KESETIAAN PAGI
embun pagi berkelana
menanti malaikat kecil bersahaja
tertutup racun dingin di selimut
ayam berkata,bangunlah sang dewi
lirikan memejamkan mata hati
nyenyak terus bermimpi
sang waktu tak henti bertanya
dalam penyebaran detik kepastian
tersentak terlambat diraih
kau telah pergi bersama pagi
Medan, Mei 2008
ALIRAN YANG TAK TERDUGA
air danau yang keruh
menganak sungai
menghapus segala dahaga
mendamaikan dunia
menbawa senyum bagi penyair danau
juru kunci pada anak sungai
ia juga haus rindu gemercik air
pada alam danau yang membawa sunyi
yang menghangatkan dan menyejukkan
pada setiap hati yang singgah di dermaga penantian
Medan. Mei 2008
KETEGARAN DI TENGAH BADAI
tenang,
ketakutan dalam dirimu: obat
kebimbangan yang kau cari?
biarkan kusutnya berlalu
coba lihat ke bawah
sakit terukir dalam pena kepedihan
keraguan dalam rindu bahagia tak diraih
tangislah
tertawalah
pahit perjalananmu akan berbuah manis
Medan, April 2008
KENANGAN LUMPUHNYA SOFA
tertimpa di atas jeritan diam
lemas di sekujur tubuh
persendian lapuk tercecer di atas lantai
rayap menerobos daging yang lembut
tolong
badan yang tak berdaya lagi
patah tulang merobohkan senyum manusia
pada kulit yang penuh debu terasing di gudang
Medan, April 2008
CINTA YANG TAK BERUJUNG MATI
terbujur layu
termenung diam
terbaring lemas
ayo bangun, hani
jangan hentikan langkahmu
tunjukkan kobaran semagat mu yang sempat hilang
biarkan kuning di kulit putihmu
tak usah terus kau resapi
betapa pahitnya butiran obat yang ada sakumu
raih terus dan kejar masa depanmu
inilah hidup
fatamorgana dunia
yang tak akan pernah usai
itu pasti
walaupun ku tak disisimu lagi
ku akan titipkan kata-kata indah
yang terbungkus di kotak obat
dalam setiap canda tawa pasrahmu
ku masih mengenang alunan
nyanyian sempurna di petikan gitarmu
Medan, Juni 2008
VIRUS KEMISKINAN
sesak nafas kematian
terhimpit pusat kehidupan
gumpalan kesengsaraan di kantong nasib
mampir di persendian ekonomi
berada diantara kulit dan tulang
tak pandang buluh siapa dirimu
melekat di jantung kota
Medan, April 2008
LUKISAN HIDUP NENEKKU
putih tak terhitung di kepalamu
keriput di sela-sela kulit halusmu
bungkuk
pincang
goyangan tarian tuamu
menginspirasikan aturan hidup
pada tangan-tangan akalmu
ku lihat hasil kreatifitasmu
lincah di kursi
keberhasilan anakmu
kau bentuk baju sutra yang membalut tubuh mereka
wagian parfum di selah pakaian mereka
kenangan saat kau susun istana kecil
mungkin kini kau sudah berada di istana nan megah
kau hapuskan kejayaan itu
demi anak-anakmu
isyarat kasih hati yang tak terhingga
Medan, Juni 2008
BERITA DI GELAP NAN SEJUK
wahai alam
dimana persembunyian intan
telah di cari kepingan emas di sudut dunia
tiada yang mampu menerangkan hidup
sapa tak terdengar oleh malam
riak air hempaskan kerikil kecil
pucuk daun dihembus angin
terbiarkan layu
isak tangis terhimpit sesak
dalam hitam penyesalan
bangkit bersama jeruji besi
inikah hikmah hidup di penjara?
Kau berikan air mata suci
seakan Kau beri aku oksigen murni
kesetiaan Mu di dingin malam ini
Medan, Juni 2008
TERLINTAS BAYANGAN DIRI
matahari menyinari bumi namun ku tetap dingin
sendiri menyelimuti hati, ku tetap ramai
karpet kesabaran terbentang
di tengah tamparan tangan kehidupan
angin memberiku kesejukan
api juga mengibaskan hawa panas
mungkinkah ku menjulurkan bisa kemaksiatan?
gunung letih bernafas yang mengeluarkan pesona lahar
laut bosan bergelombang menelantarkan anak pantai
bolehkah ku panjatkan kemelut kerinduan kepada Mu ?
tersangkut doa di kantong pikiranku
rindu terhampir di sudut pencarian diri
terimakasih Tuhan
tiada seorang jua yang bersukur tanpa Kau beri ia kebaikan
tiada yang mampu bertahan hidup tanpa Kau beri ia pandangan hidup
tiada yang sempurna tanpa Kau beri ia ketidaksempurnaan
pengetahuan tersembunyi dalam ilmu diri
yang dipersembahkan
bagi orang-orang yang berakal
Medan, Juni 2008
AKIBAT KEEGOISAN RAJA DUNIA
gagah di atas kursi merah
tangan palu menentukan jagad raya
menyesatkan sang pertualang hidup
bisakah aku juga egois?
untuk menyambung nafas keluargaku
yang tercecer di pinggiran kota
melihat grafik harga sembako
yang tak mungkin turun
air mata pun tak terbendung
kami hanya bisa bertahan
di rumah-rumah kemiskinan
Medan, Juni 2008
KAU TAK LAGI MENEMANI DUNIAKU
sejuk
kipasan tangan-tangan angin
saat kita bercerita tentang alam
pengalamanmu sumber inspirasi
kesehatan hidup kota
terlihat dari rambutmu yang menguning
kaulah pahlawan lingkungan
yang pantas mendapatkan
piala Adi pura
kenangan
setiamu melindungi kesegaran udara
untuk kehidupan dunia
yang bisa ku ingat
teriakmu pada dunia
“Global Warming”
sebagai pesan terakhir cintamu
Medan, Juni 2008
PERGERAKAN ANAK INDONESIA
merah putih berkibar di tubuhmu
melayang bebas di angkasa luas
tarian nusantara di panggung kejujuran
langkah peperangan terbentang
hilangkan benang hitam
yang nodai bendera pusaka
pada sang pemimpin generasi
perjuangkan kursi putih
inpian bangsa Indonesia
Medan, Juni 2008
TAK ADA YANG MENGAJARI MEKARNYA KECUALI ALAM
keadaan alam yang memakasa
bunga abadi seegois dan seanakis inikah?
ia hidup dengan liarnya
tak menyadarkan
ia pada pesona bunganya
hingga begitu banyak lebah
yang ingin mengentup pesona sarinya
ah,
isyarat tukang kebun pada pecinta alam
hidupnya tak menghambat percampuran serbuk sari lain
musim bunganya pun
tak ada hitungan waktu baginya
yang menghiasi pesona sudut taman
di balik keabadian dan keliarannya
ia menjadi bunga sempurna
Medan, Juni 2008
MENCARI CINTA DI KOTA METROPOLITAN
dimanakah cinta suci?
Kau turunkan
saat mereka sibuk dengan imaginasi nafsu
yang berputar di dasar hati dan pikiran
hingga tak hampir risau keagungan Mu
dosakah cinta ini?
saat air kehidupan
selalu mati sia-sia
di dinding jeruji kepuasan
pada hiruk pikuk kota
yang melepaskan kepenatan
data-data dunia yang selalu online
sudah begitu banyak tangisan malam di ranjang penyesalan
masih terbukakah pintu pengampunanMu
saat sapu tangan dosa selalu teteskan noda-noda hitam
merisaukan penghuni neraka
karena malaikat tidak pernah lupa mencatat
bau busuk di tangan kiri mereka
walaupun mereka tak menyadarinya.
Medan, Juni 2008
PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK
TOLONG TUAN
Kertas ini masih kosong, Tuan
Tolong isikan dengan beberapa hurufmu
Agar aku dapat rangkaikan kata-kata
Menempatkannya pada lukisan kalimat
Yang paling indah
Aku memohon
Masihkah
Masih juga kau tangisi huruf-huruf yang
Bertebaran itu, Kekasih
Apa sebenarnya yang kau cari?
Padahal begitu banyak kata yang terlontar
Begitu hibuk kalimat yang tergambar
Ah, kau
Tentang Hujan Daun dan Kau
sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
di setiap titik peron-peron lengang
baris-baris takdir menghadirkan bau amis
meranting sepanjang jalanan bercabang
dan daun-daun yang melayang rebah
sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas
sepenuh tangis memeluk risau
sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
dan daun-daun yang melayang berpeluh
membebaskan jejak-jejak perjalanan
KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)
Kamis, 17 Juli 2008
Rabu, 16 Juli 2008
Untuk Ibu yang Entah Dimana
Puisi Djamal
Untuk Ibu yang Entah Dimana
Sederet tangis bayi pecah di deretan sampah
bersama resah yang semakin menusuk
bertemankan bau semakin membusuk
“dimana ibu” dalam tangis sang bayi
dalam kesunyian ibuku berkata
“ah, kau bukan anak yang tercipta dari seorang saja
sebab telah beribu perjaka yang pernah tidur tepat di sisiku
kau bukanlah anak yang kuidamkan
“ibu, aku tak ingin hadir ke dunia ini” kelak,
resah juga sunyi akan menggelayuti
juga malamku berselimutkan dedaun kering
berbantalkan asa yang tak pernah membasah
pernah aku bertanya kepada entah
dalam permbaringan kebusukan
“dari rahim siapa aku terlahir”
tapi, aku berharap
dari rahim yang suci aku terlahir
Medan, 2008
Menyimpan Resah
Tuhan, aku slalu menanti rembulan
bersinar setiap saat
pada resah aku memintal kata yang kian membuncah
berharap ada seorang gadis merajut angan
bersamaku, walau berdarah
Tuhan, kuharap hadirkan ia
dalam denyut gelisah malamku
Medan, 2008
Untuk Ibu yang Entah Dimana
Sederet tangis bayi pecah di deretan sampah
bersama resah yang semakin menusuk
bertemankan bau semakin membusuk
“dimana ibu” dalam tangis sang bayi
dalam kesunyian ibuku berkata
“ah, kau bukan anak yang tercipta dari seorang saja
sebab telah beribu perjaka yang pernah tidur tepat di sisiku
kau bukanlah anak yang kuidamkan
“ibu, aku tak ingin hadir ke dunia ini” kelak,
resah juga sunyi akan menggelayuti
juga malamku berselimutkan dedaun kering
berbantalkan asa yang tak pernah membasah
pernah aku bertanya kepada entah
dalam permbaringan kebusukan
“dari rahim siapa aku terlahir”
tapi, aku berharap
dari rahim yang suci aku terlahir
Medan, 2008
Menyimpan Resah
Tuhan, aku slalu menanti rembulan
bersinar setiap saat
pada resah aku memintal kata yang kian membuncah
berharap ada seorang gadis merajut angan
bersamaku, walau berdarah
Tuhan, kuharap hadirkan ia
dalam denyut gelisah malamku
Medan, 2008
Maaf, Hari Minggu Bulan Ketiduran
Oleh: Hujan
Pernah suatu masa
Ketika matahari begitu dipuja-puja
Semua alam begitu berharap pada sinarnya
Sekalian alam menjadi gelap dengan sirnannya
Masa itu, masa terang benderang, gilang gemilang
Matahari begitu disanjung semua orang
Peduli setan mereka di sahara, atau antartika
Semua punya salam takzim buat yang sama; surya
Pernah suatu masa
Ketika matahari menjadi satu-satunya sumber kekuatan mahluk bumi kita
Sinarnya dibagi rata, yang di timur maupun di barat, di selatan maupun utara, semua mendapat porsi, meski ala kadarnya
Suatu masa
Matahari jadi dua
Bukan bayangan cermin, atau pantulan di genangan sisa hujan,
Tapi benar-benar dua, kembar, meski tak identik.
Suatu masa kelak
Matahari pertama hanya akan menjadi dongeng bagi kanak-kanak
Tidak pernah terlihat, dan hanya hidup di dalam ingatan orang-orang yang mengenal persis matahari sebenarnya.
Kelak
Meski pada malam hari, manusia tetap bisa merasakan terang benderang, meski semua tumbuhan bisa berproduksi tanpa bantuan dan campur tangan matahari, tapi kehadirannya akan kembali dinanti-nanti
Suatu masa
Bu guru berkisah pada kami, generasi baru yang lahir dari jiwa-jiwa peragu, tentang legenda matahari
Di dalam kisahnya, bu guru berusia 40, menggambarkan wujud matahari; matahari itu bundar, warnanya kuning, sepasang matanya terus mengawasi manusia, serta bibirnya tersungging membagi sinarnya dengan iklas, tanpa berharap, suatu hari ada manusia yang akan membalas.
Suatu malam aku bermimpi
Di dalam mimpi, aku pun menggambar matahari. Tidak seperti yang dikisahkan ibu guruku, aku menggambar matahari persis seperti buah dadu.
Hari ini,
Yang kupahami
Matahari hanya satu
Tidak dua, tidak tiga, tidak empat
Tidak lima
Tidak pula enam
Pada siang hari di hari minggu
Dunia tetap gelap
Sebab matahariku ikut bertanggang, menonton piala Eropa di televisi.
Palmerah, 22 Juni 2008
Pernah suatu masa
Ketika matahari begitu dipuja-puja
Semua alam begitu berharap pada sinarnya
Sekalian alam menjadi gelap dengan sirnannya
Masa itu, masa terang benderang, gilang gemilang
Matahari begitu disanjung semua orang
Peduli setan mereka di sahara, atau antartika
Semua punya salam takzim buat yang sama; surya
Pernah suatu masa
Ketika matahari menjadi satu-satunya sumber kekuatan mahluk bumi kita
Sinarnya dibagi rata, yang di timur maupun di barat, di selatan maupun utara, semua mendapat porsi, meski ala kadarnya
Suatu masa
Matahari jadi dua
Bukan bayangan cermin, atau pantulan di genangan sisa hujan,
Tapi benar-benar dua, kembar, meski tak identik.
Suatu masa kelak
Matahari pertama hanya akan menjadi dongeng bagi kanak-kanak
Tidak pernah terlihat, dan hanya hidup di dalam ingatan orang-orang yang mengenal persis matahari sebenarnya.
Kelak
Meski pada malam hari, manusia tetap bisa merasakan terang benderang, meski semua tumbuhan bisa berproduksi tanpa bantuan dan campur tangan matahari, tapi kehadirannya akan kembali dinanti-nanti
Suatu masa
Bu guru berkisah pada kami, generasi baru yang lahir dari jiwa-jiwa peragu, tentang legenda matahari
Di dalam kisahnya, bu guru berusia 40, menggambarkan wujud matahari; matahari itu bundar, warnanya kuning, sepasang matanya terus mengawasi manusia, serta bibirnya tersungging membagi sinarnya dengan iklas, tanpa berharap, suatu hari ada manusia yang akan membalas.
Suatu malam aku bermimpi
Di dalam mimpi, aku pun menggambar matahari. Tidak seperti yang dikisahkan ibu guruku, aku menggambar matahari persis seperti buah dadu.
Hari ini,
Yang kupahami
Matahari hanya satu
Tidak dua, tidak tiga, tidak empat
Tidak lima
Tidak pula enam
Pada siang hari di hari minggu
Dunia tetap gelap
Sebab matahariku ikut bertanggang, menonton piala Eropa di televisi.
Palmerah, 22 Juni 2008
Selasa, 15 Juli 2008
FARIDAH JAMILAN
FARIDAH JAMILAN
Di belokan bumi kuberhenti
Menatap waktu kian bergulir
pepohohonan bercerita kepada alam
atas kesakitannya
tak sedikit air matanya terurai
sesat raganya telah renta
cermin matanya tampak goyah
menghadapi ulah zaman
satu demi satu rambutnya gugur
diikuti hujan yang tak pernah mendarat di bumi
tanah retak dan jiwa manusia pun rusak
(2008)
Hari ini berselimut soal
nan tinggi harapan kugantungkan
ingin meraih cahaya
yang selama ini aku masih semu
ingin aku membuka lembaran
yang selama ini disembunyikan waktu
sekarang semua telah dimulai
pintu pembalasan telah dibuka
dan yang aku inginkan keberkahan
dari doa-doa orang yang aku sayang
(2008)
Di belokan bumi kuberhenti
Menatap waktu kian bergulir
pepohohonan bercerita kepada alam
atas kesakitannya
tak sedikit air matanya terurai
sesat raganya telah renta
cermin matanya tampak goyah
menghadapi ulah zaman
satu demi satu rambutnya gugur
diikuti hujan yang tak pernah mendarat di bumi
tanah retak dan jiwa manusia pun rusak
(2008)
Hari ini berselimut soal
nan tinggi harapan kugantungkan
ingin meraih cahaya
yang selama ini aku masih semu
ingin aku membuka lembaran
yang selama ini disembunyikan waktu
sekarang semua telah dimulai
pintu pembalasan telah dibuka
dan yang aku inginkan keberkahan
dari doa-doa orang yang aku sayang
(2008)
Langganan:
Postingan (Atom)