KOMUNITAS HOME POETRY, lahir di gang baru, 5 Januari 2007, yang lalu. Pada sebuah rumah mungil, yang kemudian kami sebut dengan rumah puisi. Awalnya, hanya sebuah kerja penciptaan karya puisi, diskusi pun mengulasnya. Tidak mengenal lelah dan resah. Terkadang kami tembus ruang dan waktu. paGi ke pagi. Ah, di rumahnya Kami, RUMAH PUISI
Arsip Blog
- Mei (9)
- Maret (1)
- Desember (3)
- November (2)
- April (1)
- April (1)
- Maret (19)
- Februari (2)
- Juli (3)
- Oktober (5)
- Januari (2)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juni (3)
- April (2)
- Desember (3)
- Juni (1)
- Mei (1)
- Maret (2)
- Februari (2)
- Januari (1)
- Desember (1)
- Agustus (5)
- Juli (5)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- November (7)
- Juli (1)
- Juli (4)
- Juni (3)
- Mei (16)
- April (9)
- Maret (26)
- Februari (14)
Jumat, 18 Oktober 2013
SAJAK PILIHAN LOMBA BACA PUISI KOMUNITAS HOME POETRY 17 Nov 2013/ DAN FORMULIR PENDAFTARAN
SAJAK SYAFRIZAL SAHRUN
JANGAN SALAHKAN AKU JIKA AKU JADI MAU
Kepada Para Koruptor
Di sisi celanamu yang menganga
Kutengok ladang bunga-bunga
Beragam warnanya
Bikin aku terpakudaya
Tak hendak mata beranjak jauh
Walau kuhalau jauh-jauh
Salahkah bila kuhendak
Kalau kau yang mengitak
Ini semacam pukau
Aku jadi lembu yang dicucuk hidung
Lalu tertumus di situ
Tanpa malu
Tanpa ragu
“Dosa kira bekang
orang ini kesempatan”
Kau macam perawan
Ngangkang di sofa
Aku Cuma singgah barang sejenak
Tapi aku tengok itu
Dalam malu-malu
Aku jadi mau
Di sisi celanamu yang menganga
Ku tengok ladang bunga-bunga
Mekar iya semerbak baunya
Sebagai kumbang aku datang
Penuhi undang
Jangan salahkan aku
Bungamu yang menggamitku
Jangan salahkan aku
Baumu menjeratku
Percut, 13 April 2013
SAJAK SARTIKA SARI
KAMPUNG DELI
/1/
untukmu kususun larik puisi ini
meski matahari lebih dahulu
meraut tubuhmu
memecah belah tetanah
menghisab perdu
menyusu di payudara
sampai kerontang
/2/
setegar srilelawangsa,
jejak-jejak guru kusimpan
harum kembang setaman
biar angin tak membawa pulang
kotoran jalang
/3/
langit yang bisu itu memar
mengumpuli sisa bakaran
menumpuk di ketiakmu
lambat laun membikin gundukan
semacam ini,
amsal himpitan
/4/
kampung deli,
jejak direkam kebisuan
petang dan malam dikoyak
badan-badan kesurupan
sepuntung rokok, sebotol alkohol
dan jam diputar-putar nominal.
Medan, Sketsa Kontan
SAJAK DAMIRI MAHMUD
TENTANG SEBUAH KEBERUNTUNGAN
tentang sebuah negeri
dibangun di atas
tanah subur unfortenately
sibuk memanggil-manggil raksasa
memamah rerumputan
seluruh permukaan
menyelam ke dalam kolam
danau dan lautan
mengunyah perut bumi
dan menyemburkan
aroma dan haruman
yang kita hirup
dalam setiap mimpi
kenangan yang melambai
di atas dermaga dan pelabuhan
tentang seutas rerumputan
yang berdoa penuh harap
sebelum digarap
dan dilalap
dikemas dalam sinetron
kembali ke angan-angan
tentang seonggok ironi
kita bangun
di atas universitas
dan akademi
menyusunnya ke dalam mitologi
tak habis-habis
kita kagumi
setiap menghirup segelas teh
dan semangkok nasi
tentang apa lagi
supaya aku lengkap mengenangmu
sebelum mati?
1 Ramadhan 1427
SAJAK HASAN AL BANNA
MENUJU MUASAL RINDU
melintasi riak yang lasak
sambil menghafal derak angin yang tersedak
maka berkayuhlah aku
ke dermaga-Mu
entah bila tiba
sebab di laut-Mu, siapa yang berani menerka-nerka
rahasia cuaca?
pun gurat-gurat di tapak tangan
tak lah abjad-abjad penggugur bala
tak pula peta penakluk perjalanan
lalu bakal puntung dayung, nak karam sampan
jika tidak dengan ketangguhan iman
layar dibentang
dan di pucuk dermaga-Mu
simpul sampanku tak kunjung tertambat
pula iya, sebab pada waktu
yang terus bergasing
berkali-kali lampu suar mengerling, tak ubah alarm
yang berdering
menggambarkan sampan yang gelincir
tapi khianatku berjelaga, tak punah
kujala-jala dosa
tak penat kutangguk-tangguk angkara
sehingga ombak-Mu menyedot kendaraku
ke palung karma
o, dalam geletar kurapal-rapal doa
kuracik-racik taubat
di sisa ajal
kurakit-rakit pecah sampan
kuikat-ikat patah dayung
hingga aku paham, ini sampan tidak hanya diketam
dari doa-doa malam
musti ada pekik luka, ada gelegak peluh
dan kuak mata yang merubuhkan tangis
ialah menghanyutkanku ke muasal rindu, o, Kau yang
tak layu-layu.
Medan, 2006
SAJAK AFRION
PERTIKAIAN TANAH DELI
Sabanhari, sepanjang waktu di tanah Deli
pertikaian tak henti
waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam
Di sungai Deli
segala raung adalah segemuruh tubuh
menikmati air beracun limbah
tiada perahu tiada kapal berlayar ke laut bebas
sungai dengan kepurbaan riwayat
mengabur situs menjadi abu batu
Tak ada yang dapat dihalau
daulat tuanku; abdi tubuh abdi hidup di bumi
Tidak sesejuk angin sejernih mata gunung
mencium harum tubuhmu
Airmata keruh; menangis di tanah guguran daun daun
sejak lama diapit pohon kamboja
kepala suku empu dan datuk datuk
pulang menatapmu kini dengan tubuh pucat pasi
seperti awan langit senja
pulang menatapmu kini bagai ditenung segala dewa
jadi bangkai peradaban
dihuni belulang tulang
Abdi raja mengeluh luluh tengkurap
dilamun petaka tanah ulayat dijarah
digarap puluhan perantau
Tiada tempat menanam pangan
mendulang gabah
menambang batu tanah liat
Perantau menguasai laman rumah
membangun gedung gedung
membakar pohon pohon
alangkah tidak mengenakkan
tidak senyaman dulu mereka nikmati indah tubuhmu
merasakan hembusan angin turun
Sejak daun kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh, segemuruh napasmu
raja dalam istana tanpa tahta dan singgasana
tahun tahun gusar di tengah musim angin laut
lalu membiarkan langkah mencari suaka
meniupkan dupa untuk santapan dewa
Meneteskan airmata langit berkabut
lalu antara bayangan memanjang
melewati negeri gelap gulita
segala menghilang penuh khianat tanah huma
tanah ulayat negeri beradat
dijemput takdir kematian
Medan, 2008
SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
LELAKI TUA DI TENGAH DANAU
o, batara guru… kubuat tuah ni gondang dengan tujuh kali putaran dari gondang mula-mula somba-somba maupun liat-liat
angin mengelus, air mengalir pada danau segala desau adakah rahasia pada segala atau hati sembunyikan misteri padamu, padaku, atau pada kita
o, batara guru… kulakukan mangase homban agar senang si boru saniang naga agar senang si boru deak parujar agar terjaga tanah negeri kami
riak-riak menciptakan irama para bocah yang berebut mencapai dasar, ah, adakah rindu masih terpaut atau dendam masih tersudut padamu, padaku, atau pada kita
o, batara guru… sampaikan kepada ompu mulajadi na bolon jagalah bona ni pinasa segala suka jagalah bona pasogit segala cita jagalah hati kami dari segala angkara
menarilah dengan penuh sukacita bernyanyilah dengan segala keindahan nada angin akan membawa kabar berita air akan menyatukan segala cinta padamu, padaku, atau pada kita
2013
SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
SEJARAH KOPI
ada catatan
tentang pertanyaan
orang-orang yang kehilangan
jawaban
hanya menunggu
cara terakhir
yang paling jitu
menghapus dugaan
di antaranya
ada yang luput
meracik kesabaran
atas ketidakberdayaan
sementara yang lain
hanya berharap
tersingkapnya tabir
tirai takdir
lantas adakah catatan lain
dari sejarah kehitaman
tentang pahit manisnya
segala kenang?
(2013)
PADANG KOTA TERCINTA
PARA JAWARA PUISI
Juara 1
Judul Puisi: Epitaf Arau (Kurnia Hadinata, Pasaman)
Juara 2
Judul Puisi: Padang Kota Tercinta, di Padang Kita Bercinta (Esha Tegar Putra, Padang)
Juara 3
Judul Puisi: Sepasang Puisi di Kota Tua (F. Rizal Alief, Madura)
TUJUH PUISI TERPUJI:
1. Padang, Petang dan Puisi (Hakimah Rahmah Sari, Padang)
2. Cerita Bergambar Padang Buat si Sayang (Karta Kusumah, Padang)
3. Di Pantai Padang, aku Mengingat Beberapa Kejadian (Yori Kayama, Padang)
4. Pantai Purus Tepi Kota (Budi Saputra, Padang)
5. Hikayat Seorang Wanita di Pucuk Bukit (Dedi Supendra, Pariaman)
6. Menulis Kangen; Padang (Dodi Prananda, Depok)
7. Kepada Mandeh (Inung Imtihani, Depok)
EPITAF ARAU
Nurbaya!
Dia buat negeri di sanding
gunting bajumu Sam! Sekudung rindu gigil
dan dendam yang kering mendekam di labirin
matamu. Ingatlah
waktu engkau pergi ke seberang, memungut nafas amis dari angin
selat,
engkau pudarkan kelasah tuan kelasi tua yang resah dan lupa
jalan pulang
engkau beraikan berita si anak rantau yang dibawa untung
perasaiannya.
Sam! kibas ratap pilu bansi yang terhempas
semakin pasi tergelepar
Di antara bongkah kapal bolotu, Jepun, Bugis,
Tumasik dan Portugis
menyangkutkan jangkar berkaratnya rapat-rapat di dasar buih
muara.
Kemanakah si engku muda itu?entahlah, semuanya telah habis
rupa-rupa
seperti jejak Pala, Kopra, Cengkeh dan Kopi dari Padangsche
Bovenlanden
yang tiba-tiba tersangkut pukat para lanun-lanun itu, dari mana
mereka?
Amisterdam, Rotterdam, mereka memakai baju nona-nona bercorakkan
tulip
berjalan manis atau duduk di kelas loge,
sebelum Gambar Hidoep diputar
Apenbergh kemarau yang
dihempaskan hujan nan lengang, bacin
di
Pasar Gedang selepas petang di permulaan tahun naga
Samsulbahri!
Ia tepis kepak camar laut di antara rumah jaga di Muara,
berderap sahut
pada pucatnya riak Arau, ringkik kuda tambang meratap kurus,
meletus
atau bunyi petasan dan aroma hasap hio di permulaan tahun cina
itu
tidak juga mempertegas semuanya, larut malam lamat- lamat,
sansai jua
tak tampak wajahmu Sam? Ia kembali mencari sekeping
bonanza itu
bersulamkan renda Silungkang dalam sapu tangan merah yang engku
berikan dulu,
sebelum cerobong kapal besi maskapai menguapkan asap memupuskan
wajahmu
di sinikah rendevus itu? Di pulau aie ini, di
antara luruh gemeretak roda lokomotif
atau mungkin di tempat berlabuhnya kapal api kecil, tongkang uap
lupa haluan
berlayar ke Terusan, Tiku, Air Bangis, Barus sampai ke utara
Banda, Kota Raja
tapi tak tampak jua, kemana kamu Samsul? Hilangkah dibawa
lanun itu?
Sesungging senyummu pias selepas sauh berderam-deram
dilamun ombak
Dia lalu bergurau “Buat
apa ada pertemuan itu sam?” Jika
semuanya tak sampai
jika semuanya membawa
asap dari kepulan awan-awan terlerai
latas seketika
lalu merisaukan wajahmu seperti senja anulir semakin sembraut.
Kemana engku muda berlalu? Memutar haluan? Jawablah Sam!
Perempuan berkepang itu begegas, membuat teluk di ranum pipinya
Pelan dan lamat semuanya temeram dalam lapuk redup angin lalu,
Siti, oh Siti tersahut jua nama
itu, di antara riak Arau yang semakin langis.
Pasaman, 13 September 2011
Bansi= alat music tradisional minang
Bolotu (kapal layar dari Sulawesi Utara)
Pulau aie (pulau air) (daerah
Padang Lama/Kota Tua)
Apenbergh (bukit kera, nama lain
yang diberikan Belanda untuk Gunung Padang)
Padangsche Bovenlanden (nama wilayah
dataran tinggi Minangkabau pada masa kolonial)
Kelas Loge (kelas tempat duduk di gedung bioskop
khusus bagi bangsa Eropa tahun 1911 di Padang)
PADANG KOTA TERCINTA, DI PADANG KITA BERCINTA
—teringat sajak Leon
Agusta & Rusli Marzuki Saria
Sebuah malam absurd dengan sepasang gagak yang bertengger di
tiang katedral setengah roboh, langit dengan gerakan awan berhemburan tertembak
cahaya lampu 10.000 watt, aroma garam-pala-merica lembab terkirim dari sebuah ruangan
dan tajam aroma alkohol sampai dari ruangan lain—aku berusaha menulis sajak
tentang kota di bawah perlintasan jalan dengan billboard besar bertuliskan:
SELAMAT DATANG.
Aku jadi ingat Leon muda yang tahunan membangun kota dari bahasa
sajak, juga Rusli muda yang dengan genitnya menulis kisah Puteri Bunga Karang
di antara kisah percintaan purba lainnya di sehamparan pantai Padang.
Sebuah malam yang absurd, kota yang mabuk dalam beratus lagu
ombak gila, beratus sumpah pembatuan manusia, serta orang-orang yang hibuk
dengan siasat bercinta. “Kota ini, cintaku, dibangun dari getaran saluang dan
dendang, dari alunan rebab dan gamad, juga aroma kamu di dalam kisahnya,” aku
bayangkan Leon dan Rusli muda serasa telah menghentikan ayunan ombak pada batu
karang setelah membisikkan sajak pada pacarnya. “Di kota ini, cintaku, meski
hujan bergerak lamban tapi dibenamkannya kita dalam bertahun cerita tentang
pelayaran,” dan seperti ada yang membenam di arah samudera sana, barangkali
sebentang pulau, atau kapal-kapal gadang yang terhempas di antaranya.
Tapi pada sebuah malam yang absurd, sebuah malam di mana Leon
dan Rusli entah ada di mana, aku dan beberapa teman penyair lain telah
membangun beberapa ruang di bagian lain kota. “Di sini, cinta seperti kematian
yang berulang, bunuh diri yang berkali, atau serupa celana sobek yang kita
jahit kembali,” gerutu yang serupa deru pecahan kaca toko dilempari batu,
tembakan lampu 10.000. watt yang berlahan lindap, tulisan billboar serasa
mengucapkan selamat jalan. Segalanya diam dalam bahasa sajak, segalanya beralih
dari malam. “Padang kota tercinta, di Padang kita bercinta…” aku menulis sajak
tentang kota di bawah perlintasan jalan dengan billboard besar, kisah
percintaan yang hambar, dan segelas kopi dengan gula yang berulangkali ditakar.
Catatan: ‘Padang Kota Tercinta’ merupakan slogan kota
Padang yang oleh pemerintahan diambil dari judul sajak Leon Agusta. Pada masa
pemerintahan kini, slogan tersebut ditambahkan dengan kalimat ‘Kujaga dan
Kubela.’ Sedangkan ‘Puteri Bunga Karang’ merupakan judul sajak Rusli Marzuki
Saria, ia jugaseringkali menulis sajak tentang padang salah satunya tentang
Hiligoo.
SEPASANG PUISI DI KOTA TUA
1./
Bersama Siti Nurbaya
Siti,
pada matamu yang biru, aku lahirkan kata-kata. Kata-kata yang memiliki dua
sayap. Satu sayap membentang ke jantung matahari. Satunya lagi menyentuh hati
bulan yang sunyi. Bila pagi hingga sore hari kuajak dirimu pergi. Melihat
pulau-pulau yang tak pernah kau singgahi; matamau bergerimis. Satu-persatu
buliran itu menjadi waktu yang berlalu.
Dan
di malam hari bulan bulat purnama mengeja aksara-aksara beku dalam dadamu,
dalam jantungmu, dalam aliran darahmu dan seluruhmu.
Siti,
dengan kata-kata itu pula aku bisa mengajakmu terbang ke manapun kau inginkan.
Sebab di dalamnya ada sebuah ruang yang pintunya selalu tak pernah kututup.
Agar matahari dan bulan tak saling bertabrakan. Dan aku bisa mengunjungimu.
Sewaktu-waktu.
Menaruh
keduanya di atas kepalamu. Di sepanjang sejarahmu…….
2./
Dongeng Si Malin Kundang
Malin,
masih kudengar detak jantungmu dari dalam batu itu. Bagai ketukan palu dan
pintu. Bunyi itu mengingatkanku pada tangis bayi mungil yang ingin menyusu pada
ibu. Dan terlelap di buaiannya. Sepanjang masa.
Dari
dalam itu pula, terus kudengar setiap bunyi tetes demi tetes air matamu
melubangi batu. Hingga retak. Utuh lagi. Retak lagi. Utuh lagi. Sampai air
matamu yang bersimbah hanya meresap ke dalamnya.
Aduh,
Malin. Bagitu kuat mantra ibu. Sampai-sampai menutup seluruh aliran darahmu.
Menyumbat detak jantungmu. Hingga seluruh tubuhmu beku di sepanjang waktu.
(Tanpa kutahu di mana Ibu).
Sempat
kudengar, Malin. Ibumu masih berdiri di depan waktu. Sambil memegang
seperangkat bajumu yang dulu. Katanya diam-diam ia masih menunggu waktu
ratakkan batu. Ah. Begitu naluri seorang Ibu?
Yogya, 2011
PADANG, PETANG DAN PUISI
(Padang 1)
~tepi
laut dan sudut langit
ada yang hilang-tenggelam di langit
sepertinya itu kau, yang rasanya baru
kemaren kita bertemu di tepi laut
-yang memberi mimpi buruk pada sendalku
yang hanyut-
rupanya kau tidak lagi menjinakkan ombak
atau berburu kepiting
tapi membikin semacam perahu putih di
langit dengan kepulan asap
hilang-tenggelam, seperti wajahmu
(Padang 2)
~jembatan
Sitinurbaya
ada yang mencoba meniup balon
balon itu sebesar kepala bocah yang duduk
manis di kursi merah
matanya memandang ke depan
ke tempat perahu tertambat pada kayu-kayu
itu sambil memakan jagung bakar
tapi, angin juga menghebuskan napasnya
hingga balon itu terbang bersatu dengan
angin
kau dan aku pernah di sini, di tempat orang
yang meniup balon itu
berjanji dengan mata yang mengarah pada
matahari
matahari rasanya ada dua –karena rupamu
bercahaya-
jembatan pun rasanya ada dua
-karena akhirnya kau yang di kiri, aku yang
di kanan-
(Padang 3)
~kampus
dan halte
Rinai menjatuhkan semacam kata-kata
tidakkah kau segera berteduh di
lorong-lorong
sambil menampung tempiasnya
kemudian menghitung jumlah sajak teruntuk
dirimu
laga-laga seakan jadi televisi
kau pun menonton pertunjukkan rinai yang
jatuh
sepertinya ia terjatuh dengan terpaksa
lalu katak keluar dari kurungannya, bebas
sebebas burung layang yang melayang-layang
menyaksikan pertunjukan yang lain
seingatku, kita bertadarus puisi
berkekasih dengan sajak
yang kian menyeret kita ke dalam arusnya
kedai, secangkir kopi dan sepiring nasi
masuk dengan riang dalam perut kita
kau kenyang, sekarang giliran aku yang
lapar
duduk bersama-sama di sini
memperhatikan dan menunggu bus yang entah
kapan akan berjalan
asap candu kian membesar, napasku sesak
(Padang 4)
~pasar
dan selokan
puntung rokok, uang receh, sayur busuk
lalu air ludah, kulit pisang ambon, rambut
dan juga segelas keringat
tak lupa juga ada sebagian sopir, polisi,
tukang ojek, pedagang, siswa, mahasiswa, tenaga pendidik
masuk dalam arus pasar yang kian memanas
mereka bersenda gurau dengan harga, tahta
dan juga wanita
pada akhirnya puntung rokok, ludah, rambut,
kulit pisang, sayur busuk, uang receh
berdiam diri dalam selokan, yang lain
entah!
(Petang 1)
“Mak, bukankah abak harus kembali?.”
“Kak, bukankah abak harus pulang?.”
“Dek, bukankah abak akan datang?.”
ketiganya hanya diam mematung, angin
berhembus
membawa debu-debu mereka yang berterbangan
kian kemari
matahari kian terbenam, makin tenggelam
(Petang 2)
sudah lama kau tak menampakkan diri
di terik siang tanggal 30 September itu,
kau menghilang
seperti kentut yang terlepas lalu pergi
begitu saja
sore 30 September, bumi bergetar
rumah-rumah kacaku memecahkan dirinya
puing-puingku menjatuhkan dirinya
seakan kau, memecahkan dirimu jua
apakah engkau terbenam masuk ke laut
atau kau terbenam masuk ke tanah
dan hujan memintaku, menguburmu dalam
catatan
yang berisi data-data orang hilang
(Petang 3)
sehabis langit gelisah
mataku kian memerah
sepertinya awan-awan melata di tanah
entah karena matahari pergi menyusui bumi
kau pun mendesah
karena inilah ujung yang menunjukkan kau di
sana
(Puisi)
senja, aku harus berpamit pada hati
hatimu dan juga hatiku
(Padang di suatu petang dalam puisi)
Padang, dalam panas yang kian memanas
kita bertemu, kita bercerita tentang perahu
putih di langit
-yang hilang-tenggelam itu-
kemudian petang menjengukmu –karena ia
kekasihmu-
lalu kita berjalan kaki menuju Basco
kau memesan cappucino yang
rasanya asin
rasa asin, karena lidahmu terkelu melihat
mataku yang membiru
karena yang terbayang oleh mu adalah air
laut
–karena kau ini pelaut yang kuceritakan
hilang itu-
jadinya garam dan hanya garam pintamu
-tapi aku memesan cappucino rasa pedas-
rasa pedas karena lidahku peka saat melihat
matamu memerah
yang terbayang olehku hanya darah
karena aku haus akan darah, darah berwarna
cerah
lukaku kembali basah, tapi bukan karena kau
karena ada yang sengaja menumpahkan vodka
ke tubuhku
kau bangkit karena marah, matamu semakin
memerah
aku semakin berdarah karena matamu kian
merah
lalu kau menaburkan garam ke tubuhnya
ia melata tuan, bukankah ia ular
sudahlah, kita nikmati saja cappucino rasa
istimewa yang kita pesan
karena ini pertemuan kita terakhir saat ini
karena puisi memintaku untuk membunuhmu
sejenak
dan Padang di suatu petang dalam puisi pun
berakhir
Padang, 10 September 2011
DI PANTAI PADANG,
AKU MENGINGAT BEBERAPA KEJADIAN
I
/Kematian/
di kelok keberapa lagi aku akan menemukanmu
sementara hari masih setengah gelas susu lembu
bahkan roti hambar sudah menjadi teramat asin
setelah lepas dari bibir kepergian; laut yang terbiar
ada jalan lain setelah kita membikin ketan durian ala kampung
cina
aromalaut telah membuka beberapa lembar ingatan
tentang malin yang lupa cara berdiri
atau nurbaya yang tidak mengenakan kepala
padahal angin telah belajar cara memberi
di kusut matamu dan di rindang alismu
semacam suar di bukit lampu menyala-nyala menjadi airmata
bagi pelepas kepak yang lelah menerbangkan igaunya
ke laut lepas; tempat pusaka semakin terbiar
“hedaknya kita selalu bersulang”, katamu.
sehabis segelas kita akan menduduki punggung kerbau
memanjangkan tanduk buat bekal esok pagi
sebab kematian hampir datang
membawa kabar inihari akan menjadi terbagi
aku akan terus hidup dari beberapa mitos muasal
dendang saluang atau gamad balanse madame
dilisankan dari lidah pejalan hingga menuju rantau jauh
lelaki minang harus biasa menjaga apililin
supaya tak padam sebelum kutukan itu datang
“jadilah perantau, nak. Jika tidak kau akan siasia
menunggu tua di ujung matabatu “
/kepergian/
yang kau ingat yang aku ikuti dari jalur gunung padang
adalah arusmu. ia tercium dari limau sehabis peras
datang kemudian pergi, alamat yang terbuang dari suara deruh
Menyahut kita selepas berciuman di bioskop pasar raya
adalah yang diam menepi menjadi butiran nasi
ke sudut bibir mana kekasih akan menolak kawin
kalau tidak mamak yang menjadi tuannya
/kenangan/
Yang diupat sebagai lancirik masam
Berangkat dari kisah perempuan bungkuk
Sebalik ombak belakang bukit mereka
Ialah menyudut ke barat daya orang-orang belanti;
setelah lama menjadi batu ia sekarang adalah hujan
menjemput kanakkanak pulang ke subarang padang
persimpangan menuju pantai airmanis
tempat kekasih menjahit baju pengantin
sebelum ia terlahir menjadi kutukan
/kecupan/
adakalanya kita harus merapat ke sebuah taman atas gunung
melihat kisah percintaan yang tragis
aku mengecupmu nurbaya yang ditentang orang sekaum
sebab bibir kita tak pernah jatuh di tepi muara
/pertemuan/
untukmu kulaju, kukayuh sampai pulau nan jauh,
di kesatu sentimeter matamu aku berangkat ke
tanjung,
wahai perempuan, aku telah menunggu pagi di laut ini:
menghitung raja, mengulang tambo ke akar mula
menghitung raja, mengulang tambo ke akar mula
kemudian kita remah hingga menjadi bagian dari dagingmu
di rahimmu aku menanam sepucuk kenangan
berlebih ke ujung kakimu
sampai mana kita akan berjauh pandang
di rahimmu aku menanam sepucuk kenangan
berlebih ke ujung kakimu
sampai mana kita akan berjauh pandang
dari padang yang memanjang,
sedang jantung kian berdetak kencang
adakah seutas rambut masih terjalin
ditiap gerak sepanjang alismu
igau kita semakin larut dalam bara yang kian laut
pengobat dari rahang yang sakit
adakah seutas rambut masih terjalin
ditiap gerak sepanjang alismu
igau kita semakin larut dalam bara yang kian laut
pengobat dari rahang yang sakit
membentur ke sebuah pertemuan—intuisi
II
di kematian, di kepergian yang bakal datang
kenangan adalah sebentuk perjalanan
menjadi kecupan pada awal pertemuan
antara ombak purus dan orang padang ada yang tergantung
menyerupai rindu.
semacam puisi telah menjadi pengingat di ujung temu
sebelum kita berhenti memetik tragedi
Padang, 2011
HIKAYAT SEORANG WANITA DI PUCUK BUKIT
: Jembatan-Makam Siti Nurbaya
Di jembatan ini, sayang,
Kita gumamkan hikayat yang berenda galau di kota pelabuhan,
Kapal-kapal meriak bersama muara yang tenang, menyimpan buram di
pangkal sejarah
Rumah-rumah tua di kanan-kiri saling berpagut, seolah membisikkan
beberapa larik cerita purba,
‘di sini, di tempat ini telah lahir seorang wanita’
Bisikan itu seperti nyanyian ratap yang tak berkeujungan,
Sebuah balada yang terngiang tanpa batas usia,
Merana-rana,
Dan, aksara demi aksara tembang-sendu-berbisik itu
melayang-layang ke pucuk bukit,
Seperti berpotong-potong gambar yang berubah abu-abu buram,
Kau dapat melihatnya, sayang, siluet-siluet masa lalu itu
tersangkut di reranting perdu yang menghijau pekat,
Beberapa burung gereja dan murai balam melompat-lompat di antara
daun-daun nyiur yang melambai ke pantai,
Memanggil-memanggil,
Mereka berkicau dengan resah,
“Di sini, di lereng bukit ini, telah tidur seorang wanita’
“Ia lelap panjang dalam penantian yang tak singkat’
Jenjang-jenjang ular meliuk ke ranjangnya yang berpenjaga
batu-batu raksasa,
Bila ia suatu waktu bangun, aroma angin laut langsung menyelusup
ke pangkal nafasnya, sinar matahari menjadi kaca yang memantulkan raut-raut
laut yang merona, ombak yang bercorak dan memutih, amboi,
Wanita itu, menanti dalam semayam surga,
Episode-demi-episode wanita itu bertumpang-tindih minta
diceritakan,
Kisah mana yang lahir pertama,
Masa mana yang hendak dimula.
Seorang pendongeng bingung mulai bersuara,
“Wanita itu, lahir dari kepundan yang tenang, tapi, sayang, ia
mati dalam digulung bertumpuk-tumpuk lahar panas,”
Hikayat wanita ini tersungkup di balik sebuah tempurung sejarah,
Jenguklah ia,
Ada kebenaran yang bersembunyi di pucuk bukit,
Padang, 10082011
CERITA BERGAMBAR PADANG BUAT SI SAYANG
Sayang, sudah sebelas tahun aku tak pulang. Sudah waktunya aku
ceritakan apa benar yang membuat aku kerasan. Semakin hari, aku semakin yakin
Padang jatuh cinta padaku.
Begitupun sebaliknya. Sekali lagi, beginilah :
/Muara Penjalinan/
Matahari memang terbenam di barat, sayang, sebab itu aku ke
sini. Berjarak darimu aku menemukan tempat ini, sesuatu yang sulit kudapat
darimu : sebuah tepian pantai dengan matahari terbenam paling nyaman.
Hari itu (hari pertama berjarak denganmu) senja terlambat
pulang. Mungkin, ia sengaja menyambutku, dengan oranye malu-malu. Kuharap kau
tak cemburu setelah kuberi tahu bahwa Muara penjalinan ialah candu, untuk
pertemuan yang kujelang dari jauh.
/Simpang Haru/
Aduh, sayang, kugambarkan tempat ini agar kau dapat membayangkan
bagaimana.
Di Simpang Haru, aku mengingatmu, mengingat api yang membakar
dada kita, kini kian membatu. Jika jalanan bersimpang masih memisahkan, aku
ingin kita membuat jalan melingkar di antara simpang-simpang. Dengan begitu
kita masih bisa berpagut jemari tak putus-putus sembari menikmati api yang
membakar dada kita telah menjadi tugu. Bagaimana?
/Lubuk Minturun/
Sesejuk apa kau dapat mengecup dahiku? Setinggi apa kau dapat
mendaki batanghidungku? Lubuk Minturun mengajarkan pendakian yang sejuk,
sayang.
Datanglah dari arah jalan lebar (di sana banyak penjual nasi
kapau atau ampera sembri menjajakan kenangan, carilah) menuju pendakian tinggi
di basahmu. Laju sungai, kulit manis, dan jalan tanah telah kujelang. Tapi, di
puncak segala jarak yang kita bentang kau semakin kusingkan. Sebab, caramu
menyejukkan dari ketinggian telah terkalahkan.
/Taman Imam Bonjol/
Masa sekolah dulu, aku pernah ingin membuat sebuah taman. Dengan
pohon bunga kertas dan kembang sepatu sebagai pagar. Sebuah kursi rotan panjang
kusimpan di bawah beringin besar. Angin sore yang lembab mengusap taman dan
mataku yang sembab, masa kasmaran datang berulang-ulang. Tidak, sayang, Taman
Imam Bonjol jauh dari yang kau bayangkan. Di taman ini, masa sekolah adalah
masa yang canggung, dan pohon besar serta remangnya adalah kesetiaan yang
tanggung. Dan aku tak bermaksud mengajakmu ke sini karena alasan yang belum
patut kau mengerti.
/Jembatan Siti Nurbaya/
Aku tahu, sayang, bukan aku orang pertama yang menuliskan
tentang Jembatan Siti Nurbaya. Tapi, aku berani sombong, pastilah aku orang
yang pertama kali menuliskannya untukmu. Butir jagung kuning muda yang dibakar
separo masak itu kugigit sembari menghitung berapa rumah yang berkedip di
selingkar Gunung Padang, aduh, aku pun terkenang kunang-kunang yang kau kirim
saat malamku tak cukup remang untuk sekedar kesepian. Kapal-kapal kecil
bersandar, terjangkar, harus kemana lagi aku melabuhkan pulang yang tak sampai?
Kelak, akan kutanam sebuah biji jagung di tanah kita dan kubesarkan sebagai
jembatan. Sebab, lelaki selalu butuh menyeberang, sayang.
/Tunggul Hitam/
Akhirnya, ke Tunggul Hitam juga aku pulang, sebagaimana sebagian
besar orang Padang akan pulang. Di tanah-tanah merah basah itu mereka mencari
istirah baru, terpisah dari segala kemengertian. Sebagaimana aku yang perlahan
membenamkan sebagian batang badan di hektar-hektar pemakaman. Sungguh,
Purwokertoku sayang, aku ingin segera pulang membawakan sekantong kenangan
tentang bagaimana rasanya mati di tanah orang.
MENULIS KANGEN; PADANG
dulu sekali, waktu jalan belakang rumah masih belum beraspal
ayah melewati parak rumbio di Taluak Nibuang
melintasi Padang yang penuh Nipah di belakang rumah
aku masih dalam rahim Ibu, tahun 1993
Oktober pagi, aku mengendus wangi kota Padang pertama kali
mencium bau nipah, wangi pandan di belakang rumah
belakang rumah adalah nostalgia tentang Padang berhutan
sungai-sungai masih dangkal di di Simpang Muaro dan Simpang
Pulai
jalanan masih rimba di Balantuang, bocah-bocah kecil mandi hujan
di sepanjang jalan
ketika itu, Taluak Nibuang adalah rerimbun kenangan yang
mengakar
ke dalam mimpi
aku diceritakan tentang Kakek muda yang menghabiskan bahagia
dalam petualangan nipah hingga menambang pasir di belakang rumah
Nenek adalah nostalgia kue singgang dan daun baharu
yang membakar mimpinya di tungku jarang jadi abu
yang mengendus wangi mimpi di kegersangan rimba
Taluak Nibuang yang masih garang di belakang rumah
ada kisah tentang Paman yang menganyam rindu di pesisir
Mencicipi masa muda di keasinan kehidupan
memecah kerinduan pada Ibunda di kedalaman batu karang Pantai
Padang
anaknya adalah ombak-ombak yang berkejaran
istrinya adalah petualangan bayang-bayang
yang melintasi kerlap-kerlip di kejauahan perkampungan Cina
yang kala itu masih sepi dan kering kerontang
masih gersang, belum benderang dan belum bernyawa
sementara itu, balai-balai masih sepi
tahun 1990, kota Padang mulai tumbuh bersama imajinasi tubuhku
aku menetek pada kehidupan di Simpang Muara Penjalinan
membaca kehidupan yang kadang hangat, kadang dingin
mengendus bau wangi dan amis kehidupan para pemukat ikan
di pantai belakang rumah, kehidupan para petani yang membibit
mimpi
di Simpang Pulai, ranah kecil tempat Kakek dilahirkan dan
dimakamkan
kota Padang mulai menjalar ke dalam tubuhku
meski tahun 2000-an, aku telah mencium bau kehidupan yang aneka
berbau
ketika aku menyadari aku adalah keriuhan Balantuang
yang kini adalah jalan panjang Sudirman, Pasar Raya Padang
saban pagi mengenakan putih abu-abu hingga pada tahun 2009,
pecah kehangatan itu
dalam kegersangan lindu, keamisan rindu, Oh Ibu
waktu itu ketika ketipak-ketipuk naik Bendi di Taman Melati
mengenang aku kecil menghabiskan Minggu ke Pantai Padang yang
kini sendiri
setelah itu, aku pun menjadi sendiri dalam tualang hidup
belajar mengenang nostalgia panjang, tentang ayah, tentang ibu
entah pada tahun berapa, karena ingatan tertinggal di almanak
kelahiran yang indah, ketika aku menjadi cahaya di sepanjang
Jembatan Siti Nurbaya, tempat ayah bersua Ibu, dulu..
(Depok, 070911)
PANTAI PURUS TEPI KOTA
Di pantai ini, yang meski kita raba dan bayang adalah tentang
keinsafan dan kejujuran abad. Ketika kolonial berhamburan,
di Kuranji atau di sungai banjir kanal yang kini terus tumbuh
dalam euforia dan histeria kota, maka kau lihatlah abad-abad
kota ini yang berdandan dengan caranya sendiri. Gubernur
yang
silih berganti, pasar-pasar yang tumbuh, bocah-bocah sekolah
yang penuh sesak di tiap paginya, hingga rumah sakit tempat
usiamu menetas, ternyata telah banyak mengalami pemugaran.
Di pantai ini, maka bayangkanlah sebuah muara, sebuah ujung,
dan segenap beban kota yang tidak saja tinja, sampah perumahan,
bangkai anjing, alat kontrasepsi, atau tangisan lampau yang
kentara di barak-barak pengungsian. Lebih dari itu, sesungguhnya
adalah perguliran masa itu sendiri. Pantai ini kerap kali
menyisakan kepedihan. Bocah-bocah yang raib digulung ombak,
lalu ibunya menjerit, meratap, dan tercatat sendiri sebagai
catatan silam kelabu kota. Sedang di luar itu, tentu segalanya
masih terus mengalir bagai hulu dan hilir sungai. Bagai
tikus-tikus yang berdesakan dalam sebuah lingkaran.
Pantai ini adalah sebuah tepi. Dan dalam gemuruh ombaknya,
maka bacalah! Ternyata telah berabad-abad sudah kota ini
menyusui segenap kelahiran, segenap jejak yang punya impiannya
sendiri-sendiri. Sebagaimana tentang bocah-bocah yang kau
tunjuk di sekolah dasar dan pusat perbelanjaan itu. Apakah kelak
hanya
membayangkan kelamin di hotel-hotel yang bangkit dari sakit,
euforia
malam minggu, hingga kejujuran dan kemaluan yang tergadai?
Padang, 2011
KEPADA MANDEH
di
pasir ini zaman telah mencuri kaki-kaki kita. Mandeh. kau tahu
benar,
menuju laut di tulang dadamu, aku kembali. pasang dan surut
bertukar
sapa pada bulan yang mencatat setiap kelahiran. hingga
kapal
besar ini terseret gelombang dalam matamu.
segala
keterasingan akan tumbuh sebagai yang tak berkesudahan.
akan
kujaga tepian laut ini seperti isi rahim yang kau sembunyikan
dari
rasa dingin. malam telah habis sebagai lauk bagi sepi. satu hal
yang
kukirim padamu dari atas kapal: jadikanlah aku batu agar
aku
abadi bagimu.
jika
kemudian orang-orang bercerita tentangku, Mandeh, tak perlu
kau
katakan siapa yang dusta. aku selalu dapat menjumpaimu di kota
ini.
keterpisahan dan perjumpaan akan kita simpan. seperti orang
yang
setia dengan ceritanya sendiri tentang kutukan.
rahimmu
tercatat pada sebuah batu. di mana aku tak pernah mati. di
mana
cinta mengabadi.
Langganan:
Postingan (Atom)