Arsip Blog

Kamis, 17 Juli 2008

PUISI PUISI DEWI MAZLINA

KESETIAAN PAGI

embun pagi berkelana
menanti malaikat kecil bersahaja
tertutup racun dingin di selimut

ayam berkata,bangunlah sang dewi
lirikan memejamkan mata hati
nyenyak terus bermimpi

sang waktu tak henti bertanya
dalam penyebaran detik kepastian
tersentak terlambat diraih
kau telah pergi bersama pagi

Medan, Mei 2008


ALIRAN YANG TAK TERDUGA
air danau yang keruh
menganak sungai
menghapus segala dahaga

mendamaikan dunia
menbawa senyum bagi penyair danau
juru kunci pada anak sungai

ia juga haus rindu gemercik air
pada alam danau yang membawa sunyi
yang menghangatkan dan menyejukkan

pada setiap hati yang singgah di dermaga penantian

Medan. Mei 2008



KETEGARAN DI TENGAH BADAI

tenang,
ketakutan dalam dirimu: obat

kebimbangan yang kau cari?
biarkan kusutnya berlalu
coba lihat ke bawah

sakit terukir dalam pena kepedihan
keraguan dalam rindu bahagia tak diraih

tangislah
tertawalah
pahit perjalananmu akan berbuah manis

Medan, April 2008



KENANGAN LUMPUHNYA SOFA

tertimpa di atas jeritan diam
lemas di sekujur tubuh
persendian lapuk tercecer di atas lantai
rayap menerobos daging yang lembut

tolong
badan yang tak berdaya lagi
patah tulang merobohkan senyum manusia
pada kulit yang penuh debu terasing di gudang

Medan, April 2008



CINTA YANG TAK BERUJUNG MATI

terbujur layu
termenung diam
terbaring lemas

ayo bangun, hani
jangan hentikan langkahmu
tunjukkan kobaran semagat mu yang sempat hilang
biarkan kuning di kulit putihmu

tak usah terus kau resapi
betapa pahitnya butiran obat yang ada sakumu
raih terus dan kejar masa depanmu

inilah hidup
fatamorgana dunia
yang tak akan pernah usai

itu pasti
walaupun ku tak disisimu lagi
ku akan titipkan kata-kata indah
yang terbungkus di kotak obat

dalam setiap canda tawa pasrahmu
ku masih mengenang alunan
nyanyian sempurna di petikan gitarmu


Medan, Juni 2008

VIRUS KEMISKINAN

sesak nafas kematian
terhimpit pusat kehidupan
gumpalan kesengsaraan di kantong nasib

mampir di persendian ekonomi
berada diantara kulit dan tulang
tak pandang buluh siapa dirimu
melekat di jantung kota

Medan, April 2008


LUKISAN HIDUP NENEKKU

putih tak terhitung di kepalamu
keriput di sela-sela kulit halusmu

bungkuk
pincang
goyangan tarian tuamu

menginspirasikan aturan hidup
pada tangan-tangan akalmu

ku lihat hasil kreatifitasmu
lincah di kursi
keberhasilan anakmu

kau bentuk baju sutra yang membalut tubuh mereka
wagian parfum di selah pakaian mereka

kenangan saat kau susun istana kecil
mungkin kini kau sudah berada di istana nan megah

kau hapuskan kejayaan itu
demi anak-anakmu
isyarat kasih hati yang tak terhingga


Medan, Juni 2008



BERITA DI GELAP NAN SEJUK

wahai alam
dimana persembunyian intan
telah di cari kepingan emas di sudut dunia
tiada yang mampu menerangkan hidup

sapa tak terdengar oleh malam
riak air hempaskan kerikil kecil
pucuk daun dihembus angin
terbiarkan layu

isak tangis terhimpit sesak
dalam hitam penyesalan
bangkit bersama jeruji besi
inikah hikmah hidup di penjara?

Kau berikan air mata suci
seakan Kau beri aku oksigen murni
kesetiaan Mu di dingin malam ini

Medan, Juni 2008


TERLINTAS BAYANGAN DIRI

matahari menyinari bumi namun ku tetap dingin
sendiri menyelimuti hati, ku tetap ramai
karpet kesabaran terbentang
di tengah tamparan tangan kehidupan

angin memberiku kesejukan
api juga mengibaskan hawa panas
mungkinkah ku menjulurkan bisa kemaksiatan?

gunung letih bernafas yang mengeluarkan pesona lahar
laut bosan bergelombang menelantarkan anak pantai
bolehkah ku panjatkan kemelut kerinduan kepada Mu ?

tersangkut doa di kantong pikiranku
rindu terhampir di sudut pencarian diri

terimakasih Tuhan
tiada seorang jua yang bersukur tanpa Kau beri ia kebaikan
tiada yang mampu bertahan hidup tanpa Kau beri ia pandangan hidup
tiada yang sempurna tanpa Kau beri ia ketidaksempurnaan
pengetahuan tersembunyi dalam ilmu diri
yang dipersembahkan
bagi orang-orang yang berakal

Medan, Juni 2008


AKIBAT KEEGOISAN RAJA DUNIA
gagah di atas kursi merah
tangan palu menentukan jagad raya

menyesatkan sang pertualang hidup
bisakah aku juga egois?
untuk menyambung nafas keluargaku

yang tercecer di pinggiran kota
melihat grafik harga sembako
yang tak mungkin turun

air mata pun tak terbendung
kami hanya bisa bertahan
di rumah-rumah kemiskinan

Medan, Juni 2008

KAU TAK LAGI MENEMANI DUNIAKU
sejuk
kipasan tangan-tangan angin
saat kita bercerita tentang alam

pengalamanmu sumber inspirasi
kesehatan hidup kota
terlihat dari rambutmu yang menguning

kaulah pahlawan lingkungan
yang pantas mendapatkan
piala Adi pura


kenangan
setiamu melindungi kesegaran udara
untuk kehidupan dunia
yang bisa ku ingat

teriakmu pada dunia
“Global Warming”
sebagai pesan terakhir cintamu

Medan, Juni 2008

PERGERAKAN ANAK INDONESIA
merah putih berkibar di tubuhmu
melayang bebas di angkasa luas
tarian nusantara di panggung kejujuran

langkah peperangan terbentang
hilangkan benang hitam
yang nodai bendera pusaka

pada sang pemimpin generasi
perjuangkan kursi putih
inpian bangsa Indonesia

Medan, Juni 2008

TAK ADA YANG MENGAJARI MEKARNYA KECUALI ALAM
keadaan alam yang memakasa
bunga abadi seegois dan seanakis inikah?
ia hidup dengan liarnya
tak menyadarkan
ia pada pesona bunganya
hingga begitu banyak lebah

yang ingin mengentup pesona sarinya
ah,
isyarat tukang kebun pada pecinta alam
hidupnya tak menghambat percampuran serbuk sari lain
musim bunganya pun
tak ada hitungan waktu baginya
yang menghiasi pesona sudut taman
di balik keabadian dan keliarannya
ia menjadi bunga sempurna
Medan, Juni 2008

MENCARI CINTA DI KOTA METROPOLITAN
dimanakah cinta suci?
Kau turunkan
saat mereka sibuk dengan imaginasi nafsu
yang berputar di dasar hati dan pikiran
hingga tak hampir risau keagungan Mu
dosakah cinta ini?
saat air kehidupan
selalu mati sia-sia
di dinding jeruji kepuasan
pada hiruk pikuk kota
yang melepaskan kepenatan
data-data dunia yang selalu online
sudah begitu banyak tangisan malam di ranjang penyesalan
masih terbukakah pintu pengampunanMu
saat sapu tangan dosa selalu teteskan noda-noda hitam
merisaukan penghuni neraka
karena malaikat tidak pernah lupa mencatat
bau busuk di tangan kiri mereka
walaupun mereka tak menyadarinya.
Medan, Juni 2008

PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK

TOLONG TUAN

Kertas ini masih kosong, Tuan
Tolong isikan dengan beberapa hurufmu
Agar aku dapat rangkaikan kata-kata
Menempatkannya pada lukisan kalimat
Yang paling indah

Aku memohon



Masihkah

Masih juga kau tangisi huruf-huruf yang
Bertebaran itu, Kekasih
Apa sebenarnya yang kau cari?
Padahal begitu banyak kata yang terlontar
Begitu hibuk kalimat yang tergambar

Ah, kau

Tentang Hujan Daun dan Kau

sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
di setiap titik peron-peron lengang



baris-baris takdir menghadirkan bau amis
meranting sepanjang jalanan bercabang

dan daun-daun yang melayang rebah



sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas
sepenuh tangis memeluk risau



sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
dan daun-daun yang melayang berpeluh

membebaskan jejak-jejak perjalanan

Rabu, 16 Juli 2008

Untuk Ibu yang Entah Dimana

Puisi Djamal


Untuk Ibu yang Entah Dimana

Sederet tangis bayi pecah di deretan sampah
bersama resah yang semakin menusuk
bertemankan bau semakin membusuk

“dimana ibu” dalam tangis sang bayi
dalam kesunyian ibuku berkata
“ah, kau bukan anak yang tercipta dari seorang saja
sebab telah beribu perjaka yang pernah tidur tepat di sisiku
kau bukanlah anak yang kuidamkan

“ibu, aku tak ingin hadir ke dunia ini” kelak,
resah juga sunyi akan menggelayuti
juga malamku berselimutkan dedaun kering
berbantalkan asa yang tak pernah membasah

pernah aku bertanya kepada entah
dalam permbaringan kebusukan
“dari rahim siapa aku terlahir”

tapi, aku berharap
dari rahim yang suci aku terlahir

Medan, 2008


Menyimpan Resah

Tuhan, aku slalu menanti rembulan
bersinar setiap saat

pada resah aku memintal kata yang kian membuncah
berharap ada seorang gadis merajut angan
bersamaku, walau berdarah

Tuhan, kuharap hadirkan ia
dalam denyut gelisah malamku


Medan, 2008

Maaf, Hari Minggu Bulan Ketiduran

Oleh: Hujan

Pernah suatu masa
Ketika matahari begitu dipuja-puja
Semua alam begitu berharap pada sinarnya
Sekalian alam menjadi gelap dengan sirnannya

Masa itu, masa terang benderang, gilang gemilang
Matahari begitu disanjung semua orang
Peduli setan mereka di sahara, atau antartika
Semua punya salam takzim buat yang sama; surya

Pernah suatu masa
Ketika matahari menjadi satu-satunya sumber kekuatan mahluk bumi kita
Sinarnya dibagi rata, yang di timur maupun di barat, di selatan maupun utara, semua mendapat porsi, meski ala kadarnya

Suatu masa
Matahari jadi dua
Bukan bayangan cermin, atau pantulan di genangan sisa hujan,
Tapi benar-benar dua, kembar, meski tak identik.

Suatu masa kelak
Matahari pertama hanya akan menjadi dongeng bagi kanak-kanak
Tidak pernah terlihat, dan hanya hidup di dalam ingatan orang-orang yang mengenal persis matahari sebenarnya.

Kelak
Meski pada malam hari, manusia tetap bisa merasakan terang benderang, meski semua tumbuhan bisa berproduksi tanpa bantuan dan campur tangan matahari, tapi kehadirannya akan kembali dinanti-nanti

Suatu masa
Bu guru berkisah pada kami, generasi baru yang lahir dari jiwa-jiwa peragu, tentang legenda matahari

Di dalam kisahnya, bu guru berusia 40, menggambarkan wujud matahari; matahari itu bundar, warnanya kuning, sepasang matanya terus mengawasi manusia, serta bibirnya tersungging membagi sinarnya dengan iklas, tanpa berharap, suatu hari ada manusia yang akan membalas.

Suatu malam aku bermimpi
Di dalam mimpi, aku pun menggambar matahari. Tidak seperti yang dikisahkan ibu guruku, aku menggambar matahari persis seperti buah dadu.

Hari ini,
Yang kupahami
Matahari hanya satu
Tidak dua, tidak tiga, tidak empat
Tidak lima
Tidak pula enam

Pada siang hari di hari minggu
Dunia tetap gelap
Sebab matahariku ikut bertanggang, menonton piala Eropa di televisi.

Palmerah, 22 Juni 2008

Selasa, 15 Juli 2008

FARIDAH JAMILAN

FARIDAH JAMILAN

Di belokan bumi kuberhenti
Menatap waktu kian bergulir
pepohohonan bercerita kepada alam
atas kesakitannya
tak sedikit air matanya terurai
sesat raganya telah renta
cermin matanya tampak goyah
menghadapi ulah zaman
satu demi satu rambutnya gugur
diikuti hujan yang tak pernah mendarat di bumi
tanah retak dan jiwa manusia pun rusak

(2008)

Hari ini berselimut soal
nan tinggi harapan kugantungkan
ingin meraih cahaya
yang selama ini aku masih semu
ingin aku membuka lembaran
yang selama ini disembunyikan waktu
sekarang semua telah dimulai
pintu pembalasan telah dibuka
dan yang aku inginkan keberkahan
dari doa-doa orang yang aku sayang

(2008)