KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)
Rabu, 06 Juni 2012
Komunitas Home Poetry Activity
Komunitas Home Poetry membawa semangat baru bersama Hasan Al Banna, Andy Mukly, Safrizal Sahrun, Bunda Djibril, Ahmad Badren Siregar, Jaly Kendi, Ilham Wahyudi, Khairul Anam, dll. Semangat itu terbawa dalam Pertunjukan Puisi Multi media dengan konsep kebalikan 'MENGHITUNG RINTIK HUJAN' sutradara M. raudah Jambak. Kegiatan itu dibantu dengan penataan musik Adek Djabal, dkk, serta ditangani penataan cahaya oleh Irma Karyono. Kegiatan itu lanjutan dari Monologis Puisi 'CELAH' Bunda Djibril (Indah Zuhairani Siregar). Ternyata semangat yang menggebu itu semakin menggebu demi terwujudnya kegiatan berikutnya, Lomba baca puisi 11 Agustus 2012, Rajam - Monolog Bunda Djibril, Closet - Monolog Hasan Al Banna, dll. Semoga kegiatan berikutnya akan lebih greget lagi.
Puisi- Puisi S. Ratman Suras
Puisi 1
PUPUH DUAPULUH DAUN-DAUN CINTA
: Sei Belutu
- Musik – gong 1X dan lampu berpendar terang
Tembang – Dandanggula, panembrama.
Semut ireng anak-anak sapi
Keong gondhang jamprak sungute
Timun wuku kinata wolu
Surabaya geger kepati
Gegere wong ngyak macan
Cinandak wadahi bumbung
Alun-alun kartosuro
Gajah mati cinancang wit sidagori
Patine cineker ayam
Di sudut simpang tiga jalan ini
Akan kubangun rumah puisi. Rumah yang terang
Kuharap engkau segera datang
Aku menggali keindahan dari lembar-lembar daun ceri yang merimbun di sudut halaman
Agar menjulurkan lidah sunyi
Untuk menyalakan sumbu di urat-urat jantungku
Sepanjang siang aku nembang dalam hati
Kumasuki lorong-lorong sepi. Tengadah pasrah sambil meraba-raba doa
Ayat-ayat teduh cintamu. Belum lagi sampai ke langit terjauh
Batinku goyang, tenggelam dalam terik sengatan tatapanmu
Merindukan pertemuan itu ssperti yang lalu
Puisi-puisi sunyi hanya kurasakan getarnya rinduku sering membakar
aku menggali kembali cahaya dari kubur kenangan
engkau datang ketika jiwaku telanjang
di lantai pualam rumah puisi sunyi ini
kita berpelukan sepanjang malam
Puisi 2
PUPUH DUAPULUH SATU DAUN-DAUN CINTA
: Nareswari
Musik : Kasmaran/ gandrung
Lampu : Temaram
Tembang : Asmarandana
Lali-lali tan biso lali
Sun lali sak soyo bronto
Wis solahe wong ayu nggerentesno ati
Gembili gong woheng tawang
Gedebukan solah ingwang
Jeneng gamping recoh kayu
Nggalenjek nggolei siro
Kepingan bintang itu jatuh
Di rimbunan warawiribang
Tubuhnya mulus wangi melati
Panawijen damai daun-daun pisang melambai
Mantera gaib suci sang resi
Sambil meminang cintanya
Bumi dengan segala tingkahnya
Langit dengan segala isinya
Matahari merah saga
Pacu seribu kuda jantan
Di jantung sang akuwuh terbentang ladang kerontang
Rindu memburuh, kepulkan debu-debu
Reguk dan paksa sekuntum soka
Geger padepokan purwa
Maling asmara menggondol mangsanya
Tumapel sunyi senyap sang akuwuh mendekap erat
Malam beku dalam kenangan cinta biru
Ketika rembulan bergulir ke arah bukit
Dalam pelukan mimpi seribu prajurit
Siang yang sengit, sang sudra mencelat matanya
Naik turun jakunnya seperti hendak menelan jagad raya
Angin perdikan saksi gelap
Menyingkap gaun pupus pisang tuannya
“Katakan ki loh gawe, cahaya apa itu yang muncul dari selangkangan kenjeng ratu?”
Sang sudra menghiba
“Jangana terpedaya, cah bagus, kereta kencana, kursi gading tanah jawa!”
Sang sudra berlari
Mengejar gunung melintasi, sungai-sungai
Menjelajah langit
Menembus awan
Merobek kabut
Merampas nareswari
Keris empu gandring haus darah menikam lambung pembuatnya
Setip ganti penguasa, tanah jawa banjir darah.
Puisi 3
PUPUH DUAPULUH DUA DAUN-DAUN CINTA
: M. Nurgani Asyik
Dari pucuk seulawah kutatap kotamu pilu
Daun-daun pandan di ronce-ronce
Bunga-bunga segar di tabur-tabur
Gedung-gedung hancur, laut yang mengubur
Cita-cita remuk, bintang-bintang hanyut
Dengan ikram dan doa aku melintasinya
Tangisku pecah menderas di reruntuhan sampah
Jejak-jejak maulana tua membentang dalam gaibnya cintamu
Di lantai baiturrahman ribuan ruh membentuk shaf
Sisa-sisa jemaah lentunkan alfatehah
Diamini para malaikat terbentang sajadah ke arah kiblat
Memohon cinta meminta kasih merindu
Di jalanan gelap menyergap ribuan pasang kaki yang beku
Ribuan mulut yang kelu
Ribuan mata yang hitam
Ribuan tangan yang kejang
Ribuan tangis yang miris
Mereka tak bisa lagi berdoa
Jejak-jejak mereka terdampar lumpur
Seperti habis bertempur
Dari jauh letusan doa pecah
Menuju langit duka yang menggantung
Suwung angkasa
Daun-daun cinta meleleh
Daun-daun cinta ziarah
Daun-daun cinta takziah
Tembang : Suluk kesedihan
Musik bernada sedih
Lampu fade out
Yen mati ning karang abang
Ludiro kang menyembur-nyembur
Gagak rimang monio bangun
Ana peteng dudu ratih
Ana padang dudu raino
Yoiku pepetenge antoko loyo
Hung...
Puisi 4
PUPUH DUAPULUH TIGA DAUN-DAUN CINTA
: Huru hara
Musik : Gaduh
Lampu : Kerlap-kerli Memerah makin lama makin cepat
Suluk :
Sang soyo daluh raras ambiur
Lintang gumedap tiitis nyo madyo ratih
Lumantrang gandaning puspita
Hung...............
Karengganing puja niro hung.........
Sang dwijoworo brengengeng
Lir swaraning madu bronto
Manusum sarine kembang....
Musik : Lebih ramai
Eko bumi dwi sawah
Tri gunung catur samudra
Panca taru sad pangonan
Sapto pendito
Nowo dewo
Doso ratu
Hung...
Satu bumi sawah menghampar gunung biru
Samudra luas pantai menari belukar menyemak
Delapan tangan dewa bergetar menjelma sepuluh ratu
Ketika bumi menyempit sedaun kelor
Orang-orang berdesakan kepanasan
Terjadilah huru – hara
Dimana orang jujur hancur
Orang curang menang
Sikaya selalu merasa kurang
Simiskin membesarkan kesombongan
Orang kuat menginjak
Silemah menjilat
Sikut kanan sikat kiri
Yang penting bisa disikat
Injak bawah jilat atas
Yang penting bisa waras
Katanya reformasi
Tapi korupsi makin menjadi-jadi
Katanya demokrasi
Tapi selalu berbuat tirani
Orang pandai sulit dicari
Orang bijaksana semakin langka
Orang bodoh minter-minteri
Sumur pengetahuan kering
Sungai maksiat banjir
Pohon ilmu bertumbangan
Orang besar main dagelan
Politik jadi guyonan
Jabatan jadi barang dagangan
Mau jadi bupati sekian?
Mau jadi kepala sekain?
Mau jadi wali kota sekian?
Ini untuk rakyat itu buat rakyat
Sedikit-sedikit atas nama rakyat
Tapi nyatanya rakyat tetap melarat
Dicekoki mimpi-mimpi sekarat
Siang makin garang
Langit mengabut jaman kala bendu
Banyak wanita kehilangan rasa malu
Laki-laki mengumnbar nafsu dimana-mana
Banyak gadis terkoyak kesuciannya
Hingga banyak bayi lahir
Tanpa ayah dianggap biasa
“Amenangi jaman edan
Ewu oyo eng pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Keliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Bekja ning wong kang lali
Lewih bekja keng eling lawan waspada”**
Hidup di jaman edan
Tidak ikut edan tak kebagian
Yang haram sulit dicari apalagi yang halal
Di mana-mana judi mengganas
Sangat sulit untuk ditumpas
Huru-hara makin menggila
Penjarahan meraja lela
Hukum terpasung di lemari kaca
Koruptor kelas kakap berleha-leha
Maling kelas teri dipermak sampai binasa
Menjelang lingsir
Huru-hara belum mau menyingkir
Rakyat kecil sudah habis pikir
Pejabat jadi ketar-ketir
Politikkus Cuma bisa cengar-cengir
Menjelang senja
Huru-hara mereda
Betara kala mondar-mandir di angkasa
Hendak menelan bulan purnama
Ada sosok bocah bajang sak kembaran
Yang satu membawa gayung tempurung
Katanya sanggup menguras lautan kekeruhan
Sedang yang satu menenteng sapu sada lanang
Katanya sanggup menyapu debu kekacauan
Mereka berjumpa di simpang empat
Huru-hara reda
Semoga matahari esok terbit
Hilang segala penyakit
**Serat kala tida pupu tujuh
Karya R. Ng. Ronggo warsito
Medan, 1997-2009
Puisi 5
PUPUH DUAPULUH EMPAT DAUN-DAUN CINTA
: Bima Suci
Musik : Santai
Lampu : Temaram
Welulang reneka jalma
Jalma ratu sudibyo kang darbeni
Mesjid demak kawitane
Wali songo kanganggit wayang
Manungsa ginambar miring
Kinaryo tepo palupi
Bima masuklah engkau dalam telingaku
Dengar dan dengarlah lautan yang berdebur
Adalah samudra hening dalam kalbumu
Dari kuncung sampai gelung
Kau terus berlari mencari sarang angin
Dan tetes air suci perwita sari
Kau robek dua raksasa kau tikam naga nemburnawa
Dengan ketajaman kuku pancanaka
Bima engkau adalah aku
Aku adalah engkau
Antara ada dan tiada teruslah berenang kelaut hening
Ning. Walau nafas hampir tuntas teruslah melintas
Aku ada dalam genggamanmu
Kau ada dalam genggamanku
Jagadku dan jagadmu satu
Bima mari kita berlayar
Menembus samudra hening terdalam
Medan, 2009