Arsip Blog

Selasa, 22 Februari 2011

PUISI PENYAIR

Y. S. Rat
MEDAN YANG HILANG

Sungaisungai mengalir tak memantul silau
menatapnya membangkit imaji indah gemulai
tarian air nuju muara dari
deli
babura
sikambing
denai
putih
badra
sulang saling
belawan
seluas tanah tiada sebekas langkah
terperangkap sesak menapakinya melintas penjuru
memesra perjalanan menemu kisah 171590
guru patimpus menyeruak rawa belukar
menetas kampung sebening udara tanpa
selintas bayang menghirupnya lapanglah dada
membersih pikir sejulang langit nol
awan hitam meruntuh hujan ngancam
detak jam menerawangnya meneguh sepenuh
yakin tak sesiapa secuil pun
rela berpesta luka membunuhkuburkan janji
purba menjaga kota tua bernama
medan

begitulah bertahuntahun lalu hingga tak
terhingga kenal pun tak kutampak
serombongan orang menyelinap serempak
menimbunkeruhkan
sungaisungai sekalian merebahtutupkan tembok
mengecilsempitkan
tanah sekaligus menghapuslenyapkan batas
mengumuhgersangkan
udara seraya memanasganaskan angin
memanahkoyakkan
langit serenta menyungkilbutakan matahari bulan
bintang

beginilah bertahuntahun sudah kini
menggeleparmatilah
ikanikan mengairlautlah jalanan pemukiman
menyempitsakitlah
napas mengaburasinglah jejak bangunan
bersejarah satusatu dirambah selebihnya menyisa
gundah titi gantung pun telah
limbung nasibnya lapangan semula merdeka
didaulat jadi lapangan mereka entah
kepada siapalah tempat mengadu sedangkan
guru patimpus cuma di catatan
berserak di sejengkal jalan di
seonggok tugu bisa disua
14 Oktober 2009, Medan

Doa Sebelum Usai

Allah, telah Kau ingatan. kami pun sempat mengingatnya.
Selebihnya entah apa. sekarang pastilah Kau saksikan beginilah kami.
gelimang darah banjiri sawah ladang yang Kau hampar
seluas ikhlas. diretas nyawa sesama tak sanggup kami menghitung jumlahnya suami menjadi duda.
istri dirundung pilu menjanda. Orang tua merindu anaknya. anak-anak meratapi kesendiriannya
adalah sesak yang tak ada habisnya. Allah, sebelum usai kami
percaya kerelaan-Mu. mohon ingatkan lagi kami tak berulang lupa semua adalah saudara tak ada lain
kecuali kepada-Mu. Allah, maka hari ini segala apa kami lakukan
Kaulah memberinya keindahan selamanya tanpa peluru mengganas tanpa darah membuncah kembali sawah ladang bertebar rezeki Allah
10 Januari 2011, Medan

PADA PINTU DAN JENDELA
M. Raudah Jambak

Pada pintu dan jendela angin kencang bertiup
seperti malam-malam sebelumnya
sebab pada setiap langkah bulan
pun telah ia sedekahkan cahaya di setiap
rumah temaram

pada pintu dan jendela malam menetas
seperti biasanya dalam kenduri diam
dan bulan pun menyulamkan bumi
sampai ke pagi

TATAP MATAMU TELAH BEBASKAN IMAJINASI
M. Raudah Jambak

Tatap matamu mempermain-mainkan
imajinasi yang paling birahi lalu merayap masuk
di setiap aliran getah pohon kamboja
dipucuknya daun-daun gemetaran
dalam dekap sepasang burung yang bertengger, manja
di puncak nisan, di antara makam-makam yang berebahan
sunyipun melahirkan bait-bait puisi kebebasan
dan aku mengayuh cintamu seirama detak nadi
oh, betapa kejantananku menghentak liat betinamu

SELAMAT MALAM, MALAM
M. Raudah Jambak

Selamat malam, malam
Dengan sebatang lilin ini
aku heningkan cipta untuk mengenang
jasa perusahaan listrik negara
semoga arwah mereka
diterima disisiNya
selamat malam, malam
semoga sebatang lilin ini
tidak cepat mencair sebelum
matahari beranjak ke pagi (07)

Harta Pinem
Madah Perempuan

berjalan saja hai engkau perempuan yang setia
membajak sawah-ladang mengenakan mantel hujan
hadapi gerimis tahun, hadapi musim kelu kelabu
di antara awan retak, kacamata pecah
berjalan terus menelusuri hutan berkabut

harapan haru biru dengan tangan sekeras baja
langkah meniti badai, tubuhmu disapu gerimis panas serta hujan
berjalanlah terus mencangkuli panas dalam hidupmu
di tengah ladang yang semakin kurus krontang

engkah adalah galah mengacung-acungkan pijar api
melewati kehancuran hati yang gerah diselangkangan pelacur
beban utang menumpuk dibuang sanak keluarga
tiada hasil panen sawit

harga sawah-ladang jatuh di bawah termometer
di seberang sana harga-harga keperluan penduduk melambung
ingin mengatasi matahari
kepala puyeng, saudara, harapan jatuh ke bawah wc
disiram bau busuk setiap

engkau perempuan, jangan pernah berhenti
berjalan menantang badai kehidupan
meski tenagamu semakin berkurang, pikiran bergerak macet
tantanglah kemarau dengan kuat hatimu

tetap memelihata bianglala, burung bernyanyi di atap-atap rumah
sekalipun hasil sawah ladang merosot setiap tahun
sekalipun hidupmu semakin miskin melarat diperbudak keadaan
tetaplah memelihara rembulan di rumahmu

tgetaplah berharap pada bintang-bintang
hanya engkau satu-satunya harapan mempertahankan keluarga
jangan menyerah pada hujan, pada setiap bunyi cercaan
engkaulah matahari, masa depan setiap suami
2009


DI TITIK AMBANG

lalui jalanmu, katanya pada kutilang
burung kutilang terbang ke tempat jauh
menembus bulan separuh di atas ranting bambu
tiada dapat dia ucapkan pertimbangan kepada penyuruhnya
pergi untuk meneruskan perjalanan
dia sudah merindukan jalan pulang, jalan ke arah sangkar
terjebak di daerah perbatasan, memandang banyak persimpangan
menawarkan banyak godaan menggiurkan
burung kutilang kehilangan arah pulang
semua menahannya untuk berada di titik ambang
lupa jalan pulang
2010

Alex R Nainggolan
SEBUAH RUANG DENGAN KOMPUTER YANG KERAP MENYALA
- penyair ikha b. sutrawhana

kubayangkan engkau menepuk kesunyian
di malam-malam yang jauh
mengingat segenap percakapan
lalu komputer itu terus saja menyala
kalimat-kalimat merangkak
menelusup di tengah kepalamu
dunia terbentang luas
barisan pohon mahoni juga angsana
rindang dan teduh
membuatmu ingin singgah dan rebah di sana

tapi jarum jam terus berputar
ketika kau sadar, jika di luar begitu banyak terjal batu
orang-orang berteriak cemas
beriringan penuh amarah
sembari membakar ban-ban bekas
kota penuh dengan kepulan asap hitam
napas yang memburu marathon berlari
ketakutan melayang seperti selembar daun kering
terjatuh remuk dan menyatuh tanah

komputer belum kaumatikan;
rangkaian peristiwa acap menyergap
tak bisa kausingkirkan
Jakarta, 2008

Rumah Perempuan
- rina

perempuan itu setia menunggu di rumah
hingga suami tiba pulang dengan lelah
dihantam genangan malam
diseduhnya secangkir susu
“jika masih kurang, cucup jugalah susuku,”
perempuan itu menawarkan dengan manja

selalu dia menata rumah dengan apik
begitu sabar merajut waktu yang berlalu
itu saja; tak lebih
dia cuma ingin suaminya lekas sampai di rumah
Jakarta, 2008

Gus Susilo Pengkor
Negeri Yang Dikoyak

suara menggerutu, mendekapku ngilu
silaumu pencar jadi balutan mendung
aku terhuyung memacu ragu
tak kubiarkan lenguhmu masuk ke senyapku
aku sepi yang menyusup ke riuh kotamu
biarkan aku terbang membuat gelombang
asal kau tahu, nusantara itu membentuk rumahrumah kayu.
takkan layu diriku memandumu jadu kemilau.
cerita ini akan mekar
jadi jangan terus menggerutu.
waktu akan terus bergumul dalam sisa-sisa gelisah.
dalam foto-foto yang dipajang
tanpa asa
wajah mereka murka
wajah mereka susah
wajah mereka pongah
wajah mereka koma
dan kau jadi sembilu
Agustus 2010

Amrin Tambuse
BABALAN

kusinggahi ke setiap pelosok kotamu
tempat dimana aku dilahirkan puluhan tahun lalu
dengan kekayaan alam bawah tanahnya
minyak serta gas bumi

babalan
kini, kemana kau sembunyikan semua?
sebab aku tak mencium aroma gas dan minyakmu

merajukkah engkau duhai bumi Babalan?

tidak-tidak, katamu setengah malu-malu
sebentar lagi minyakku menyembur
gasku menggembus ke seantero bumi

ah, Babalan
jangan biarkan kami pergi meninggalkanmu
dengan dongeng-dongeng usangmu
Cempaka Ujung, Desember 2010

Jaya Arjuna
Puisiku

puisiku bukan puisi panjang
karena kata tak mampu
ungkap betapa derita lelah tak bertara
anak bangsa yang dikhianati pemegang amanahnya

puisiku bukan puisi lantang
hanya semilir kata yang mampu dikumandang
dalam gemuruh sorai suara para pedagang
transaksi mereka telah menang
atas kekuasaan yang dipertaruhkan
demi nama rakyat dan janji kesejahteraan

puisiku jadi puisi lirih.
ketidak adilan tak bisa lagi disapih.
dari jalan hidup yang tak berujung penuh halang rintang
tak mampu ditentang

puisiku bukan puisi temberang
bukan kata merajut seribu mimpi
melayangkan angan anak negeri tak pernah tahu apa terjadi
negara kaya raya hanya mampu membagi derita
bangsa paling berbudaya dengan kerusuhan merajalela
padahal dosa jadi bencana
ketidakberdayaan melawan kemungkaran.
diam dan pasrah menerima penindasan.

puisiku jadi puisi rintih atas sekumpulan para pemilih
menggadai masa depan hidupnya
dengan imbalan janji yang dia juga tahu
takkan mungkin dituntutnya

puisiku jadi puisi diam karena sekelilingku juga diam
walau diamku bukan berarti diam
puisiku tetap puisi diam
Medan, 2010

YS Rat
Seseorang yang Mencari

seperti tak menemui pintu pun
tiada jendela ketika mata menutup
hati sehingga di lapas zikir
suara mengiba tanpa mengerti segaris
pun ke mana dilabuhkan. Maka
sia-sialah mengurasbanjirkan air mata
sedangkan ruang dihuni mati cahaya
tinggal kebisingan ‘tah dari mana
bermuasal semakin memekakbutakan segala seruan
dan kehadiran. begitulah seseorang mencari
air di tengah laut, menyulut api pada matahari, berharap teduh
berpijak bumi bernaung langit, yang memendam rindu diri sendiri
18 Agustus 2005, Medan

Balada Aliminah indah namanya

tak lelaki bukan perempuan. amat
sangat dibutuhkan tapi malah jadi
berulang meresahkan. jangan kira bersebab
keonaran yang diperbuatnya karena bukanlah
dia manusia tak pula makhluk
bernyawa lainnya

indah namanya
sudah jatuh tertimpa tangga. sakit
teramat sakit tentunya namun tak
bisa menjerit karenanya kecuali mengelus
dada menelan suara demikianlah akibat
kelakuannya pada manusia telah berpanjang
waktu melanda

indah namanya
buah persetubuhan tiga keluarga. Satunya
bernama air berikutnya listrik dan
terakhir minyak tanah maka dirangkumlah
menjadi aliminah

indah namanya
aliminah, tak seindah yang diberinya
telah sejak lama air berlabel
minum datang jelang tengah malam
cuma menetes tes pun hitam
menyisakan lumpur telah berulang listrik
beli pada negara mati bersebab
membunuh dirinya sendiri begitu pun
minyak tanah jadi rebutan menguatkan
alasan mengganti dengan saudara kembarnya
bernama gas tanpa peduli tak
setiap orang menyukainya tapi yang
namanya rakyat mau bilang apa
kecuali mengelus dada menelan suara
4 Juni 2006, Medan

KEPADA TAHUN-TAHUN YANG TERLEWATI
Irwan Effendi
Detik-detik berguguran
bagai dedaunan kering
terlepas dari dahan
tanpa bisa kembali
begitulah waktu
terus melesat jauh
tanpa pernah tahu
kapan kaki akan merapuh
sedang usia yang tersisa
hanya meninggalkan kecemasan
bersama tik-tok jam
yang semakin berdetak tajam.
Medan, Desember 2010

DI PENGHUJUNG TAHUN
Irwan Effendi
Rentang waktu makin berdebu
sebentar lagi satu tahun
dari jejak perjalanan akan berlalu
bayang-bayang cemas itu pun
mulai menghantu
banyak hal yang terlupa
sedang hari-hari yang tersisa esok hari
hanya menyisakan desah perih
bersama usia yang kian memutih
entah kemana langkah akan berlari.
Medan, Desember 2010

DUA RIBU SEPULUH
Irwan Effendi
Dengan berat hati terpaksa kulipat
almanak yang sudah kusam dan berdebu ini
sebab tanggalnya sudah tak bersisa lagi
dengan berat hati harus kutinggalkan
segala yang bernama kegagalan
kusambut hari esok yang lebih menjanjikan
ku tak ingin tercebur ke dalam lubang yang sama
ku ingin bangkit dan menatapnya
dengan sebuah harapan yang pasti.
Medan, Desember 2010

DUA RIBU SEBELAS
Irwan Effendi
Masih terbentang tanya
pada kelokan mana akan melangkah
akankah terjatuh lagi
ke lembah-lembah derita
atau hanyut ke sungai-sungai
berarus air mata
atau seulas senyum akan kembali mekar
di ujung jalan sana
mungkinkah?
Medan, Desember 2010

MENELUSUR JEJAK-JEJAK WAKTU
Hendra Darmawan
Telah kutelusuri jejak-jejak waktu
di musim-musim yang membentangkan rindu
dan kutenteng senja di ujung pergantian tahun
mencoba menumbuhkan harapan-harapan baru
sebelum mati terkulai layu
di jalanan yang panjang nan berliku
sambil menghitung desah nafas yang mengalirkan peluh
tak kutahu kemana kaki akan berlabuh
perjuangan akan terus berlanjut
tak ada kata menyerah sebelum titik darah terhenti
sebab hidup memang selalu membentangkan rahasia
adakalanya bahagia
adakalanya duka
tertulis di lembaran nasib yang berdebu
bersama hari-hari esok yang tersisa
semoga matahari masih menyinari mimpi
dari tahun-tahun yang terlewati
sebelum langkah kaki terhenti
di bumi yang kian meletih.
Medan, AkhirDesember 2010

TAHUN-TAHUN YANG LEBAM
Hendra Darmawan
Tahun lalu kita gagal menafsirkan waktu
jalanan licin dan curam
membenamkan kita
pada lubang-lubang ketidakberdayaan
kita pun terbungkuk-bungkuk
memunguti kekalahan
tahun lalu kita tergagap-gagap
dihantam badai cobaan
air mata terus berjatuhan
kita merengek dan mengaduh lagi
di hadapan Tuhan
betapa negeri ini tak pernah lelah
menyimpan kepedihan
esok, akankah tahun-tahun yang sama
akan kembali terulang?
Medan, Akhir Desember 2010

BANGUNLAH DARI TIDURMU, NAK
Hendra Darmawan
Bangunlah dari tidurmu anakku
sebentar lagi kalender waktu akan berganti
sebentar lagi kita sulam lembaran hari
jangan terpukau oleh tiupan terompet
dan percikan kembang api di langit
tahukah kau
semua itu hanya akan melelapkan malammu
lebih baik kau duduk dan merenung
di depan cermin
lihatlah usiamu kian bertambah
dan waktu terus melaju
sibak gerimis di wajahmu itu
melangkahlah dengan hati-hati
agar kau tak terjatuh lagi
ke lubang-lubang yang menyandingkan perih
bangunlah dari tidurmu nak
tataplah hari esok
dengan sejumput mimpi yang kau miliki.
Medan, Akhir Desember 2010

Di Pelepah Langit
Win R.G.
Di pelepah langit
sudah kuukir namamu
meski angin memburu
hujan menghantu
tetap akan tergantung namamu
di pelepah itu
sebab kutahu sangat
bahwa kau juga tahu
arti menunggu

Mengapa Tak Meminta?
Win R.G
Kau harap agar pantai tak berpasang
kau doa agar langit tak berhujan
kau ingin malam tak berembulan
tapi mengapa kau tak meminta
agar bumi segera binasa?

Menangislah!
Win R.G
Ia sedang lara
tapi ia enggan menetes airmata
katanya sebab ia lelaki
apa lelaki tak boleh punya hati?
tak boleh bersisi sensi?
menangislah!
sebab menangis bagian dari kerja hati
yang kan menegarkan lara

Arti Sepi
Win R.G
Sepi mengelambui sisi hidupku
serasa dingin sebab tak berkawan
kupinta agar ada yang menebalkannya
dari cuaca yang selalu meraja
tapi sepi tetap belum ramai
meski sudah kunyanyikan hati
ternyata aku memang harus berkarib dengan sepi
sebab dengan sepi1`
aku merajut arti tangguh

Melepas Kerinduan
Seftiana Harisatul Hamamah
Hening rindu mencipta ketika aku terjaga
gemuruh nafas menumpuk di satu kenang
menghantam keras kedalam jiwa yang meradang
membakar lara menjadi serpihan arang

Tinggalkan Kisah Perih
Seftiana Harisatul Hamamah
Kutelah tegar melebihi kokoh yang karang dihantam gelora
dan telah lebih kuat dari dinding kokoh benteng sebuah kerajaan
namun perih ini telah mampu menyapai celah sempit diruang hati
setidaknya sebelum harapanku punah untuk detik henti kuingin tinggalkan kisah perih ini untuk mata kalian sebuah jaya akan tetap runtuh bila sang takdir telah diberi kuasa
memilikimu dan semua yang pernah termiliki akan tetap menjadi kenang bila saat menjelang

KITA YANG RAKUS
Irfan Alma
Bual sang bulan pada bintang
bulan bilang bumi tlah rapuh
kerut di wajahnya .dan kering kerontang
lihat suhunya yang tinggi tandakan demam
kicau pipit dan hembusan lembut angin
tak mampu buatnya terrsenyum

ia kini sekarat ,,, kritis
penuh luka disana-sini
airnya dijual
tanahnya digadaikan
sedang para penompang itu tetap rakus
yang bahkan tak sisakan sebatang ilalang untuk tumbuh

Sudut Kota Mati
Seftiana Harisatul Hamamah
Disudut kota yang gemerlapan
ada sebuah sudut kecil juga mencekam
angin musim dingin bertiup kencang
tumpukan debu bersimbah dijalan setapak
pada alir sungai yang mengalirkan jerit keheningan
Nyanyian Nada Daun
Seftiana Harisatul Hamamah

Romantika embun dedaun
setetes air jiwa di padang gersang
bibir ini begitu kelu
hingga kata tak bisa kuayat
dan hanya sebagian kerikil kecil
menghiasi jalan hidup
angan membelai pohon itu hingga
dedaunnya menyeka luka

Nasib TS

Kaukah Cinta


kala kuhadang
ternyata kau telah datang
tidak lewat pintu
tapi lewat jendela kalbu
bersama hembusan rindu
menaja diterang bulanku

dengan seribu puisi
hati tak terkatakan
dengan seribu nyanyian
hati tak tersuarakan

kaukah cinta….



Idris Siregar

Pilihan

seribu mimpi
untukmu sendiri
satu yang pasti
inginku kini
tapi siapa yang peduli
dengan kita yang rintih
di sini

Syaiful Hadi JL


Bulan II

tak ada suara
tak ada apa-apa
tak ada bulan
di sana

tak ada rasa
tak ada makan
adakah bulan
di sana

M.Yunus Rangkuti



Hajatan Hujan


Jelang hajatan awan menebal menggumpal
Mendung menggelayut menyaput cerah
Tuan rumah banyak murung dibalut resah
Bawang dan cabang ditusuk lidi di pookan halaman
Untuk tangkal supaya jangan turun hujan
Sang pawang membentang sehelai selendang
Menaruh tujuh rupa kembang dan ayam panggang
Tiga kepal nasi melengkapi sesaji
Selepas semedi pawing berdiri lalu menari
Mulut komat kamit menatap langit
Mempermainkan keris ingin menangkis gerimis
Tubuh bergetar saat mantranya terdengar

“hooi penunggu penjuru alam
Yang semayam di arakan awan
Yang terpejam di dingin angin
Yang mendekam di hati bumi
Yang membenam di perut laut
Hari ini kami hajatan
Jangan biarkan diguyur hujan
Nah, nah, puih!
Nah, nah, puih!
Hoii segala penjaga mayapada
Penjaga pintu jendela cuaca
Tutpkan pintu jendela hujanmu
Hujan di hari ini jangan;aj di sini
Nah, nah, nah puih!
Nah, nah, nah puih!


Hujan turun kian tak tertahan
Di halaman bocah-bocah telanjang menari riang
Main kejaran bermandikan hujan
“kuluk kuluk hujan turun
kuluk kuluk hujan deras
kuluk kuluk hujan turun
kuluk kuluk hujan deras
horre horre horre!”


Puisi : Robert Valentino Tarigan

Melangkahlah

demikian banyak jalan yang hadir di depan
para guru telah memberi petunjuk
kau kan dapat melangkah pasti
menyusuri jalan pilihan
yang mungkin berliku dan bercabang
dengan ilmu pengetahuan

semua orang menginginkan
jalan kemudahan dan kebenaran
semua orang akan memilih
jalan gampang mencapai tujuan
tapi dengan ilmu pengetahuan
kau akan memilih jalan yang benar

wahai murid-muridku
melangkahlah ke mana saja
suara hatimu membawa
dengan ilmu pengetahuan
kau tak kan disesatkan


dr Robert Valentino Tarigan SPd
Pimpinan BT/BS BIMA Indonesia
Berpusat di Jalan Bantam No 6 A
Medan

Hidayat Banjar

Seribu Puisi untuk Opie

suatu hari, penyair itu membuat puisi untuknya
tetapi opie tak paham maknanya
hari yang lain, penyair itu juga membuat puisi untuknya
tetapi opie juga tak dapat mengerti
sampai seribu puisi dibuat untuk opie
juga tak terpahami

penyair itu mengurungnya
ke dalam labirin-labirin tanpa pintu serta jendela
meraba-raba dan terkapar
hujan lebat kata-kata yang pekat
membasahi sekujur tubuh opie

seribu puisi untuknya
adalah bebatuan yang sunyi

opie hanya butuh secawan anggur

Medan, Akhir Juli 2004.

PUISI PENYAIR

“DAN penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)? Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal saleh serta mengingat Allah dengan banyak dan mereka bangkit membela, sesudah mereka dizalami. Dan orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS Asy-Syu’ara’[26]: 224-227).
* * *
Kutipan Firman Allah SWT di dalam Al Qur’an yang mengawali tulisan ini adalah peringatan-Nya kepada para penyair yang mengaku-ngaku nabi pada masa awal Al Qur’an diturunkan. Mereka beranggapan isi Al Qur’an adalah puisi dan Muhammad SAW penciptanya (penyair).

Bermodalkan kepandaian menulis syair-syair (puisi), para penyair sesat itu berlomba-lomba menciptakan syair-syair tandingan untuk mengimbangi kedahsyatan estitis Al Qur’an. Namun, adakah manusia yang sanggup mengimbangi kedahsyatan estetis, kedalaman makna dan kandungan hikmah yang ada dalam Al Qur’an? Sungguh, penyair-penyair sesat itu takkan sanggup. Lagipula, apa yang mereka katakan (tulis) tidaklah sesuai dengan yang mereka lakukan.

Selain berisi peringatan, ayat itu juga memberikan pengecualian terhadap penyair-penyair yang beriman, beramal saleh, serta mengingat Allah SWT. Penyair-penyair yang tidak terjebak hidup dalam alam khayal belaka.

Itulah sebagian ceramah Ustaz Latief Khan dalam acara peluncuran dan bedah buku antologi puisi “Nuun” karya sastrawan yang bergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Sumut, 14 November 2010, di Sanggar Teater Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan Medan.

“Nuun”— salah satu judul puisi dalam antologi itu — dipilih sebagai judul antologi puisi FLP kali ini. Antologi puisi “Nuun” merangkum karya 23 sastrawan, di antaranya Amrin Tambuse, Intan Hs, M.N. Fadhli, Ratna Dwi, Sukma, Thilal Fajri, dan Win R.G.

Dibuka dengan pembacaan puisi oleh M. Raudah Jambak dan dilanjutkan musikalisasi puisi oleh Sanggar Teater Generasi, peluncuran dan bedah buku antologi puisi “Nuun” yang seharusnya dilangsungkan pukul 09.00 WIB, akhirnya dimulai pukul 10.00.

Didaulat sebagai pembedah bersama sastrawan Hasan Al Banna, Ustaz Latief Khan lebih memfokuskan ulasannya pada pandangan Islam terhadap puisi. Menurutnya, dalam Islam puisi tidak haram. Ini dibuktikan dari hadis Nabi Muhammad SAW ketika mempersilakan Ibn Rawanah membacakan syair-syairnya setelah Umar Ibn al-Khatahthab menegurnya.

Selanjutnya, ia menambahkan, puisi yang bagus seharusnyalah sanggup menembus sekat-sekat yang ada pada manusia, sehingga pesan universal sebuah puisi mampu menyentuh seluruh umat manusia. Seperti halnya puisi-puisi Jalaluddin Rumi - salah satu penyair Islam termasyhur - yang disukai bermacam suku bangsa dan agama.

Setelah memberikan ulasannya tentang puisi menurut Islam, Ustaz Latief Khan berbagi kesempatan kepada Hasan Al Banna, yang kemudian pelan-pelan menguliti dan menyayat-nyayat beberapa puisi dalam antologi “Nuun” dengan pisau kritiknya.

Menurut Hasan Al Banna, menulis puisi tak ubahnya membonsai sebuah pohon besar menjadi pohon kecil. Namun tidak menghilangkan bentuk asli sebuah pohon, sehingga dibutuhkan keterampilan khusus dalam membonsai pohon agar terlihat cantik dan menarik.

Sebagai salah satu genre sastra yang dinilai paling ramping, puisi bukanlah sebuah karya sastra yang lahir tanpa kaidah-kaidah serta aturan-aturan tertentu. Hal inilah yang dirasa Hasan Al Banna kurang mendapat perhatian dari para pekarya dalam antologi “Nuun,” selain juga persoalan kesabaran dalam proses penemuan diksi dan lompatan-lompatan yang terlalu melambung jauh tanpa melihat runutan sebelumnya.

Hasan Al Banna juga mengingatkan para pekarya agar tidak menjadikan kritik yang ia sampaikan sebagai sebuah bentuk pematah semangat. Namun, jadikanlah kritikan-kritikan itu sebagai pematik gairah bagi pekarya dalam mengembangkan bakat serta kemampuan. Sebab, menurut Hasan Al Banna, kritikan ibarat berjalan dengan kedua kaki sendiri. Sedangkan pujian ibarat berjalan menggunakan tongkat sebagai penopang. Mana yang lebih nikmat? Andalah yang bebas menentukannya.

Agar acara tak berlangsung satu arah, moderator memberi kesempatan bertanya bagi para undangan. Maka, pertanyaan demi pertanyaan mengalir, sampai-sampai kesempatan dibuka jadi dua sesi. Namun, karena sempitnya waktu, pertanyaan-pertanyaan yang masih berpinak di pikiran para undangan tak seluruhnya bisa lahir ke forum.

Di akhir acara sebelum doorprize, panitia mendaulat sastrawan A. Rahim Qahhar untuk membaca beberapa puisi. Penampilan A. Rahim Qahhar ini pun mampu menghidupkan kembali gairah hadirin yang tampak mulai letih. Panitia kembali melanjutkan suguhan hiburan dengan musikalisasi puisi dari Sanggar Teater Generasi. (ilham wahyudi)