Arsip Blog

Senin, 31 Maret 2008

MEDITASI IN ENGLISH

If we search for the meaning behind these words, they mean that we must do a lot of things in a very short time. Say it with flowers if you like, with love if you are happy, say it with happiness, because tears are like pearls to us. We are telling the same stories, we are sharing the same dreams, disappointment or happiness, the tears our common bond (Meditasi Jambak, M.Raudah). Every story ultimately will come to the tears, and so too to this country. Twice Nias Island has experienced very terrible disasters - that is why the people of the island want to get out from the place that was given by God to them. This is the drama of their lives. The people in this island think that the disasters that have happened are signs that the island will sink. This thought came about when they heard that the earthquake and tsunami would wash away the island. We do not know for sure what will happen. These statements have come from scientists from abroad and in Indonesia. There must be a question we need to ask - is it because of concern for Nias, or are people using these moments for political or economic gains or monopoly

SAIFUL AMRI

ada anak baru
datang ke rumahmu
tak punya kacamata
tak punya apa-apa

tanyakan dia
apa maunya
sederhana saja
punya apa saja
Saiful Amri
Jalan Sering.Gang Umar, No.7, Medan
26 Juni 1966
Liku-liku laki-laki
selalu dibunuti 2 mahluk mungil
selalu ditunggui orang batak di rumah
penjaranya di sekolah

Sabtu, 29 Maret 2008

Puisi Djamal

Larik Menjerit di Tengah Kota

Panas siapakah yang terik antara kita,
selain bara yang terus membakar muka
sesempat apa kau berkelana bersama air mata?
lalu kau merajai kota
di tengah rintik hujan kau masih saja meraja
bocah telanjang tanpa memakai terompa
terbakarlah kulit, terkelupas membentuk prasasti tubuh
panas siapakah yang terik antara kita?
kecuali air mata yang terus meminta doa

Tbsu, 2008

Selasa, 25 Maret 2008

PENTAS PENYAIR SUMATERA

Pentas Penyair Sumatera
Sabtu, 28 Juli 2007
SEKUPANG, METRO: Malam ini, komunitas seni Rumah Hitam akan menggelar pentas penyair se-Sumatera. Selain mendatangkan penyair dari sembilan profinsi yang ada di Sumatera, malam itu juga direncanakan launching rumah baca Raja Ali Kelana. Tarmidzi, pengelola rumah baca Raja Ali Kelana, Kamis (26/7) mengatakan, pembukaan pentas penyair yang bakal digelar selama dua hari itu dihadiri oleh Aida Ismeth selaku pembina Rumah Hitam.

Kehadiran rumah baca itu sendiri, sambung Tarmidzi, bisa membuka wawasan publik Batam tentang kesenian dan pengetahuan umum lainnya. “Saat ini sudah ada empat ribu buku,” katanya.

Buku-buku biografi, politik, hukum, humaniora dan ekonomi ini, tentu saja tak dipinjamkan secara cuma-cuma. “Saat ini belum digratiskan, sebab belum ada dana untuk menutupi biaya operasionalnya,” jelas Tarmidzi. Namun, tidak tertutup kemungkinan untuk menggratiskan biaya peminjaman buku itu. Saat ini, untuk sebuah buku dibandrol Rp2-8 ribu per buku, sekali pinjam. (izo)

PESTA PENYAIR INDONESIA

PESTA PENYAIR NUSANTARA 2008
Sempena The 2nd Kediri Jatim Internasional Poetry Gathering
A. DASAR PEMIKIRAN
Pada awal tahun 90-an tercatat suatu fenomena yang menarik, yakni
munculnya kelompok-kelompok pegiat sastra di berbagai daerah di
Indonesia yang menempatkan diri sebagai "sastra pinggiran" (pedalaman
dan emperan), atau mengidentifisi diri dengan kota-kota kecil.
Lahirnya berbagai komunitas sastra tersebut secara langsung maupun
tidak langsung merupakan gejala penolakan terhadap pemusatan kesenian
di kota-kota besar, seperti Jakarta dengan TIM dan Dewan Kseniannya.
Kini aktifitas sastra bisa digelar di sembarang tempat, bahkan di
rumah pedesaan atau pedusunan sekalipun. TIM dan DKJ-nya kini bukanlah
satu-satunya sumber legitimasi kepenyairan Indonesia.
Kemudian, awal dari peta kesusastraan Nusantara terkini bermula dari
gagasan, ide, pemikiran brilliant lewat penyair dari Medan, dengan
mengambil tema Pesta Penyair Indonesia Sempena the 1st Medan
International Poetry Gathering pada 25–28 Mei 2007. Dalam acara
tersebut selain penyair Indonesia, teman-teman penyair dari Malaysia,
Brunai Darussalam, Singapura, Thailand turut menyemarakkan.
Di prakarsai oleh Laboratorium Sastra Medan sebagai pengendali acara
tentunya menjadi awal gerakan kebudayaan & kesusastraan yang
menancapkan tonggak peta kepenyairan di daerah-daerah, dan berarti
sentral kepenyairan terkini tidak hanya terdapat di Jakarta, melainkan
sudah merebak ke seluruh penjuru pelosok Nusantara.
Dr. Muklis Pa'Eni (Dirjen Nilai Budaya, Seni & Film Depbudpar RI)
dalam kata sambutannya mengatakan bahwa "Keberhasilan penyair dalam
memperbaharui dan sekaligus memperbaiki fenomena kehidupan melalui
karya-karya puisi (syair-syairnya) adalah teori penyemangatan dan
penyiasatan terhadap tantangan kehidupan, … syair-syair yang mampu
jatuh ke ruang terdalam perasaan penikmatnya akan berubah menjadi
gunung kreatifitas atas badai inspirasi yang dapat di desakkan kemana
saja, untuk menerjangi keterjalan perjuangan hidup yang riil".
Kalau kita menengok ke belakang sejenak bahwa mayoritas pegiat sastra
di berbagai daerah tersebut memiliki ciri yang sama, yakni lokal,
bersifat nirlaba, dan merupakan usaha swadaya masyarakat, artinya
kelahirannya dari inisiatif para pengarang sendiri, bukan dari
pemerintah atau Dewan Kesenian. Jenis dan tempat kegiatan, teknik
penggandaan dan distribusi penerbitan juga relatif berskala kecil dan
sederhana.
Kondisi demikian memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat
banyak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sastra, serta memungkinkan
sastrawan lebih luas berkreasi. Sayangnya, justru karena keberadaan
komunitas yang lokal dan sifatnya yang informal, aktifitas sastra
tersebut kurang terdokumentasi dan perhatian dari pemerintah. Padahal
fenomena ini sangat penting, karena menunjukkan dinamika bersastra
secara riil, masih terpeliharanya kegairahan dan kebebasan
berekspresi, serta tumbuhnya kesadaran masyarakat sastra memprakarsai
pengembangan sastra melalui pendidikan informal.
Seperti teman-teman penyair di daerah, pada akhir April 2007, Dewan
Kesenian Blitar Jawa Timur telah mengadakan "Festival Sastra Buruh";
Laboratorium Sastra Medan menggelar "Pesta Penyair Indonesia" (25–28
Mei 2007); Dewan Kesenian Kota Kediri (DK-3) Jatim menggelar "Festival
Seni Kali Brantas" (7–15 Juli 2007); "Ode Kampung Jilid #2 mengadakan
"Temu Komunitas Sastra se-Nusantara" pada 20–22 Juli 2007; dan mungkin
masih banyak lagi aktivitas yang monumental digelar oleh kawan-kawan
seniman, budayawan, dan sastrawan di daerah.
Dalam pada itu sudah merupakan konsekuensi logis bahwa hasil keputusan
Musyawarah Penyair Nusantara di Garuda Palace Hotel Medan Sumatera
Utara pada 28 Mei 2007 untuk kita tindak lanjuti (follow up). Diantara
keputusan Musyawarah Penyair di Medan antara lain sebagai berikut :
1. Nama acara tetap pertama penyair selanjutnya adalah Pesta Penyair
Nusantara.
2. Di bawah nama acara tersebut dicantumkan "Sempena the 2nd Kediri
Jatim International poetry Gathering".
3. Waktu penyelenggaraan acara adalah setiap setahun sekali; bulan
Mei-Agustus.
4. Penyelenggaraan Pesta Penyair Nusantara Tahun 2008 adalah Kediri Jatim.
5. Struktur kepanitiaan terdapat dalam lampiran.
Untuk itulah maka, Pesta Penyair Nusantara 2008 di Kediri Jatim
sebagai jembatan gerakan pemetakan kesusastraan Nusantara mencapai
kesempurnaannya.

A. TUJUAN
1. Sebagai forum silaturrohim dan komunikasi antara penyair se-Nusantara;
2. Sebagai ajang kompetisi Festival baca puisi se-Nusantara;
3. Sebagai wahana apresiasi penyair-penyair se-Nusantara;
4. Sebagai wadah pembentukan Komunitas dan pemetakan kesusastraan
Nusantara;
5. Sebagai forum tertinggi dalam Musyawarah Penyair Nusantara;
6. Memperoleh gambaran yang terperinci dan akurat para pegiat sastra
di Nusantara.

B. PANITIA
Penyelenggara acara ini adalah PANITIA ADHOC yang di bentuk oleh forum
Musyawarah Penyair Nusantara Sempena The 1st Medan Internasional
Poetry Gathering pada 28 Mei 2007 bertempat di Garuda Plaza Hotel
Medan Sumut. Sedangkan Panitia Pelaksana adalah Khoirul Anwar delegasi
Kediri Jatim membentuk Panitia Lokal kerja bareng bersama Tim Event
Organizer (EO) Sanggar Sastra "Ki Ageng Mulang Sara'" Cakarwesi
Pesantren Kota Kediri, Forum Komunikasi Pemuda Pelopor (FKPP) Propinsi
Jatim dan di dukung oleh DK-3 Pemkot Kediri. Susunan panitia
terlampir. (Lampiran 1).

C. WAKTU & TEMPAT
Pelaksanaan Pesta Penyair Nusantara 2008 "Sempena The 2nd Kediri Jatim
Internasional Poetry Gathering besok pada :
Hari/Tanggal : Sabtu tanggal 26 Juni-Sabtu tanggal 02 Juli 2008
Tempat : 1. Padepokan Sastra "Ki Ageng Mulang Sara" Kota Kediri
2. Taman Budaya Sumber Cakarwesi Kota Kediri
3. Insumo Palace Hotel Kediri
4. Gedung STAIN Kediri
Acara : 1. Festival Baca Puisi Nusantara 2008
2. Seminar & Dialog Sastra & Budaya Nusantara
3. Pameran Seni Rupa, Puisi & Potret Penyair
4. Musyawarah Penyair Nusantara
E. PESERTA
Peserta Pesta Penyair Nusantara 2008 "Sempena The 2nd Kediri Jatim
Internasional Poetry Gathering adalah :
1. Peserta Khusus & Undangan adalah Para Penyair yang ditentukan oleh
Panitia di wilayah Asean (Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam,
Singapura, Thailand, Kamboja, dan Laos);
2. Peserta Utusan/Delegasi adalah Penyair/sastrawan yang dikirimkan
oleh Pusat Bahasa Pemerintah Propinsi/Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia;
3. Peserta Utusan/Delegasi adalah Penyair/sastrawan yang dikirimkan
oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Pemerintah Propinsi/Kabupaten/ Kota
seluruh Indonesia;
4. Peserta Partisipatif adalah peserta umum yang terdiri dari Pengamat
Seni Sastra & Budaya, Akademisi, Mahasiswa, Pejabat Eksekutif &
Legislatif; Pendidik, Profesi; dan Umum;
5. Peserta Festival Baca Puisi se-Nusantara 2008 adalah wilayah Asean
(Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Thailand, Kamboja,
dan Laos).
Catatan :

1. Seluruh peserta yang akan hadir dalam acara pesta penyair nusantara
2008 di kediri, diharapkan berkenan untuk menyumbang dana ke panitia
sebesar Rp. 50.000, untuk biaya pencetakan antologi puisi nusantara
2008, dan biaya antisipasi untuk akomodasi tambahan bagi peserta yang
datang membludak.
2. Dana sumbangan tersebut dikirimkan ke rekening panitia yang akan
diumumkan kemudian bersamaan dengan pengumuman peserta partisipatif
yang puisinya lolos seleksi untuk dimasukkan ke dalam antologi puisi
pesta penyair nusantara 2008.
3. Penerimaan puisi yang akan dimasukkan dalam antologi puisi penyair
nusantara 2008, dibuka mulai tanggal 25 Maret 2008 s/d 25 Mei 2008.
4. Peserta yang akan ikut acara pesta penyair nusantara diharapkan
mengirimkan maksimal 5 buah puisinya ke panitia pesta penyair dengan
alamat email pesta_penyair 2008@yahoo.com.
5. Puisi yang akan lolos seleksi maksimal 2 buah yang akan dimuat di
dalam antologi puisi penyair nusantara 2008.
6. Pengumuman peserta yang lolos seleksi untuk dimasukkan dalam
antologoi puisi penyair nusantara akan diumumkan pada tanggal 31 Mei 2008.
7. Bagi peserta lolos seleksi diluar Jawa, yang membutuhkan surat
undangan sebagai bekal rekomendasi untuk biaya
Keberangkatan ke kediri, dapat menghubungi panitia pelaksana dibawah ini :
1. Khoirul Anwar/ Ketua Panitia Pelaksana : 085230592013
2. Jack Efendi Alias Ponadi Efendi Santoso : 085655467993, atau
08569024880
Demikianlah informasi ini kami sampaikan. Atas nama seluruh panitia
baik panitia pelaksana, maupun panitia ad hoc pesta penyair, kami
ucapkan banyak terima kasih.
Kediri, Jawa Timur, 22 Maret 2008
Khoirul Anwar Jack Efendi/Ponadi Efendi Santoso
Ketua Panpel Pesta Penyair Nusantara 2008 Sekretaris Panpel Pesta
Penyair Nusantara 2008
SUSUNAN PANITIA
PESTA PENYAIR NUSANTARA 2008
Sempena The 2nd Kediri Jatim Internasional Poetry Gathering

I. TIM ADVISER 1. DR. Mukhlis Pa'eni (Dirjen Nilai Budaya, Seni & Film
DEPBUDPAR RI)
2. DR. Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa DEPDIKNAS RI)
3. Korrie Layun Rampan (Kutai, Kaltim)
4. Fakhrunnas MA Jabar (Pekanbaru, Riau)
5. Diennullah Rayes (Sumbawa, NTB)

II. TIM ADHOC (INDOSESIA, MALAYSIA, DAN BRUNAI DARUSSALAM) 1. Idris
Pasaribu (Medan, Sumatera Utara)
2. Antilan Purba (Medan, Sumatera Utara)
3. Afrion (Medan, Sumatera Utara)
4. Zeffri Ariff (Brunai Darussalam)
5. SM. Zakir (Malaysia)
6. Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta)
7. Viddy AD Daery (Lamongan, Jatim)
8. Sarah Serena (Jakarta)

III. PANITIA PELAKSANA a. Pelindung : 1. H. Imam Utomo (Gubernur Jatim)
2. H. A. Maschut (Walikota Kediri)

b. Penasehat : 1. Wakil Gubernur Jatim
2. Kepala Biro Mental Spiritual Pemprop Jatim
3. Kepala Dinas Pariwisata Jatim
1. Kepala Dinas Pendidikan & Kebudayaan Jatim
2. Kepala DISPORA Pemprop Jatim
5. Kepala Kantor Parsenibud Kota Kediri
6. Kepala Dinas Pendidikan Kota Kediri
7. Kepala DISPORA Kota Kediri
8. Ketua Umum Dewan Kesenian Kota Kediri

c. Tim Editor : 1. Drs. Subardi Agan, M.Pd
2. Khoirul Anwar, S.Pd.I (Ex Offisio)

d. Pelaksana :
† Ketua : Khoirul Anwar, S.Pd.I
† Wakil Ketua : Doddy Eko, SH
† Sekretaris : Ponadi Efendi Santoso, SH
† Wakil Sekretaris : Ahmad Nabhani, A.Md
† Bendahara : Endah Pusporini, S.Pd
† Wakil Bendahara : Yetty Novi C, SE

e. Seksi-seksi :
† Kesekretariatan : Anas Jauhari, S.Pd.I (Koord.)
Anggota : 1) Rhama Triana, S.Pd; 2) Anis Khurin, S.Pd.I; 3) Yuli; 4) Sella
5) Mufida Gaman; 6) Uswatun, S.Th.I; 7) Mitha; 8) Diah; 9) Astrid
10) Dewi Nilan Sari; 11) Endang; 12) Puji Lestari 13) Alfiana YS
† Dek. Dok. Pub. : M. Said, S.Pd.I & Langgeng Widodo
† Humas : Jaya, Sutikno, Nur Kusuma
† Konsumsi : Aida Insani, S.Pd.I, Endang Susilowati, & Ike Muji
Hartanti
† Tim Dialog & Seminar : Sri Wulandari, S.Pd; Tim FKPP & STAIN
† Tim Festival Baca Puisi : Aris NV; Astutik dan Tim Universitas
Nusantara Kediri
† Tim Pameran : Arie HS & Tim DK-3
† Tim Hiburan : Mbah War, M. Choirul Anam, Dwi Efendi Dkk
† Perlengkapan : Hamzah, Chozin, Imam, Juli Wiyono, S.Pd, Heru
Kurniawan Dkk
† Keamanan : Polresta, Dishub, SatPol PP dan Banser Kota Kediri



__._,_.___

PUISI SILATURAHMI

Bangku Hijau










Duduk di bangku taman hijau
di tepi pagar hijau
aku lihat daun jatuh
sehelai
menari ringan
berputar getir
menyebrang pagar hijau,
lalu perlahan menguning

Aku dengar suara ambulance
Sayup menjauh
mungkin melaju ke rumah sakit tua

Aku berjalan mengikutinya
jauh dan letih

Menyaksikan bangsal kumal
Berisi dipan putih, sprei putih
dinding putih, selimut putih

Aku menyaksikan
daun menguning perlahan

Denpasar, 2000
published @ Bali Post Minggu

Posted by ira puspitaningsih at 10:39 PM 1 comments
Tubuh Terseret Arus











Tubuh merah mudaku
sunyi di sungai
terbawa arus,
terus menerus

Jari-jari kamboja, pun
lunglai berderai
ingin mengikutiku
mengabdi padaku
yang terabaikan waktu, dan
matahari bisu

Batu-batu sepi
tak mampu menjangkau
menyelamatkanku
dari pusaran gelombang
berputar pasang

Denpasar, 2000
published @ Bali Post Minggu

Posted by ira puspitaningsih at 10:22 PM 0 comments
Aku, Bintang Cassiopeia












Aku
bintang letih Cassiopeia
yang lelah
mengangkasa
menggantikan bintang lainnya
yang hilang ditelan bayang

Aku
bintang murung Cassiopeia
yang terbang, dan
bersandar
di hampar padang mega
yang bertebaran
di bawah langit biru kelam
sebegitu luasnya,
sendiri
di antara deretan tangga cahaya
gulungan mata bergelung
dan kelopak kayu langit
kayu bintang lainnya
yang terpisah garis
batas orbit planitmu

Aku
bintang sedih Cassiopeia
yang tak bisa dusta
sama saja dengan
mimpi semata
di bara rambutmu
badai hujan lidahmu
aku terperangah
matahari siang hari
membuatku makin letih
dan semakin letih
oleh dua bayang muram
dengan wajah marah
padam memerah, dan
menghitam
di bola mata hijau berdarah

Aku
bintang Cassiopeia
yang lelah, letih
murung dan sedih
tapi di sudut dinding
air mataku
tersimpan nikmat yang lain
yang tak terlihat
mata dewa sekalipun

Aku, bintang Cassiopeia

Denpasar, 2000
published @ Bali Post Minggu dan Jurnal Puisi

Posted by ira puspitaningsih at 10:13 PM 1 comments
Saturday, April 21, 2007
Pohon Hutan Tropis



















Aku yang hidup
antara rotasi dan revolusi
hujan sepanjang musim
dan asap sepanjang hari
memudahkan fotosintesisku

Nikmat tempatku
yang tak ada di tempat lain
tak bisa kunikmati
karena katup daunku
tak bisa terbuka
tertutup sepi pilu
oleh perampasan sariku

Tubuhku penuh kerak kayu, dan
ranting-ranting tua
terselimuti gulma muda
dan cendawan, yang
tak kunjung hilang

Dingin angin pecahkan urat kayuku
dan urat-urat lainnya
panas yang menguapkan getahku
dan seluruh cairan tubuhku
membuat lelah melawan takdirku
jadi pohon bercendawan
inang yang tak berimbalkan

Denpasar, 2000

published @ Bali Post Minggu dan Jurnal Sundih

Posted by ira puspitaningsih at 11:41 PM 0 comments
Tulisan dalam Buku Harian





















Senandung daun-daun muda
iringi suara seruling bambu
berhembus merdu
sirnakan beban bathinku
lembah jiwa membiru

gugusan bintang timur
galaksi andromeda
buih pantai membentang,
menjulang
selimuti dinding cakrawala
yang memecah bayang

orang bertampang lusuh
menerawang jauh
memikirkan lekuk-lekuk tubuh
yang tinggal separuh
dambakan hembusan
angin kehidupan, ataupun
kematian

ranting-ranting cemara
patah berdesah
“Hati-hati dirimu senang.
Sedih memburumu di belakang.”
kibaran angin menderu
dan berseru
“Sayapmu kan lelah.
Bersiaplah jatuh ke bawah.”

kidung malam menghibur
“Tak semua diakhiri perpisahan.”
aliran sungai berpetuah
“Buka gerbang pintu hati.
Hadirnya embun pagi,
membawamu menjalani hari.”

akankah tinta penaku berbisik
kisahkan rahasia diri
semuanya tertulis,
tertuang
pada lembar buku tulis ini
jadi bait-bait kenangan

Denpasar, 2000

published @ Bali Post Minggu

Posted by ira puspitaningsih at 11:36 PM 0 comments
Lukisan Taman Laut










Kumpulan terumbu karang
menyapa
ikan berkeliaran
di rumah mutiara
terabadikan dalam lukisan
kanvas pikiran

di tiap sudut palung laut
bintang pasir kuarsa
tersenyum
diterpa cahaya emas
elok sapuan warna
terbekas di lubuk jiwa

pesona semesta bumi
memikat hati
segarkan nurani
dunia takkan lumat
dan kiamat
jika gesekan cakram
roda berputar
selalu bersinar
serpihan cahaya pualam

Denpasar, 2000
published @ Bali Post Minggu

P

PUISI PUISI TERBAIK INDONESIA 2008

Fadjroel Rachman dalam 100 PUISI INDONESIA TERBAIK 2008 Feb 7, '08 9:05 AM
for everyone

Category: Books
Genre: Literature & Fiction
Author: Anugerah Sastra Pena Kencana

Fadjroel dalam 100 PUISI INDONESIA TERBAIK 2008

A. Muttaqin, “Munajat Apel Merah” - Koran Tempo, 10 Juni 2007
Aan Mansyur, “Kata Peramal” - Koran Tempo, 7 Oktober 2007
Aan Mansyur, “Tiga Catatan Terakhir” - Kompas, 21 Oktober 2007
Acep Zamzam Noor, “Lembah Anai” - Koran Tempo, 25 Februari 2007
Acep Zamzam Noor, “Rambut Ikal” - Kompas, 27 Mei 2007
Acep Zamzam Noor, “Sajak Nakal” - Koran Tempo, 25 Februari 2007
Afrizal Malna, “Bush dan Rambut yang Tak Bisa Disisir” - Kompas, 26 November 2006
Afrizal Malna, “Lemari Tahun 1957″ - Kompas, 7 Oktober 2007
Afrizal Malna, “Satu Meter Jalan ke Kiri” - Kompas, 7 Oktober 2007
Ahda Imran, “Di Delta Sungai” - Kompas, 21 Januari 2007
Ahda Imran, “Perempuan yang Menyulam di Tepi Sungai” - Kompas, 21 Januari 2007
Alois A. Nugroho, “Pedati Kayu dan Hutan Jati” - Kompas, 22 April 2007
Alois A. Nugroho, “Perahu dan Pagi” - Kompas, 22 April 2007
Ari Pahala Hutabarat, “Kado Ulang Tahun” - Lampung Post, 14 Januari 2007
Arif B. Prasetyo, “Gunung Sanbang” - Kompas, 3 Desember 2006
Arif B. Prasetyo, “Madiun” -Kompas, 3 Desember 2006
Dahta Gautama, “Khimaci di Showa Kinen” - Lampung Post, 29 Juli 2007
Dina Oktaviani, “Hantu Tanjung Karang” - Kompas, 17 Juni 2007
Dina Oktaviani, “Lanskap Dalam” - Media Indonesia, 25 Maret 2007
Eka Pranita Dewi, “Kakek Tak Jadi Datang” - Lampung Post, 11 Maret 2007
Eka Pranita Dewi, “Malam di Kartika Plaza” - Bali Post, 17 Juni 1007
Eka Pranita Dewi, “Perempuan Pembuat Gerabah” - Bali Post, 28 Januari 2007
Faisal Kamandobat, “Aku Mencintai Kalian” - Media Indonesia, 11 Maret 2007
Fina Sato, “Kabarkan Padaku tentang Laut” - Pikiran Rakyat, 5 Mei 2007
Frans Najira, “Surat yang Tersesat” - Koran Tempo, 7 Januari 2007
Goenawan Mohamad, “Ia Menangis” - Kompas, 23 September 2007
Goenawan Mohamad, “Rozinante” - Kompas, 23 September 2007
Goenawan Mohamad, “Tiga Puluh Menit Sebelum Syaid Hamid” - Kompas, 23 September 2007
Gunawan Maryanto, “Jineman Uler Kambang” - Koran Tempo, 5 November 2006
Gunawan Maryanto, “Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya” - Kompas, 3 Juni 2007
Gunawan Maryanto, “Sebuah Pertunjukan Tentang Hujan” - Suara Merdeka, 15 April 2007
Gus Tf., “Akar Berpilin 1″ - Kompas, 4 Maret 2007
Gus Tf., “Akar Berpilin 5″ - Kompas, 4 Maret 2007
Hasan Aspahani, “Di Antara Sampiran dan Isi Pantun Tua” - Kompas, 16 september 2007
Hasan Aspahani, “Orgasmaya” - Kompas, 8 April 2007
Heru Mugiarso, “Sola Dei” - Suara Merdeka, 19 Agustus 2007
Inggit Putria Marga, “Bulu Ayam” - Lampung Post, 11 Februari 2007
Inggit Putria Marga, “Di Pintu Gerbang” - Republika, 11 Maret 2007
Inggit Putria Marga, “Suara Usai Isya” - Koran Tempo, 24 Juni 2007
Ira Puspitaningsih, NKM, “Dalam Dongeng Tidurmu” - Bali Post, 22 April 2007
Ira Puspitaningsih, NKM, “Di Hilir, Doaku Menjelma Gadis Mimpi” - Bali Post, 22 April 2007
Ira Puspitaningsih, NKM, “Sari Daging, Yajna Sepasang Nelayan” - Bali Post, 22 April 2007
Iswadi Pratama, “Fragmen Pertempuran Menjelang Berangkat” - Kompas, 18 Maret 2007
Iswadi Pratama, “Pertempuran” - Kompas, 18 Maret 2007
Iyut Fitra, “Surat Untuk Amelia” - Lampung Post, 25 Maret 2007
Jimmy Maruli Alfian, “Kidung Pohon” - Lampung Post, 28 Januari 2007
Jimmy Maruli Alfian, “Membuat Panekuk” - Koran Tempo, 4 Februari 2007
Joko Pinurbo, “Pemulung Kecil” - Kompas, 17 Desember 2007
Joko Pinurbo, “Sehabis Sakit” - Kompas, 17 Desember 2007
Joko Pinurbo, “Terompet Tahun Baru” - Suara Merdeka, 7 Januari 2007
Kurnia Effendi, “Tentang Dirimu” - Media Indonesia, 3 Juni 2007
Laela Awali, “Cerita tentang Nenek dan Bocah Kecil”
Leo Kleden, “Bunga Kecil dari Genewa” - Kompas, 12 Agustus 2007
Leo Kleden, “Musim Gugur” - Kompas, 12 Agustus 2007
Lupita Lukman, “Bunga Padi dan Alang-Alang” - Media Indonesia, 9 September 2007
Lupita Lukman, “Gubuk-Gubuk Gipsi” - Media Indonesia, 15 April 2007
Lupita Lukman, “Tangga Menuju Langit” - Kompas, 29 Juli 2007
M. Fadjroel Rachman, “Di Pulau Laut, Bulan Menari” - Media Indonesia, 28 Januari 2007
Made Adnyana Ole, “Seorang Penyair di Desa Tembok” - Bali Post, 18 Februari 2007
Mardi Luhung, “Hantu Paus” - Koran Tempo, 8 April 2007
Mardi Luhung, “Hujan” - Kompas, 28 Januari 2007
Marhalim Zaini, “Jangan Sebat Kami dengan Rotanmu, Jangan Kutuk Kami Jadi Melayu” - Kompas, 24 Juni 2007
Mashuri, “Tukang Cukur” - Kompas, 25 Februari 2007
Mashuri, “Wajah” - Media Indonesia, 29 April 2007
Merisa Martiningsih, NMI, “Dua Tukang Pos” - Bali Post, 5 Agustus 2007
Micky Hidayat, “Telah Kuhapus Kata-Kata” - Republika, 10 Juni 2007
Mochtar Pabottinggi, “Konsierto di Kyoto” - Kompas, 28 Oktober 2007
Mochtar Pabottinggi, “Kuil Ise, Prosesi” - Kompas, 28 Oktober 2007
Muhammad Subarkah, “Ain Helwa” - Republika, 19 Agustus 2007
Muhammad Subarkah, “Lhok Nga, Ketika Luka Lupa Menutup Mulutnya” - Republika, 19 Agustus 2007
Muhammad Subarkah, “Nyanyian Kekasih” - Republika, 19 Agustus 2007
Ni Luh Putu Mahaputri, “Menyunting Bulan Sabit” - Bali Post, 30 September 2007
Nirwan Dewanto, “Apel” - Kompas, 5 Agustus 2007
Nirwan Dewanto, “Pengantin Remaja” - Kompas, 5 Agustus 2007
Nirwan Dewanto, “Tiga Biola Juan Gris” - Kompas, 5 Agustus 2007
Ook Nugroho, “Ode Bagi Pisang” - Koran Tempo, 18 Maret 2007
Ook Nugroho, “Pasar Kembang” - Kompas, 17 Juni 2007
Oyos Suroso, “Dapur Ibu” - Media Indonesia, 19 November 2006
Reina Cailisia, “Sanur” - Bali Post, 21 Januari 2007
Es. Wibowo, “Suluk Borobudur” - Suara Merdeka, 28 April 2007
Sapardi Djoko Damono, “Kolam Pekarangan” - Kompas, 10 Juni 2007
Sapardi Djoko Damono, “Sonet 1 ” - Kompas, 10 Juni 2007
Sapardi Djoko Damono, “Sonet 4 ” - Kompas, 10 Juni 2007
Saras Dewi, “Mahkota Duri” - Media Indonesia, 27 Mei 2007
Saraswati Laksmi, NKM, “Tiga Tangkai Bunga” - Bali Post, 29 Juli 2007
Sindu Putra, “Nyoman, Seekor Burung Terbakar Dalam Lukisanmu” - Bali Post, 21 Januari 2007
Sindu Putra, “Pasar Pagi Denpasar” - Bali Post, 25 Februari 2007
Sitok Srengenge, “Lembah Lantana” - Kompas, 26 Agustus 2007
Sitok Srengenge, “Lukisan Perempuan” - Kompas, 26 Agustus 2007
Sitok Srengenge, “Ruang Singgah” - Kompas, 26 Agustus 2007
Sunlie Thomas Alexander, “Laskap Laki-Laki” - Koran Tempo, 28 Januari 2007
Sunlie Thomas Alexander, “Nightmare” - Koran Tempo, 28 Januari 2007
Sunlie Thomas Alexander, “Potret Tua” - Koran Tempo, 28 Januari 2007
Triyanto Triwikromo, “Kota Senja” - Kompas, 22 April
Triyanto Triwikromo, “Obituari Syeh Siti” - Kompas, 22 April
Wendoko, “Empat Sajak Untuk KH” - Kompas, 20 Mei 2007
Wendoko, “Les Miston” - Media Indonesia, 24 Juni 2007
Wendoko, “Life Lines” - Kompas, 20 Mei 2007
Zaim Rofiqi, “Ibu” - Media Indonesia, 15 Juli 2007
Zen Hae, “Seseorang akan Memanggilmu dari Kobaran Api” - Kompas, 14 Januari 2007


Memilih Karya Terbaik

Setiap tahun, akan dipilih Puisi dan Cerpen Indonesia terbaik yang dipilih oleh pembaca dari buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 dan 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008. Mekanisme pemilihan ini akan ditentukan melalui voting SMS.

Penulis yang karyanya terpilih sebagai Puisi atau Cerpen Indonesia Terbaik 2008, akan memperoleh hadiah masing-masing Rp. 50 Juta, serta piala dari Anugerah Sastra Pena Kencana.

Anugerah ini akan diumumkan pada September 2008.

Tata Cara Pemilihan:

Ketik SMS: PENAKODE BUKUKODE JUDUL PUISI/CERPEN
Kirim ke: 3977

Contoh:
PENA GM1234567 C001

(Kode buku dan kode puisi/cerpen hanya terdapat di dalam buku 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 atau 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama).

Hadiah:
Pemenang I Rp.25.000.000,-
Pemenang II Rp.15.000.000,-
Pemenang III Rp.10.000.000,-

Syarat:
SMS terbuka dari tanggal 15 Februari - 15 Agustus 2008.

Pemenang undian SMS dan Cerpen/Puisi Terbaik Pilihan Pembaca peraihAnugerah Sastra Pena Kencana 2008 akan diumumkan tanggal 1 September2008 di www.penakencana.com dan www.gramedia.com

Pemenang wajib menunjukkan bukti buku yang dibeli beserta nomer yang tertera pada buku tersebut ketika mengambil hadiah.

Hadiah ini tertutup bagi Panitia Anugerah Pena Kencana, pihak Penerbit, pihak Percetakan dan keluarganya.

Catatan:
1. Biaya Rp.2000,- per SMS
2. Pajak ditanggung pemenang
3. Kode judul cerpen/puisi lihat halaman “Daftar Isi”
4. Kode buku ada pada lembar terpisah di buku yang Anda beli



Tags: fadjroel-100 puisi
Prev: Skenario Dua: Parlemen Jalanan (3 November 1998)
Next: Bulan Jingga dalam Kepala

TENTANG PUISI

Posisi Puisi Bali Dalam Sastra Indonesia---
Antara Keseragaman, Estetika, dan Tradisi Besar

Pada hitungan dua dasawarsa belakangan ini Bali memiliki posisi istimewa dalam perkembangan seni sastra Indonesia modern. Di tengah gebyar seni tradisi yang tak pernah mati, ternyata para penulis puisi (penyair) Indonesia yang lahir atau bermukim dan berproses kreatif di Bali terus berjuang untuk tumbuh dan hidup. Kini, terdapat lebih dari seratus penulis puisi di Bali dan sebagian besar telah mencatatkan diri dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia mutakhir. Lalu, di tengah puja-puji yang diberikan oleh sejumlah kritikus sastra nasional terhadap perkembangan sastra Indonesia di Bali, muncul kemudian sejumlah tanya. Misalnya, apakah puisi-puisi yang dibuat penyair Bali punya keistimewaan dibandingkan puisi yang ditulis penyair luar Bali. Apakah tradisi besar Bali memberi pengaruh terhadap puisi yang ditulis penyair Bali. Atau, apakah puisi-puisi Bali memiliki estetika yang khas, yang beraroma Bali, yang berbeda dengan puisi yang ditulis penyair lain yang berproses di luar Bali?

============================================================

Semua pertanyaan itu muncul dalam sebuah diskusi yang dihadiri sembilan penyair Bali dalam acara Temu Penyair Bali di Wantilan Art Centre Denpasar, akhir November lalu. Kesembilan penyair itu adalah Surya Kencana, Muda Wijaya, Pranita Dewi, Putu Vivi Lestari, Ni Luh Suwita Utami, Wayan Sunarta, Made Adnyana Ole, Riki Dhamparan Putra dan Wayan Arthawa. Penyair yang berasal dari berbagai generasi itu seakan-akan memperbincangkan kebanggaan sekaligus kegelisahan sebagai penyair Bali. Munculnya kebanggaan karena puisi-puisi yang ditulis penyair Bali sudah diangap jadi bagian dari perkembangan besar sastra Indonesia. Dan kegelisahan tumbuh karena puisi-puisi penyair Bali masih kerap mendapat kritik penting dari sastrawan-sastrawan nasional. Salah satunya, puisi yang ditulis oleh penyair Bali yang satu dengan penyair Bali yang lain masih dinilai memiliki keseragaman.

Penyair Wayan Sunarta mengatakan perkembangan perpuisian di Bali tidak bisa dipisahkan dengan dua penyair senior, Frans Nadjira dan Umbu Landu Paranggi, yang menetap di Bali sejak lebih dari dua puluh tahun lalu. Dua penyair itu mengembangkan dua gaya puisi yang berlawanan yang kemudian ditularkan kepada generasi penyair berikutnya. Yakni gaya introvert yang ditularkan Umbu Landu Paranggi dan gaya ekstrovert yang dikembangkan penyair Frans Nadjira. Introvert adalah puisi-puisi kamar yang ditulis penuh dengan renungan diri, sedangkan ekstrovert merupakan puisi-puisi yang memberi daya ledak, penuh letupan dan percaya diri. Menurut Sunarta, hampir semua penyair di Bali terjebak dalam dua gaya itu.

Warih Wisatsana, penyair Bali yang kerap mengajar sastra secara ektrakulikuler di sekolah-sekolah di Denpasar, mengakui peran Umbu dan Frans tak bisa dipisahkan dari perkembangan sastra Indonesia di Bali selama lebih dari dua puluh tahun belakangan ini. Soal pengaruh-mempengaruhi dalam dunia sastra adalah hal lumrah. Namun yang patut dipertanyakan adakah puisi-puisi Bali memiliki estetika yang khas Bali, yang sesuai dengan budaya, alam, dan tradisi di Bali? Karena, menurut Warih, dalam tradisi yang besar tentu bisa lahir penyair besar. Sebab, seorang penyair yang tumbuh dalam tradisi besar akan mendapat pengaruh dari iklim kreativitas yang bagus dan sekaligus akan memiliki tantangan untuk tidak terjebak atau tergerus dalam tradisi besar tersebut. Iklim dan tantangan akan membuat seorang penyair menjadi lebih matang.

Wayan Arthawa, penyair dari Karangasem, menilai estetika puisi Bali itu tentu saja ada dan memberi pengaruh besar dalam bentuk pengucapan, metafora dan lain-lainnya. Penyair yang sangat berpengalaman ini meyakinkan bahwa estetika puisi Bali itu ada sekalipun untuk mendefinisikannya secara tepat masih harus memerlukan pengkajian yang mendalam. Misalnya, puisi-puisi Bali tak bisa dilepaskan dari unsur-unsur estetika yang berkembang dalam alam dan budaya Bali. Makanya, puisi Bali lebih banyak bicara tentang pohon, daun, laut, tari-tarian, ngaben, Nyepi, dan lain-lain.

Apakah karena unsur-unsur alam dan budaya yang cenderung serupa itu maka sejumlah kritikus menilai puisi-puisi yang ditulis penyair Bali juga cenderung seragam? Baik Arthawa maupun Sunarta dengan tegas membantahnya. Menurut Arthawa, puisi modern Bali itu sungguh beragam dari bentuk pengucapan. Meski diakui landasan yang digunakan dalam penulisan itu sama. Misalnya, dalam puisi-puisi Bali terdapat atmosfir kesunyian yang akan menuntun orang untuk melihat puisi modern Bali sebagai wilayah yang khas.

Bagaimana dari landasan yang sama bisa melahirkan puisi-puisi dengan berbagai bentuk pengucapan yang berbeda? Ini terjadi karena pada dasarnya pengalaman estetika adalah sebuah evolusi. Satu orang tidak akan memiliki pengalaman estetika yang sama terhadap satu peristiwa yang sama. Misalnya, banyak penyair Bali menulis tentang tajen. Namun penyair-penyair itu tidak akan menuliskan pengalaman estetika tajen dalam bentuk yang sama. Warih Wisatsana, misalnya, tak akan menuliskan estetika tajen dengan sudut dan cara yang sama dengan penyair GM Sukawidana.

Di sisi lain, dramawan Putu Satria Kusuma mempertanyakan sejauh mana respons para penyair Bali terhadap peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di Bali atau di Indonesia dan dunia, seperti bencana alam dan lain-lain. Sebab, dalam pandangannya, puisi-puisi yang ditulis penyair Bali kebanyakan berorientasi pada puisi-puisi sunyi yang individual. ''Apakah tidak ada minat para penyair Bali untuk menjadikan peristiwa-peristiwa seperti bom Bali sebagai inspirasi sajak?'' kata Putu Satria.

Menurut penyair sekaligus dosen, Vivi Lestari, menulis puisi itu tergantung panggilan jiwa. Jika seorang penyair tak memiliki panggilan untuk menulis sesuatu yang terjadi meskipun kejadian itu berada di dekat, penyair itu tak akan bisa menuliskannya. Sementara Wayan Sunarta mengatakan bahwa penulisan tema puisi tak bisa dilepaskan dari proses perkembangan kreatif penyair itu sendiri. Tradisi menulis puisi yang ia terima sejak dari Sanggar Minum Kopi memang menuju pada puisi yang berkonsentrasi untuk mendapatkan kualitas bahasa, ketimbang mementingkan isi sosial seperti bom Bali. Lagi pula, Sunarta menilai wilayah individual lebih menarik dan inspiratif daripada wilayah yang lebih luas. Namun, di sisi lain, harus diakui memang seharusnya penyair Bali mulai memiliki respons terhadap segala hal yang berkembang di Bali, misalnya tentang bencana alam, bencana yang dibuat manusia dan bencana budaya, sehingga penyair Bali mendapat perhitungan lebih besar ketimbang jika hanya menulis puisi-puisi tentang kesunyian dan renungan diri sendiri. (ole)

AMIR HAMZAH DALAM KATA

Memaknai Puisi-puisi Amir Hamzah
Ditulis pada Februari 13, 2008 oleh kapasmerah
Oleh Drs Abdul Chair SM

ABDUL Hadi WM dalam bukunya Sastra Sufi Sebuah Antologi memasukkan empat puisi Amir Hamzah yakni: Doa, Berdiri Aku, Padamu Jua dan Tetapi Aku ke dalam sastra sufi. Sastra sufi adalah sastra Islam yang memuat ajaran tasawuf. Tasawuf dalam ajaran Islam merupakan ajaran ketauhidan yang menjadi landasan utama akidah Islam.

Jika sebuah karya sastra digolongkan dalam sastra sufi, maka karya sastra tersebut harus memuat ajaran tauhid di dalamnya. Inti dari ajaran tasawuf adalah syahadat yakni pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah. Kemudian ajaran ketauhidan dalam Islam juga menyangkut hal-hal pokok dalam keimanan. Bila demikian, maka penulis berpendapat bahwa empat puisi Amir Hamzah di atas tidak dapat dimasukkan ke dalam sastra sufi (Sastra Islam) dengan alasan sebagai berikut:

1.Tidak Memuat Ajaran Tasawuf
Puisi Amir Hamzah (Padamu Jua) tersebut cenderung mengajarkan kesyirikan, karena menyerupakan Allah dengan makhluk sebagaimana pada larik-lariknya: Kaulah kandil kemerlap, Pelita jendela di malam gelap, Melambai pulang perlahan, Di mana engkau, Rupa tiada suara sayup, Hanya kata merangkai hati, Engkau cemburu, Engkau ganas, Mangsa aku dalam cakarmu, Engkau pelik menarik ingin, Serupa dara di balik tirai.

Para pemerhati sastra menganggap bahwa kata KAU dan ENGKAU dalam larik-larik di atas merupakan kata ganti untuk Allah. Jika demikian, jelaslah bahwa puisi ini telah menyerupakan Allah dengan kandil kemerlap, pelita jendela dan dara di balik tirai. Kemudian puisi ini juga menyerupakan Allah dengan sifat makhluk yang melambai, cemburu, ganas, memangsa dan memiliki cakar. Kemudian untuk puisi Doa, Berdiri Aku dan Tetapi Aku sama sekali tidak sedikitpun menyentuh masalah tasawuf. Dalam hal ini pantas direnungi bahwa “Islam dan sastra memiliki hubungan yang kuat dalam aspek akidah Islam.(DR.Thahir Muhammad Ali: Malamih Al ‘Ammah li Nazariyati al Adabi Al-Islam)”.

2.Menghina Allah
Jika kata KAU dan ENGKAU dalam larik-larik di atas juga dianggap kata ganti untuk Allah, maka puisi itu telah merendahkan Allah (tidak berakhlak kepada Allah). Misalnya pada larik: Engkau cemburu, Engkau ganas, Mangsa aku dalam cakarmu. Pada hal Islam dan Nabi Muhammad SAW diturunkan Allah bertujuan untuk menyempurnakan akhlak secara menyeluruh. Bagaimanapun sastra Islam wajib berakhlakul karimah (akhlak mulia), karena “Islam dan sastra menggambarkan setinggi-tinggi akhlak. (Lihat: DR.Thahir Muhammad Ali: Malamih Al ‘Ammah li Nazariyati al Adabi Al-Islam)”. Islam menjunjung tinggi akhlak. Oleh sebab itu sastra yang tidak menjunjungg akhlakul karimah terutama akhlak kepada Allah adalah sastra sesat bukan Sastra Islam.

3. Buruk Dan Dangkal
Sastra Islam menampakkan pandangan hidup Islam yang ditulis dengan bahasa yang Islami. “Bahasa yang buruk dan dangkal isinya tidak termasuk ke dalam sastra Islam”(Lihat: HB.Yassin dalam Kesusasteraan Indonesia Moderen dalam Kritik dan Essay). Berbahasa dalam sastra Islam terletak pada dua hal penting yaitu berakhlak dalam berbahasa dan berbahasa dengan kebenaran Islam. Puisi Amir Hamzah Padamu Jua telah merendahkan Allah, karena puisi ini menyatakan Allah memiliki sifat cemburu, ganas, memangsa dan memiliki cakar. Puisi ini bukanlah puisi sufi, karena telah membahasakan Allah dengan nilai-nilai yang jelek. Untuk melihat bagaimana beretika dalam berbahasa untuk puisi kiranya dapat diperhatikan dalam sastra Melayu yang ditulis oleh Raja Ali Haji dalam bahasa Melayu yaitu dalam Gurindam Dua Belas.

4. Cinta Kepada Makhluk
Penulis meyakini kata KAU dan ENGKAU dalam puisi tersebut tidak merujuk kepada Allah, tetapi kepada makhluk lainnya. Karenanya gambaran cinta dalam puisi ini lebih cenderung kepada manusia. Jadi puisi ini merupakan gambaran dari orang yang sedang dimabuk cinta kepada seseorang. Hal ini jelas terlihat dalam larik-larik: Satu kekasihku, Aku manusia, Rindu rasa, Rindu rupa, Di mana engkau, Rupa tiada suara sayup, Hanya kata merangkai hati.

Larik ini semakin memperkuat bahwa Amir Hamzah rindu akan rupa, rindu akan rasa, dan rindu akan suara yang hanya dimiliki oleh manusia. Pesona cinta kepada kekasihnya semakin jelas digambarkan Amir Hamzah dalam puisi Doa, Berdiri Aku dan Tetapi Aku. Walhasil penulis menilai bahwa Abdul Hadi WM telah keliru besar memasukkan keempat puisi tersebut ke dalam kelompok sastra sufi, karena puisi tersebut terlepas dari aspek-aspek tasawuf, bahkan cenderung berbau syirk terutama puisi Padamu Jua.

*dosen STAIS T Tinggi Deli

Sumber: WASPADA Online, Rabu, 24 Oktober 2007 22:18 WIB

puisi puisi Soe Hok Gie

Puisi-puisi Soe Hok Gie
Ditulis pada Februari 27, 2008 oleh kapasmerah
Sebuah Tanya

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Di bawah ini ada sebuah puisi Gie yang kita tak tahu judulnya. kiranya ada yang tahu, sila lah berbagi info pada kami.

(Puisi Gie)

ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa

Minggu, 23 Maret 2008

Nyanyian Kematian

Puisi Djamal

Nyanyian Kematian


Malam yang kian belati
kau tetap mengibarkan sejumput
harapan
di atas menara derita

Rembulan mati ditujah mentari pagi
Mentari tak tampak lagi menari
kulihat fotonya terpajang
di sebuah lembaran berita pagi kota ini

oh, sayang Mentari di balik jeruji
tadi malam ia telah dilahap
patroli lengkap dengan senjata api

Medan, 100207


Selembar Kelamin


selembar kelamin malam ini
melambai-lambaikan gerai
dengan rengkah gontai
dan bergaun bidadari
berbibir ibu peri

selembar kelamin
mulai mencari seonggok cinta
yang terhimpit pada sela-sela
nyanyian perut yang sudah lama
menjajakan suara


Rumah puisi, 2008

Sabtu, 22 Maret 2008

Taman Sastra Raudah Jambak

PUISI PUISI M. RAUDAH JAMBAK


DI PINTU PEMILIHAN SUARA

Di pintu pemilihan suara
Seorang bocah mencatatkan sejarah
Sebab banyak kata-kata yang ia dapatkan
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan

Di pintu pemilihan suara
Seorang bocah mengutip sampah kata-kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu


DI HARI KAMPANYE

Alangkah, ah
Hati kami memilin luka luka
Orasi itu menombak batin menganga
Dan kami masih tak berdaya
Mengunyah sejuta janji
Jadi air mata

SELAMAT DATANG PEMIMPIN

Di belahan peradaban yang mana
Kata-kata paling setia tidak lagi menggema
Selamat datang wahai pemimpin
Kami sambut engkau dengan segala
Suka cita

Di belahan kemanusiaan yang mana
Janji-janji paling pasti tidak lagi dipungkiri
Selamat datang wahai pemimpin
Kami jemput engkau dengan segala
Keyakinan cinta


LELAKI TUA PEMASANG UMBUL UMBUL

Di sepanjang jalan ini
Seorang lelaki tua duduk sendiri
Menatap setumpuk umbul umbul pemilihan
Di bayang matanya, anak dan istrinya
Tak lagi meneguk air mata

Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Saling berburu deru

Lelaki tua terduduk sendiri
Membenahi luka luka segala nestapa
Membenahi banjir peluh mengucur nyeri
Membenahi pikiran renta mengusung senja

Di simpang nyeri
Lalu lalang kata membunuh nurani


PUISI PUISI M. RAUDAH JAMBAK

KEPADA LELAKI ITU

Pulanglah
Esok masih ada cerita yang kita cipta
Menjadi bunga atau apa saja yang kita suka
Atau kita sihir saja ia menjadi ular kepala dua
Debu dan asap knalpot yang menyelimut kata
Adalah laksana lumpur yang membenamkan mutiara
Di kepala kita, rakyat jelata

Pulanglah
Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah buram kita menjadi senyuman


DI SIMPANG PERADABAN KOTA JALAN RAYA

Seorang wanita tua tertidur digilas berjuta pulas
Dengan kaleng di tangan ia mengayuh angan
Berlayar pada perahu sepetak di taman
Di atasnya bertuliskan pembelaan
Terhadap kaum yang terlantar
Umbul umbul pemilihan
Laksana prajurit
Penjaga
dan
Lampu
Di simpang jalan
Menghalau masa lampau
Terjerumus arus pikiran renta
Yang terbang bersama perih debu
Sepanjang trotoar peradaban kota-kota


SEPANJANG SIANG

Sepanjang siang ini masih juga kau hamburkan
Debu bertubuh ulat berbulu yang meranggaskan
Kemarau dalam kepalaku, menceracau parau
Di tenggorokanku, kering

Lalu kata-kata yang berhamburan dari mulutmu
Berubah serdadu, berubah pemburu, mengintai

Sepanjang siang ini masih juga kau hidangkan
Orasi-orasi basi di atas meja persekongkolan
Mendesak sepenuh perutku, mengacau galau
Di bibirku, muntah

Dan kata-kata yang berkobaran dari mulutmu
Menjelma duri, menjelma api, menghanguskan









MELINTAS JALAN INI

Melintas jalan ini aku hanya menanam jejak
Tanah tandus mengusung debu sepanjang peradaban
Pepohonan di kiri kanan meranggas, gersang
Arus kata-kata simpang-siur menembus telinga
Mengaduk-aduk pikiran

Ah, apakah hayalku yang terlanjur pagi
Menafsir resah segala warna gerah
Atau kesumat terlampau berkarat
Memeluk kata yang masih belia
Sebelum tercemar darah luka

Melintas jalan ini aku tak ingin membatas jarak
Tapi, kerontang pikiran terlanjur membusukkan
Peta segala cuaca

Rabu, 19 Maret 2008

Puisi Djamal

Nurani Terbang Bersama Gemuruh


Pada gemuruh angin malam ini,
terdengar suara-suara kekalutan tak pernah henti
sebab ia sedang mencari ruang untuk meletakkan
kursi empuk yang berukir
suara itu seperti raungan yang siap menerjang


Jangan biarkan ia melahap semua angan serta impian
kita, yang telah terukir di dalam hati
juga terpahat disetiap lembar-lembar kerutan tubuh legam
yang selalau terbakar matahari


Ahoi, mengapa hatimu belati
dan ku ingin :
lelapmu menjadi kafan
kulitmu berbau anyir
pahatku menjadi peti
anganku adalah lahat


Oh, akulah hamba yang telah bosan dengan kata-kata
juga secerca janji yang selalu tanpa bukti


Duhai, gemuruh hadirlah ke hadapanku
menjelmalah kau menjadi malaikat
jangan kau senandungkan luka pada bait-bait angan kami
jadikanlah gemuruhmu segaris senyum
karna negeri ini telah mati dan tak tahu apa itu nurani

Rumah puisi 2008-03-19

Negeri yang Terluka

Negeri yang Terluka


malam semakin menajam, setajam kata
angin terus berhembus, membelai pundakku
secangkir kopi terselip di batas lamunanku
sebotol anti nyamuk ikut menemani
seikat pesan telah kusiapkan untuk penguasa alam

penguasa alam yang di rasuki mambang
penguasa yang selalu berpenampilan buncit
penguasa ayng selalu duduk di kursi basah
penguasa yang tak pernah memahami kita
ah, sudahlah aku ingin tinggal di negeri sendiri

tanpa pemerintah
tanpa undang-undang
tanpa tikus
tanpa kecoa

ahai, betapa indah mempunyai alam yang indah
alam yang penuh bunga-bunga
alam yang penuh canda tawa
alam yang penuh makna
alam yang tanpa luka

medan, 2008

Kamis, 13 Maret 2008

Puisi Djamal

SENJA BERKELANA

Sayang kau tak berada didekatku
Menyaksikan betapa sakitnya menitiskan air mata
Yang sudah lama terkena kemarau kerinduan

Di ujung jarum waktu kugantungkan harapan
Dengan sedikit empedu menetes ditubuh
Kasih, masih kah ada kata untuk siang ini
Agar panas tak membara kedalam mata yang
Kian memerah dan menjadi pata morgana

Saat senja mulai mengelana didekat celana
Jangan kau tusukkan kata cinta pada bola mata
Ataupun menghembuskan sedikit harapan
Agar kau menjadi pendampingku
Walau tak bersanding dikursi kuning


Medan, 3 Januari 2008

Selasa, 11 Maret 2008

sajak

Sajak-sajak
Minggu, 27 januari 2008 | 03:16 WIB
Triyanto Triwikromo

Death Valley

di antara tambang-tambang mati

jangan pernah kau percakapkan tentang salju

atau cemara sunyi

hasratkan saja bau maut

tanpa kabut

tanpa selubung

tanpa raung

tentu saja kau memang bukan penggali sunyi. Tapi kau bisa mengenal mati di Death Valley.

kau bisa tersedu di lembah batu. Kau bisa menatap salib-Ku

melayang-layang dalam hamparan debu

maka

pergilah

pergi mati

ke lembah sunyi

ke Death Valley

2007



***


Kurnia Effendi

Mata Kata

+ Aurelia Tiara Widjanarko

Bertahun-tahun kuraut kata hingga langsing dan runcing. Bertahun-tahun kugurat halaman buku, mabuk dan mengigau sepanjang waktu. Bertahun-tahun mengitari panggung, menari seperti kurcaci lupa diri. Mewarnai gugusan peristiwa dengan sejumlah cinta dan lara. Bertahun-tahun membangun jembatan, antara satu bukit dan bukit berikutnya, dengan kata- kata. Bertahun-tahun jumawa di atas kuda kata-kata, berlari kencang tanpa menoleh lagi.

Lalu, pada sebuah tarikh muda, engkau lahir dari sunyi perigi bermata air kata, jernih

dan bercahaya. Lalu engkau bangkit dari abu unggun yang menyala semalam suntuk

membakar kayu kata-kata. Mata beningmu membaca semua kata dari setiap benang sari dan udara yang mempersinggahkan pada putik, menjadikannya tunas buah. Lalu engkau memeras perih kata dari tangkai zaitun, menyulingnya menjadi tetes-tetes harum dalam bejana. Tak

ada jejak pada kata-kata dari tempatmu (mungkin) pernah berguru.

Ingin kuhapus kata dari seluruh mantra yang melekat di mulutku. Ingin kuhapus kata

dari jubah dan terompah yang pernah kuajak mengembara. Ingin kuhapus kata dari mimpi

dan nyanyian yang bertahun-tahun memenuhi tidurku. Ingin kembali hening, menghilang dari suara, bersembunyi di balik cadar riuh rendah kata-kata. Pura-pura tak pernah mengenal kata yang bertahun-tahun meriwayatkan rahasiaku sebagai seorang kelana.

Dengan sepasang mata, kau berkata-kata. Mata sebening kaca, kaca sebening kata.

Dalam matamu, kata selalu berkaca. Mencari bayang-bayang simetri, sudut tersembunyi,

runcing dan bening. Pendar cahaya matamu menyusun kata-kata yang berkaca-kaca. Kata-

kata yang tidak menaruh dendam pada kaca, tempat mata memandang. Kaca yang senantiasa memantulkan kata-kata ke dalam mata.

Aku percaya: hanya dari lesung pipimu, tersenyum setiap kata

Dan matamu adalah genangan kata-kata sebening kaca

2007



***


Kurnia Effendi

Bidadari Pagi

+ Helena Rea

Aku selalu rindu menyamar batang-batang pohon, menanti tubuhmu berkelebat tinggalkan harum dalam kemerisik daun:

jejakmu yang tipis dihapus lembab embun.

Di busur langit berupaya menjadi matahari yang kaupandang sambil berlari, kuhimpun senyum manismu yang ditabur:

seperti biji-biji padi di tanah gembur para petani

Habis-habisan kubentuk diriku menyerupai gunung tempat kakimu lincah mendaki,

mengekalkan hangat suhu kulitmu:

meski sekujur tubuhku demam tinggi

Aku rela menghampar sebagai rerumputan lembut, permadani yang menjagamu dari pepucuk duri, demi percik keringatmu:

sebelum langkahmu terhenti dan sirip-sirip awan menepi

Mari kita ingat kembali sebuah malam di Ulee Kareng:

Meja baris ketiga yang goyah, kedai Jasa Ayah dalam remang cahaya, tercium harum buih secangkir kopi telur. Tak ingin berjarak dari rambut ikalmu, tirus pipimu, kawat gigimu. Dari letih matamu mengalir cerita perjalanan, berkelok mirip anak sungai

Di antara kita, di antara kata, penulis Air Raya mengudap roti sarikaya.

Mari kita kenang kembali sebuah malam di keramaian Rex:

Sepiring kerang yang masih menuturkan kesedihan pantai, hangat jejak tsunami

Mi Aceh yang meruapkan cerita-cerita lama, aroma hutan dan rawa-rawa

Langit serupa buku terbuka dengan tebaran aksara yang menyala

Terdengar samar percakapan orang-orang GAM antara riang dan waspada

”Aku bisa dekat dengan mereka, tapi tak boleh menulis tentang mereka.”

Malam bagimu tak pernah tua

Sebelum tiba pukul 10, tubuh langsingmu perlahan luruh

Bahkan ketika lampu listrik padam menjelang larut isya

”Apa yang terjadi bila berdua dalam gelap?” tanyamu manja

Kalau engkau seorang penakut, akan kubisikkan doa dan kata-kata yang menenteramkan

Kalau engkau gadis pemberani, hunuslah pedangmu untuk melawan mambang

Selagi gelap, kita tak dapat bertukar pandang, tapi aku yakin kau selalu cantik

Seperti engkau yakin aku tak pernah jauh:

Telingamu masih mendengar detak kecil

Nada rindu dari jarak ribuan mil

Aku ingin selalu menjadi selembar pagi yang menyaksikanmu bangkit dari mimpi, memandang gaun putih yang menari-nari di sekitar tubuhmu:

bulan pun bersandar dengan wajah pucat pasi

Di punggung cakrawala kuubah diriku menjadi sekawanan burung yang bernyanyi tak henti- henti, hendak mengalahkan semua bunyi:

sepilihan kata yang menjadikanmu bidadari

2007

Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah. Ia menulis puisi dan prosa. Kumpulan puisinya berjudul Kartunama Putih (1997). Ia tinggal di Jakarta.

Triyanto Triwikromo lahir di Salatiga, Jawa Tengah. Selain menggubah puisi, ia banyak menganggit cerita pendek. Ia bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suara Merdeka dan dosen penulisan kreatif di Universitas Diponegoro, Semarang.




Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi
itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang
bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

Bait-bait puisi Pada Suatu Pagi karya Sapardi Djoko Damono itu dilantunkan dengan suara menyayat oleh penyanyi Reda Gaudiamo dalam iringan petikan gitar Ari Malibu yang sendu. Komposisi lagu yang dibuat Budiman Hakim itu mengundang penonton untuk menelusuri dunia puisi.

Ratusan penonton yang hadir di Graha Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kamis (14/2) malam itu, tampak terhanyut. Larik-larik sajak yang liris, nada-nada yang mengalun pelan, serta dentingan gitar yang lembut-merayap seperti jalin-menjalin untuk menciptakan suasana yang sublim. Mudah saja membayangkan, seseorang tengah menangis pelan di sebuah lorong yang sepi pada suatu pagi yang gerimis.

Terlepas dari dukungan suasana Jakarta yang diguyur gerimis, duet Ari-Reda—kadang dibantu gitaris Jubing Kristianto—memang mengena. Mengena dalam arti mampu menerjemahkan kekuatan teks sastra dalam daya pukau suara (dari lagu dan musik). Lebih dari itu, musikalisasi itu turut membantu penonton untuk memvisualkan kata-kata.

Begitulah, malam pertunjukan ”Puisi-puisi Cinta Sapardi Djoko Damono” itu seperti menjadi ruang pembuktian kekuatan kata sebagai bunyi. Tak hanya melalui musikalisasi puisi Ari-Reda, yang populer sejak pertengahan tahun 1980-an, panggung itu juga diisi dengan deklamasi, paduan suara, teater, dan tari. Semuanya membawakan puisi-puisi Sapardi.

Ada penyair Jose Rizal Manua dan Ags Arya Dipayana serta artis Ine Febriyanti dan Cornelia Agatha yang mendeklamasikan puisi dengan cara masing-masing. Laboratorium Musik SMA 59 Jakarta dan Panduan Suara Gita Swara Nassa menyanyikan puisi dalam paduan suara. Anak-anak Teater Tanah Air menerjemahkan puisi Selamat Pagi Indonesia dalam lakon singkat yang bersemangat, sedangkan Teater Tetas menafsirkan puisi Ketika Berhenti di Sini dalam gerak tubuh.

Kenyal

Bagaimanakah wujud puisi-puisi Sapardi setelah diolah dalam pentas berbagai disiplin seni? Puisi-puisi itu bermetamorfosa dalam bentuk yang berbeda, kadang tak terduga. Itu mengentalkan kesan betapa kenyalnya sebuah puisi.

Puisi-puisi Sapardi luwes saja dimainkan dalam beragam bentuk seni pertunjukan, tanpa kehilangan daya puitiknya. Bahkan, saat dituangkan dalam saluran estetika yang berbeda, larik-larit kata itu malah menjelma sebagai kekuatan yang lain.

Saat dinyanyikan, misalnya, puisi-puisi itu seakan dikembalikan pada habitatnya sebagai bunyi. Rima dalam puisi membentuk nada dengaran yang harmonis. dengan dilagukan dalam iringan musik, puisi menjadi lebih hangat dan mudah dimengerti.

Pentas malam itu membuktikan bahwa puisi sebenarnya adalah bunyi yang direkam dalam teks. Puisi adalah kata-kata, dan kata-kata itu pertama-tama merupakan citra dengaran, bukan citra huruf. Suasana itu juga tercipta saat puisi dibacakan dengan tekanan emosi yang pas, atau diterjemahkan dalam tafsir gerak teatrikal yang bebas.

Akhirnya, pertunjukan berbagai cabang seni yang dibuat berdasarkan teks puisi Sapardi itu berhasil mengajak penonton untuk memasuki dunia puisi. Penonton seperti melayang dalam lorong yang sepi, menyelinap di bawah hujan, melihat akar pepohonan, jembatan, atau memandang ladang yang sunyi.

Pencapaian itu menjadi mungkin karena puisi-puisi Sapardi memang sangat merangsang imaji, khayalan visual. Ags Arya Dipayana, yang membuat banyak komposisi lagu berdasarkan puisi Sapardi, mengakui, puisi-puisi penyair itu sangat merangsang untuk melahirkan lagu. Imajinasi yang muncul dari puisi seperti menuntun nada-nada.

”Begitu membaca puisinya, saya langsung terbawa, menerawang jauh. Yang saya peroleh bukan makna atau pengertian, tetapi citra gambar dan citra dengar,” katanya.

Bagaimana tanggapan Sapardi sendiri menyaksikan puisi-puisinya dimainkan dalam lagu, teater, dan gerak tubuh? ”Saya senang banyak yang terlibat. Semua bentuk pentas itu kan sama-sama seni, hanya wahananya saja yang berbeda. Jadi, puisi saya hanya beralih wahana saja,” katanya.

Senin, 10 Maret 2008

S. Ratman Suras Poetry

S Ratman Suras, lahir di Desa Wringinharjo, Gandrungmangu, Cilacap, Jawa – Tengah, pada tanggal 8 Oktober 1965. Belajar bersastra secara otodidak. Tulisan-tulisannya berupa ; Puisis, Cerpen, Esai, banyak dipublikasikan di surat kabar terbitan Medan; Analisa. Waspada, Mimbar Umum, Sumatra, Portibi, Medan Pos, dan Mingguan Taruna Baru. Puisinya sekali terbit di Media Indonesia Jakarta.
Kreatifitasnya juga berkembang di Sanggar Budaya Gelanggang Kresi Seni Indonesia (Generasi) Forum Kreasi Sasta (FKS) Medan, dan Sanggar KSK Tanjung Morawa Deliserdang. Selain itu ia banyak menimba ilmu atau belajar dari para seniman Medan yang sering mangkal di kantin Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) di Jl. Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. Beberapa karyanya yang sudah dibukukan, Getar II kumpulan puisi Indonesia, diterbitkan Bulsas Kreatif Batu, (1996), Bumi, antologi puisis bersama 18 penyiar Sumur, diterbitkan SSI bekerja sama dengan FKS, Medan (1996), Gugur Gunung, kumpulan puisi tunggal, diterbitkan Sanggar KSK (1997), Dalam Kecamuk Hujan, diterbitkan Sanggar KSK, (1997) kumpulan puisi bersama penyair Sumut, Sri Putri Cermin (1998) Simbuyak-mbuyak (2000) legenda Cerita Rakyat Sumut, keduanya diterbitkan Perpustakaan Wilayah Sumut, sebagai bacaan murid-murid SD di Sumut. Perjalanan Yang Belum Terungkap (1999) Kumpulan Cerpen bersama Idris Siregar diterbitkan Sanggar KSK, Tengok 2 antologi puisi bersama Teja Purnama dan YS Rat, diterbitkan ARSAS Medan (2001). Muara Tiga, kumpulan Puisi dan Cerpen, diterbitkan Forum Dialog Utara IX (2001). Teluk Persalaman, antologi Puisi, Indonesia-Malaysia-Brunai Darusalam, diterbitkan Dialog Teluk Sampena V Negeri Sabah, Malaysia. (2001) Pernah diundang sebagai peserta Dialog Utara X di Yala Thailnd Selatan pada September 2003. Pada Agustus 2004 puisinya terpilih sebagai puisi terbaik pertama pada lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh Teater Blok bekerjasama dengan Dewan Kesenian Medan (DKM) dan Harian Analisa Medan. Aktifitas sehari-harinya selain berwiraswasta kecil-kecilan, juga sebagai Kepala Lingkungan XII Kel. Merdeka Medan Baru. Kini tinggal di Jl. Sei Belutu I No. 21 Medan 20154. HP. 081533121979


ELEGI BRASTAGI

Dalam kembara rindu kudaki elok tubuhmu yang licin dan biru
ada yang berbinar, pagi mekar di kelopak mawar
butiran embun pada pepucuk dedaun, adalah cermin para pecinta
wahai pengelana dunia, ini kesejukan yang merasuk rasa
pasar buah meruah segala buah, kedai bunga merekah indah
dan los sayuran segar memancar dari bumi cinta yang subur
saling memajang menantang segala hati yang singgah di kota ini
aku masih terngiang, Sibolangit yang makin menantang
memasang bentangan tenda kemah sunyi di tepi bukit
sambil menikmati ranum rembulan yang menyusup gigil kabut
pada setiap jengkal pendakian, tikungan dan tanjakan tajam
wajahmu selalu basah, sebab hujan terus turun semalaman
membangun rumahnya pada mata air terjernih kaki bukit hitam
dari kedalaman jurang terdengar, pepohonan tua terus berdzikir
ditingkah denting angin dan gemercik sungai bening
menjaga retak tanah dan batu-batu rindu yang terus menggebu
darahmu air jernih yang letih disedot pipa-pipa kota
setelah itu nafsuku diburu jajaran bungalaow Bandar Baru
kembang-kembang ungu liar dipaksa mekar, daun-daun biru muda layu
dibakar nafsu akar laki-laki berhidung sangar kantong tebal
sekejap mata luruh rinduku, lenyap di lembah Penatapan
oleh kepulan asap aroma jagung bakar
sepasang turis muda nampak lelah mengais kemolekan Sembahe
berkecipak pada dendang sungai rembang petang
puisi-puisi lembah tetap berdenyut di sudut-sudut kafe
menyangkut dan hanyut di muara hatimu yang mulai merintih
ketika lampu-lampu mulai dinyalakan, sinarnya tembusi sunyi
aku terkapar letih dalam kembara pendakian ini
di punggungmu ribuan semut terus menggapai hidup


Medan-Kabanjahe Mei 2006



NARASI DERMAGA TUA
kepada : Hasan Al Banna

Memasuki lorong rumahmu, matahari ikhtikaf di atas hamparan pasir
mendesir di anatara perahu-perahu tua yang parkir
aku mencium aroma keringat leluhur para nelayan
mengkristal pada anjungan hati anak-cucu mereka
: kalut tetap melaut
menjaga tungku kayu secang
menggarami rumah-rumah panggung petak
yang makin litak digerus geramnya ombak

Dari jembatan besi Sei Deli, kutatap sebuah potret buram
memantul-mantul dari cermin dermaga yang lelah
angin tak mau kalah, menampar-nampar wajah, dan perut jadi lapar
menggelepar terenggut nafas laut, waktumu merenggang ?
sebelum santap siang kita melumat berbaris-baris puisi segar
: peluit kereta api tangki menjerit
kota terhimpit, orang-orang tak merasa sakit
oseng-oseng kangkung ditemani goreng kembung
nasi putih panas mengepul, sesekali kita
bisa berkumpul sambil kombor-kombor
pepaya merah jingga, hasil jerih payah ayah
dari jaluran tanah tambak, teramat manis
Engkau rencanakan menggarami tangis

Kota sudah tua dan lelah dijejali gudang-gudang kaya
nelayan sunyi dan letih digarami nasib
jika laut pasang, lantai rumah mesti ditinggikan
jalanan bergelombang seperti tarian para mambang
: banjir bandang keringat kuli-kuli panggul
puisi kita tak bisa jadi tanggul
Sicanang masih meradang, mengokang nafsu
setelah ribuan hari digerayangi laut biru



Meninggalkan rumahmu, di siang yang berdebu
laut seperti mengkerut membuyarkan semadi matahari
rombongan nelayan pulang dengan wajah masam
tapi, dikening mereka tetap ada tanda rasa syukur
untuk keringat yang telah mengucur
usia menjinakkan badai, semalaman sampai dzuhur
: kita larungkan sebait puisi segar
walau nyangkut di mercu suar
lalu, terombang-ambing di lampu satu
dan kita terus memburu
wisata semerbak dermaga biru


Medan – Belawan April 2006

BALADA MARNI GADIS TEMBUNG

Matanya redup adalah sayap burung yang lelah
setelah terbang melintasi tanah jaluran kebun yang resah
berhari-hari menyulam nasib kain lusuh
disengat matahari terpercik gerimis tipis
yang menderas menjadi badai tangis

Ia lahir dari jaman serba bingung
Bapak ibunya Jawa generasi terkini
kakek buyutnya korban kuli kontrak kompeni
diperas keringatnya menanam tembakau deli
sampai bercucu-cicit di tanah ini

Sepetak kolam kangkung di tepi desa Tembung
harapan keluarga agar asap dapur terus membubung
walau hasilnya cekak ditilep harga yang terus melambung
sedang bapaknya cuma kenek kuli bangunan
bersepeda pancal menyusuri kota yang nyaman

Selepas SMP Marni berontak, saat ia ingin membeli bedak
ingin berpatut-patut di depan cermin yang telah retak
merias diri, merawat raga, sebab si Sarmin anak tetangga
perjaka muda sering mencuri wajahnya, dari balik rimbunan pisang
di suatu siang, ketika angin semilir mengalir

Jika berladang tak lagi memberi harapan
tanah-tanah kebun jadi rebutan dan hunian
kebutuhan hidup makin merenggut
Marni bingung tentukan tujuan
sekolah rendah patah di tengah jalan

Bersama Jirah teman kecilnya
yang telah gemilang meraih bintang
ia terpikat langsung berangkat, jadi tkw ke negeri seberang
gadis lugu nan ayu yang masih segar
ke Singapura menggapai mimpi mengais dolar
Ketika tiba di negeri singa, Marni terjebak hitamnya lumpur
ia tertipu sendikat gelap dipaksa jadi gadis penghibur
hatinya pedih tersayat-sayat, impiannya seketika hancur
pada saat yang mendebarkan, ketika tangan-tangan kuat dan kekar
mulai gerayangan di sekujur molek tubuhnya yang terkapar

Marni berontak mulut terkatup batin gemeretak
ia jadi gelap mata untuk mempertahankan mahkota sucinya
dipecahkannya sebuah botol minuman beralkohol
ditikamnya perut buncit toke asing berduit
darah segar muncrat menggenang di lantai kamar

Kini ia hidup heboh dalam cerita berita duka-lara
namanya menghias menyita media massa dua negara bertetangga
orang-orang saling lempar tentang kebenarannya
kerabat dan bapak ibunya di Tembung berpayung langit murung
anak gadisnya terancam hukuman gantung


Medan, 2005-2006

Pupuh Sepuluh Daun-Daun Cinta

aku sebutir embun pada selembar daun
kesepianku mengapung di pucuk badai malam yang berkobar
kerinduan pada pantai adalah untaian biji tasbih
yang mengundang angin melayarkan perahu kecilku
gelisah ombak melambai teduh, sebab laut sabar dalam doa
hingga menyentuh ubun-ubun sebutir pasir. di sini
akar-akar nyiur rindu musim basah yang selalu mendesah
sebab kemarau telah menguji kesabaran burung-burung pantai
dan langit tetap merengkuhnya dalam bahasa cinta-Mu

Medan, 2004-2006

Pupuh Empat Belas Daun-Daun Cinta
(mencari jejak para nabi)

di mana jejak-jejak Adam, setelah tercampak
dari rimbunnya sorga. akan kutelusuri kembali
untuk sebuah pertobatan yang panjang, dan mencari daun-daun
cintaku yang hilang. di mana bahtera Nuh bersandar
usai bumi umatnya tersapu banjir bandang, jiwaku ingin
berlayar menemukan daun-daun cahaya iman
pada birunya samudera ketentraman. di mana kapak Ibrahim tersimpan
akan kupinjam sebentar, untuk memenggal pohon-pohon berhala
yang menyemak di dada. di mana tongkat Musa terpacak
ingin kupinjam sesaat, untuk membelah laut kemelut
yang selalu menggemuruh dalam kalut hidup. di mana Isa akan
turun kembali ke bumi, akan kusambut dengan sepenuh hati
untuk mengobati luka dunia yang makin menganga, dan menghidupkan
daun-daun jiwa yang telah mati. di mana?
di mana Nur Muhammad bertahta, pada gemerlap gemintang, atau
pada pucuk-pucuk daun laut disaat gelombang menerjang
ingin kuraih, walau daun-daun jiwa kering merintih
betapa sujudku tertelikung badai, rakaat-rakaatku tergencet
antara cinta dan syahwat dunia yang merindang. di mana Nur Muhammad
memancar akan kugapai dalam setiap helai daun-daun cahaya
Dialah cahaya penyempurna iman

Medan, 2005-2006

puisi-puisi M. Yunus Rangkuti

Puisi-Puisi M. Yunus Rangkuti


HAMPA /1/

sepi pagi ini adalah titis gerimis tak henti
menderai dedaunan
resahku tumpah di tanah berbasah
gugur dedaunan menabur kenangan
bagai puisi-puisi mempelangi hati
menjelma fatamorgana
hanya hampa

Sampali, 08


HAMPA /2/

di sini segores senyum secuil tawa
sebegitu langka
selepas isya jerit tangis menggema
di antara talqin-doa
kesima seketika menghentak dada
ternyata kepergian yang pasti
tak mudah dimengerti

Sampali, 08


HAMPA /3/

sunyi kembali menjalari lantai koridor
dingin mulai mengendap
aroma kematian masih mendekap
malam kian larut
jenazah berlalu sudah
menyisa Tanya gelisah
pabila maut kembali menjemput?

Sampali, 08


SERENADA

kembang warna putih
mekar tiga tangkai
dedaunannya bersih
dibasuh embun
dibelai angina
disapa mentari

kembang putih
tangkai dipetik
dedaun tersayat perih
lirih merintih
lalu layu
mati…

Sampali, 08

Minggu, 09 Maret 2008

Perempuan Pada Sebuah Rumah

Puisi Arif S M

Perempuan Pada Sebuah Rumah

kemarin ia terus melucuti seluruh pakaian
ruang lindap yang menusuk berbau
meruang di dalam tubuhnya
sedang di luar sana serupa mawar mekar
berkelip secantik mutiara
diperbincangkan dengan sekerat roti tawar
berteman segelas besar bir atau anggur merah

kemarin ia terus menitik embun
jatuh di sebalik pelupuk matanya
merangkul kerut pada pipi
lalu meliuk-liuk mengitari dagu dan leher
ia tak boleh berpejam mata
sebab air bah dari matanya akan membanjir seluruh keruh
yang tergurat di wajahnya,
hingga esok pagi

kemarin ia bermimpi pula
tentang seorang lelaki kekar idaman
berototkan jiwanya, bernafas kasih
pada kursi di ujung lorong ruang ia bercerita
mengeluh jiwanya, meraung-raung dalam sunyi
walau parau suaranya terjepit
saat petang menenggelamkan matahari

kemarin ia tak melahap sarapan pagi
apalagi godak pada larut malam ini
ia hanya memahami rintik di luar sana
pandangannya jauh menelusup di balik jendela
nanar penuhi ruang mata
kusam sahabat setia, lusuh teman berkeluh
kali ini ia ingin bercumbu dengan sebuah harap
adakah esok kelam menemaninya lagi?
atau barangkali resah masih ingin bergumul?


Medan, 2008



Gerimis Padang Panjang

Kemarin gerimis lagi,
terus melipur kalbu namun gigil belum terasa ke kulit
hanya menembus tulang di sebaliknya
Putih perak mengkilap–kilap
jalanan terjal naik turun dan kadang berkelok–kelok
gerimis kemarin masih berasa hingga kini
jalanku masih menyisakan sedikit lelumpur yang naik–naik
membercak bulat–bulat di celana wasit sewarna langit saat itu

Rupanya langit tak henti menangis
mungkin hatinya tersayat–sayat ketika tawar–menawar miniatur
atau barangkali
tersandung batu sewaktu mencari randang bareh
di pasar Ateh

Langit makin buram, tanda siang kadaluwarsa
bukannya syair–syair tuhan dikumandang
namun gelak tawa menghias sembari menawar lapan–lapan

;angin semilir mengalir mewarnai perjalanan getir
sesampai simpang empat tak ayal anyangan datang
liar mata nanar membumihanguskan pemandangan
sekeliling tak dijumpai sedikit air
alih–alih mengumandang takbir
jalan berputar berkeliling–keliling, ngilu terasa pekat
sebuah pintu bergambar perempuan di ujung jalan
jadi akhir pencarian

ah, penat masih berukir di jidat
kini bukan hanya pekat, berdua menyusuri seratus anak tangga
membeban berat pada lengan tak berlemak
sedang dua perempuan di atas tersenyum–senyum
membolak–balik sobekan kertas menghitung–hitung keuntungan.
pada anak tangga paling akhir, mereka tertawa puas

padangpanjang-medan, 2008

Rabu, 05 Maret 2008

Kepada Tika

Puisi Djamal


Kepada Tika 1
akankah cinta kan usang bersama puisi
yang kutulis untukmu
hari ini bersama resah yang kian membasah
kau tikamkan cinta di bola mata

detak jam dinding terus saja memacu
angka-angka penuh makna
dan entah di mana akan bertahta


Medan, 2008

Kepada Tika 2

aku tak ingin menyudahi malamku
agar aku tak jauh dari bayang wajah
juga bola matamu
sebab di sana aku melihat matahari
yang bersetubuh dengan rembulan

biarkanlah aku menapaki jalanku
untuk menuju kerumah
muatau membelai detak jantungmu

malam ini aku tak dapat jauh dari malam
di sana ada gemintang yang sedang tersenyum
memlambaikan tangan dengan ramah

angin berhembus sepoi di pundakku
berbisikmendendangkan lagu cinta yang teramat tua
sambil mengunyah sebatang coklat yang manis


Medan, 2008

Kepada Tika

Kepada Tika 1

akankah cinta kan usang bersama puisi
yang kutulis untukmu
hari ini bersama resah yang kian membasah
kau tikamkan cinta di bola mata
detak jam dinding terus saja memacu
angka-angka penuh makna
dan entah di mana akan bertahta


Medan, 2008


Kepada Tika 2


aku tak ingin menyudahi malamku
agar aku tak jauh dari bayang wajah
juga bola matamu
sebab disana aku melihat matahari
yang bersetubuh dengan rembulan

biarkanlah aku menapaki jalanku
untuk menuju kerumahmu
atau membelai detak jantungmu

malam ini aku tak dapat jauh dari malam
di sana ada gemintang yang sedang tersenyum
memlambaikan tangan dengan ramah
angin berhembus sepoi di pundak
kuberbisik
mendendangkan lagu cinta yang teramat tua
sambil mengunyah sebatang coklat yang manis


Medan, 2008

PARODI DIRI

PUISI M. YUNUS RANGKUTI

Parodi Diri

sebegitu lesatkah matahari berlalu luluh?
tanpa hangat menggeliat tubuh
guyur hujan di dinihari menggerimis hingga pagi
gigil dingin masih memilin
kita hilang gegas dikemas malas

pada beranda senja kita merenda kata
cerita purba menjelma di kepala
menyisa tanya hampa , “apa, mengapa dan bagaimana”
matahari melesap malampun mendekap
apakah kita masih berharap
mimpi membuai jadi berarti di esok hari
apa yang tersisa pada rentang siang?
rutinitas tak pernah tuntas,
resah tertumpah di jalan berbasah,
pesona pelangi menari mimpi,
atau kulik elang hilang peluang di ambang petang
tapi mengapa pagi berkali kita khianati?

2008


Pintu

pada bentang ruang waktu selalu ada pintu
di sebaliknya, entah apa
jangan salah melangkah, apalagi mengisengi diri
pintu akan mengunci hati
memerangkap dan memperdaya kita selamanya


2006



Topeng

topeng-topeng sedemikian rupa mengulit di wajah
orang-orang memeran adegan
seribu adegan, sejuta korban
sejuta korban, adegan kan berjalan
sejarah menggurat wajah
bak topeng-topeng erat melekat


2006

M. Yunus Rangkuti

Pada bentang ruang waktu selalu ada pintu di sebaliknya,entah apa
Jangan salah melangkah, apalagi mengisengi diri
Pintu akan mengunci hati
Memerangkap kita selamanya

Pada beranda senja kita merenda kata
Cerita purba menjelma di kepala
Menyisa Tanya hampa , “apa, mengapa dan bagaimana”
Matahari melesap malampun mendekap
Apakah kita masih berharap
Mimpi membuai jadi berarti di esok hari

Tapi mengapa pagi berkali kita khianati

Sebegitu lesatkah matahari berlalu luluh?
Tanpa hangat menggeliat tubuh
Guyur hujan dinihari menggerimis hingga pagi
Gigil dingin masih memilin
Kita hilang gegas di kemas malas

Apa yang tersisa pada rentang siang?
Rutinitas tak pernah tuntas
Resah tertumpah di jalan berbasah
Pesona pelangi menari mimpi
Atau kulik elang hilang peluang di ambang petang

Hari-hari kita menari
Menari sunyi, menari ramai
Sedih menari, tawa menari
Kita menari duka, menari suka

Kitalah manusia penari
Balita yang penari, kekanak yang penari
Remaja penari, dewasa penari, tua penari
Kitalah suami penari, istri penari, bapak dan ibu penari

Hari-hari kita menari
Menari kepala, menari mata, menari telinga
Menari hidung, menari mulut, menari leher
Menari pundak menari dada, menari perut
Menari tangan, menari kaki, menari jari jemari
Kita menari-nari, menggapai-gapai, mencari-cari


Topeng-topeng sedemikian rupa mengulit di wajah
Orang-orang memeran adegan
Seribu adegan, sejuta korban
Sejuta korban, adegan kan berjalan
Sejarah me….

Di antara ribuan kata, aku mengeja angka,

Aku mulai membunuh sepi menyibuki diri
Menampari nyenyamuk menari rebah terkulai

Aku berada pada bentang ruang
Diantara apa aja, siapa saja. Aku mencoba meramu luka duka

Pada angin dingin, ingin demi ingin kujalin. Tapi sunyi tak henti memilin
Di sunyi dan sunyi ini apa saja menjelma jadi cerita
Tapi andai demi andai menjelma jadi Tanya dan Tanya dan angan-angan mendera dera…ah

Angin kembali mengabari sunyi pada hati sepi. Masihkah sunyi ini memiliki arti