Arsip Blog

Jumat, 27 Agustus 2010

Hoesnizar Hood

Tak Kuasa Berpuasa atau Tak Puasa Berkuasa
15 Agustus 2010 09:58

“Pening kan membaca judulnya?” kawan saya Mahmud dengan enteng mengatakannya kepada saya. Dengan enteng pula saya jawab, “Di zaman memeningkan seperti ini, mana ada yang tak membuat pening. Kalaupun ada sesuatu yang tak memeningkan tapi bisa dipening-peningkan maka akan jadi peninglah dia”. Kening kawan saya itu serta merta berkerut, saya tahu dia pasti pening mendengar kalimat yang saya ucapkan tadi. Jangankan dia yang mendengarkannya saya yang mengucapkannya juga pening.

“Tak kuasa berpuasa itu artinya di bulan penuh berkah ini ternyata kita adalah golongan orang-orang yang dirugikan, Ramadhan itu seperti kapal besar yang menyinggahi dermaga dengan membawa tong-tong yang seharusnya kita isi dengan ibadah, seperti puasa, tadarus, sadaqah. Ternyata kita tak mampu, tak kuasa kita isi, kosong, hampa dan kapal itu akan berlayar lagi hingga tahun depan untuk menyinggahinya kembali, kalau kita masih bertemu dengannya, “ Mahmud menyampaikannya dengan fasih, dengan mimik serius. Saya pikir kawan saya itu memang punya potensi untuk menjadi seorang penceramah, seorang da’i nantinya. Saya terkagum-kagum dibuatnya.

“Macam orang-orang yang kata anak saya tak ada kepala tu ya Mud, “ saya mencoba mengajukan pertanyaan yang sebetulnya bukan pertanyaan tapi hanya untuk mempertegas saja. Kawan saya itu menganggukkan kepalanya. “Ya, ya, ya…betul Tok. Nampak kaki di warung kopi karena pintunya ditutup tirai, jadi kepalanya hilang, separuh badan saja, “ Mahmud berucap setengah tertawa.

Soal orang tak ada kepala itu memang sudah menjadi pemandangan umum di bulan Ramadhan ini, saya pikir sebaiknya tak usah ada kebijakan pemerintah yang mengharuskan untuk menutup tempat makanan itu apalagi ditutup dengan tirai, biar di buka saja. Kalau nanti ada ternampak kawan atau tetangga itu anggap saja tontonan, bukan cobaan atau godaan dan jangan dianggap pula tak menghormati orang yang puasa, karena puasa tak perlu dihormati, karena puasakan ibadah yang jalurnya khusus kepada Allah SWT.

“Dah tua tapi masih tak kuasa berpuasa, “ keluh Mahmud. Saya tak bertanya kepadanya, dengan siapa ingin disampaikannya keluhan itu tapi rasa-rasanya masih banyak juga yang mesti mendengarkan keluhan yang diucapkan Mahmud kawan saya itu.

“Tapi yang lebih menggerunkan lagi adalah tak puasa berkuasa, Tok. Macam tak sudah-sudah selalu saja dia ingin kekuasaan itu ada di tangannya dan kalau sudah berkuasa segala apa yang ada dilahapnya, “ Mahmud dengan suara paraunya mencoba memberikan pemahaman kepada saya. Dalam bayangan saya dengan cepat tergambar wajah-wajah penguasa negeri ini yang dalam bulan Ramadhan ini dilantik dan diangkat sumpahnya.

“Hebat ya Mud, ada 3 Bupati dan Wakil Bupati serta 1 Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan diambil sumpah dan janjinya di bulan Ramadhan ini. Mudah-mudahan negeri ini akan diberkahi, seperti peristiwa-peristiwa lain yang bertepatan dengan bulan Ramadhan yang rasanya selalu membawa kebaikan itu, “ ujar saya kepada Mahmud. Kawan saya itu memandang jauh ke hadapan kami. Hamparan laut terbentang, bayangan di bentangan laut Cina Selatan sana beberapa hari kemarin kabupaten Anambas telah memiliki kepala daerah yang definitif, meskipun dalam pelantikan itu tak sampai separuh hadir anggota DPRD-nya.

“Padahal itu sidang Istimewa Tok, peristiwa istimewa, peristiwa bersejarah sebuah kabupaten baru dan termuda di negeri ini mereka memiliki bupati definitif untuk pertama kalinya. Harusnya disambut dengan suka cita, bukan silang sengketa, “ Mahmud mulai meninggi nadanya.

“Sebaiknya angota DPRD-nya yang terhormat itu, tetap datang dan berbesar hati dengan kelapangan dada meskipun yang jadi Bupati dan Wakil Bupatinya bukan dari partai mereka, “ kata saya kepada Mahmud. “Ya, Tok, setuju, apalagi itu adalah hari pertama puasa, katanya kemarin kita sibuk berkirim SMS meminta maaf kepada semua orang, harusnya pintu maaf kita juga harus dibuka untuk semua orang , “ Jawab Mahmud bersemangat. “Mungkin kalau dosa politik agaknya beda dengan dosa biasa, Mud tak bisa di maafkan pakai SMS, “ tanya saya lagi. Mahmud kawan saya itu menggelengkan kepalanya, bukan pertanda dia tak tahu tapi mungkin ia ingin mengatakan “Entahlah…”.

Seperti saya juga menjawab “Entahlah, “ ketika Mahmud bertanya; “Katanya pada pelantikan itu pangkat yang disandang pak Bupati terjatuh karena kesalahan teknis perekatnya?”. Saya tak mau menjawab karena ternyata terlalu banyak jawaban yang telah keluar dari kejadian itu, mereka berandai-andai dan menganggap itu pertanda yang tak baik. “Ini bulan baik hari baik jangan berpikir yang tak baik, “ sergah Mahmud tiba-tiba. Terasa juga miris di hati, kabupaten muda, negeri yang kaya, dimulai dengan sengketa.

Kemudian Bintan, ini kabupaten paling tua dari seluruh kabupaten yang ada di negeri ini. Dulu namanya Kepulauan Riau, tempat orang-orang heroik yang bersandar dengan falsafah biar mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Meskipun kabupaten ini terasa seperti malu-malu laju pembangunanya. Beberapa hari kemarin di dalam bulan maghfirah ini dilakukan pelantikan juga. “Saya melihat wakil bupati lamanya dengan besar hati berdiri tegak di dalam dewan pelantikan itu, “ ucap Mahmud agak terburu-buru. “Meskipun mereka sempat jadi seteru, “ tambah saya. “Karena dia seniman makanya baginya tak menjadi beban, “ tambah Mahmud penuh keyakinan. Mendengar itu saya hanya terheran-heran.

Setelah itu kabupaten Lingga, negeri yang dulu kami beri tajuk Bunda Tanah Melayu, ketika pada saat itu orang hanya memandang sebelah mata kepadanya. Hutan tempat perburuan kayu, diisi para cukong yang bermulut manis dengan alasan membuka perkebunan tapi kayu habis lahan ditinggalkan. Padahal tidak hanya itu, negeri itu adalah negeri paling wibawa yang sesungguhnya, takkan ada Penyengat jika tak ada Lingga. “Apakah hari ini para cukong itu masih berkeliaran di sana atau ada cukong lain kini yang siap akan memporak-porandakan alam negeri yang dalam sejarahnya dulu memang selalu jadi rebutan dari berbagai kalangan, “ Mahmud berkisah.

Tapi saya pikir kini ia masih saja jadi rebutan juga, karena paling tidak, itu tampak ketika ada empat pasang calon kepala daerahnya bertarung di Pilkada beberapa waktu lalu. Dengan segala cara dan helah mereka, suka atau tidak suka tetap saja Pilkada hanya melahirkan pemenang sepasang pemimpin dan kemarin di dalam bulan penuh berkah ini juga mereka diambil sumpahnya. Bukan hanya bersumpah pada diri mereka dan Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan karena jabatan dan kekuasaanya tapi tanggung jawab menjaga warisan sejarah dan budayanya mestilah mereka lakukan juga. Jika tak ingin negeri itu menjadi Bilik 44 yang tak sudah dan Istana Damnah yang rebah.

Tanggal 19 nanti di 9 Ramadhan 1431 Hijrah akan dilantik Gubernur dan Wakil Gubernur negeri ini. Ini Gubernur kali kedua setelah lima tahun lalu negeri ini mendapatkan Gubernur pertamanya yang pada penghujung masa bhaktinya harus berakhir duka di penjara. 9 Ramadhan itu di tahun 1945 dulu adalah tanggal 17 Agustus hari kemerdekaan kita itu. Kawan saya Mahmud ingin sekali menitip pesan kepada Gubernur dan Wakil Gubernurnya nanti.

“Setelah dua hari kita merayakan detik-detik kemerdekaan, Bapak-bapak dilantik dan diambil sumpahnya, bukankah bapak-bapak juga yang selalu berteriak “merdeka, “ semoga kelak kita bisa lebih merdeka dari apa yang kita rasakan hari ini. Bukan lagi merdeka dari penjajah tapi merdeka dari kemiskinan, merdeka mengecap pendidikan, merdeka dari tekanan untuk mensia-siakan amanah itu. Merdeka dari tangan-tangan kotor birokrasi, merdeka untuk menjadikan Melayu payung sebenar-benar payung negeri ini. Bukan sekadar peneduh panas dan hujan saja, bukan untuk simbol arak-arakan saja. Merdeka dari kekalahan untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dan merdeka dari pemahaman mereka bahwa di mana bumi yang mereka pijak itu ada langit yang harus mereka junjung, bukan mereka jual”.

Siaran radio yang menyampaikan bahwa sebentar lagi pembacaan ayat suci Al-Quran membuat kami berpisah untuk sama-sama kembali ke rumah berbuka puasa. Senja turun memerah, saya masih ingat dengan empat wajah yang akan berkuasa itu, bayangan wajah yang saya dan Mahmud yakin mereka sadar bahwa kelak mereka akan puasa berkuasa juga. ***

Puisi-Puisi Jones Gultom

Deak Parujar


Awal mula mantra terbaca

pada pucuk-pucuk daun hariara

ketika langit koyak dan awan berpencar

oleh selendang Deak Parujar

sejak itulah nasib seperti layang-layang

terpancang di tanah terjulur ke langit

pada benang tiga warna



- sebatang hariara mulai tumbuh dari jantungku

akarnya menyesap dalam darah

dahannya menembus rongga-rongga

menyembul dari mulut dan mata

tangan menjelma ranting

yang di pundaknya bertengger manukmanuk hulambujati



di timur aku tertancap

menghadap barat Bakkara

sebagai prasasti, janjimu pada Yang Bermula-



kini retak sudah tanah ini

danaumu tak lagi berpenghuni

pulaumu miring ke kiri

adakah naga padoha menggaruk punggungnya

Medan 2010


Hutan dalam Kepala


Hutan telah tumbuh di kepala, menjelma mejadi mitos

Sebab kini hutan tak lagi kusaksikan rimbanya

Aku menciptakan hutan sendiri, dan melahirkan binatang

buas di dalamnya

Setiap malam serigala- serigala melolong tajam di sana

Juga ayam hutan yang menjerit, dikejutkan cahaya matahari waktu pagi

Kini aku menjadi pengembara di hutanku sendiri

Tak ada yang bisa mengusiknya

Tak ada pohon yang merintih karena deru gergaji

Tak ada bandang yang menyerang

Sebab kuciptakan hutan di kepala, alam raya berpijar di sana

Medan, Juni 2005

*

Laki- laki dan Gerimis

Tentang gerimis itu, barangkali dia yang lebih tahu

Karena sudah ditungganginya hujan yang berdentum, juga badai yang galau

Seperti membuka jendela tengah malam disibaknya rambutnya panjangnya yang basah

Ia tak pernah menyimpan gigil di kurus badannya

Selalu bersahabat dengan ngilu di tulangnya

Tentang gerimis pasti dia hafal betul

Karena di tubuhnya setiap tetes terakhir mengalir

Merembes di masam kulitnya

Barangkali setelah Gangga tak ada lagi sungai sebening hatinya!

Tentang gerimis itu pasti dia hafal betul baunya

ya, laki- laki itu!

Medan, Juni 2005

*

Akhir Musim Gugur

Mestinya di musim penghabisan ini, kita tak ikutan merontokkan kisah kita

Kutakut tak ada lagi yang memungut daun yang gugur di kebun

Mengalirkannya di samudera belakang rumah

Ketika pertama dulu kita menjadi penumpang di atas daun itu menembus laut samudera yang tak bermercusuar

Harusnya kita singgah di pelabuhan itu, membeli segala keperluan lalu kembali melaut

Bukan menurunkan jangkar lantas membalikkan kapal

Kini kukenangkan lagi laut itu, seperti mengingatmu mengapung di atas daun dan wajahmu penuh titik- titik gerimis!

Medan, Juni 2005

Kongres Sastrawan Sumatera Utara 2009 Jadikan Lokal sebagai Sentral


Kongres sastrawan digagas untuk membangkitkan semangat berkarya. Juga, menggugat peran pemerintah bagi berlangsungnya kesenian.

Sebagai ekspresi budaya, kehidupan bersastra mestinya tak lepas dari aspek pendukung lain, seperti filsafat, psikologi, sosial, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hubungan ini, sastra menjadi bentukan karya yang fleksibel. Kekuatan sastra justru ketika ia mampu bereduksi tanpa harus kehilangan jati diri. Dengan kata lain, integritas karya sastra menjadi “parsial.”
Karya semacam itu, biasanya justru mendapat tempat lebih lama dibanding karya yang hanya mengedepankan estetika secara tunggal. Kita bisa melihatnya pada masingmasing periode yang dibahasakan sebagai angkatan. Sebut saja ditandai dengan kelahiran angkatan 45 di mana sastra lahir sebagai satu bentuk perlawanan imajinatif terhadap kolonial.
Sastra di masa itu hadir dari referensi-referensi filsafat yang banyak bicara tentang eksistensi pribadi. Kebebasan yang dituntut sastrawan adalah pemerdekaan atas dirinya sendiri, bukan dalam kapasitas berbangsa. Teriakan ‘sendirisendiri’ itu lantas menggaung dan mempresentasikan diri sebagai teriakan bersama atas nama kemanusiaan. Namun esensi ‘teriakan’ itu masih mengawang dan baru terasa membumi pada angkatan 66 di mana para sastrawan menemukan bentuk kongkrit dari apa yang diteriakkan. Karya sastra menjumpai kontekstualitasnya. Hal ini berlangsung cukup lama—meski sempat diperdebatkan—sampai kelahiran angkatan 2000.
Semangat milenium yang menandai lahirnya angkatan 2000 itu, juga turut mempengaruhi psikologi masyarakat dalam memandang dan mencipta karya sastra. Nuansa silver telah mengusung lahirnya postmodern. Oleh sejumlah perempuan, melalui bahasa sastra, ide itu pun dikemas. Lahirlah, Dewi Lestari, Ratih Kumala, Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Dewi Sartika, dan Rieke Diah Pitaloka. Mereka lahir sebagai bentuk pemberontakan terhadap keterpasungan hak-hak perempuan. Mereka lahir tidak sebagai sastrawati, tapi sebagai perempuan yang memahami ideologi gender dan kesejajaran hak, lebih dahulu.
Psikologi masyarakat yang lepas-bebas dari tekanan politik dan ideologi, makin memberi ruang sebebas-bebasnya untuk berkarya. Lompatan-lompatan imajinasi terus berkembang melampaui batas ruang, estetika, dan makna. Tapi eforia itu kemudian menjadi perdebatan, ketika patriotisme para pengusung sastra lokal mencoba menegaskan jati diri Sastra Indonesia sebagai penanda kehadirannya di sastra dunia. Keinginan itu terkendala masalah regenerasi. Beberapa satrawan yang mencoba malah terjebak pemahaman yang dangkal terkait lokalitas itu.

Membangun Mental Intelektual
Agaknya perjalanan gelagat tema sastra itu merupakan hal terpenting untuk dibahas dalam diskusi-diskusi di tingkat lokal, termasuk pada Kongres Sastrawan Sumatera Utara yang berlangsung 28 Februari 2009 di Hotel Garuda Plaza. Sebagai daerah yang kerap melahirkan banyak sastrawan lokal, Sumatera Utara sudah saatnya tak terjebak dengan dinamika semu, tapi juga mesti cerdas mengemas sesuatu yang ‘berdenyut’ itu dengan kearifan lokal.
Di sisi lain, sentralisme yang dikhawatirkan itu, mesti dilihat sebagai publikasi yang menjanjikan, dengan tidak terjebak ke dalam jargon yang dibangunnya. Berbarengan dengan itu, penguatan mesti dilakukan di media-media lokal. Sudah saatnya menggunakan metode terbalik dengan menjadikan lokal sebagai sentral sembari melakukan maneuver (kepentingan publisitas) untuk skala yang lebih tinggi. Sentralisme tak akan terjadi, jika tidak dibudayakan sastrawannya sendiri, terutama yang di daerah.
Di samping itu, mental intelektual merupakan kebutuhan vital bagi sastrawan. Karya sastra harusnya hadir sebagai jawaban, atau setidaknya sebagai cerminan akan satu peradaban yang sedang terjadi. Maka sastrawan harus mampu memberikan pengertian dan pemaknaan terhadap situasi-situasi itu, sebagai hasil dari perenungan estetisnya. Untuk semua itu, sastrawan membutuhkan referensi.
Mental intelektual diperlukan sastrawan sebagai alat untuk menggali kedalaman intuisi tanpa harus mengabaikan estetika. Itulah yang membuat jago-jago sastra di tanah air ini tetap mendapat tempat. Di Sumatera Utara, jago-jago sastra yang kemarin hijrah ke Jawa itu, menggabungkan keduanya. Pada akhirnya mereka tak hanya dikenal sebagai sastrawan, tapi juga pemikir di zamannya. Toh sastra hanyalah sebuah pilihan dalam mengekspresikan segala pengetahuannya itu. Tak beda dengan para ilmuwan yang memilih metode try and error.

Peran Media dan Pemerintah
Saya kira media manapun akan sangat tertolong untuk menjadikan karya sastra sebagai kebutuhan bagi peningkatan marketing. Namun tema klasik yang merantai ini, akan terus mewacana bila karya yang diharapkan mampu mendobrak oplah itu, tak kunjung lahir. Juga tak menjadi alasan bagi sastrawan untuk mencipta karya berdasarkan perbedaan royalti di masing-masing media. Sejatinya, sama sekali tak ada hubungan kausalitas.
Karya yang baik tetap akan mendapat tempat sekalipun dihargai ala kadarnya. Peran media tak bisa dijadikan sumber nafkah sastrawan yang memiliki otoritas terhadap kelangsungan hidupnya sendiri. Yang dibutuhkan adalah tempat di mana dia bias ‘memamerkan’ karya-karyanya. Sama halnya dengan ilmuwan yang harus ‘bersusah payah’ mendapat halaman sebuah jurnal untuk mempublikasikan satu penemuan dan bahkan terkadang harus ‘membeli.’ Berapa kali ilmuwan harus menggelar demonstrasi semata-mata agar penemuan itu dilirik media. Dan ketika penemuan itu berguna bagi banyak orang, giliran media yang akan memberikan halaman sebebasnya—tentunya dengan royalti yang sudah diperhitungkan.
Kongres yang dihadiri ratusan sastrawan (seniman) Sumatera Utara dan diselenggarakan atas kerja sama Home Poetry, Ben M Pasaribu Institute, Laboratorium Sastra, dan Urban Arts Association ini, juga menyimpulkan perlunya menggugat peran pemerintah dalam pelestarian kesenian, seperti yang sudah dianggarkan dalam APBN maupun APBD daerah setempat.
Seperti disebutkan Sahril, selaku salah seorang pembicara, “Ada banyak peraturan yang bisa dijadikan rujukan, di antaranya: Permendagri No 52 tahun 2007 tentang penataan lembaga adat dan nilai sosial; Permendagri No 39 tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi kebudayaan, keraton dan lembaga adat; dan Permendagri No 40 tahun 2007 tentang pedoman bagi kepada daerah dalam pelestarian bahasa daerahnya.”
Lebih lanjut, Sahril mengungkapkan bahwa dia menyesalkan banyak seniman yang tak tahu menahu tentang peraturan itu. Karenanya Sahril mengajak peserta untuk bersama-sama menuntut pemerintah sembari selalu berusaha menghasilkan karya yang berkualitas.
Sementara Yulhasni, lebih menyoroti persoalan tanggung jawab lembaga-lembaga kesenian bentukan pemerintah, misalnya Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) dan Dewan Kesenian Medan (DKM). Mantan redaktur budaya ini beranggapan bahwa kedua lembaga tersebut dihuni bandit-bandit kebudayaan yang mengatasnamakan seniman, padahal lembaga-lembaga itu seharusnya bertanggung jawab terhadap kondisi kesenian Sumatera Utara.


Biodata Penulis

Jones Gultom lahir 26 Oktober 1982 di Perbaungan Sumatera Utara. Karya sastranya tersebar di sejumlah media cetak lokal maupun nasional, antara lain Harian Waspada, Analisa, Mimbar Umum, SIB, Global, Sumut Pos, Medan Bisnis, Kiprah (alm) Harian Sumatera (alm) Aplaus, Menjemaat, Suara Hati, Salus,Majalah MARGA Bianglala (Jakarta) Travel Club (Jakarta) Suara Pembaruan (Jakarta) Majalah TAPIAN (Jakarta) Trans Jakarta Majalah Seni dan Budaya GONG (Yogyakarta) serta di beberapa website sastra.

Karyanya terbit dalam beberapa antologi antara lain Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005) Jelajah (2006) Denting (2007) Medan Puisi (2007) Medan Sastra (2007) Menuai Hikma dalam Nestapa (2009)

Aktivitas kesenian yang pernah diikuti

Parade Teater Sumut 2002 dan 2003; Peksiminas VI di Yogyakarta 2002; Festival Teater Alternatif GKJ Awards di Jakarta 2003; Ekologi Art di Tuktuk, Samosir 2003; Peksiminas VII di Bandarlampung 2004; Kongres Cerpen Indonesia ke IV di Pekanbaru, Riau 2005 ; Pameran puisi penyair Sumatera Utara Harian Analisa 2006; International Poetry Gathering bersama penyair se ASEAN di Medan 2007 ; Temu Sastrawan Se- Sumatera di Taman Budaya Sumtera Utara, Desember 2007; Kongres Sastrawan Sumut 2009;.

Saat ini bekerja sebagai Redaktur Budaya di salah satu media Medan.

Alamat Taman Budaya Sumatera Utara Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan

No HP 0815 3328 8476

Komunitas HP Menjaga Pelestarian Dan Pementasan Seni Budaya

Hasan Al Banna

Di masa yang serba modern saat ini, apakah segala hal yang mengandung masa lalu (tradisi) masih diperlukan? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan yang demikian. Di satu sisi, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang senantiasa, bahkan begitu pesat pergerakannya. Di lain sisi, masyarakat tidak lahir dari budaya yang kosong.
Namun, tidak dapat pula dibantah bahwa kearifan tradisi kerap pula diabaikan masyarakat modern. Segala hal yang sangkut-menyangkut dengan tradisi dianggap sekedipan mata. Padahal, ibarat pakaian, tentu budaya masa lampau tidak serta merta harus dikenakan secara terus-menerus. Dengan kata lain, masa lampau (tradisi) adalah harus tetap dilestarikan.
Menjadi gaun yang tetap tergantung di lemari kemodernan, yang dapat dipakai sekali waktu. Namun, andai tiba masa mengenakan baju budaya masa lalu, sudah barang tentu tidak sekadar bertengger di tubuh, tetapi ruhnya menyusup juga sampai ke jiwa pemakainya. Inilah sebenarnya hakikat pelestarian!
Pementasan seni kolosal berjudul “Cinta Tanah Air” karya/sutradara M. Raudah Jambak hadir dalam wujud seni perunjukan kolaborasi, yang digelar untuk mengajak masyarakat (penonton) sejenak mengenakan pakaian masa lalu (tradisi). Melalui pertunjukan “Cinta Tanah Air”, masyarakat memiliki peluang untuk berkaca pada kearifan masa lampau.
pementasan seni “Cinta Tanah Air” membentangkan kenyataan bahwa para leluhur Indonesia sejak zaman perjuangan, masa kemerdekaan dan zaman sesudahnya senantiasa menjunjung nilai-nilai keindonesiaan yang satu meskipun berangkat dari keberagaman. Seperti yang terungkap dalam narasi pertunjukan, bangsa Indonesia (dalam konteks lokal adalah Sumatera Utara) ditumbuhi ‘tanaman’ yang penuh ragam warna.
pementasan seni “Cinta Tanah Air” melibatkan tiga dimensi seni pertunjukan sekaligus; teater, musik dan tari. Tidak mengherankan pula, pertunjukan ini melibatkan tiga kelompok yang mewakili dimensi tersebut. Komunitas Home Poetry (M. Raudah Jambak, dkk) menyumbangkan hasil cipta seni yang mewakili dimensi teater. Semula kelompok ini tekun berproses di ranah sastra, tetapi dalam perjalanan prosesnya, terlibat juga dalam dunia pertunjukan (teater).
Lantas, tari merupakan unsur yang termasuk penting dalam pementasan seni “Cinta Tanah Air”. Untuk urusan ini, Citra Budaya Production ikut andil menyebarkan hasil ciptanya ke atas panggung. Citra Budaya Production yang merupakan kelompok tari yang eksis melestarikan unsur tradisi dalam setiap penampilan.
Sesungguhnya, pengabaian terhadap ‘penyesuaian’ tersebutlah yang kerap menggagalkan unsur tradisi untuk tetap diterima masyarakat. Tidak dapat dihindari, pelestari budaya harus pandai-pandai menarik-ulur keteguhan unsur leluhur dan tuntutan kemodernan.
Inilah muara dari Pementasan seni dan Pelestarian Seni Budaya kali ini, seperti yang turungkap dalam selebaran pertunjukan, “Kesenian merupakan fitrah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Panggung merupakan jagad. Menjadi salah satu pilihan pemersatu, perekat elemen-elemen yang tumbuh dan berkembang pesat. Baik tradisional maupun kesenian yang bermotif modern.”
http://waspadamedan.com/

Medan Contemporary Art Festival 2010




Medan Talk On June - 4 - 2010

Anak muda dan seni kontemporer. Dua elemen tersebut jarang bertemu dalam sebuah aktivitas di Medan. Menyikapi kondisi ini beberapa pekerja seni muda Medan yang biasa beraktivitas di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) menggelar Medan Contemporary Art Festival (MACF) 2010, Jumat (4/6) dan Sabtu (5/6).

Ragam bentuk pertunjukan seni kontemporer akan dihadirkan selama 2 hari di Panggung Terbuka dan halaman TBSU. Mulai dari seni drama, musik, rupa, sastra, sampai tari. Tak ketinggalan pemutaran video seni kontemporer dan seminar sastra kontemporer.

“Tujuan kegiatan ini untuk mengembangkan dan membina aspek kreatifitas seni khususnya yang berkenaan dengan dunia eksplorasi dan eksperimental sejalan dengan laju perkembangan penciptaan seni dengan tidak meninggalkan bentuk-bentuk nilai yang mengandung khasanah kesenian tradional,” terang Pimpinan Produksi MACF 2010, M. Andrian Manalu.

Kelompok seni Medan yang akan mengisi pagelaran 2010 ini antara lain Air In Art, Sahala, Komunitas Home Poetry, dan Komunitas Musik FBS Unimed. Dari luar Medan, lanjut Andrian, yang akan mengisi panggung pertunjukan adalah Anak Seni (AS) Binjai, HMJ Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Dance Community Pekanbaru, Teater AIR Jambi, dan Komunitas Lampung.

“Tiga seniman dari Singapura dan Medan juga akan hadir sebagai bintang tamu kegiatan ini. Yakni Murahmansyah, Hardoni Sitohang, dan Winarto Kartupat,” sebut Andrian.

Ia melanjutkan, melalui kegiatan ini diharapkan pemahaman akan seni kontemporer semakin membumi sehingga dapat mendorong keperdulian masyarakat terutama kaum muda Medan dalam mengapresiasi dan mencintai kesenian sebagai media pembentukan karakter dan perilaku.

Beberapa pertunjukan yang akan ditampilkan pada MCAF 2010 ini adalah Anak Pisang (koreografer Dizah), Bingung (koreografer Faisal Kencol), None (koreografer Syafrizal), monolog Pengantin Kilat oleh Bunda Djibril, Elastis (komposer Ade Long), dan Fantasi Kehidupan (komposer Zumaidi).

Source: Medan Contemporary Art Festival 2010 | Berita Cerita Kota Medan http://www.medantalk.com/medan-contemporary-art-festival-2010/#ixzz0xs071xUr
Copyright: www.MedanTalk.com

Komunitas HP Galakkan Remaja Cinta Puisi

Minggu, 28 Maret 2010 16:18

Starberita-Medan, Menjadi penyair bukanlah milik elit sastrawan, ia harus juga berdaya di masyarakat umum, bahkan di masyarakat jelata sekalipun. Berdasarkan pemikiran inilah, komunitas HP (Home Poetry) menggelar acara Lomba Baca Puisi yang diperuntukkan untuk umum dengan batasan usia 15-20 tahun.

Ketua panitia penyelenggara lomba, Djamal mengatakan Komunitas HP adalah sebuah komunitas non-profit yang berorientasi membentuk dan mencerdaskan generasi melalui dunia literasi.

Lomba Baca Puisi ini akan dilaksanakan pada 24-25 April 2010 bertempat di Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan N0 33 Medan. Para peserta lomba nantinya akan membacakan puisi yang telah disediakan oleh panitia.

"Mereka terlebih dahulu memilih puisi yang telah disediakan panitia untuk kemudian dibacakan di tengah-tengah publik agar semua orang tahu bahwa pemikiran kritis yang terlahir dalam bentuk puisi juga bisa dilakukan oleh siapa saja," jelas Djamal kepada Starberita, Minggu (28/3).

Ditambahkannya lagi, kegiatan ini adalah sebagai upaya membentuk karakteristik bangsa yang kreatif, mencintai keindahan dalam karsa, cipta dan karya puisi. Selain itu juga untuk melahirkan seniman (penyair) dengan talenta baru yang diharapkan nantinya dapat menjadi agent of change (agen perubahan).

Sementara, peserta diutamakan bagi mereka yang berdomisili di Sumatera Utara. "Salah satu persyaratan peserta lomba adalah mereka yang berdomisili di wilayah Sumatera Utara," tandas Djamal. (YUS)