Arsip Blog

Kamis, 21 Juni 2012

Rabu, 20 Juni 2012

Omong Omong Sastra dilaksanakan di Universitas Muslim Nusantara Jl. Garu 2/Sisingamangaraja. Pelaksanaan tanggal 24 Juni 2012, pkl. 10.00 WIB. Pembicara Hasan Al Banna dan Muhammad Anhar. Tanggal 11 Agustus 2012, Lomba Baca Puisi Komunitas Home Poetry, tentang Kepahlawanan, kebangsaan dan kemerdekaan (Puisi2 Raudah Jambak di Taman Sastra Raudah Jambak) Biaya 30 ribu rupiah. Segera.... usia 15-25 Tahun......

Rabu, 06 Juni 2012

Komunitas Home Poetry Activity

Komunitas Home Poetry membawa semangat baru bersama Hasan Al Banna, Andy Mukly, Safrizal Sahrun, Bunda Djibril, Ahmad Badren Siregar, Jaly Kendi, Ilham Wahyudi, Khairul Anam, dll. Semangat itu terbawa dalam Pertunjukan Puisi Multi media dengan konsep kebalikan 'MENGHITUNG RINTIK HUJAN' sutradara M. raudah Jambak. Kegiatan itu dibantu dengan penataan musik Adek Djabal, dkk, serta ditangani penataan cahaya oleh Irma Karyono. Kegiatan itu lanjutan dari Monologis Puisi 'CELAH' Bunda Djibril (Indah Zuhairani Siregar). Ternyata semangat yang menggebu itu semakin menggebu demi terwujudnya kegiatan berikutnya, Lomba baca puisi 11 Agustus 2012, Rajam - Monolog Bunda Djibril, Closet - Monolog Hasan Al Banna, dll. Semoga kegiatan berikutnya akan lebih greget lagi. Puisi- Puisi S. Ratman Suras Puisi 1 PUPUH DUAPULUH DAUN-DAUN CINTA : Sei Belutu - Musik – gong 1X dan lampu berpendar terang Tembang – Dandanggula, panembrama. Semut ireng anak-anak sapi Keong gondhang jamprak sungute Timun wuku kinata wolu Surabaya geger kepati Gegere wong ngyak macan Cinandak wadahi bumbung Alun-alun kartosuro Gajah mati cinancang wit sidagori Patine cineker ayam Di sudut simpang tiga jalan ini Akan kubangun rumah puisi. Rumah yang terang Kuharap engkau segera datang Aku menggali keindahan dari lembar-lembar daun ceri yang merimbun di sudut halaman Agar menjulurkan lidah sunyi Untuk menyalakan sumbu di urat-urat jantungku Sepanjang siang aku nembang dalam hati Kumasuki lorong-lorong sepi. Tengadah pasrah sambil meraba-raba doa Ayat-ayat teduh cintamu. Belum lagi sampai ke langit terjauh Batinku goyang, tenggelam dalam terik sengatan tatapanmu Merindukan pertemuan itu ssperti yang lalu Puisi-puisi sunyi hanya kurasakan getarnya rinduku sering membakar aku menggali kembali cahaya dari kubur kenangan engkau datang ketika jiwaku telanjang di lantai pualam rumah puisi sunyi ini kita berpelukan sepanjang malam Puisi 2 PUPUH DUAPULUH SATU DAUN-DAUN CINTA : Nareswari Musik : Kasmaran/ gandrung Lampu : Temaram Tembang : Asmarandana Lali-lali tan biso lali Sun lali sak soyo bronto Wis solahe wong ayu nggerentesno ati Gembili gong woheng tawang Gedebukan solah ingwang Jeneng gamping recoh kayu Nggalenjek nggolei siro Kepingan bintang itu jatuh Di rimbunan warawiribang Tubuhnya mulus wangi melati Panawijen damai daun-daun pisang melambai Mantera gaib suci sang resi Sambil meminang cintanya Bumi dengan segala tingkahnya Langit dengan segala isinya Matahari merah saga Pacu seribu kuda jantan Di jantung sang akuwuh terbentang ladang kerontang Rindu memburuh, kepulkan debu-debu Reguk dan paksa sekuntum soka Geger padepokan purwa Maling asmara menggondol mangsanya Tumapel sunyi senyap sang akuwuh mendekap erat Malam beku dalam kenangan cinta biru Ketika rembulan bergulir ke arah bukit Dalam pelukan mimpi seribu prajurit Siang yang sengit, sang sudra mencelat matanya Naik turun jakunnya seperti hendak menelan jagad raya Angin perdikan saksi gelap Menyingkap gaun pupus pisang tuannya “Katakan ki loh gawe, cahaya apa itu yang muncul dari selangkangan kenjeng ratu?” Sang sudra menghiba “Jangana terpedaya, cah bagus, kereta kencana, kursi gading tanah jawa!” Sang sudra berlari Mengejar gunung melintasi, sungai-sungai Menjelajah langit Menembus awan Merobek kabut Merampas nareswari Keris empu gandring haus darah menikam lambung pembuatnya Setip ganti penguasa, tanah jawa banjir darah. Puisi 3 PUPUH DUAPULUH DUA DAUN-DAUN CINTA : M. Nurgani Asyik Dari pucuk seulawah kutatap kotamu pilu Daun-daun pandan di ronce-ronce Bunga-bunga segar di tabur-tabur Gedung-gedung hancur, laut yang mengubur Cita-cita remuk, bintang-bintang hanyut Dengan ikram dan doa aku melintasinya Tangisku pecah menderas di reruntuhan sampah Jejak-jejak maulana tua membentang dalam gaibnya cintamu Di lantai baiturrahman ribuan ruh membentuk shaf Sisa-sisa jemaah lentunkan alfatehah Diamini para malaikat terbentang sajadah ke arah kiblat Memohon cinta meminta kasih merindu Di jalanan gelap menyergap ribuan pasang kaki yang beku Ribuan mulut yang kelu Ribuan mata yang hitam Ribuan tangan yang kejang Ribuan tangis yang miris Mereka tak bisa lagi berdoa Jejak-jejak mereka terdampar lumpur Seperti habis bertempur Dari jauh letusan doa pecah Menuju langit duka yang menggantung Suwung angkasa Daun-daun cinta meleleh Daun-daun cinta ziarah Daun-daun cinta takziah Tembang : Suluk kesedihan Musik bernada sedih Lampu fade out Yen mati ning karang abang Ludiro kang menyembur-nyembur Gagak rimang monio bangun Ana peteng dudu ratih Ana padang dudu raino Yoiku pepetenge antoko loyo Hung... Puisi 4 PUPUH DUAPULUH TIGA DAUN-DAUN CINTA : Huru hara Musik : Gaduh Lampu : Kerlap-kerli Memerah makin lama makin cepat Suluk : Sang soyo daluh raras ambiur Lintang gumedap tiitis nyo madyo ratih Lumantrang gandaning puspita Hung............... Karengganing puja niro hung......... Sang dwijoworo brengengeng Lir swaraning madu bronto Manusum sarine kembang.... Musik : Lebih ramai Eko bumi dwi sawah Tri gunung catur samudra Panca taru sad pangonan Sapto pendito Nowo dewo Doso ratu Hung... Satu bumi sawah menghampar gunung biru Samudra luas pantai menari belukar menyemak Delapan tangan dewa bergetar menjelma sepuluh ratu Ketika bumi menyempit sedaun kelor Orang-orang berdesakan kepanasan Terjadilah huru – hara Dimana orang jujur hancur Orang curang menang Sikaya selalu merasa kurang Simiskin membesarkan kesombongan Orang kuat menginjak Silemah menjilat Sikut kanan sikat kiri Yang penting bisa disikat Injak bawah jilat atas Yang penting bisa waras Katanya reformasi Tapi korupsi makin menjadi-jadi Katanya demokrasi Tapi selalu berbuat tirani Orang pandai sulit dicari Orang bijaksana semakin langka Orang bodoh minter-minteri Sumur pengetahuan kering Sungai maksiat banjir Pohon ilmu bertumbangan Orang besar main dagelan Politik jadi guyonan Jabatan jadi barang dagangan Mau jadi bupati sekian? Mau jadi kepala sekain? Mau jadi wali kota sekian? Ini untuk rakyat itu buat rakyat Sedikit-sedikit atas nama rakyat Tapi nyatanya rakyat tetap melarat Dicekoki mimpi-mimpi sekarat Siang makin garang Langit mengabut jaman kala bendu Banyak wanita kehilangan rasa malu Laki-laki mengumnbar nafsu dimana-mana Banyak gadis terkoyak kesuciannya Hingga banyak bayi lahir Tanpa ayah dianggap biasa “Amenangi jaman edan Ewu oyo eng pambudi Melu edan ora tahan Yen tan melu anglakoni Boya keduman melik Keliren wekasanipun Ndilalah kersaning Allah Bekja ning wong kang lali Lewih bekja keng eling lawan waspada”** Hidup di jaman edan Tidak ikut edan tak kebagian Yang haram sulit dicari apalagi yang halal Di mana-mana judi mengganas Sangat sulit untuk ditumpas Huru-hara makin menggila Penjarahan meraja lela Hukum terpasung di lemari kaca Koruptor kelas kakap berleha-leha Maling kelas teri dipermak sampai binasa Menjelang lingsir Huru-hara belum mau menyingkir Rakyat kecil sudah habis pikir Pejabat jadi ketar-ketir Politikkus Cuma bisa cengar-cengir Menjelang senja Huru-hara mereda Betara kala mondar-mandir di angkasa Hendak menelan bulan purnama Ada sosok bocah bajang sak kembaran Yang satu membawa gayung tempurung Katanya sanggup menguras lautan kekeruhan Sedang yang satu menenteng sapu sada lanang Katanya sanggup menyapu debu kekacauan Mereka berjumpa di simpang empat Huru-hara reda Semoga matahari esok terbit Hilang segala penyakit **Serat kala tida pupu tujuh Karya R. Ng. Ronggo warsito Medan, 1997-2009 Puisi 5 PUPUH DUAPULUH EMPAT DAUN-DAUN CINTA : Bima Suci Musik : Santai Lampu : Temaram Welulang reneka jalma Jalma ratu sudibyo kang darbeni Mesjid demak kawitane Wali songo kanganggit wayang Manungsa ginambar miring Kinaryo tepo palupi Bima masuklah engkau dalam telingaku Dengar dan dengarlah lautan yang berdebur Adalah samudra hening dalam kalbumu Dari kuncung sampai gelung Kau terus berlari mencari sarang angin Dan tetes air suci perwita sari Kau robek dua raksasa kau tikam naga nemburnawa Dengan ketajaman kuku pancanaka Bima engkau adalah aku Aku adalah engkau Antara ada dan tiada teruslah berenang kelaut hening Ning. Walau nafas hampir tuntas teruslah melintas Aku ada dalam genggamanmu Kau ada dalam genggamanku Jagadku dan jagadmu satu Bima mari kita berlayar Menembus samudra hening terdalam Medan, 2009