, lalu mengendap di dasar paling dalam. Itu yang dirasakan segenap pentakziah. Apalagi di saat Sujadi yang mewakili sahabat Almarhum, membacakan puisi: “terhenyak di duka menyentak/ kita baru saja bersama/ bercerita hingga lelangit malam memuram/ kita beranjak/ pagi tiba bersama sepenggal berita:/ kau telah tiada/ tiada pertanda, meski berkali/ puisimu menuang rindu abadi// sehelai kain merah terpacak/ perkabungan pun merebak// sahabat,/ menatapmu dalam diam/ duka ini kian mendalam/ kini kau pergi penuhi janji abadi/ selamat jalan sahabat/ di hati kami,/ kau tetap dekat/ karyamu selalu melekat/
cer yun
Tidada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati.
Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan.
Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya.
Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.”
Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana. “Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah.
Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu.
Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan.
Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya.
Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.”
Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana. “Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah.
Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu.
Rabu, 09 April 2008
Legam Berserakan
Puisi Djamal
Di Bibir Rindu
Sampai kapan kita duduk di bibir rindu
kian lama memendam sunyi
seonggok senyum telah kita rajut
bersama mimpi tak pernah terwujud
Medan, 2008
Masih Ada Keindahan Indonesia
Terinspirasi dari foto Herman Tobing
Dalam ruang ini aku selalu bersimpuh
tanpa setitik cahaya
hanya kegelapan menyelimuti hari-hariku
amisnya kotoran kelelawar
tak pernah kurasakan
pesing kencing membius hidung
Indah kurasakan ruang ini
sebab masih teraba olehku
ornamen-ornamen kotoran
yang membentuk mestika
aku terkesima
metitiskan air mata
hingga muntah darah
Ah, masih ada, alamku yang indah,
tanpa pernah dijamah?
hingga ia sempat
membangbangun pilar mestika
Oh, indah masih kurasa
“Indonesia tanah air kita”
Medan, 2008
Legam Berserakan
Masih terlihat aura wajahku di cermin
Pecah
Rindu aku,
pada suci air mengalir
tak singgah di muara wajah
Rindu padaMu
Medan, 2008
Di Bibir Rindu
Sampai kapan kita duduk di bibir rindu
kian lama memendam sunyi
seonggok senyum telah kita rajut
bersama mimpi tak pernah terwujud
Medan, 2008
Masih Ada Keindahan Indonesia
Terinspirasi dari foto Herman Tobing
Dalam ruang ini aku selalu bersimpuh
tanpa setitik cahaya
hanya kegelapan menyelimuti hari-hariku
amisnya kotoran kelelawar
tak pernah kurasakan
pesing kencing membius hidung
Indah kurasakan ruang ini
sebab masih teraba olehku
ornamen-ornamen kotoran
yang membentuk mestika
aku terkesima
metitiskan air mata
hingga muntah darah
Ah, masih ada, alamku yang indah,
tanpa pernah dijamah?
hingga ia sempat
membangbangun pilar mestika
Oh, indah masih kurasa
“Indonesia tanah air kita”
Medan, 2008
Legam Berserakan
Masih terlihat aura wajahku di cermin
Pecah
Rindu aku,
pada suci air mengalir
tak singgah di muara wajah
Rindu padaMu
Medan, 2008
Jumat, 04 April 2008
Demonstrasi Warga Piring
Demonstrasi Warga Piring
sebutir nasi dalam makan siangku
memakiku ganas
aku tak terkejut
ini yang kelima dalam selasa ini
:menanyakan nasibnya
aku jadi sebal dibuatnya
bukan lantaran makiannya,
tapi provokasinya terhadap penghuni piring
tongkol, tahu, dan labusiam ikut-ikutan memaki
bahkan kuah kari berlagak pandai di depan hidungku
“makilah aku, dan kalian mati”,
aku tak mau kalah
“kukunyah dan kuhancurkan kalian
dengan gigigigiku yang terkenal bengis
kulelap ke dalam kerongkongan
dan kupenjara dalam perutku yang rakus berhari-hari”,
sambungku mengumpat
“gelaplah kalian, matilah tarian!”
sebutir nasi tetap memaki
dibarengi orkestra lauk pauk dengan tatapan sinis
mereka makin keras teriak
setelah garpu di tangan kiriku jatuh ke kolong meja
dan tak bisa diambil
sendok menjadi pengecut setelah sendiri
ia tersenyum menatap makian
aku dipojokkan
aku diadili
sebutir nasi yang terpulen berhardik keras
kali ini,
“keluarkan pernyataan terhadap nasib kami!”
susul tahu tak mau ketinggalan:
“ya! setelah kami hilang ditelan waktu,
kehidupan yang baru harus bernyanyi dengan merdeka!”
seisi penghuni piring makin riuh
mereka membikin tarian ombak di lautan ricuh
mengacung-acungkan kepal ke mukaku
jurus diplomatis kuperaga,
“kita lihat besok apa yang kukeluarkan,
di jamban”
seisi piring senyap
sebutir nasi bersembunyi di bawah labusiam
dimakan angin mereka
4 april’07 yang baru
kos raflesia, karawaci
sebutir nasi dalam makan siangku
memakiku ganas
aku tak terkejut
ini yang kelima dalam selasa ini
:menanyakan nasibnya
aku jadi sebal dibuatnya
bukan lantaran makiannya,
tapi provokasinya terhadap penghuni piring
tongkol, tahu, dan labusiam ikut-ikutan memaki
bahkan kuah kari berlagak pandai di depan hidungku
“makilah aku, dan kalian mati”,
aku tak mau kalah
“kukunyah dan kuhancurkan kalian
dengan gigigigiku yang terkenal bengis
kulelap ke dalam kerongkongan
dan kupenjara dalam perutku yang rakus berhari-hari”,
sambungku mengumpat
“gelaplah kalian, matilah tarian!”
sebutir nasi tetap memaki
dibarengi orkestra lauk pauk dengan tatapan sinis
mereka makin keras teriak
setelah garpu di tangan kiriku jatuh ke kolong meja
dan tak bisa diambil
sendok menjadi pengecut setelah sendiri
ia tersenyum menatap makian
aku dipojokkan
aku diadili
sebutir nasi yang terpulen berhardik keras
kali ini,
“keluarkan pernyataan terhadap nasib kami!”
susul tahu tak mau ketinggalan:
“ya! setelah kami hilang ditelan waktu,
kehidupan yang baru harus bernyanyi dengan merdeka!”
seisi penghuni piring makin riuh
mereka membikin tarian ombak di lautan ricuh
mengacung-acungkan kepal ke mukaku
jurus diplomatis kuperaga,
“kita lihat besok apa yang kukeluarkan,
di jamban”
seisi piring senyap
sebutir nasi bersembunyi di bawah labusiam
dimakan angin mereka
4 april’07 yang baru
kos raflesia, karawaci
Langganan:
Postingan (Atom)